Senin, 03 Desember 2012

HABIB AL-’AJAMI ra Sang Sufi dari Persia



Habib Al-Ajami
Habib bin Muhammad al-‘Ajami al-Basri, seorang Parsi yang menetap di Basrah. Ia adalah seorang ahli hadis terkenal yang merawikan hadis-hadis dari Hassan al-Basri, Ibnu Sirin dan lain-lain tokoh yang dipercayai.
Dia bertaubat dari kehidupan jahil dan berfoya-foya disebabkan dalil-dalil yang dikemukakan oleh Hasan sangat menyentuh hatinya. Habib al-‘Ajami sering mengikuti pengajaran-pengajaran yang disampaikan oleh Hasan sehingga akhirnya ia menjadi salah seorang sahabat beliau yang paling akrab.
Kisah Habib Si Orang Parsi
Pada mulanya Habib adalah seorang yang kaya raya dan suka meminjamkan uangnya dengan dikenakan bunga. Ia tinggal di kota Basrah, dan setiap hari mengelilingi kota Basrah untuk menagih hutang piutangnya. Jika tidak dibayar hutangnya dan bunganya sekali maka ia akan menuntut ganti rugi dengan alasan kasut yang dipakainya menjadi haus di perjalanan. Dengan cara seperti inilah Habib menutupi biaya hidupnya setiap hari.
Pada suatu hari Habib pergi ke rumah seorang yang berhutang kepadanya. Tetapi si piutang itu tidak ada di rumah. Maka Habib meminta ganti rugi kepada isteri orang tersebut.
“Suamiku tidak ada di rumah, aku tidak mempunyai sesuatu pun untuk diberikan kepadamu tetapi kami ada menyembelih seekor kambing biri-biri dan lehernya masih ada lagi, jika engkau suka akan kuberikan kepadamu.” Isteri si piutang itu berkata kepadanya.
“Bolehlah!” si lintah darah menjawab. Ia berfikir bahawa setidak-tidaknya ia dapat mengambil leher kambing biri-biri tersebut dan membawanya pulang. “Masaklah!”
“Aku tidak mempunyai roti dan minyak,” wanita itu menjawab.
“Baiklah,” si lintah darat menjawab. “Aku akan mengambil minyak dan roti, tapi untuk semua itu engkau harus membayar ganti rugi pula.” Lalu ia pun pergi mengambil minyak dan roti.
Kemudian wanita itu segera memasakkannya di dalam belanga. Setelah masak dan hendak dituangkan ke dalam mangkuk, seorang pengemis datang mengetuk pintu.
“Jika yang kami miliki kami berikan kepadamu,” Habib memarahi si pengemhs, “engkau tidak akan menjadi kaya, tetapi kami sendiri akan menjadi miskin.”
Si pengemis yang kecewa memohon kepada wanita itu agar ia sudi memberikan sekedar makanan kepadanya. Wanita itu segera membuka tutup belanga, ternyata semua isinya telah berubah menjadi darah hitam. Melihat ini, wajahnya menjadi pucat lesi. Segera ia mendapatkan Habib dan mengajaknya untuk melihat isi belanga itu kepadanya.
“Saksikanlah apa yang telah menimpa diri kita karena ribamu yang terkutuk dan hardikanmu kepada pengemis!” Wanita itu menangis. “Apakah yang akan terjadi atas diri kita di atas dunia ini?” Lebih-lebih lagi di akhirat nanti!”
Melihat kejadian ini dada Habib terbakar oleh api penyesalan. Penyesalan yang tidak akan pernah reda sepanjang hidupnya.
“Wahai wanita! Aku menyesal atas segala perbuatan yang telah kulakukan!”
Keesokan harinya Habib pergi menemui orang-orang yang berhutang kepadanya. Kebetulan sekali hari itu adalah hari jumaat dan anak-anak sedang bermain di jalan. Ketika melihat Habib, mereka berteriak-teriak: “Lihat, Habib lintah darat sedang menuju ke sini, marilah kita lari, kalau tidak niscaya debu-debu tubuhnya akan melekat di tubuh kita dan kita akan terkutuk pula seperti dia!”
Kata-kata ini sangat melukai hati Habib. Kemudian ia pergi ke tempat sepi dan di sana terdengarlah olehnya ucapan-ucapan itu bagaikan menusuk-nusuk jantungnya sehingga akhirnya ia jatuh pengsan.
Habib bertaubat kepada Allah dari segala perbuatan yang telah dilakukannya, setelah menyadari apa yang terjadi, Hasan al-Basri datang memapahnya dan menghiburkan hatinya. Ketika Habib hendak meninggalkan tempat itu seorang yang berhutang kepadanya melihatnya dan coba untuk menghindari diri darinya.
“Jangan lari,” Habib berkata. “Di waktu yang sudah-sudah engkaulah yang menghindariku, tetapi sejak saat ini akulah yang harus menghindari dirimu.”
Habib meneruskan perjalanannya, kanak-kanak tadi masih juga bermain-main di jalan. Melihat Habib mereka segera berteriak: “Lihat Habib yang telah bertaubat sedang menuju ke mari, mari kita lari! Jika tidak niscaya debu-debu di tubuh jita akan melekat di tubuhnya sedang kita adalah orang-orang yang telah berdosa kepada Allah.”
“Ya Allah ya Tuhanku!” seru Habib. “Baru saja aku membuat perdamaian dengan-Mu, tetapi engkau telah menanamkan di dalam hati manusia untuk diriku dan telah mengumandangkan namaku di dalam keharuman.”
Kemudian Habib membuat sebuah pengumuman yang berbunyi: “Kepada siapa saja yang menginginkan harta benda kepunyaan Habib, datanglah dan ambillah!”
Orang datang beramai-ramai, Habib memberikan segala harta kekayaannya kepada mereka dan ia tidak mempunyai sesuatupun yang tinggal. Namun masih ada seorang yang datang untuk meminta, kepada orang itu Habib memberikan cadar isterinya sendiri. Kemudian datang pula sorang lagi dan Habib memberikan pakaian yang sedang dikenakannya, sehingga tubuhnya terbuka. Lalu ia pergi menyepi di sebuah tempat di pinggir sungai Euphrat, dan di sana ia membaktikan diri untuk beribadah kepada Allah. Siang malam ia belajar di bawah naungan Hasan namun ia masih tidak dapat menghafal Al-Quran, dan karena itulah ia digelari ‘ajami atau orang Barbar.
Waktu berlalu, Habib sudah benar-benar dalam keadaan papa, tetapi isterinya masih tetap menuntut biaya rumah tangga kepadanya. Maka Habih pergi meninggalkan rumahnya menuju tempat pertapaan untuk melakukan kebaktiannya kepada Allah dan apabila malam tiba barulah ia pulang.
“Di mana sebenarnya engkau bekerja sehingga tidak ada sesuatu pun yang engkau bawa pulang?” Isterinya mendesak.
“Aku bekerja pada seseorang yang sangat Pemurah,” jawab Habib. “Sedemikian Pemurahnya Ia sehingga aku malu meminta sesuatu kepada-Nya, apabila saatnya nanti pasti ia akan membayar upahku.”
Demikianlah setiap hari Habib pergi ke pertapaannya untuk beribadah kepada Allah. Pada waktu sholat zuhur di hari yang kesepuluh, dia teringat. “Apakah yang akan kubawa pulang malam nanti? Dan apakah yang harus kukatakan kepada isteriku?”
Lama ia termenung. Tanpa pengetahuannya Allah Yang Maha Besar telah mengutus pesuruh-pesuruh-Nya ke rumah Habib. Seorang membawakan gandum sepemikul keledai, yang lain membawa seekor kambing yang telah dibuang kulit, dan yang terakhir membawa minyak, madu, rempah-rempah dan bumbu-bumbu. Semua itu mereka pikul dan diikuti seorang pemuda gagah yang membawa sebuah bekas berisi 300 dirham perak. Sesampainya di rumah Habib, pemuda itu mengetuk pintu.
“Apakah maksud kamu datang ke mari?” tanya isteri Habib setelah membukakan pintu.
“Majikan kami telah menyuruh kami untuk menghantarkan barang-barang ini,” pemuda gagah itu menjawab. “Sampaikanlah pesan ini kepada Habib: “Bila engkau melipatgandakan jerih payahmu maka kami akan melipatgandakan upahmu.” Setelah berkata demikian mereka pun berlalu.
Setelah matahari terbenam Habib berjalan pulang. Ia merasa malu dan sedih. Ketika hampir sampai ke rumah, terciumlah olehnya bau roti dan masakan-masakan. Dengan berlari isterinya datang menyambut, mengelap peluh di mukanya dan bersikap lembut kepadanya, sesuatu yang tidak pernah dilakukannya sebelum ini.
“Wahai suamiku,” isterinya berkata. “Majikanmu adalah seorang yang sangat baik dan pengasih. Lihatlah segala yang telah dikirimkannya ke mari melalui seorang pemuda yang gagah dan tampan. Pemuda itu berpesan: “Bila Habib pulang, katakanlah kepadanya, bila engkau melipatgandakan jerih payahmu maka Kami akan melipatgandakan upahmu.”
Habib merasa heran.
“Sungguh menakjubkan! Baru sepuluh hari aku bekerja, sudah sedemikian banyak imbalan yang dilimpahkan-Nya kepadaku, apa pulakah yang akan dilimpahkan-Nya nanti?”
Sejak saat itu Habib memalingkan wajahnya dari segala urusan dunia dan menyerahkan dirinya kepada Allah semata-mata.
Habib dengan wanita tua
Pada suatu hari seorang wanita tua datang kepada Habib, dia merebahkan dirinya di depan Habib dengan sedih hati.
“Aku mempunyai seorang putera yang telah lama pergi meninggalkanku. Aku tidak sanggup lebih lama lagi berpisah kepadanya, berdoalah kepada Allah,” mohonnya kepada Habib. “Semoga berkat doamu, Allah mengembalikan puteraku itu kepadaku.”
“Adakah engkau memiliki uang?” tanya Habib kepada wanita tua itu.
“Aku mempunyai dua dirham,” jawabnya.
“Berikan uang tersebut kepada orang-orang miskin!”
Kemudian Habib membaca sebuah doa lalu ia berkata kepada wanita itu: “Pulanglah puteramu telah kembali.”
Belum lagi wanita itu sampai ke rumah, dilihat anaknya sedang menantikannya.
“Wahai! Anakku telah kembali!” Wanita itu berseru. Kemudian dibawanya anak itu menemui Habib.
“Apakah yang telah engkau alami?” tanya Habib kepada putera wanita itu.
“Aku sedang berada di Kirmani, guruku menyuruhku membeli daging. Ketika daging itu kubeli dan aku hendak pulang kepada guruku, tiba-tiba bertiuplah angin kencang, tubuhku dibawa terbang dan terdengarlah satu suara berkata: “Wahai angin, demi doa Habib dan dua dirham yang telah disedekahkan kepada orang-orang miskin, pulangkanlah ia ke rumahnya sendiri.”
Habib dengan hutangnya
Pada tanggal 8 Zulhijjah, Habib kelihatan berada di kota Basrah dan pada keesokan harinya di Padang Arafah. Di waktu yang lain, bencana kelaparan melanda kota Basrah. Karena itu, dengan berhutang Habib membeli banyak bahan-bahan makanan dan membagi-bagikan kepada orang-orang miskin. Setiap hari Habib menggulung tempat uangnya dan menyimpan di bawah lantai. Apabila para pedagang datang menagih hutang, barulah bekas itu dikeluarkannya. Sungguh ajaib, ternyata bekas itu penuh dengan kepingan-kepingan dirham. Dari situ dibayarkan semua hutang-hutangnya.
Habib dengan Hasan al-Basri
Rumah Habib terletak di sebuah persimpangan jalan di kota Basrah. Ia mempunyai sebuah baju bulu yang selalu dipakainya baik di musim panas maupun di musim sejuk. Sekali peristiwa, ketika Habib hendak bersuci, baju itu ditanggalkannya dan dilemparkannya ke atas tanah.
Tidak berapa lama kemudia Hasan al-Basri melalui tempat itu. Melihat baju habib yang terletak di atas jalan, ia berkata: “Dasar Habib seorang Barbar, tidak peduli berapa harga baju bulu ini! Baju seperti ini tidak boleh dibiarkan saja di tempat ini, akan hilang nanti.”
Hasan berdiri di tempat itu untuk menjaga baju tersebut. Tidak lama kemudian Habib pun kembali.
“Wahai, imam kaum muslimin,” Habib menegur Hasan setelah memberi salam kepadanya, “mengapakah engkau berdiri di sini?”
“Tahukah engkau bahwa baju baju seperti ini tidak boleh ditinggalkan di tempat begini? Akan hilang nanti. Katakan, kepada siapakah engkau memberi baju ini?”
“Kuberikan kepada Dia, yang selanjutnya memberikan kepadamu,” jawab Habib.
Pada suatu hari Hasan berkunjung ke rumah Habib. Habib memberikan kepadanya dua potong roti gandum dan sedikit garam. Hasan sudah bersiap-siap hendak menyantap hidangan itu, tetapi seorang pengemis datang dan Habib menyerahkan kedua potong roti beserta garam itu kepadanya.
Hasan merasa heran lalu berkata: “Habib, engkau memang seorang manusia budiman. Tetapi alangkah baiknya engkau memiliki sedikit pengetahuan. Engkau mengambil roti lalu memberikan semuanya kepada seorang pengemis. Seharusnya engkau memberikan sebagian kepada si pengemis dan sebahagian lagi kepada tamu mu.”
Habib tidak memberikan jawaban.
Tidak lama kemudian seorang budak datang sambil menjunjung dulang. Di atas dulang tersebut ada daging kambing panggang, kuah yang manis-manis dan uang perak lima ratus dirham. Budak itu menyerahkan dulang tersebut kepada Habib. Kemudian Habib membagi-bagikan uang tersebut kepada orang-orang miskin dan menempatkan dulang tersebut di samping Hasan.
Ketika Hasan memakan daging panggang itu, Habib berkata kepadanya: “Guru, engkau adalah seorang manusia budiman, tetapi alangkah baik seandainya engkau memiliki sedikit keyakinan. Pengetahuan harus disertai dengan keyakinan.”
Habib dengan tentara Hajjaj
Pada suatu hari ketika tentara-tentara Hajjaj mencari-cari Hasan, ia sedang bersembunyi di dalam pertapaan Habib.
“Apakah engkau telah melihat Hasan pada hari ini?” tanya mereka kepada Habib.
“Ya, aku telah melihatnya,” jawab Habib.
“Di manakah Hasan pada saat ini?”
“Di dalam pertapaan ini.”
Para tentara tersebut memasuki pertapaan Habib dan menggeledahnya, namun tidak bertemu Hasan.
“Tujuh kali tubuhku tersentuh oleh mereka, namun mereka tidak melihat diriku,” Hasan mengesahkan.
Ketika hendak meninggalkan pertapaan itu, Hasan mencela Habib: “Habib, engkau adalah seorang murid yang tidak berbakti kepada guru. Engkau telah menunjukkan tempat persembunyianku.”
“Guru, karena aku berterus-terang itulah engkau dapat selamat. Jika tadi aku berdusta, niscaya kita berdua sama-sama tertangkap.”
“Ayat-ayat apakah yang telah engkau bacakan sehingga mereka tidak melihat diriku?” tanya Hasan.
“Aku membaca Ayat Kursi sepuluh kali, Rasul Beriman sepuluh kali, dan katakanlah, Allah itu Esa sepuluh kali. Setelah itu aku berkata: “Ya Allah, telah kuberikan Hasan kepada-Mu dan oleh karena itu jagalah dia.”

Ketahuilah, Yang Tuhan perhatikan adalah hati kamu
 Pada suatu hari, Hasan Al-Basri pergi mengunjungi Habib Ajmi, seorang sufi besar lain. Pada waktu salatnya, Hasan mendengar Ajmi banyak melafalkan bacaan salatnya dengan keliru. Oleh karena itu, Hasan memutuskan untuk tidak salat berjamaah dengannya. Ia menganggap kurang pantaslah bagi dirinya untuk salat bersama orang yang tak boleh mengucapkan bacaan salat dengan benar.
Di malam harinya, Hasan Al-Basri bermimpi. Ia mendengar Tuhan berbicara kepadanya, “Hasan, jika saja kau berdiri di belakang Habib Ajmi dan menunaikan salatmu, kau akan memperoleh keridaan-Ku, dan salat kamu itu akan memberimu manfaat yang jauh lebih besar daripada seluruh salat dalam hidupmu. Kau mencoba mencari kesalahan dalam bacaan salatnya, tapi kau tak melihat kemurnian dan kesucian hatinya. Ketahuilah, Aku lebih menyukai hati yang tulus daripada pengucapan tajwid yang sempurna.

Habib dengan gurunya Hasan
Suatu ketika Hasan ingin pergi ke suatu tempat. Lalu menyusuri tebing-tebing di pinggir Sungai Tigris sambil melihat-lihat disekitarnya. Tiba-tiba Habib muncul di tempat itu.
“Imam, mengapakah engkau berada di sini?” Habib bertanya. “Aku ingin pergi ke suatu tempat namum perahu belum juga tiba,” jawab Hasan.
“Guru, apakah yang telah terjadi terhadap dirimu? Aku telah mempelajari segala hal yang kuketahui dari dirimu. Buanglah rasa iri kepada orang-orang lain darh dalam dadamu. Tutuplah matamu dari kesenangan-kesenangan dunia. Sadarilah bahwa penderitaan adalah sebuah pemberian yang sangat berharga dan sadarilah Allah menentukan segala sesuatu. Setelah itu turunlah dan berjalanlah di atas air.”
Selesai berkata demikian Habib memijakkan kaki ke permukaan air dan meninggalkan tempat itu. Melihat kejadian ini, Hasan merasa heran dan jatuh pengsan. Ketika ia sadar, orang-orang bertanya kepadanya: “Wahai imam kaum muslimin, apakah yang telah terjadi terhadap dirimu?”
“Baru saja tadi muridku Habib mencela diriku, setelah itu ia berjalan di atas air dan meninggalkan diriku sedang aku tidak dapat berbuat apa-apa. Jika di akhirat nanti sebuah suara menyerukan: “Laluilah jalan yang berada di atas api yang menyala-nyala” sedang hatiku tidak yakin seperti sekarang ini, apakah dayaku?”
Suatu hari Hasan bertanya kepada Habib: “Habib, bagaimanakah engkau mendapatkan karamah-karamah itu?”
Habib menjawab: “Dengan memutihkan hatiku sementara engkau menghitamkan kertas.”
Hasan berkata: “Pengetahuanku tidak memberi manafaat kepada diriku sendiri, tetapi memberi manfaat kepada orang lain.”

Episod dari Tazkirat Al-Auliya
“Orang yang cinta Allah itu hilang, dalam melihat Allah hingga lenyap dirinya, dan dia tidak boleh membedakan yang mana penderitaan dan yang mana kesenangan.”

Senin, 19 November 2012

Malik bin Dinar

Malik bin Dinar al-Sami adalah putera seorang budak berbangsa Persia dari Sijistan (Kabul) dan menjadi murid Hasan al-Bashri, ia terhitung sebagai ahli Hadits Shahih dan merawikan Hadits dari tokoh-tokoh kepercayaan di masa lampau seperti Anas bin Malik dan Ibnu Sirin.
Malik bin Dinar adalah seorang kaligrafer al-Qur'an yang terkenal. Ia meninggal sekitar tahun 130 H/748 M.
Mengapa ia dinamakan Malik bin Dinar
Ketika Malik dilahirkan, ayahnya adalah seorang budak tetapi Malik adalah seorang yang merdeka. Orang-orang mengisahkan bahwa pada suatu ketika Malik bin Dinar menumpang sebuah perahu. Setelah berada di tengah lautan, awak-awak perahu meminta: "Bayarlah ongkos perjalananmu!".
"Aku tak mempunyai uang",jawab Malik.
Awak-awak perahu memukulinya hingga ia pingsan. Ketika Malik siuman, mereka meminta lagi: "Bayarlah ongkos perjalananmu!".
"Aku tak mempunyai uang", jawab Malik sekali lagi, dan untuk kedua kalinya mereka memukulinya hingga pingsan.
Ketika Malik siuman kembali maka untuk ketiga kalinya mereka mendesak.
"Bayarlah ongkos perjalananmu!".
"Aku tak mempunyai uang".
"Marilah kita pegang kedua kakinya dan kita lemparkan dia ke laut", pelaut-pelaut tersebut berseru.
Saat itu juga semua ikan di laut mendongakkan kepala mereka ke permukaan air dan masing-masing membawa dua keping dinar emas di mulutnya. Malik menjulurkan tangan, dari mulut seekor ikan diambilnya dua dinar dan uang itu diberikannya kepada awak-awak perahu. Melihat kejadian ini pelaut-pelaut tersebut segera berlutut. Dengan berjalan di atas air, Malik kemudian meninggalkan perahu tersebut. Inilah penyebab mengapa ia dinamakan Malik bin Dinar.

Taubatnya
Diriwayatkan dari Malik bin Dinar, dia pernah ditanya tentang sebab-sebab dia bertaubat, maka dia berkata : "Aku adalah seorang polisi dan aku sedang asyik menikmati khamr, kemudian aku beli seorang budak perempuan dengan harga mahal, maka dia melahirkan seorang anak perempuan, aku pun menyayanginya. Ketika dia mulai belajar berjalan, maka cintaku bertambah padanya. Setiap kali aku meletakkan minuman keras dihadapanku anak itu datang padaku dan mengambilnya dan menuangkannya di bajuku, ketika umurnya menginjak dua tahun dia meninggal dunia, maka aku pun sangat sedih atas musibah ini.

Ketika malam di pertengahan bulan Syaban dan itu di malam Jumaat, aku meneguk khamr lalu tidur belum sholat isya'.  Maka aku bermimpi seakan-akan qiyamat itu terjadi, dan terompet sangkakala ditiup, orang mati dibangkitkan, seluruh makhluk dikumpulkan dan aku berada bersama mereka, kemudian aku mendengar sesuatu yang bergerak di belakangku, ketika aku menoleh ke arahnya kulihat ular yang sangat besar berwarna hitam kebiru-biruan membuka mulutnya menuju kearahku, maka aku lari tunggang langgang karena ketakutan, di tengah jalan kutemui seorang syaikh yang berpakaian putih dengan wangi yang semerbak, maka aku ucapkan salam atasnya dia pun menjawabnya, maka aku berkata : "Wahai syaikh ! Tolong lindungilah aku dari ular ini semoga Allah melindungimu". Maka syaikh itu menangis dan berkata padaku : "Aku orang yang lemah dan ular itu lebih kuat dariku dan aku tak mampu mengatasinya, akan tetapi bergegaslah engkau mudah-mudahan Allah menyelamatkanmu", maka aku bergegas lari dan memanjat sebuah tebing Neraka hingga sampai pada ujung tebing itu, aku lihat kobaran api Neraka yang sangat dahsyat, hampir saja aku terjatuh kedalamnya karena rasa takutku pada ular itu. Namun pada waktu itu seorang menjerit memanggilku, "Kembalilah engkau karena engkau bukan penghuni Neraka itu!", aku pun tenang mendengarnya, maka turunlah aku dari tebing itu dan pulang. Sedang ular yang mengejarku itu juga kembali. Aku datangi syaikh dan aku katakan, "Wahai syaikh, aku mohon kepadamu agar melindungiku dari ular itu namun engkau tak mampu berbuat apa-apa". Menangislah syaikh itu seraya berkata, "Aku seorang yang lemah tetapi pergilah ke gunung itu karena di sana terdapat banyak simpanan kaum muslimin, kalau engkau punya barang simpanan di sana maka barang itu akan menolongmu."

Aku melihat ke gunung yang bulat itu yang terbuat dari perak. Di sana ada setrika yang telah retak dan tirai-tirai yang tergantung yang setiap lubang cahaya mempunyai daun-daun pintu dari emas dan di setiap daun pintu itu mempunyai tirai sutera.
Ketika aku lihat gunung itu, aku langsung lari karena kutemui ular besar lagi. Maka tatkala ular itu mendekatiku, para malaikat berteriak : "Angkatlah tirai-tirai itu dan bukalah pintu-pintunya dan mendakilah ke sana!" Mudah-mudahan dia punya barang titipan di sana yang dapat melindunginya dari musuhnya (ular). Ketika tirai-tirai itu diangkat dan pintu-pintu telah dibuka, ada beberapa anak dengan wajah berseri mengawasiku dari atas. Ular itu semakin mendekat padaku maka aku kebingungan, berteriaklah anak-anak itu : "Celakalah kamu sekalian! Cepatlah naik semuanya karena ular besar itu telah mendekatinya". Maka naiklah mereka dengan serentak, aku lihat anak perempuanku yang telah meninggal ikut mengawasiku bersama mereka. Ketika dia melihatku, dia menangis dan berkata : "Ayahku, demi Allah!" Kemudian dia melompat bak anak panah menuju padaku, kemudian dia ulurkan tangan kirinya pada tangan kananku dan menariknya, kemudian dia ulurkan tangan kanannya ke ular itu, namun binatang tersebut lari.

Kemudian dia mendudukkanku dan dia duduk di pangkuanku, maka aku pegang tangan kanannya untuk menghelai jenggotku dan berkata : "Wahai ayahku! Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk hati mereka mengingat Allah". (QS. Al-Hadid : 16). Maka aku menangis dan berkata : "Wahai anakku! Kalian semua faham tentang Al-Quran", maka dia berkata : "Wahai ayahku, kami lebih tahu tentang Al-Quran darimu", aku berkata : "Ceritakanlah padaku tentang ular yang ingin membunuhku", dia menjawab : "Itulah pekerjaanmu yang buruk yang selama ini engkau kerjakan, maka itu akan memasukkanmu ke dalam api Neraka", aku berkata : "Ceritakanlah tentang Syaikh yang berjalan di jalanku itu", dia menjawab : "Wahai ayahku, itulah amal soleh yang sedikit hingga tak mampu menolongmu", aku berkata : "Wahai anakku, apa yang kalian perbuat di gunung itu?", dia menjawab : "Kami adalah anak-anak orang muslimin yang di sini hingga terjadinya kiamat, kami menunggu kalian hingga datang pada kami kemudian kami memberi syafa'at pada kalian". (HR. Muslim dalam shahihnya No. 2635).

Berkata Malik : "Maka akupun takut dan aku tuangkan seluruh minuman keras itu dan kupecahkan seluruh botol-botol minuman kemudian aku bertaubat pada Allah, dan inilah cerita tentang taubatku pada Allah".

Menurut riwayat Malik Bin Dinar sebelum bertobat adalah Rajanya maksiat, semua maksiat yang ada di muka bumi ini kalau di tanyakan ke Malik Bin Dinar pasti akan di jawab sudah.
Seorang ahli sufi yang terkenal Malik bin Dinar pada mulanya adalah seorang yang sangat suka melakukan berbagai kejahatan/ kemaksiatan.
Pada suatu ketika ada orang bertanya kepadanya bagaimana ia dapat, mengubah kelakuannya yang buruk itu. Pada mulanya Malik enggan memberitahu , tetapi setelah didesak, beberapa kali, akhirnya diapun bersetuju menceritakan kisah dirinya itu.
Menurutnya, dulu dia adalah seorang satpam/ penjaga kemanan dipasar. Kesukaanya tidak lain ialah suka berfoya-foya dan minum arak sehingga mabuk dan kemaksiatan lainnya. Suatu ketika Malik membeli seorang budak (hamba) untuk dijadikan isterinya yang sah. Kebetulan budak yang baru dibelinya itu sangat cantik, sehinggalah dia begitu tertarik kepadanya.
Malik dan budak itu kemudian dikurniakan seorang anak perempuan yang cantik yang di beri nama Fatimah. Fatimah dididik dengan penuh kasih sayang. Satu sifat aneh yang dimiliki oleh Fatimah ialah suka merampas gelas minuman arak di tangan ayahnya dan kemudian menuangnya ke jubah ayahnya. Perbutan tersebut selalu dilakukan berulang-ulang. Walaupun Malik tidak suka perbuatan Fatimah namun dia tidak pernah memarahinya disebabkan rasa sayang terhadap anaknya itu.
Ketika berumur dua tahun, puteri kesayangan Fatimah telah kembali ke Rahmatullah. Betapa hancurnya hati Malik waktu itu kerana kehilangan mutiara yang tidak ada gantinya. Hidupnya menjadi muram disebabkan kematian puterinya itu dan kemaksiatan yang lebih dahyat dia lakukan lagi.
Pada suatu malam Nisfu Sya`ban, yang kebetulah jatuh pada hari Juma’at, Malik mengisikan malam tersebut dengan meminum arak sebanyak-banyaknya sehinggalah mabuk. Dalam keadaan mabuk itulah dia tertidur dan bermimpi dengan mimpi yang sangat mengerikan.
Dalam mimpinya Malik melihat manusia bersesak-sesak keluar dari kubur masing-masing dan berhimpun di Padang Mahsyar termasuklah dirinya sendiri. Di dalam keadaan sedemikian beliau dikejutkan dengan satu suara raungan yang sangat kuat dan menakutkan. Setelah dilihatnya ke belakang didapatinya ada seekor ular yang sangat besar berwarna hitam kebiru-biruan dengan mulutnya terbuka luas hendak menelannya.
Tidak ada jalan lain bagi Malik untuk mengelakkan diri daripada ditelan ular itu kecuali lari sekuat tenaga. Dia berlari untuk menyelamatkan dirinya namun ular itu terus mengejar dengan ganasnya. Akhirnya dia bertemu dengan seorang yang sangat tua sedang berjalan dengan lemah sekali dan bertatih-tatih. Bajunya bersih dan baunya sangat wangi.
“Assalamualaikum ya Syeikh,” Malik menegur dan menghampiri lelaki tua itu dengan maksud meminta pertolongannya.
“Wa`alaikum salam ya Malik,” jawab orang tua itu.
“Tolonglah saya wahai Syeikh”, pinta Malik.
“Tolong ? Tolong apa ?” Tanya orang tua itu.
“Tolong selamatkan saya dari kejaran ular besar itu, ” kata Malik sambil menunjuk ular besar yang mengejarnya.
“Maafkan aku wahai Malik, aku sudah tua, badanku sangat lemah. Aku tidak berupaya untuk melawan ular besar itu “kata orang tua itu.
“Jadi apa yang perlu saya lakukan ?” Tanya Malik.
“Begini, berlarilah terus sampai ke engkau merasa aman, kata sang Syeikh.
Setelah mendengar nasihat daripada orang tua itu, Malikpun terus berlari sehinggalah dia sampai ke sebuah bukit yang agak tinggi dan akhirnya sampai ke puncaknya. Ketika dia melihat ke bawah alangkah terkejutnya beliau kerana mendapati neraka terbentang luas. Beliau hampir terjatuh ke dalam neraka itu kerana terlalu takut dan terkejut dengan ular besar yang sentiasa mengekorinya itu. Kemudian Malik terdengar satu suara yang sangat kuat menyuruhnya mundur dari situ.
“Wahai Malik, silakan engkau mundur dari sini ! karena engkau bukan termasuk ahlinya,” kata suara itu.
Tenanglah hati Malik setelah mendengar suara itu dan bila dia mundur ke belakang didapatinya ular itu berhenti mengejarnya. Oleh sebab tidak ada jalan lain lagi, Malik terpaksa berputar balik ke belakang sehinggalah dia bertemu kembali dengan orang tua tadi.
“Wahai Syeikh ! Aku benar-benar minta pertolongan engkau untuk menyelamatkan aku dari kejaran ular itu, tapi mengapa engkau enggan ? “Tanya Malik. “Sudah aku katakan, aku ini sudah tua, sangat lemah,” jawab orang tua itu memberi alasan yang sama.
Bagaimanapun orang tua itu menunjukkan ke arah sebuah bukit yang lain lalu menyuruh Malik bin Dinar pergi ke bukit itu kerana di sana terdapat sebuah rumah.
Tanpa buang-buang waktu lagi Malik berlari ke bukit itu. Ular itu masih juga mengejarnya dengan ganas. Setelah sampai di puncak bukit tersebut tampak ada sebuah bangunan yang berbentuk tirus kubah bertingkap. Pada tiap-tiap tingkat itu kelihatan pintu yang teramat indah. Semua pintu itu bertahtakan mutiara yang indah dan zamrud yang berkilau-kilauan. Kemudian dia coba memanjat pintu itu terdengar satu suara aneh, yang menurut fikirannya adalah suara malaikat berseru : “Bukalah pintunya dan angkatlah kain penutupnya. Keluarlah kamu sekalian, barangkali ada di antara kamu yang dapat menolong orang jahat ini”.
Setelah mendengar suara tersebut, tiba-tiba semua pintu terbuka dan sungguh aneh yang keluar dari pintu itu adalah anak-anak semua dengan wajah/muka yang berseri-seri. Mereka memandang kepadaku dengan penuh belas kasihan kerana mereka melihat aku sedang di dalam ketakutan dikejar ular. Tiba-tiba aku melihat anakku yang berusia dua tahun ada bersama-sama kumpulan anak-anak itu. Seketika Fatimah memandangku, dia pun menangis, lalu berlari memelukku. Kemudian Fatimah menunjukkan tangannnya ke arah ular itu dan secara tiba-tiba ular itu pun pergi dari situ. Ular raksasas yang amat sangat menakutkan aku itu kemudiannya lenyap dari pandanganku.
Malik meneruskan ceritanya. ” Aku pun meletakkan puteriku itu dalam pangkuanku dan dia asyik bermain dengan janggutku. Kemudian puteriku itu membaca sepotong ayat al-Qur’an surah al-Hadid (ayat : 16) yang artinya :
Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.
“Tatkala mendengar ayat yang dibacakan tiba-tiba aku menangis serta menyesali akan segala dosa-dosa yang lalu. Kemudian aku bertanya kepada puteri kesayanganku itu. “Wahai Fatimah anakku, apakah arti/ maksud dari al-Qur’an itu.?”
Fatimah menjawab : “Sesungguhnya saya faham akan segalanya ayah, bahkan lebih daripada ayah sendiri.”
Kemudian aku terus bertanya lagi : “Apakah maksudnya ular itu wahai anakku?”
“Maka dia mengatakan kepada ku bahawa ular itu adalah perbuatan jahat selama hidupnya yang hampir menjerumuskanku ke dalam api neraka.
“Tetapi siapa pula orang tua itu wahai anakku ? tanya Malik lagi.
“Dia adalah perbuatan baik ayah lakukan, perbuatan baik itu menjadi lemah kerana perbuatan jahat yang telah ayah lakukan. Dia tidak dapat menolong ayah ” jawab puteriku.
Aku bertanya lagi : “Apakah yang kamu lakukan di rumah ini anakku ? “Lalu puteriku menjawab : “Ayahku yang dikasihi ! Kami semua adalah anak-anak Islam. Kami menunggu kamu sekalian sehingga Hari Akhirat. Kemudian kami meminta Allah untuk keselamatan ayah-ayah kami.”
Sampai di sini, Malik terjaga daripada tidurnya. Dia melihat ke kiri dan ke kanan, tidak ada siapa-siapa, ternyata dia baru sadar bahwa dia telah bermimpi. Dari mimpinya itulah dia terus sadar bahwa itu merupakan satu peringatan baginya. Malik merasakan sudah sampai masanya dia insaf dan menghentikan semua amalan buruknya dan bertaubat kepada Allah. Maka akhirnya Malik bin Dinar menjadi seorang ahli sufi yang terkenal di bawah bimbingan hasan Al Basri.
Itulah kisah taubatnya Malik bin Dinar Rohimahullah yang beliau kemudian menjadi salah seorang imam generasi tabi'in, dan termasuk ulama Basrah. Dia dikenal selalu menangis sepanjang malam dan berkata: "Ya Ilahi, hanya Engkaulah satu-satunya Dzat Yang Mengetahui penghuni sorga dan penghuni neraka, maka yang manakah aku di antara keduanya? Ya Allah, jadikanlah aku termasuk penghuni sorga dan jangan jadikan aku termasuk penghuni neraka."

Malik bin Dinar Rohimahullah bertaubat dan dia dikenal pada setiap harinya selalu berdiri di pintu masjid berseru: "Wahai para hamba yang bermaksiat, kembalilah kepada Penolong-mu! Wahai orang-orang yang lalai, kembalilah kepada Penolong-mu! Wahai orang yang melarikan diri (dari ketaatan), kembalilah kepada Penolong-mu! Penolong-mu senantiasa menyeru memanggilmu di malam dan siang hari.
Dia berfirman kepadamu: "Barangsiapa mendekatkan dirinya kepada-Ku satu jengkal, maka Aku akan mendekatkan diri-Ku kepadanya satu hasta. Jika dia mendekatkan dirinya kepada-Ku satu hasta, maka Aku akan mendekatkan diri-Ku kepadanya satu depa. Siapa yang mendatangi-Ku dengan berjalan, Aku akan mendatanginya dengan berlari kecil."

Aku memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala agar memberikan rizki taubat kepada kita. Tidak ada sesembahan yang hak selain Engkau, Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang zhalim.

Malik bin Dinar Rohimahullah wafat pada tahun 130 H. Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala merahmatinya dengan rahmat-Nya yang luas. 

Malik bin Dinar dan Seorang Pemuda

Malik bin Dinar mempunyai tetangga yang masih muda sedangkan tingkah lakunya sangat berandal dan mengganggu ketentraman. Malik sering terganggu dengan tingkah laku si pemuda berandal ini, namun dengan sabar dia menunggu sampai ada orang yang mau menegur pemuda ini. Tatapi orang-orang malah datang kepada Malik dan mengeluh mengenai kelakuan pemuda itu. Maka pergilah Malik menemui pemuda tersebut dan meminta agar ia mau mengubah kelakuannya.
Dengan bandel dan seenaknya si pemuda menjawab, “Aku adalah kesayangan sultan dan tidak ada seorangpun yang dapat melarang atau mencegahku untuk berbuat sekehendak hatiku”.
“Aku akan mengadu kepada sultan”, Malik mengancam.
“Sultan tidak akan mencela diriku”, jawab si pemuda. “Apapun yang kulakukan sultan menyukainya”.
“Baiklah jika sultan tidak dapat berbuat apa-apa”, Malik meneruskan ancamannya, ”aku akan mengadu kepada yang Maha Pengasih”, sambil menunjuk ke atas.
“ALLAH?”, jawab si pemuda. “Ia terlampau Pengasih untuk menghukum diriku ini” Jawaban ini membuat Malik bin Dinar bungkam, tak dapat berkata apa-apa.
Si pemuda ditinggalkannya. Beberapa hari berlalu dan tingkah laku si pemuda semakin melampaui batas. Sekali lagi Malik pergi untuk menegur si pemuda, tapi di tengah jalan ia mendengar seruan yang ditujukan kepadanya : ”Jangan engkau sentuh sahabatKu itu!”
Masih dalam keadaan terkejut dan gemetar Malik menemui si pemuda. Melihat kedatangan Malik, si pemuda menyentak, ”Apa pulakah yang telah terjadi hingga engkau datang ke sini untuk kedua kalinya?”
Malik menjawab, ”Kali ini aku datang bukan untuk mencela tingkah lakumu, aku datang semata-mata untuk menyampaikan kepadamu bahwa aku telah mendengar seruan yang mengatakan…”.
Si pemuda berseru :”Wahai! Kalau begitu halnya, maka gedungku ini akan kujadikan sebagai tempat beribadah kepadaNya. Aku tidak peduli lagi dengan semua harta kekayaanku ini.”
Setelah berkata demikian, ia pun pergi meninggalkan segala sesuatu yang dimilikinya dan mengembara di atas dunia ini.
Malik bin Dinar mengisahkan bahwa beberapa lama kemudian dia bertemu dengan pemuda tadi di Mekkah dalam keadaan terlunta-lunta menjelang akhir hayatnya.
“Ia adalah sahabatku” si pemuda berkata terengah-engah. “Aku akan menemui Sahabatku.” Setelah berkata demikian ia lalu menghembuskan nafasnya yang terakhir.