Senin, 03 Desember 2012

HABIB AL-’AJAMI ra Sang Sufi dari Persia



Habib Al-Ajami
Habib bin Muhammad al-‘Ajami al-Basri, seorang Parsi yang menetap di Basrah. Ia adalah seorang ahli hadis terkenal yang merawikan hadis-hadis dari Hassan al-Basri, Ibnu Sirin dan lain-lain tokoh yang dipercayai.
Dia bertaubat dari kehidupan jahil dan berfoya-foya disebabkan dalil-dalil yang dikemukakan oleh Hasan sangat menyentuh hatinya. Habib al-‘Ajami sering mengikuti pengajaran-pengajaran yang disampaikan oleh Hasan sehingga akhirnya ia menjadi salah seorang sahabat beliau yang paling akrab.
Kisah Habib Si Orang Parsi
Pada mulanya Habib adalah seorang yang kaya raya dan suka meminjamkan uangnya dengan dikenakan bunga. Ia tinggal di kota Basrah, dan setiap hari mengelilingi kota Basrah untuk menagih hutang piutangnya. Jika tidak dibayar hutangnya dan bunganya sekali maka ia akan menuntut ganti rugi dengan alasan kasut yang dipakainya menjadi haus di perjalanan. Dengan cara seperti inilah Habib menutupi biaya hidupnya setiap hari.
Pada suatu hari Habib pergi ke rumah seorang yang berhutang kepadanya. Tetapi si piutang itu tidak ada di rumah. Maka Habib meminta ganti rugi kepada isteri orang tersebut.
“Suamiku tidak ada di rumah, aku tidak mempunyai sesuatu pun untuk diberikan kepadamu tetapi kami ada menyembelih seekor kambing biri-biri dan lehernya masih ada lagi, jika engkau suka akan kuberikan kepadamu.” Isteri si piutang itu berkata kepadanya.
“Bolehlah!” si lintah darah menjawab. Ia berfikir bahawa setidak-tidaknya ia dapat mengambil leher kambing biri-biri tersebut dan membawanya pulang. “Masaklah!”
“Aku tidak mempunyai roti dan minyak,” wanita itu menjawab.
“Baiklah,” si lintah darat menjawab. “Aku akan mengambil minyak dan roti, tapi untuk semua itu engkau harus membayar ganti rugi pula.” Lalu ia pun pergi mengambil minyak dan roti.
Kemudian wanita itu segera memasakkannya di dalam belanga. Setelah masak dan hendak dituangkan ke dalam mangkuk, seorang pengemis datang mengetuk pintu.
“Jika yang kami miliki kami berikan kepadamu,” Habib memarahi si pengemhs, “engkau tidak akan menjadi kaya, tetapi kami sendiri akan menjadi miskin.”
Si pengemis yang kecewa memohon kepada wanita itu agar ia sudi memberikan sekedar makanan kepadanya. Wanita itu segera membuka tutup belanga, ternyata semua isinya telah berubah menjadi darah hitam. Melihat ini, wajahnya menjadi pucat lesi. Segera ia mendapatkan Habib dan mengajaknya untuk melihat isi belanga itu kepadanya.
“Saksikanlah apa yang telah menimpa diri kita karena ribamu yang terkutuk dan hardikanmu kepada pengemis!” Wanita itu menangis. “Apakah yang akan terjadi atas diri kita di atas dunia ini?” Lebih-lebih lagi di akhirat nanti!”
Melihat kejadian ini dada Habib terbakar oleh api penyesalan. Penyesalan yang tidak akan pernah reda sepanjang hidupnya.
“Wahai wanita! Aku menyesal atas segala perbuatan yang telah kulakukan!”
Keesokan harinya Habib pergi menemui orang-orang yang berhutang kepadanya. Kebetulan sekali hari itu adalah hari jumaat dan anak-anak sedang bermain di jalan. Ketika melihat Habib, mereka berteriak-teriak: “Lihat, Habib lintah darat sedang menuju ke sini, marilah kita lari, kalau tidak niscaya debu-debu tubuhnya akan melekat di tubuh kita dan kita akan terkutuk pula seperti dia!”
Kata-kata ini sangat melukai hati Habib. Kemudian ia pergi ke tempat sepi dan di sana terdengarlah olehnya ucapan-ucapan itu bagaikan menusuk-nusuk jantungnya sehingga akhirnya ia jatuh pengsan.
Habib bertaubat kepada Allah dari segala perbuatan yang telah dilakukannya, setelah menyadari apa yang terjadi, Hasan al-Basri datang memapahnya dan menghiburkan hatinya. Ketika Habib hendak meninggalkan tempat itu seorang yang berhutang kepadanya melihatnya dan coba untuk menghindari diri darinya.
“Jangan lari,” Habib berkata. “Di waktu yang sudah-sudah engkaulah yang menghindariku, tetapi sejak saat ini akulah yang harus menghindari dirimu.”
Habib meneruskan perjalanannya, kanak-kanak tadi masih juga bermain-main di jalan. Melihat Habib mereka segera berteriak: “Lihat Habib yang telah bertaubat sedang menuju ke mari, mari kita lari! Jika tidak niscaya debu-debu di tubuh jita akan melekat di tubuhnya sedang kita adalah orang-orang yang telah berdosa kepada Allah.”
“Ya Allah ya Tuhanku!” seru Habib. “Baru saja aku membuat perdamaian dengan-Mu, tetapi engkau telah menanamkan di dalam hati manusia untuk diriku dan telah mengumandangkan namaku di dalam keharuman.”
Kemudian Habib membuat sebuah pengumuman yang berbunyi: “Kepada siapa saja yang menginginkan harta benda kepunyaan Habib, datanglah dan ambillah!”
Orang datang beramai-ramai, Habib memberikan segala harta kekayaannya kepada mereka dan ia tidak mempunyai sesuatupun yang tinggal. Namun masih ada seorang yang datang untuk meminta, kepada orang itu Habib memberikan cadar isterinya sendiri. Kemudian datang pula sorang lagi dan Habib memberikan pakaian yang sedang dikenakannya, sehingga tubuhnya terbuka. Lalu ia pergi menyepi di sebuah tempat di pinggir sungai Euphrat, dan di sana ia membaktikan diri untuk beribadah kepada Allah. Siang malam ia belajar di bawah naungan Hasan namun ia masih tidak dapat menghafal Al-Quran, dan karena itulah ia digelari ‘ajami atau orang Barbar.
Waktu berlalu, Habib sudah benar-benar dalam keadaan papa, tetapi isterinya masih tetap menuntut biaya rumah tangga kepadanya. Maka Habih pergi meninggalkan rumahnya menuju tempat pertapaan untuk melakukan kebaktiannya kepada Allah dan apabila malam tiba barulah ia pulang.
“Di mana sebenarnya engkau bekerja sehingga tidak ada sesuatu pun yang engkau bawa pulang?” Isterinya mendesak.
“Aku bekerja pada seseorang yang sangat Pemurah,” jawab Habib. “Sedemikian Pemurahnya Ia sehingga aku malu meminta sesuatu kepada-Nya, apabila saatnya nanti pasti ia akan membayar upahku.”
Demikianlah setiap hari Habib pergi ke pertapaannya untuk beribadah kepada Allah. Pada waktu sholat zuhur di hari yang kesepuluh, dia teringat. “Apakah yang akan kubawa pulang malam nanti? Dan apakah yang harus kukatakan kepada isteriku?”
Lama ia termenung. Tanpa pengetahuannya Allah Yang Maha Besar telah mengutus pesuruh-pesuruh-Nya ke rumah Habib. Seorang membawakan gandum sepemikul keledai, yang lain membawa seekor kambing yang telah dibuang kulit, dan yang terakhir membawa minyak, madu, rempah-rempah dan bumbu-bumbu. Semua itu mereka pikul dan diikuti seorang pemuda gagah yang membawa sebuah bekas berisi 300 dirham perak. Sesampainya di rumah Habib, pemuda itu mengetuk pintu.
“Apakah maksud kamu datang ke mari?” tanya isteri Habib setelah membukakan pintu.
“Majikan kami telah menyuruh kami untuk menghantarkan barang-barang ini,” pemuda gagah itu menjawab. “Sampaikanlah pesan ini kepada Habib: “Bila engkau melipatgandakan jerih payahmu maka kami akan melipatgandakan upahmu.” Setelah berkata demikian mereka pun berlalu.
Setelah matahari terbenam Habib berjalan pulang. Ia merasa malu dan sedih. Ketika hampir sampai ke rumah, terciumlah olehnya bau roti dan masakan-masakan. Dengan berlari isterinya datang menyambut, mengelap peluh di mukanya dan bersikap lembut kepadanya, sesuatu yang tidak pernah dilakukannya sebelum ini.
“Wahai suamiku,” isterinya berkata. “Majikanmu adalah seorang yang sangat baik dan pengasih. Lihatlah segala yang telah dikirimkannya ke mari melalui seorang pemuda yang gagah dan tampan. Pemuda itu berpesan: “Bila Habib pulang, katakanlah kepadanya, bila engkau melipatgandakan jerih payahmu maka Kami akan melipatgandakan upahmu.”
Habib merasa heran.
“Sungguh menakjubkan! Baru sepuluh hari aku bekerja, sudah sedemikian banyak imbalan yang dilimpahkan-Nya kepadaku, apa pulakah yang akan dilimpahkan-Nya nanti?”
Sejak saat itu Habib memalingkan wajahnya dari segala urusan dunia dan menyerahkan dirinya kepada Allah semata-mata.
Habib dengan wanita tua
Pada suatu hari seorang wanita tua datang kepada Habib, dia merebahkan dirinya di depan Habib dengan sedih hati.
“Aku mempunyai seorang putera yang telah lama pergi meninggalkanku. Aku tidak sanggup lebih lama lagi berpisah kepadanya, berdoalah kepada Allah,” mohonnya kepada Habib. “Semoga berkat doamu, Allah mengembalikan puteraku itu kepadaku.”
“Adakah engkau memiliki uang?” tanya Habib kepada wanita tua itu.
“Aku mempunyai dua dirham,” jawabnya.
“Berikan uang tersebut kepada orang-orang miskin!”
Kemudian Habib membaca sebuah doa lalu ia berkata kepada wanita itu: “Pulanglah puteramu telah kembali.”
Belum lagi wanita itu sampai ke rumah, dilihat anaknya sedang menantikannya.
“Wahai! Anakku telah kembali!” Wanita itu berseru. Kemudian dibawanya anak itu menemui Habib.
“Apakah yang telah engkau alami?” tanya Habib kepada putera wanita itu.
“Aku sedang berada di Kirmani, guruku menyuruhku membeli daging. Ketika daging itu kubeli dan aku hendak pulang kepada guruku, tiba-tiba bertiuplah angin kencang, tubuhku dibawa terbang dan terdengarlah satu suara berkata: “Wahai angin, demi doa Habib dan dua dirham yang telah disedekahkan kepada orang-orang miskin, pulangkanlah ia ke rumahnya sendiri.”
Habib dengan hutangnya
Pada tanggal 8 Zulhijjah, Habib kelihatan berada di kota Basrah dan pada keesokan harinya di Padang Arafah. Di waktu yang lain, bencana kelaparan melanda kota Basrah. Karena itu, dengan berhutang Habib membeli banyak bahan-bahan makanan dan membagi-bagikan kepada orang-orang miskin. Setiap hari Habib menggulung tempat uangnya dan menyimpan di bawah lantai. Apabila para pedagang datang menagih hutang, barulah bekas itu dikeluarkannya. Sungguh ajaib, ternyata bekas itu penuh dengan kepingan-kepingan dirham. Dari situ dibayarkan semua hutang-hutangnya.
Habib dengan Hasan al-Basri
Rumah Habib terletak di sebuah persimpangan jalan di kota Basrah. Ia mempunyai sebuah baju bulu yang selalu dipakainya baik di musim panas maupun di musim sejuk. Sekali peristiwa, ketika Habib hendak bersuci, baju itu ditanggalkannya dan dilemparkannya ke atas tanah.
Tidak berapa lama kemudia Hasan al-Basri melalui tempat itu. Melihat baju habib yang terletak di atas jalan, ia berkata: “Dasar Habib seorang Barbar, tidak peduli berapa harga baju bulu ini! Baju seperti ini tidak boleh dibiarkan saja di tempat ini, akan hilang nanti.”
Hasan berdiri di tempat itu untuk menjaga baju tersebut. Tidak lama kemudian Habib pun kembali.
“Wahai, imam kaum muslimin,” Habib menegur Hasan setelah memberi salam kepadanya, “mengapakah engkau berdiri di sini?”
“Tahukah engkau bahwa baju baju seperti ini tidak boleh ditinggalkan di tempat begini? Akan hilang nanti. Katakan, kepada siapakah engkau memberi baju ini?”
“Kuberikan kepada Dia, yang selanjutnya memberikan kepadamu,” jawab Habib.
Pada suatu hari Hasan berkunjung ke rumah Habib. Habib memberikan kepadanya dua potong roti gandum dan sedikit garam. Hasan sudah bersiap-siap hendak menyantap hidangan itu, tetapi seorang pengemis datang dan Habib menyerahkan kedua potong roti beserta garam itu kepadanya.
Hasan merasa heran lalu berkata: “Habib, engkau memang seorang manusia budiman. Tetapi alangkah baiknya engkau memiliki sedikit pengetahuan. Engkau mengambil roti lalu memberikan semuanya kepada seorang pengemis. Seharusnya engkau memberikan sebagian kepada si pengemis dan sebahagian lagi kepada tamu mu.”
Habib tidak memberikan jawaban.
Tidak lama kemudian seorang budak datang sambil menjunjung dulang. Di atas dulang tersebut ada daging kambing panggang, kuah yang manis-manis dan uang perak lima ratus dirham. Budak itu menyerahkan dulang tersebut kepada Habib. Kemudian Habib membagi-bagikan uang tersebut kepada orang-orang miskin dan menempatkan dulang tersebut di samping Hasan.
Ketika Hasan memakan daging panggang itu, Habib berkata kepadanya: “Guru, engkau adalah seorang manusia budiman, tetapi alangkah baik seandainya engkau memiliki sedikit keyakinan. Pengetahuan harus disertai dengan keyakinan.”
Habib dengan tentara Hajjaj
Pada suatu hari ketika tentara-tentara Hajjaj mencari-cari Hasan, ia sedang bersembunyi di dalam pertapaan Habib.
“Apakah engkau telah melihat Hasan pada hari ini?” tanya mereka kepada Habib.
“Ya, aku telah melihatnya,” jawab Habib.
“Di manakah Hasan pada saat ini?”
“Di dalam pertapaan ini.”
Para tentara tersebut memasuki pertapaan Habib dan menggeledahnya, namun tidak bertemu Hasan.
“Tujuh kali tubuhku tersentuh oleh mereka, namun mereka tidak melihat diriku,” Hasan mengesahkan.
Ketika hendak meninggalkan pertapaan itu, Hasan mencela Habib: “Habib, engkau adalah seorang murid yang tidak berbakti kepada guru. Engkau telah menunjukkan tempat persembunyianku.”
“Guru, karena aku berterus-terang itulah engkau dapat selamat. Jika tadi aku berdusta, niscaya kita berdua sama-sama tertangkap.”
“Ayat-ayat apakah yang telah engkau bacakan sehingga mereka tidak melihat diriku?” tanya Hasan.
“Aku membaca Ayat Kursi sepuluh kali, Rasul Beriman sepuluh kali, dan katakanlah, Allah itu Esa sepuluh kali. Setelah itu aku berkata: “Ya Allah, telah kuberikan Hasan kepada-Mu dan oleh karena itu jagalah dia.”

Ketahuilah, Yang Tuhan perhatikan adalah hati kamu
 Pada suatu hari, Hasan Al-Basri pergi mengunjungi Habib Ajmi, seorang sufi besar lain. Pada waktu salatnya, Hasan mendengar Ajmi banyak melafalkan bacaan salatnya dengan keliru. Oleh karena itu, Hasan memutuskan untuk tidak salat berjamaah dengannya. Ia menganggap kurang pantaslah bagi dirinya untuk salat bersama orang yang tak boleh mengucapkan bacaan salat dengan benar.
Di malam harinya, Hasan Al-Basri bermimpi. Ia mendengar Tuhan berbicara kepadanya, “Hasan, jika saja kau berdiri di belakang Habib Ajmi dan menunaikan salatmu, kau akan memperoleh keridaan-Ku, dan salat kamu itu akan memberimu manfaat yang jauh lebih besar daripada seluruh salat dalam hidupmu. Kau mencoba mencari kesalahan dalam bacaan salatnya, tapi kau tak melihat kemurnian dan kesucian hatinya. Ketahuilah, Aku lebih menyukai hati yang tulus daripada pengucapan tajwid yang sempurna.

Habib dengan gurunya Hasan
Suatu ketika Hasan ingin pergi ke suatu tempat. Lalu menyusuri tebing-tebing di pinggir Sungai Tigris sambil melihat-lihat disekitarnya. Tiba-tiba Habib muncul di tempat itu.
“Imam, mengapakah engkau berada di sini?” Habib bertanya. “Aku ingin pergi ke suatu tempat namum perahu belum juga tiba,” jawab Hasan.
“Guru, apakah yang telah terjadi terhadap dirimu? Aku telah mempelajari segala hal yang kuketahui dari dirimu. Buanglah rasa iri kepada orang-orang lain darh dalam dadamu. Tutuplah matamu dari kesenangan-kesenangan dunia. Sadarilah bahwa penderitaan adalah sebuah pemberian yang sangat berharga dan sadarilah Allah menentukan segala sesuatu. Setelah itu turunlah dan berjalanlah di atas air.”
Selesai berkata demikian Habib memijakkan kaki ke permukaan air dan meninggalkan tempat itu. Melihat kejadian ini, Hasan merasa heran dan jatuh pengsan. Ketika ia sadar, orang-orang bertanya kepadanya: “Wahai imam kaum muslimin, apakah yang telah terjadi terhadap dirimu?”
“Baru saja tadi muridku Habib mencela diriku, setelah itu ia berjalan di atas air dan meninggalkan diriku sedang aku tidak dapat berbuat apa-apa. Jika di akhirat nanti sebuah suara menyerukan: “Laluilah jalan yang berada di atas api yang menyala-nyala” sedang hatiku tidak yakin seperti sekarang ini, apakah dayaku?”
Suatu hari Hasan bertanya kepada Habib: “Habib, bagaimanakah engkau mendapatkan karamah-karamah itu?”
Habib menjawab: “Dengan memutihkan hatiku sementara engkau menghitamkan kertas.”
Hasan berkata: “Pengetahuanku tidak memberi manafaat kepada diriku sendiri, tetapi memberi manfaat kepada orang lain.”

Episod dari Tazkirat Al-Auliya
“Orang yang cinta Allah itu hilang, dalam melihat Allah hingga lenyap dirinya, dan dia tidak boleh membedakan yang mana penderitaan dan yang mana kesenangan.”