Kamis, 21 November 2013

Rindu Rasulullah SAW

Di riwayatkan seorang ibu tua lanjut usia. Ketika Sayyidina Umar bin Khattab radhiyallahu'anhu berkeliling  ke rumah – rumah dhu’afa, orang susah, anak yatim. Ada satu rumah di lewati Sayyidina Umar bin Khattab, disitu ada seorang ibu lanjut usia yang hidup sendiri sebatang kara tidak ada orang bersamanya, Sayyidina Umar bin Khattab melihat pelita rumahnya masih menyala, dia mendekati rumah itu dan mendengar senandung do’a munajat dan tangis dari ibu tua itu.
Dia berpikiran : "jangan-jangan ibu ini lapar, kurang makanannya, aku harus membantunya”
Maka ia mendekatkan telinganya untuk untuk mengetahui apa yang dirintihkan ibu itu, ternyata ibu itu sedang berdo’a :
“wahai Allah kau telah pisahkan aku dari Nabi Muhammad di dunia,
Jangan pisahkan lagi aku dengan Muhammad di akhirat,
Di dunia sudah kau buat Rasul wafat sebelumku,
jangan sampai di akhirat aku tidak berjumpa lagi”
Jatuh roboh Sayyidina Umar bin Khattab radhiyallahu'anhu mendengar ibu itu, sehingga lututnya tidak bisa menahan tubuhnya, dia jatuh berlutut dan menangis karena rindunya kepada Rasul shallallahu 'alaihi wasallam. Dan dari harunya atas do’a ibu yang sudah lanjut usia itu yang masih
terus bersedih dengan wafatnya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam.
Sayyidina Umar radhiyallahu'anhu menangis.
"Wahai Allah kau telah wafatkan dan pisahkan aku
dengan Nabi Muhammad dan guru ku Habibana
Munzir Almusawa, jangan pisahkan aku dengan
Nabi Muhammad dan guru ku di akhirat kelak".

Uwais alqorni penghuni langit


Pada zaman Nabi Muhammad SAW, ada seorang pemuda bermata biru, rambutnya merah, pundaknya lapang panjang, berpenampilan cukup tampan, kulitnya kemerah-merahan, dagunya menempel di dada selalu melihat pada tempat sujudnya, tangan kanannya menumpang pada tangan kirinya, ahli membaca Al Qur'an dan menangis, pakaiannya hanya dua helai sudah kusut yang satu untuk penutup badan dan yang satunya untuk selendang, tiada orang yang menghiraukan, tak dikenal oleh penduduk bumi akan tetapi sangat terkenal di langit
.

Dia jika bersumpah demi Allah pasti terkabul. Pada hari kiamat nanti ketika semua ahli ibadah dipanggil disuruh masuk surga, dia justru dipanggil agar berhenti dahulu dan disuruh memberi syafa'at, ternyata Allah memberi izin dia untuk memberi syafa'at sejumlah qobilah Robi'ah dan qobilah Mudhor, semua dimasukkan surga tak ada yang ketinggalan karenanya. Dia adalah "Uwais al-Qarni". Ia tak dikenal banyak orang dan juga miskin, banyak orang suka menertawakan, mengolok-olok, dan menuduhnya sebagai tukang membujuk, tukang mencuri serta berbagai macam umpatan dan penghinaan lainnya.

Seorang fuqoha' negeri Kuffah, karena ingin duduk dengannya, memberinya hadiah dua helai pakaian, tapi tak berhasil dengan baik, karena hadiah pakaian tadi diterima lalu dikembalikan lagi olehnya seraya berkata : "Aku khawatir, nanti sebagian orang menuduh aku, dari mana kamu dapatkan pakaian itu, kalau tidak dari membujuk pasti dari mencuri".

Pemuda dari Yaman ini telah lama menjadi yatim, tak punya sanak famili kecuali hanya ibunya yang telah tua renta dan lumpuh. Hanya penglihatan kabur yang masih tersisa. Untuk mencukupi kehidupannya sehari-hari, Uwais bekerja sebagai penggembala kambing. Upah yang diterimanya hanya cukup untuk sekedar menopang kesehariannya bersama Sang ibu, bila ada kelebihan, ia pergunakan untuk membantu tetangganya yang hidup miskin dan serba kekurangan seperti keadaannya. Kesibukannya sebagai penggembala domba dan merawat ibunya yang lumpuh dan buta, tidak mempengaruhi kegigihan ibadahnya, ia tetap melakukan puasa di siang hari dan bermunajat di malam harinya.

Uwais al-Qarni telah memeluk Islam pada masa negeri Yaman mendengar seruan Nabi Muhammad SAW. yang telah mengetuk pintu hati mereka untuk menyembah Allah, Tuhan Yang Maha Esa, yang tak ada sekutu bagi-Nya. Islam mendidik setiap pemeluknya agar berakhlak luhur. Peraturan-peraturan yang terdapat di dalamnya sangat menarik hati Uwais, sehingga setelah seruan Islam datang di negeri Yaman, ia segera memeluknya, karena selama ini hati Uwais selalu merindukan datangnya kebenaran. Banyak tetangganya yang telah memeluk Islam, pergi ke Madinah untuk mendengarkan ajaran Nabi Muhammad SAW secara langsung. Sekembalinya di Yaman, mereka memperbarui rumah tangga mereka dengan cara kehidupan Islam.

Alangkah sedihnya hati Uwais setiap melihat tetangganya yang baru datang dari Madinah. Mereka itu telah "bertamu dan bertemu" dengan kekasih Allah penghulu para Nabi, sedang ia sendiri belum. Kecintaannya kepada Rasulullah menumbuhkan kerinduan yang kuat untuk bertemu dengan sang kekasih, tapi apalah daya ia tak punya bekal yang cukup untuk ke Madinah, dan yang lebih ia beratkan adalah sang ibu yang jika ia pergi, tak ada yang merawatnya.

Di ceritakan ketika terjadi perang Uhud Rasulullah SAW mendapat cedera dan giginya patah karena dilempari batu oleh musuh-musuhnya. Kabar ini akhirnya terdengar oleh Uwais. Ia segera memukul giginya dengan batu hingga patah. Hal tersebut dilakukan sebagai bukti kecintaannya kepada beliau SAW, sekalipun ia belum pernah melihatnya. Hari berganti dan musim berlalu, dan kerinduan yang tak terbendung membuat hasrat untuk bertemu tak dapat dipendam lagi. Uwais merenungkan diri dan bertanya dalam hati, kapankah ia dapat menziarahi Nabinya dan memandang wajah beliau dari dekat ? Tapi, bukankah ia mempunyai ibu yang sangat membutuhkan perawatannya dan tak tega ditingalkan sendiri, hatinya selalu gelisah siang dan malam menahan kerinduan untuk berjumpa. Akhirnya, pada suatu hari Uwais mendekati ibunya, mengeluarkan isi hatinya dan memohon izin kepada ibunya agar diperkenankan pergi menziarahi Nabi SAW di Madinah. Sang ibu, walaupun telah uzur, merasa terharu ketika mendengar permohonan anaknya. Beliau memaklumi perasaan Uwais, dan berkata : "Pergilah wahai anakku ! temuilah Nabi di rumahnya. Dan bila telah berjumpa, segeralah engkau kembali pulang". Dengan rasa gembira ia berkemas untuk berangkat dan tak lupa menyiapkan keperluan ibunya yang akan ditinggalkan serta berpesan kepada tetangganya agar dapat menemani ibunya selama ia pergi.

Sesudah berpamitan sambil menciumi sang ibu, berangkatlah Uwais menuju Madinah yang berjarak kurang lebih empat ratus kilometer dari Yaman. Medan yang begitu ganas dilaluinya, tak peduli penyamun gurun pasir, bukit yang curam, gurun pasir yang luas yang dapat menyesatkan dan begitu panas di siang hari, serta begitu dingin di malam hari, semuanya dilalui demi bertemu dan dapat memandang sepuas-puasnya paras baginda Nabi SAW yang selama ini dirindukannya. Tibalah Uwais al-Qarni di kota Madinah. Segera ia menuju ke rumah Nabi SAW, diketuknya pintu rumah itu sambil mengucapkan salam. Keluarlah sayyidatina 'Aisyah r.a., sambil menjawab salam Uwais. Segera saja Uwais menanyakan Nabi yang ingin dijumpainya. Namun ternyata beliau SAW tidak berada di rumah melainkan berada di medan perang. Betapa kecewa hati sang perindu, dari jauh ingin berjumpa tetapi yang dirindukannya tak berada di rumah. Dalam hatinya bergolak perasaan ingin menunggu kedatangan Nabi SAW dari medan perang. Tapi, kapankah beliau pulang? Sedangkan masih terngiang di telinga pesan ibunya yang sudah tua dan sakit-sakitan itu, agar ia cepat pulang ke Yaman," Engkau harus lekas pulang". Karena ketaatan kepada ibunya, pesan ibunya tersebut telah mengalahkan suara hati dan kemauannya untuk menunggu dan berjumpa dengan Nabi SAW. Ia akhirnya dengan terpaksa mohon pamit kepada sayyidatina 'Aisyah r.a. untuk segera pulang ke negerinya. Dia hanya menitipkan salamnya untuk Nabi SAW dan melangkah pulang dengan perasaan haru.

Sepulangnya dari perang, Nabi SAW langsung menanyakan tentang kedatangan orang yang mencarinya. Nabi Muhammad SAW menjelaskan bahwa Uwais al-Qarni adalah anak yang taat kepada ibunya. Ia adalah penghuni langit (sangat terkenal di langit). Mendengar perkataan baginda Rosulullah SAW, sayyidatina 'Aisyah r.a. dan para sahabatnya tertegun. Menurut informasi sayyidatina 'Aisyah r.a., memang benar ada yang mencari Nabi SAW dan segera pulang kembali ke Yaman, karena ibunya sudah tua dan sakit-sakitan sehingga ia tidak dapat meninggalkan ibunya terlalu lama. Rosulullah SAW bersabda : "Kalau kalian ingin berjumpa dengan dia (Uwais al-Qarni), perhatikanlah, ia mempunyai tanda putih di tengah-tengah telapak tangannya." Sesudah itu beliau SAW, memandang kepada sayyidina Ali k.w. dan sayyidina Umar r.a. dan bersabda : "Suatu ketika, apabila kalian bertemu dengan dia, mintalah do'a dan istighfarnya, dia adalah penghuni langit dan bukan penghuni bumi".

Tahun terus berjalan, dan tak lama kemudian Nabi SAW wafat, hingga kekhalifahan sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. telah di estafetkan Khalifah Umar r.a. Suatu ketika, khalifah Umar teringat akan sabda Nabi SAW. tentang Uwais al-Qarni, sang penghuni langit. Beliau segera mengingatkan kepada sayyidina Ali k.w. untuk mencarinya bersama. Sejak itu, setiap ada kafilah yang datang dari Yaman, beliau berdua selalu menanyakan tentang Uwais al-Qorni, apakah ia turut bersama mereka. Diantara kafilah-kafilah itu ada yang merasa heran, apakah sebenarnya yang terjadi sampai-sampai ia dicari oleh beliau berdua. Rombongan kafilah dari Yaman menuju Syam silih berganti, membawa barang dagangan mereka.

Suatu ketika, Uwais al-Qorni turut bersama rombongan kafilah menuju kota Madinah. Melihat ada rombongan kafilah yang datang dari Yaman, segera khalifah Umar r.a. dan sayyidina Ali k.w. mendatangi mereka dan menanyakan apakah Uwais turut bersama mereka. Rombongan itu mengatakan bahwa ia ada bersama mereka dan sedang menjaga unta-unta mereka di perbatasan kota. Mendengar jawaban itu, beliau berdua bergegas pergi menemui Uwais al-Qorni. Sesampainya di kemah tempat Uwais berada, Khalifah Umar r.a. dan sayyidina Ali k.w. memberi salam. Namun rupanya Uwais sedang melaksanakan sholat. Setelah mengakhiri shalatnya, Uwais menjawab salam kedua tamu agung tersebut sambil bersalaman. Sewaktu berjabatan, Khalifah Umar segera membalikkan tangan Uwais, untuk membuktikan kebenaran tanda putih yang berada ditelapak tangan Uwais, sebagaimana pernah disabdakan oleh baginda Nabi SAW. Memang benar ! Dia penghuni langit. Dan ditanya Uwais oleh kedua tamu tersebut, siapakah nama saudara ? "Abdullah", jawab Uwais. Mendengar jawaban itu, kedua sahabatpun tertawa dan mengatakan : "Kami juga Abdullah, yakni hamba Allah. Tapi siapakah namamu yang sebenarnya ?" Uwais kemudian berkata: "Nama saya Uwais al-Qorni". Dalam pembicaraan mereka, diketahuilah bahwa ibu Uwais telah meninggal dunia. Itulah sebabnya, ia baru dapat turut bersama rombongan kafilah dagang saat itu. Akhirnya, Khalifah Umar dan Ali k.w. memohon agar Uwais berkenan mendo'akan untuk mereka. Uwais enggan dan dia berkata kepada khalifah: "Sayalah yang harus meminta do'a kepada kalian". Mendengar perkataan Uwais, Khalifah berkata: "Kami datang ke sini untuk mohon do'a dan istighfar dari anda". Karena desakan kedua sahabat ini, Uwais al-Qorni akhirnya mengangkat kedua tangannya, berdo'a dan membacakan istighfar. Setelah itu Khalifah Umar r.a. berjanji untuk menyumbangkan uang negara dari Baitul Mal kepada Uwais, untuk jaminan hidupnya. Segera saja Uwais menolak dengan halus dengan berkata : "Hamba mohon supaya hari ini saja hamba diketahui orang. Untuk hari-hari selanjutnya, biarlah hamba yang fakir ini tidak diketahui orang lagi".

Setelah kejadian itu, nama Uwais kembali tenggelam tak terdengar beritanya. Tapi ada seorang lelaki pernah bertemu dan ditolong oleh Uwais , waktu itu kami sedang berada di atas kapal menuju tanah Arab bersama para pedagang, tanpa disangka-sangka angin topan berhembus dengan kencang. Akibatnya hempasan ombak menghantam kapal kami sehingga air laut masuk ke dalam kapal dan menyebabkan kapal semakin berat. Pada saat itu, kami melihat seorang laki-laki yang mengenakan selimut berbulu di pojok kapal yang kami tumpangi, lalu kami memanggilnya. Lelaki itu keluar dari kapal dan melakukan sholat di atas air. Betapa terkejutnya kami melihat kejadian itu. "Wahai waliyullah," Tolonglah kami !" tetapi lelaki itu tidak menoleh. Lalu kami berseru lagi," Demi Zat yang telah memberimu kekuatan beribadah, tolonglah kami!"Lelaki itu menoleh kepada kami dan berkata: "Apa yang terjadi ?" "Tidakkah engkau melihat bahwa kapal dihembus angin dan dihantam ombak ?"tanya kami. "Dekatkanlah diri kalian pada Allah ! "katanya. "Kami telah melakukannya." "Keluarlah kalian dari kapal dengan membaca bismillahirrohmaanirrohiim!" Kami pun keluar dari kapal satu persatu dan berkumpul di dekat itu. Pada saat itu jumlah kami lima ratus jiwa lebih. Sungguh ajaib, kami semua tidak tenggelam, sedangkan perahu kami berikut isinya tenggelam ke dasar laut. Lalu orang itu berkata pada kami ,"Tak apalah harta kalian menjadi korban asalkan kalian semua selamat". "Demi Allah, kami ingin tahu, siapakah nama Tuan ? "Tanya kami. "Uwais al-Qorni". Jawabnya dengan singkat. Kemudian kami berkata lagi kepadanya, "Sesungguhnya harta yang ada di kapal tersebut adalah milik orang-orang fakir di Madinah yang dikirim oleh orang Mesir." "Jika Allah mengembalikan harta kalian. Apakah kalian akan membagi-bagikannya kepada orang-orang fakir di Madinah?" tanyanya."Ya,"jawab kami. Orang itu pun melaksanakan sholat dua rakaat di atas air, lalu berdo'a. Setelah Uwais al-Qorni mengucap salam, tiba-tiba kapal itu muncul ke permukaan air, lalu kami menumpanginya dan meneruskan perjalanan. Setibanya di Madinah, kami membagi-bagikan seluruh harta kepada orang-orang fakir di Madinah, tidak satupun yang tertinggal.

Beberapa waktu kemudian, tersiar kabar kalau Uwais al-Qorni telah pulang ke rahmatullah. Anehnya, pada saat dia akan dimandikan tiba-tiba sudah banyak orang yang berebutan untuk memandikannya. Dan ketika dibawa ke tempat pembaringan untuk dikafani, di sana sudah ada orang-orang yang menunggu untuk mengkafaninya. Demikian pula ketika orang pergi hendak menggali kuburnya. Di sana ternyata sudah ada orang-orang yang menggali kuburnya hingga selesai. Ketika usungan dibawa menuju ke pekuburan, luar biasa banyaknya orang yang berebutan untuk mengusungnya. Dan Syeikh Abdullah bin Salamah menjelaskan, "ketika aku ikut mengurusi jenazahnya hingga aku pulang dari mengantarkan jenazahnya, lalu aku bermaksud untuk kembali ke tempat penguburannya guna memberi tanda pada kuburannya, akan tetapi sudah tak terlihat ada bekas kuburannya. (Syeikh Abdullah bin Salamah adalah orang yang pernah ikut berperang bersama Uwais al-Qorni pada masa pemerintahan sayyidina Umar r.a.)

Meninggalnya Uwais al-Qorni telah menggemparkan masyarakat kota Yaman. Banyak terjadi hal-hal yang amat mengherankan. Sedemikian banyaknya orang yang tak dikenal berdatangan untuk mengurus jenazah dan pemakamannya, padahal Uwais adalah seorang fakir yang tak dihiraukan orang. Sejak ia dimandikan sampai ketika jenazahnya hendak diturunkan ke dalam kubur, di situ selalu ada orang-orang yang telah siap melaksanakannya terlebih dahulu. Penduduk kota Yaman tercengang. Mereka saling bertanya-tanya : "Siapakah sebenarnya engkau wahai Uwais al-Qorni ? Bukankah Uwais yang kita kenal, hanyalah seorang fakir yang tak memiliki apa-apa, yang kerjanya hanyalah sebagai penggembala domba dan unta ? Tapi, ketika hari wafatmu, engkau telah menggemparkan penduduk Yaman dengan hadirnya manusia-manusia asing yang tidak pernah kami kenal. Mereka datang dalam jumlah sedemikian banyaknya. Agaknya mereka adalah para malaikat yang di turunkan ke bumi, hanya untuk mengurus jenazah dan pemakamannya. Baru saat itulah penduduk Yaman mengetahuinya siapa "Uwais al-Qorni" ternyata ia tak terkenal di bumi tapi terkenal di langit.

Nenek Yang Rindu Rasulullah Saw


Dahulu di sebuah kota di Madura, ada seorang nenek tua penjual bunga cempaka. Ia menjual bunganya di pasar, setelah berjalan kaki cukup jauh. Usai jualan, ia pergi ke masjid Agung di kota itu. Ia berwudhu, masuk masjid, dan melakukan salat Zhuhur. Setelah membaca wirid sekedarnya, ia keluar masjid dan membungkuk-bungkuk di halaman masjid. Ia mengumpulkan dedaunan yang berceceran di halaman masjid. Selembar demi selembar dikaisnya. Tidak satu lembar pun ia lewatkan. Tentu saja agak lama ia membersihkan halaman masjid dengan cara itu. Padahal matahari Madura di siang hari sungguh menyengat. Keringatnya membasahi seluruh tubuhnya.
Banyak pengunjung masjid jatuh iba kepadanya. Pada suatu hari Takmir masjid memutuskan untuk membersihkan dedaunan itu sebelum perempuan tua itu datang. Pada hari itu, ia datang dan langsung masuk masjid. Usai salat, ketika ia ingin melakukan pekerjaan rutinnya, ia terkejut. Tidak ada satu pun daun terserak di situ. Ia kembali lagi ke masjid dan menangis dengan keras. Ia mempertanyakan mengapa daun-daun itu sudah disapukan sebelum kedatangannya. Orang-orang menjelaskan bahwa mereka kasihan kepadanya. “Jika kalian kasihan kepadaku,” kata nenek itu, “Berikan kesempatan kepadaku untuk membersihkannya.”
Singkat cerita, nenek itu dibiarkan mengumpulkan dedaunan itu seperti biasa. Seorang kiai terhormat diminta untuk menanyakan kepada perempuan itu mengapa ia begitu bersemangat membersihkan dedaunan itu. Perempuan tua itu mau menjelaskan sebabnya dengan dua syarat: pertama, hanya Kiai yang mendengarkan rahasianya; kedua, rahasia itu tidak boleh disebarkan ketika ia masih hidup. Sekarang ia sudah meninggal dunia, dan Anda dapat mendengarkan rahasia itu.
“Saya ini perempuan bodoh, pak Kiai,” tuturnya. “Saya tahu amal-amal saya yang kecil itu mungkin juga tidak benar saya jalankan. Saya tidak mungkin selamat pada hari akhirat tanpa syafaat Kanjeng Nabi Muhammad. Setiap kali saya mengambil selembar daun, saya ucapkan satu salawat kepada Rasulullah. Kelak jika saya mati, saya ingin Kanjeng Nabi menjemput saya. Biarlah semua daun itu bersaksi bahwa saya membacakan salawat kepadanya.”
Kisah ini saya dengar dari Kiai Madura, D. Zawawi Imran, membuat bulu kuduk saya merinding. Perempuan tua dari kampung itu bukan saja mengungkapkan cinta Rasul dalam bentuknya yang tulus. Ia juga menunjukkan kerendahan hati, kehinaan diri, dan keterbatasan amal dihadapan Alloh swt. Lebih dari itu, ia juga memiliki kesadaran spiritual yang luhur: Ia tidak dapat mengandalkan amalnya. Ia sangat bergantung pada rahmat Alloh. Dan siapa lagi yang menjadi rahmat semua alam selain Rasululloh saw.

Sang Muazdin Pertama Bilal Bin Rabah

Saat umat Islam masih berjumlah sekian orang serta kekejaman yang diterima kaum Muslim, seorang budak berkulit kelam bertekad bulat dan mengikrarkan diri beriman kepada Allah SWT. Nama lengkapnya Bilal bin Rabah Al-Habasyi. Ia berasal dari negeri Habasyah, sekarang Ethiopia. Ia biasa dipanggil Abu Abdillah dan digelari Muadzdzin Ar-Rasul. Bilal lahir di daerah as-Sarah sekitar 43 tahun sebelum hijrah. Ia berpostur tinggi, kurus, warna kulitnya cokelat, pelipisnya tipis, dan rambutnya lebat.
Ibunya adalah hamba sahaya (budak) milik Umayyah bin Khalaf dari Bani Jumuh. Bilal menjadi budak mereka hingga akhirnya ia mendengar tentang Islam. Lalu, ia menemui Rasulullah SAW dan mengikrarkan diri masuk Islam. Ia merupakan kalangan sahabat Rasulullah yang berasal dari non-Arab.
Dalam Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah karya Syekh Muhammad Sa’id Mursi, dipaparkan bahwa Umayyah bin Khalaf pernah menyiksa dan membiarkannya di jemur di tengah gurun pasir selama beberapa hari. Di perutnya, diikat sebuah batu besar dan lehernya diikat dengan tali. Lalu, orang-orang kafir menyuruh anak-anak mereka untuk menyeretnya di antara perbukitan Makkah.
Saat berada dalam siksaan itu, tiada yang diminta Bilal kepada para penyiksanya, kecuali hanya memohon kepada Allah. Berkali-kali Umayyah bin Khalaf menyiksa dan memintanya agar meninggalkan agama yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Namun, Bilal tetap teguh pendirian.
Ia selalu mengucapkan, “Ahad-Ahad.” Ia menolak mengucapkan kata kufur (mengingkari Allah). Abu Bakar as-Sidiq lalu memerdekakannya. Umar bin Khattab berujar, “Abu Bakar adalah seorang pemimpin (sayyid) kami dan dia telah memerdekakan seorang pemimpin (sayyid) kami.”
Setelah merdeka, Bilal mengabdikan diri untuk Allah dan Rasul-Nya. Ke mana pun Rasul SAW pergi, Bilal senantiasa berada di samping Rasulullah. Karena itu pula, para sahabat Nabi SAW sangat menghormati dan memuliakan Bilal, sebagaimana mereka memuliakan dan menghormati Rasulullah SAW.

Azan pertama

Saat Rasulullah SAW berhijrah ke Madinah, Bilal pun turut serta bersama kaum Muslim lainnya. Ketika Masjid Nabawi selesai dibangun, Rasulullah SAW mensyariatkan azan. Rasulullah SAW kemudian menunjuk Bilal untuk mengumandangkan azan karena ia memiliki suara yang merdu. Lalu, Bilal mengumandangkan azan sebagai pertanda dilaksanakannya shalat lima waktu. Sejak saat itu, Bilal mendapat julukan sebagai Muadzdzin ar-Rasul dan ia menjadi muazin pertama dalam sejarah Islam.
Setelah sekian lama tinggal di Madinah, Bilal senantiasa menjadi pengumandang azan. Biasanya, setelah mengumandangkan azan, Bilal berdiri di depan pintu rumah Rasulullah SAW seraya berseru, “Hayya ‘alashshalaati hayya ‘alashshalaati (Mari melaksanakan shalat, mari meraih keuntungan).” Lalu, ketika Rasulullah SAW keluar dari rumah dan Bilal melihatnya, ia segera melantunkan iqamat sebagai tanda shalat berjamaah akan segera dimulai.
Ketika menaklukkan Kota Makkah (Fathu Makkah), Rasulullah SAW berjalan di depan pasukan Muslim bersama Bilal. Saat masuk Ka’bah, beliau hanya ditemani oleh tiga orang sahabat, yaitu Utsman bin Thalhah, Usamah bin Zaid, dan Bilal bin Rabah.
Tak lama kemudian, waktu shalat Zuhur pun tiba. Ribuan orang berkumpul di sekitar Rasulullah SAW, termasuk orang-orang kafir Quraisy yang baru masuk Islam saat itu. Pada saat-saat yang sangat bersejarah itu, Rasulullah SAW memanggil Bilal agar naik ke atap Ka’bah untuk mengumandangkan azan.
Tanpa menunggu perintah kedua, Bilal segera beranjak dan melaksanakan perintah tersebut dengan senang hati. Ia pun mengumandangkan azan dengan suaranya yang bersih dan jelas. Orang-orang semakin banyak berkumpul. Azan yang dikumandangkan Bilal itu merupakan azan pertama di Makkah.
Ribuan pasang mata memandang Bilal dan ribuan lidah mengikuti kalimat azan yang dikumandangkannya.
Sejak saat itu, Bilal pun terkenal sebagai muazin Rasul. Bahkan, ia menjadi muazin tetap saat Rasul masih hidup. Tidak ada orang lain yang menggantikan Bilal. Yang lain pun tak keberatan Bilal melakukannya.
Namun, saat Rasul SAW wafat dan ketika shalat akan dikumandangkan, Bilal pun segera berdiri untuk melaksanakan kewajibannya. Saat itu, jasad Rasulullah SAW masih terbungkus kain kafan dan belum dikebumikan.
Maka, ketika Bilal sampai pada kalimat, “Asyhadu anna Muhammadar Rasuulullaahi (Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah),” tiba-tiba suaranya terhenti. Bilal menangis. Ia tidak sanggup mengangkat suaranya lagi. Bilal merasakan betapa sedihnya ditinggalkan oleh manusia yang paling dicintainya. Tak hanya kaum Muslim, Allah pun mencintai Rasulullah SAW. Seperti dikomando, tangisan Bilal itu diiringi oleh kaum Muslim yang hadir. Mereka semua menangis karena ditinggal pergi sang kekasih.
Dalam Shuwar min Hayaatis Shahabah karya Dr Abdurrahman Ra’fat Basya, dipaparkan bahwa sejak kepergian Rasulullah SAW, Bilal hanya sanggup mengumandangkan azan selama tiga hari. Setiap sampai kepada kalimat, “Asyhadu anna muhammadan rasuulullaahi,” ia langsung menangis tersedu-sedu. Begitu pula kaum Muslim yang mendengarnya, larut dalam tangisan pilu.
Kemudian, Bilal mendatangi Abu Bakar as-Sidiq, yang menggantikan posisi Rasulullah SAW sebagai pemimpin umat Islam, agar dia diperkenankan untuk tidak mengumandangkan azan lagi. Ia seakan tidak sanggup melakukannya. Permohonan itu pun dikabulkan Abu Bakar. Sejak saat itu, Bilal tak pernah lagi menjadi muazin bagi seseorang.
Pernah Bilal melakukannya ketika Khalifah Umar mengunjunginya di Damaskus. Namun, itu pun hanya sampai kalimat, “Asyhadu anna Muhammadar Rasuluullaahi.” Ia lagi-lagi menangis mengingat Rasulullah SAW. Bahkan, Umar pun turut menangis. Azan yang dikumandangkan Bilal mengingatkan Umar ketika bersama-sama dengan Rasulullah SAW, orang yang paling dicintainya.

Tak Pernah Meninggalkan Wudhu
Nama Bilal memang kerap dikaitkan dengan azan. Sebab, dia adalah orang pertama yang menjadi muazin pada zaman Rasul SAW. Namun, kemuliaan Bilal tak hanya karena azannya, jejak langkah Bilal pernah didengar Rasulullah SAW di dalam surga. Sebuah penghargaan yang sangat tinggi bagi setiap orang yang beriman.
Suatu hari, pada waktu Subuh, Rasulullah SAW berbincang-bincang dengan Bilal bin Rabah. Rasul berkata, “Wahai, Bilal, ceritakanlah kepadaku mengenai amalan yang menurutmu paling besar pahalanya, yang pernah kamu kerjakan dalam Islam. Sesungguhnya, aku pernah mendengar suara telapak langkah (jalan)-mu di hadapanku di surga.”
Bilal menjawab, “Wahai, Rasulullah, sesungguhnya aku tidak pernah mengerjakan amalan yang menurutku besar pahalanya, tapi aku tidak wudhu pada waktu malam dan siang, melainkan aku akan menunaikan shalat yang diwajibkan bagiku untuk mengerjakannya.”
Jadi, setiap selesai melaksanakan wudhu, Bilal senantiasa melakukan shalat dua rakaat, yakni shalat sunat wudhu. Perbuatan itu senantiasa dilakukannya dalam setiap kesempatan. Selain itu, ia juga termasuk orang yang senantiasa memelihara (dawam) wudhu, yakni setiap batal, dia akan langsung berwudhu.
Semasa hidupnya, Bilal telah meriwayatkan 44 hadis dari Nabi SAW. Di antaranya, Rasulullah bersabda, “Hendaklah kalian menunaikan shalat malam (tahajud) karena shalat malam adalah tradisi (kebiasaan) orang-orang saleh sebelum kalian. Sesungguhnya, shalat malam adalah amalan yang dapat mendekatkan diri kepada Allah, dapat mencegah dari perbuatan dosa, mengampuni dosa-dosa kecil, dan menghilangkan penyakit dari badan.” (HR Tirmidzi).
Selain sebagai muazin, Bilal juga pernah menjabat sebagai bendahara Rasulullah di baitul mal. Ia tidak pernah absen mengikuti semua peperangan bersama Rasulullah. Tentang Bilal, Rasulullah SAW mengatakan, “Bilal adalah seorang penunggang kuda yang hebat dari kalangan Habasyah.” (HR Ibnu Abi Syaibah dan Ibn Asakir).
Bilal meninggal dunia di Damaskus pada 20 H. Jasadnya dimakamkan di sana. Namun, ada riwayat yang menyebutkan bahwa jasad Bilal dimakamkan di wilayah Halb.

Mengenang Akhlak Nabi Muhammad SAW


Setelah Nabi wafat, seketika itu pula kota Madinah bising dengan tangisan ummat Islam; antara percaya – tidak percaya, Rasul Yang Mulia telah meninggalkan para sahabat. Beberapa waktu kemudian, seorang arab badui menemui Umar dan dia meminta, “Ceritakan padaku akhlak Muhammad!”. Umar menangis mendengar permintaan itu. Ia tak sanggup berkata apa-apa. Ia menyuruh Arab badui tersebut menemui Bilal. Setelah ditemui dan diajukan permintaan yang sama, Bilal pun menangis, ia tak sanggup menceritakan apapun. Bilal hanya dapat menyuruh orang tersebut menjumpai Ali bin Abi Thalib.

Orang Badui ini mulai heran. Bukankah Umar merupakan seorang sahabat senior Nabi, begitu pula Bilal, bukankah ia merupakan sahabat setia Nabi. Mengapa mereka tak sanggup menceritakan akhlak Muhammad. Dengan berharap-harap cemas, Badui ini menemui Ali. Ali dengan linangan air mata berkata, “Ceritakan padaku keindahan dunia ini!.” Badui ini menjawab, “Bagaimana mungkin aku dapat menceritakan segala keindahan dunia ini…” Ali menjawab, “Engkau tak sanggup menceritakan keindahan dunia padahal Allah telah berfirman bahwa sungguh dunia ini kecil dan hanyalah senda gurau belaka, lalu bagaimana aku dapat melukiskan akhlak Muhammad, sedangkan Allah telah berfirman bahwa sungguh Muhammad memiliki budi pekerti yang agung! (QS. Al-Qalam[68]: 4)”

Badui ini lalu menemui Siti Aisyah r.a. Isteri Nabi yang sering disapa “Khumairah” oleh Nabi ini hanya menjawab, khuluquhu al-Qur’an (Akhlaknya Muhammad itu Al-Qur’an). Seakan-akan Aisyah ingin mengatakan bahwa Nabi itu bagaikan Al-Qur’an berjalan. Badui ini tidak puas, bagaimana bisa ia segera menangkap akhlak Nabi kalau ia harus melihat ke seluruh kandungan Qur’an. Aisyah akhirnya menyarankan Badui ini untuk membaca dan menyimak QS Al-Mu’minun[23]: 1-11.

Ketika ditanya, bagaimana perilaku Nabi, Aisyah hanya menjawab, “ah semua perilakunya indah.” Ketika didesak lagi, Aisyah baru bercerita saat terindah baginya, sebagai seorang isteri. “Ketika aku sudah berada di tempat tidur dan kami sudah masuk dalam selimut, dan kulit kami sudah bersentuhan, suamiku berkata, ‘Ya Aisyah, izinkan aku untuk menghadap Tuhanku terlebih dahulu.’” Apalagi yang dapat lebih membahagiakan seorang isteri, karena dalam sejumput episode tersebut terkumpul kasih sayang, kebersamaan, perhatian dan rasa hormat dari seorang suami, yang juga seorang utusan Allah.

Nabi Muhammad jugalah yang membikin khawatir hati Aisyah ketika menjelang subuh Aisyah tidak mendapati suaminya disampingnya. Aisyah keluar membuka pintu rumah. terkejut ia bukan kepalang, melihat suaminya tidur di depan pintu. Aisyah berkata, “Mengapa engkau tidur di sini?” Nabi Muhammmad menjawab, “Aku pulang sudah larut malam, aku khawatir mengganggu tidurmu sehingga aku tidak mengetuk pintu. itulah sebabnya aku tidur di depan pintu.” Mari berkaca di diri kita masing-masing. Bagaimana perilaku kita terhadap isteri kita? Nabi mengingatkan, “berhati-hatilah kamu terhadap isterimu, karena sungguh kamu akan ditanya di hari akhir tentangnya.” Para sahabat pada masa Nabi memperlakukan isteri mereka dengan hormat, mereka takut kalau wahyu turun dan mengecam mereka.

Bagi sahabat yang lain, fragmen yang paling indah ketika sahabat tersebut terlambat datang ke Majelis Nabi. Tempat sudah penuh sesak. Ia minta izin untuk mendapat tempat, namun sahabat yang lain tak ada yang mau memberinya tempat. Di tengah kebingungannya, Rasul memanggilnya. Rasul memintanya duduk di dekatnya. Tidak cukup dengan itu, Rasul pun melipat sorbannya lalu diberikan pada sahabat tersebut untuk dijadikan alas tempat duduk. Sahabat tersebut dengan berlinangan air mata, menerima sorban tersebut namun tidak menjadikannya alas duduk akan tetapi mencium sorban Nabi.

Nabi Muhammad juga terkenal suka memuji sahabatnya. Kalau kita baca kitab-kitab hadis, kita akan kebingungan menentukan siapa sahabat yang paling utama. Terhadap Abu Bakar, Rasul selalu memujinya. Abu Bakar-lah yang menemani Rasul ketika hijrah. Abu Bakarlah yang diminta menjadi Imam ketika Rasul sakit. Tentang Umar, Rasul pernah berkata, “Syetan saja takut dengan Umar, bila Umar lewat jalan yang satu, maka Syetan lewat jalan yang lain.” Dalam riwayat lain disebutkan, “Nabi bermimpi meminum susu. Belum habis satu gelas, Nabi memberikannya pada Umar yang meminumnya sampai habis. Para sahabat bertanya, Ya Rasul apa maksud (ta’wil) mimpimu itu? Rasul menjawab ilmu pengetahuan.”

Tentang Utsman, Rasul sangat menghargai Ustman karena itu Utsman menikahi dua putri nabi, hingga Utsman dijuluki dzu an-Nurain (pemilik dua cahaya). Mengenai Ali, Rasul bukan saja menjadikannya ia menantu, tetapi banyak sekali riwayat yang menyebutkan keutamaan Ali. “Aku ini kota ilmu, dan Ali adalah pintunya.” “Barang siapa membenci Ali, maka ia merupakan orang munafik.”

Ada seorang ulama yang mengatakan bahwa Allah pun sangat menghormati Nabi Muhammad. Buktinya, dalam Al-Qur’an Allah memanggil para Nabi dengan sebutan nama: Musa, Ayyub, Zakaria, dll. tetapi ketika memanggil Nabi Muhammad, Allah menyapanya dengan “Wahai Nabi”. Ternyata Allah saja sangat menghormati beliau.

Para sahabatpun ditegur oleh Allah ketika mereka berlaku tak sopan pada Nabi. Alkisah, rombongan Bani Tamim menghadap rasul. Mereka ingin Rasul menunjuk pemimpin buat mereka. Sebelum Nabi memutuskan siapa, Abu Bakar berkata: “Angkat Al-Qa’qa bin Ma’bad sebagai pemimpin.” Kata Umar, “Tidak, angkatlah Al-Aqra’ bin Habis.” Abu Bakar berkata ke Umar, “Kamu hanya ingin membantah aku saja,” Umar menjawab, “Aku tidak bermaksud membantahmu.” Keduanya berbantahan sehingga suara mereka terdengar makin keras. Waktu itu turunlah ayat: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya. Takutlah kamu kepada Allah. Sesungguhnya Allah maha Mendengar dan maha Mengetahui. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menaikkan suaramu di atas suara Nabi. janganlah kamu mengeraskan suara kamu dalam percakapan dengan dia seperti mengeraskan suara kamu ketika bercakap sesama kamu. Nanti hapus amal-amal kamu dan kamu tidak menyadarinya (al-hujurat 1-2)

Setelah mendengar teguran itu Abu Bakar berkata, “Ya Rasul Allah, demi Allah, sejak sekarang aku tidak akan berbicara denganmu kecuali seperti seorang saudara yang membisikkan rahasia.” Umar juga berbicara kepada Nabi dengan suara yang lembut. Bahkan konon kabarnya setelah peristiwa itu Umar banyak sekali bersedekah, karena takut amal yang lalu telah terhapus. Para sahabat Nabi takut akan terhapus amal mereka karena melanggar etika berhadapan dengan Nabi.

Dalam satu kesempatan lain, ketika di Mekkah, Nabi didatangi utusan pembesar Quraisy, Utbah bin Rabi’ah. Ia berkata pada Nabi, “Wahai kemenakanku, kau datang membawa agama baru, apa yang sebetulnya kau kehendaki. Jika kau kehendaki harta, akan kami kumpulkan kekayaan kami, Jika kau inginkan kemuliaan akan kami muliakan engkau. Jika ada sesuatu penyakit yang dideritamu, akan kami carikan obat. Jika kau inginkan kekuasaan, biar kami jadikan engkau penguasa kami”

Nabi mendengar dengan sabar uraian tokoh musyrik ini. Tidak sekalipun beliau membantah atau memotong pembicaraannya. Ketika Utbah berhenti, Nabi bertanya, “Sudah selesaikah, Ya Abal Walid?” “Sudah.” kata Utbah. Nabi membalas ucapan utbah dengan membaca surat Fushilat. Ketika sampai pada ayat sajdah, Nabi bersujud. Sementara itu Utbah duduk mendengarkan Nabi sampai menyelesaikan bacaannya.

Ketika Nabi tiba di Madinah dalam hijrah, ada utusan kafir Mekkah yang meminta janji Nabi bahwa Nabi akan mengembalikan siapapun yang pergi ke Madinah setelah perginya Nabi. Selang beberapa waktu kemudian. Seorang sahabat rupanya tertinggal di belakang Nabi. Sahabat ini meninggalkan isterinya, anaknya dan hartanya. Dengan terengah-engah menembus padang pasir, akhirnya ia sampai di Madinah. Dengan perasaan haru ia segera menemui Nabi dan melaporkan kedatangannya. Apa jawab Nabi? “Kembalilah engkau ke Mekkah. Sungguh aku telah terikat perjanjian. Semoga Allah melindungimu.” Sahabat ini menangis keras. Bagi Nabi janji adalah suatu yang sangat agung. Meskipun Nabi merasakan bagaimana besarnya pengorbanan sahabat ini untuk berhijrah, bagi Nabi janji adalah janji, bahkan meskipun janji itu diucapkan kepada orang kafir.

Nabi Muhammad ketika saat haji Wada’, di padang Arafah yang terik, dalam keadaan sakit, masih menyempatkan diri berpidato. Di akhir pidatonya itu Nabi dengan dibalut sorban dan tubuh yang menggigil berkata, “Nanti di hari pembalasan, kalian akan ditanya oleh Allah apa yang telah aku, sebagai Nabi, perbuat pada kalian. Jika kalian ditanya nanti, apa jawaban kalian?” Para sahabat terdiam dan mulai banyak yang meneteskan air mata. Nabi melanjutkan, “Bukankah telah kujalani hari-hari bersama kalian dengan lapar, bukankah telah kutaruh beberapa batu diperutku karena menahan lapar bersama kalian, bukankah aku telah bersabar menghadapi kejahilan kalian, bukankah telah ku sampaikan pada kalian wahyu dari Allah…?” Untuk semua pertanyaan itu, para sahabat menjawab, “benar ya Rasul!”

Rasul pun mendongakkan kepalanya ke atas, dan berkata, “Ya Allah saksikanlah…Ya Allah saksikanlah…Ya Allah saksikanlah!”. Nabi meminta kesaksian Allah bahwa Nabi telah menjalankan tugasnya.

Rabu, 20 November 2013

Sepuluh Mukjizat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam


1. Al-Quran Al-Karim
Merupakan mukjizat terbesar yang menunjukkan kebenaran ajaran beliau, Al-Islam, yang diturunkan oleh Allah.
2. Air memancar dari sela-sela jemari
Sebuah wadah air pernah disodorkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mencelupkan tangannya ke dalam wadah air itu. Maka, air memancar dari sela-sela jemari tangan beliau. Dengan air itu, para sahabat berwudhu. Jumlah mereka waktu itu adalah 300 orang. (HR. Al-Bukhari, no. 3572)
3. Makanan sedikit cukup untuk orang banyak
Suatu ketika, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terlihat lemas karena menahan lapar. Abu Thalhah yang mendengar hal itu akhirnya menemui istrinya. Abu Thalhah dan istrinya berniat mengundang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk makan.
Singkat cerita, Abu Thalhah dan istrinya hanya memiliki makanan yang sedikit. Namun ternyata Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajak banyak sahabat untuk ikut makan ke rumah Abu Thalhah. Abu Thalhah menjadi cemas; makanan sedikit apakah cukup untuk menjamu tamu sebanyak itu?
Akhirnya, Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam dan shahabat-shahabatnya tiba di rumah Abu Thalhah. Sebelum acara makan dimulai, Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan makanan yang dihidangkan. Setelah itu para tamu diminta makan bergantian. Yang pertama makan adalah 10 sahabat. Lalu, 10 sahabat berikutnya, kemudian 10 sahabat berikutnya, dan seteruny.
Akhirnya semua sahabat yang datang itu makan sampai kenyang, sedangkan jumlah mereka waktu itu 70 atau 80 orang. Setelah itu, barulah Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam dan keluarga Tholhah makan hingga kenyang pula. (Sumber: H.r. Al-Bukhari, no. 3385; Muslim, no. 2040)
4. Segelas susu mengenyangkan banyak orang
Abu Hurairah adalah shahabat Nabi yang sangat miskin tetapi amat banyak ilmunya dan kuat hafalannya. Dia sering mengalami kelaparan.
Pada suatu hari ketika Abu Hurairah sednag duduk di jalan, Nabi  shallallahu ‘alaihi wa sallam melewatinya dan tersenyum melihatnya. Beliau sangat mengerti akan penderitaan Abu Hurairah. Karenanya, berkatalah Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Yaa Aba Hirr!” Abu Hurairah menjawab, “Labbaika, yaa Rasulullah (aku datang memenuhi panggilanmu, wahai Rasulullah).” beliau berkata, “Ikutilah aku!”
Maka Abu Hurairah mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai ke rumahnya. Kemudian beliau mengizinkannya masuk. Di sana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menemukan segelas susu. Beliau bertanya kepada istrinya, “Dari mana susu ini?” Istrinya menjawab, “Dari Fulan, ia menghadiahkannya untukmu.” Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian memanggil Abu Hurairah, “Yaa Aba Hirr!” “Labbaika, yaa Rasulullah,” jawabnya. “Pergilah dan panggil ahlush shuffah.”
Ahlush shuffah adalah sekumpulan sahabat yang tinggal di masjid Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam karena tidak punya harta dan keluarga (di kota Madinah, red.). Abu Hurairah merasa berhak mendapat seteguk lebih dahulu agar kekuatannya yang hilang bisa kembali. Nanti, jika ahlush shuffah datang, tentu Abu Hurairah yang akan melayani mreka. Ia khawatir jika tidak kebagian.
Namun Abu Hurairah tidak mau menentang perintah Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, Abu Hurairah segera memanggil ahlush shuffah. Mereka pun datang ke rumah Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil Abu Hurairah, “Yaa Aba Hirr!” “Labbaika, yaa Rasulullah.” “Terimalah ini dan bagikan kepada mereka!” Maka Abu Hurairah memberikan gelas berisi susu itu kepada orang pertama. Orang itu meminumnnya sampai puas.
Kemudian gelas tersebut dikembalikan kepada Abu Hurairah. Lalu diberikan lagi kepada orang kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya hingga semua merasa puas. Sungguh menakjubkan! Gelas itu pun diterima kembali oleh Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam.  Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian tersenyum kepada Abu Hurairah dan berkata, “Yaa Aba Hirr!” “Labbaika, yaa Rasulullah.” Sekarang tinggal aku dan kamu.” “Benar, wahai Rasulllah.” “Duduklah dan minum!”
Maka Abu Hurairah duduk dan minum.  Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam terus memerintahkannya minum sampai Abu Hurairah berkata, “Demi Allah yang mengutusmu dengan kebenaran, sudah tidak ada tempat lagi dalam perutku.” Kemudian  Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Beirkan kepadaku gelas itu.” Bleiau memuji Allah dan bersyukur lalu membaca, “Bismillah,” dan meminum sisa susu itu. (Sumber: H.r. Al-Bukhari, no. 6087)
5. Doa minta hujan yang langsung dikabulkan
Pada suatu hari, ketika  Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berkhutbah Jumat, berdirilah seseorang minta didoakan agar turun hujan. Waktu itu kekeringan sedang melanda. Maka  Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa. Seketika itu pula, turunlah hujan deras terus-menerus, sampai hari Jumat berikutnya
Akhirnya ada seorang lelaki yang mengadu kepada Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa rumah-rumah telah rusak akibat hujan deras terus-menerus. Maka  Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam  berdoa agar hujan dialihkan ke sekeliling kota Madinah, jangan menimpa kota Madinah. Maka awan-awan yang bergerak di atas kota Madinah pun segera bergerak, tidak lagi berada di atas kota Madinah tetapi berada di pinggir kota Madinah. (Sumber: HR. Al-Bukahari, no. 3582)
6. Pemberitahuan hal-hal gaib yang terbukti terjadi
Di antaranya:
  • Berita dari  Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa kelak Kerajaan Persia dan Romawi akan dikalahkan oleh kaum muslimin. Selain itu, harta simpanan Persia dan Romawi akan dimiliki oleh muslimin. (H.r. Al-Bukharu, no. 3618 dan 3619)
  • Berita dari  Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa sepeninggal beliau akan muncul dua nabi palsu.(H.r. Al-Bukuhari, no. 36211). Dua nabi palsu tersebut adalah Musailamah Al-Kadzdzab dan Al-Aswad Al-Ansi.
  • Ketiak terjadi Perang Mu’tah, komandan pasukan perang yang ditunjuk  Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memimpin pasukan muslimin terbunuh. Yang pertama terbunuh adalah Zai bin Haritsah. Setelah Zaid terbunuh, komnadan pasukan digantikan oleh Ja’far bin Abi Thalib. Kemudian, Ja’far bin Abi Thalib juga terbunuh. Sebelum kematian dua komandan itu sampai ke Madinah,  Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberitakan kematian Zaid bin haritsah dan Ja’far bin Abi Thalib kepada para shahabatnya. Inilah salah satu mukjizat  Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam; Allah beri wahyu kepada beliau tentang berita gaib. (Sumber: H.r. Al-Bukhari,  no. 3630)
7. Terbelahnya bulan menjadi dua
Pada zaman  Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam bulan terbelah menjadi dua. Orang-orang kafir Mekkah ikut menyaksikannya. (Sumber: H.r. Al-Bukhari,  no. 3636, 3637, dan 3638)
Orang kafir Mekkah memnita bukti kenabian Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam maka Allah tunjukkan dengan terbelahnya bulan menjadi dua.
8. Mengobati sakit mata, Allah sembuhkan dalam seketika
Sebelum penaklukan Benteng Khaibar, Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjuk Ali bin Abi Thalib sebagai pemegang bendera pasukan. Waktu itu, Ali menderita sakit mata. Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil Ali dan meludahi mata Ali yang sakit. Sekteika, mata Ali yang sakit itu menjadi sembuh seolah-olah tak pernah sakit mata. (Sumber: Ar-Rahiqul Makhtum, hlm. 376—378)
9. Akan selalu ada yang tampil membela ajarannya
Berita dari Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam: akan selalu ada sekelompok umatnya yang selalu menampakkan kebenaran Islam dan membelanya. (Sumber: H.r. Al-Bukhari, no. 3640—3641)
10. Air sedikit menjadi banyak
Dalam sebuah perjalanan,  Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya keabisan bekal air. Padahal waktu itu air berjarak jauh dari mereka. Lalu mereka bertemu seorang wanita yang membawa sedikit air. Lalu  Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap kantung air milik wanita tersebut. Kemudian para shahabat yang kehausan itu minum. Jumlah mereka ada 40 orang. Stelah puas minum, mreka mengisi kantung air masing-masing sampai penuh juga. (H.r. Al-Bukhari, no. 3571)