Ibrahim
Bin Adham Dan Pengembaraannya Mencari Allah
Dia adalah raja
di Balkh satu wilayah yang masuk dalam kerajaan Khurasan, menggantikan ayahnya
yang baru mangkat. Sebagaimana umumnya kehidupan para raja, Ibrahim bin Adham
juga bergelimang kemewahan. Hidup dalam istana megah berhias permata, emas, dan
perak. Setiap kali keluar istana ia selalu di kawal 80 orang pengawal. 40 orang
berada di depan dan 40 orang berada di belakang, semua lengkap dengan pedang
yang terbuat dari baja yang berlapis emas.
Suatu malam, ketika sedang terlelap tidur di atas dipannya, tiba tiba ia dikejutkan oleh suara langkah kaki dari atas genteng, seperti seseorang yang hendak mencuri.
Suatu malam, ketika sedang terlelap tidur di atas dipannya, tiba tiba ia dikejutkan oleh suara langkah kaki dari atas genteng, seperti seseorang yang hendak mencuri.
Ibrahim
menegur orang itu,"Apa yang tengah kamu lakukan di atas sana?"
Orang itu
menjawab, "Saya sedang mencari ontaku yang hilang."
"Apa
kamu sudah gila, mencari onta di atas genteng," sergahnya.
Namun
orang itu balik menyerang, "Tuan yang gila, karena tuan mencari Allah di
istana." Jawabannya membuat Ibrahim tersentak, tidak menyangka akan
mendapat jawaban seperti itu. Ia gelisah, kedua matanya tidak dapat terpejam,
terus menerus menerawang merenungi kebenaran kata kata itu. Hingga adzan Shubuh
berkumandang Ia tetap terjaga. Esok harinya, keadaannya tidak berubah. la
gelisah, murung, dan sering menyendiri. la terus mencari jawaban di balik
peristiwa malam itu.
Karena tidak menemukan jawabannya, sementara kegelisahan hatinya semakin berkecamuk, ia mengajak prajuritnya berburu ke hutan, dengan harapan beban di kepalanya sedikin berkurang.
Karena tidak menemukan jawabannya, sementara kegelisahan hatinya semakin berkecamuk, ia mengajak prajuritnya berburu ke hutan, dengan harapan beban di kepalanya sedikin berkurang.
Akan
tetapi sepertinya masalah itu terlalu berat baginya, sehingga tanpa disadarl
kuda tunggangan yang ia pacu sejak tadi telah jauh meninggalkan prajuritnya, ia
terpisah dari mereka, jauh ke dalam hutan, menerobos rimbunnya pepohonan tembus
ke satu padang rumput yang luas. Kalau saja ia tidak terjatuh bersama kudanya,
mungkin ia tidak berhenti.
Ketika ia
berusaha bangun, tiba tiba seekor rusa melintas di depannya. Segera ia bangkit,
menghela kudanya dengan cepat sambil mengarahkan tombaknya ke tubuh buruannya.
Tetapi saat dia hendak melemparkan tombaknya, ia mendengar bisikan keras seolah
memanggil dirinya, "Wahai Ibrahim, bukan untuk itu (berburu) kamu
diciptakan dan bukan kepada hal itu pula kamu diperintahkan!"
Namun Ibrahim terus berlari sambil melihat kiri kanan, tapi tak seorang pun di sana, lalu ia berucap, "Semoga Allah memberikan kutukan kepada Iblis!"
Namun Ibrahim terus berlari sambil melihat kiri kanan, tapi tak seorang pun di sana, lalu ia berucap, "Semoga Allah memberikan kutukan kepada Iblis!"
Dia pacu
kembali kudanya. Namun, lagi-lagi teguran itu datang. Hingga tiga kali. la lalu
berhenti dan berkata, "Apakah itu sebuah peringatan dari Mu? Telah datang
kepadaku sebuah peringatan dari Allah, Tuhan semesta alam. Demi Allah,
seandainya Dia tidak memberikan perlindungan kepadaku saat ini, pada hari hari
yang akan datang aku akan selalu berbuat durhaka kepada Nyal"
Setelah itu, ia menghampiri seorang penggembala kambing yang ada tidak jauh dari tempat itu. Lalu memintanya untuk menukar pakaiannya dengan pakaian yang ia pakai.
Setelah itu, ia menghampiri seorang penggembala kambing yang ada tidak jauh dari tempat itu. Lalu memintanya untuk menukar pakaiannya dengan pakaian yang ia pakai.
Setelah
mengenakan pakaian usang itu, ia berangkat menuju Makkah untuk mensucikan
dirinya. Dari sinilah drama kesendirian Ibrahim bermula. Istana megah ia
tinggalkan dan tanpa seorang pengaval ia berjalan kaki menyongsong kehidupan
barunya.
Berbulan
bulan mengembara, Ibrahim tiba di sebuah kampung bernama Bandar Nishafur. Di sana
ia tinggal di sebuah gua, menyendiri, berdzikir dan memperbanyak lbadah. Hingga
tidak lama kemudian, keshalihan, kezuhudan dan kesufiannya mulai dikenal banyak
orang. Banyak di antara mereka yang mendatangi dan menawarkan bantuan
kepadanya, tetapi Ibrahim selalu menolak.
Beberapa tahun kemudian, ia meninggalkan Bandar Nishafur, dan dalam perjalanan selanjutnya menuju Makkah, hampir di setiap kota yang ia singgahi terdapat kisah menarik tentang dirinya yang dapat menjadi renungan bagi kita, terutama keikhlasan dan ketawadhuannya.
Beberapa tahun kemudian, ia meninggalkan Bandar Nishafur, dan dalam perjalanan selanjutnya menuju Makkah, hampir di setiap kota yang ia singgahi terdapat kisah menarik tentang dirinya yang dapat menjadi renungan bagi kita, terutama keikhlasan dan ketawadhuannya.
Pernah
satu ketika, di suatu kampung Ibrahim kehabisan bekal. Untungnya, ia bertemu
dengan seorang kaya yang membutuhkan penjaga untuk kebun delimanya yang sangat
luas. Ibrahim pun diterima sebagai penjaga kebun, tanpa disadari oleh orang
tersebut kalau lelaki yang dipekerjakannya adalah Ibrahim bin Adham, ahli ibadah
yang sudah lama ia kenal namanya. Ibrahim menjalankan tugasnya dengan baik
tanpa mengurangi kuantitas ibadahnya.
Suatu
hari, pdmilik kebun minta dipetikkan buah delima. Ibrahim melakukannya, tapi
pemilik kebun malah memarahinya karena delima yang diberikannya rasanya asam. "Apa
kamu tidak bisa membedakan buah delima yang manis dan asam," tegumya. "Aku
belum pernah merasakannya, Tuan," jawab Ibrahim. Pemilik kebun menuduh
Ibrahim berdusta. Ibrahim lantas shalat di kebun itu, tapi pemilik kebun
menuduhnya berbuat riya dengan shalatnya. "Aku belum pernah melihat orang
yang lebih riya dibanding kamu." "Betul tuanku, ini baru dosaku yang terlihat. Yang
tidak, jauh lebih banyak lagi," jawabnya. Dia pun dipecat,
lalu pergi.
Di
perjalanan ia menjumpai seorang pria sedang sekarat karena kelaparan. Buah
delima tadi pun diberikannya. Sementara itu, tuannya terus mencarinya karena
belum membayar upahnya. Ketika bertemu, Ibrahim meminta agar gajinya dipotong
karena delima yang ia berikan kepada orang sekarat tadi. "Apa engkau tidak
mencuri selain itu?" tanya pemilik kebun. "Demi Allah, jika orang itu
tidak sekarat, aku akan mengembalikan buah delimamu," tegas Ibrahim.
Setahun
kemudian, pemilik kebun mendapat pekerja baru. Dia kembali meminta dipetikkan
buah delima. Tukang baru itu memberinya yang paling manis. Pemilik kebun
bercerita bahwa ia pernah memiliki tukang kebun yang paling dusta karena
mengaku tak pernah mencicipi delima, memberi buah delima kepada orang yang
kelaparan, minta dipotong upahnya untuk buah delima yang ia berikan kepada
orang kelaparan itu. "Betapa dustanya dia," kata pemilik kebun.
Tukang
kebun yang baru lantas berujar, "Demi Allah, wahai majikanku. Akulah orang
yang kelaparan itu. Dan tukang kebun yang engkau ceritakan itu dulunya seorang
raja yang lantas meninggalkan istananya karena zuhud." Pemilik kebun pun
menyesali tindakannya, "Celaka, aku telah menyia-nyiakan kekayaan yang tak
pernah aku temui."
Menjelang
kedatangannya di Kota Makkah, para pemimpin dan ulama bersama sama menunggunya.
Namun tak seorang pun yang mengenali wajahnya. Ketika kafilah yang diikutinya
memasuki gerbang Kota Makkah, seorang yang diutus menjemputnya bertanya kepada
Ibrahim, "Apakah kamu mengenal Ibrahim bin Adham, ahli ibadah yang
terkenal itu?" "Untuk apa kamu menanyakan si ahli bidah itu?"
Ibrahim balik bertanya.
Mendapat
jawaban yang tidak sopan seperti itu, orang tersebut lantas memukul Ibrahim,
dan menyeretnya menghadap pemimpin Makkah. Saat diinterogasi, jawaban yang
keluar dari mulutnya tetap sama, "Untuk apa kalian menanyakan si ahli
bidah itu?" Ibrahim pun disiksa karena dia dianggap menghina seorang ulama
agung. Tetapi, dalam hatinya Ibrahim bersyukur diperlakukan demikian, ia
berkata, "Wahai Ibrahim, dulu waktu berkuasa kamu memperlakukan orang seperti
ini. Sekarang, rasakanlah olehmu tangan-tangan penguasa ini."
Banyak
pelajaran yang bisa kita petik dari perjalanan seorang bekas penguasa seperti
Ibrahim bin Adham, dari pengalamannya memperbalki diri, dari kesendiriannya
menebus segala kesalahan dan kelalaian, dari keikhlasan, kezuhudan, dan
ketawadhuannya yang tak ternilai.
Ibrahim bin Adham dan Sebutir Kurma
Usai menunaikan
ibadah haji, Ibrahim bin Adham rahimahullah berniat ziarah ke Masjid Al Aqsa. Untuk bekal di perjalanan,
ia membeli 1 kg kurma dari pedagang tua di dekat masjidil Haram. Setelah kurma
ditimbang dan dibungkus, Ibrahim melihat sebutir kurma tergeletak didekat
timbangan. Menyangka kurma itu bagian dari yang ia beli, Ibrahim memungut dan
memakannya. Setelah itu ia langsung berangkat menuju Al Aqsa. Empat Bulan kemudian,
Ibrahim tiba di Al Aqsa. Seperti biasa, ia suka memilih sebuah tempat beribadah
pada sebuah ruangan dibawah kubah Sakhra. Ia shalat dan berdoa khusuk sekali.
Tiba tiba ia mendengar percakapan dua Malaikat tentang dirinya.
“Itu Ibrahim bin Adham,
ahli ibadah yang zuhud dan wara yang doanya selalu dikabulkan Allah SWT,” kata
malaikat yang satu.
“Tetapi sekarang tidak
lagi. doanya ditolak karena empat bulan yg lalu ia memakan sebutir kurma yang
jatuh dari meja seorang pedagang tua di dekat mesjidil haram,” jawab malaikat
yang satu lagi. Ibrahim bin adham terkejut sekali, ia terhenyak, jadi selama
empat bulan ini ibadahnya, shalatnya, doanya dan mungkin amalan-amalan lainnya
tidak diterima oleh Allah SWT gara- gara memakan sebutir kurma yang bukan haknya.
“Astaghfirullahal adzhim,” Ibrahim beristighfar. Ia langsung berkemas untuk
berangkat lagi ke Mekkah menemui pedagang tua penjual kurma. Untuk meminta
dihalalkan sebutir kurma yang telah ditelannya.
Begitu sampai di Mekkah ia
langsung menuju tempat penjual kurma itu, tetapi ia tidak menemukan pedagang
tua itu melainkan seorang anak muda. “Empat bulan yang lalu saya membeli kurma
disini dari seorang pedagang tua. kemana ia sekarang ?” tanya ibrahim. “Sudah
meninggal sebulan yang lalu, saya sekarang meneruskan pekerjaannya berdagang
kurma” jawab anak muda itu.
“Innalillahi wa innailaihi
roji’un, kalau begitu kepada siapa saya meminta penghalalan ?”. Lantas
ibrahim menceritakan peristiwa yg dialaminya, anak muda itu mendengarkan penuh
minat. “Nah, begitulah” kata ibrahim setelah bercerita, “Engkau sebagai ahli
waris orangtua itu, maukah engkau menghalalkan sebutir kurma milik ayahmu yang
terlanjur ku makan tanpa izinnya?”
“Bagi saya tidak
masalah. Insya Allah saya halalkan. Tapi entah dengan saudara-saudara saya yang
jumlahnya 11 orang. Saya tidak berani mengatas nama kan mereka karena mereka
mempunyai hak waris sama dengan saya.” Ibrahim bertanya “Dimana alamat
saudara-saudaramu? biar saya temui mereka satu persatu.”
Setelah menerima
alamat, ibrahim bin adham pergi menemui saudara-saudaranya yang lain. Biar
berjauhan, akhirnya selesai juga. Semua setuju menghalakan sebutir kurma milik
ayah mereka yang termakan oleh Ibrahim.
Empat bulan
kemudian, Ibrahim bin adham sudah berada dibawah kubah Sakhra. Tiba tiba ia
mendengar dua malaikat yang dulu terdengar lagi bercakap cakap. “Itulah Ibrahim
bin Adham yang doanya tertolak gara gara makan sebutir kurma milik orang lain.”
“O, tidak..,
sekarang doanya sudah makbul lagi, ia telah mendapat penghalalan dari ahli
waris pemilik kurma itu. Diri dan jiwa Ibrahim kini telah bersih kembali dari
kotoran sebutir kurma yang haram karena masih milik orang lain. Sekarang ia
sudah bebas.”Subhanallah…
Nasihat Ibrahim bin Adham
Ada kisah seorang lelaki
yang mendatangi Ibrahim ibn Adham. Dia (Ibrahim) adalah seorang ahli tabib ahli
jiwa. Lelaki itu berkata kepada Ibrahim, “Aku adalah orang yang menyakiti diri
sendiri. Tunjukkanlah kepadaku hal-hal yang bisa membuatku jera. Ibrahim
menasehatinya, “Jika kamu melakukan lima hal ini, kamu tidak akan termasuk
orang-orang yang melakukan maksiat. Lelaki itu berkata (ia sangat bersemangat
untuk mendengar nasehat si tabib), “Berikanlah apa (nasehat) yang engkau punyai
wahai Ibrahim!” Maka Ibrahim menyebutkannya.
“Pertama,
jika kamu ingin berbuat maksiat kepada Allah, janganlah kamu memakan sesuatupun
dari rizkiNya.” Orang itu pun terheran-heran dan kemudian berkata dengan nada
bertanya, “Bagaimana engkau mengatakan hal itu wahai Ibrahim padahal semua
rizki datangnya dari Allah SWT?” Ibrahim menjawab, “Jika kamu mengetahui hal
itu, apa pantas kamu memakan rizkiNya dan berbuat maksiat terhadap Nya.” Orang
itu berkata, “Tidak, wahai Ibrahim.
Kemudian
apa yang kedua?” Ibrahim melanjutkan, “Kedua, jika kamu ingin berbuat maksiat
kepada Allah, janganlah kamu bertempat tinggal di negeriNya.” Maka orang itu
pun terheran-heran -melebihi keheranannya yang pertama- dan bertanya,
“Bagaimana engkau mengatakan hal itu wahai Ibrahim, padahal semua negeri adalah
milik Allah?” Ibrahim menjelaskan, “Bila kamu mengetahui akan hal itu, apa
pantas kamu tinggal di negeriNya dan berbuat maksiat kepadaNya?” Lelaki itu
menjawab “Tidak, wahai Ibrahim. Sebutkan yang ketiga!” Ibrahim menyebutnya,
“Ketiga, jika kamu ingin berbuat maksiat kepada Allah maka carilah suatu tempat yang Allah tidak melihatmu. (Jika kamu mendapatkan tempat itu) maka lakukanlah maksiatmu kepada Allah!” Lelaki itu berkata, “Bagaimana engkau mengatakan hal itu wahai Ibrahim, padahal Allah Mahatahu segala rahasia dan Maha Mendengar derap kaki semut yang sedang berjalan di atas batu cadas yang keras pada malam yang gelap gulita?” Maka Ibrahim berkata kepadanya, “Bila kamu mengetahui hal itu, apa pantas kamu berbuat maksiat kepadaNya?” Lelaki itu menjawab, “Tidak, wahai Ibrahim.
“Ketiga, jika kamu ingin berbuat maksiat kepada Allah maka carilah suatu tempat yang Allah tidak melihatmu. (Jika kamu mendapatkan tempat itu) maka lakukanlah maksiatmu kepada Allah!” Lelaki itu berkata, “Bagaimana engkau mengatakan hal itu wahai Ibrahim, padahal Allah Mahatahu segala rahasia dan Maha Mendengar derap kaki semut yang sedang berjalan di atas batu cadas yang keras pada malam yang gelap gulita?” Maka Ibrahim berkata kepadanya, “Bila kamu mengetahui hal itu, apa pantas kamu berbuat maksiat kepadaNya?” Lelaki itu menjawab, “Tidak, wahai Ibrahim.
Lalu apa
yang keempat?” Ibrahim berkata, “Keempat, jika datang malaikat maut untuk
mencabut nyawamu maka katakan padanya, “Tundalah sampai batas waktu tertentu!”
Lelaki itu pun keheranan, “Bagaimana engkau mengatakan hal itu wahai ibrahim,
padahal Allah berfirman, “Maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat
mengundurkannya dan tidak dapat (pula) memajukannya?” (QS. Al-Munafiqun: 11)
Ibrahim berkata kepadanya, “Bila kamu mengetahui hal itu, bagaimana kamu
mengharapkan keselamatan?” Lelaki itu berkata, “Benar.
Berikanlah
yang kelima wahai Ibrahim!” Ibrahim melanjutkan, “Kelima, bila datang kepadamu
malaikat Zabaniyyah -mereka adalah malaikat penjaga neraka Jahannam untuk
menyeretmu ke neraka Jahannam janganlah engkau pergi bersama mereka.” Belum
sempat Ibrahim mengatakan nasehat yang kelima, lelaki itu menangis sembari
berkata , “Cukup Ibrahim! Aku mohon ampunan kepada Allah dan bertaubat
kepadaNya.” Orang itu pun akhirnya menekuni ibadah sampai akhir hayatnya.
Belajar Memaafkan dari Ibrahim bin Adham
Diriwayatkan
dari Ikrimah, Rasulullah Saw. bersabda, “Di hari kiamat ketika Allah
menyerahkan catatan amal kepada manusia, yang pertama kali diberikan adalah
catatan amal kebaikan. Lalu Allah bertanya kepada setiap orang yang diberikan
catatan, “Apa yang kamu lihat?” Maka masing-masing orang menjawab, ‘Aku melihat banyak
sekali kebaikan.’ Kemudian Allah bertanya kembali, “Adakah yang kurang?” Mereka
menjawab, ‘Tidak!’
Kemudian
Allah menyerahkan catatan keburukan ke setiap orang, lalu dibaca. Allah
bertanya, “Apa yang kamu lihat?” Masing-masing menjawab, ‘Aku melihat keburukan
yang banyak.’ Lalu Allah bertanya lagi, “Adakah yang bertambah?” Masing-masing
menjawab, ‘Tidak!”
Kemudian
Allah menyerahkan selembar catatan lagi dan setiap orang mukmin membacanya.
Lalu Allah bertanya, “Apa yang kamu lihat?” Masing-masing menjawab, ‘Aku
melihat catatan kebaikan yang banyak.’ Lalu Allah bertanya lagi, “Apakah kamu
mengenali kebaikan-kebaikan itu?” Setiap orang menjawab, “Tidak!” Kemudian
dijelaskan Allah, “Ini dari perbuatan orang yang menzhalimimu, menggangu dan
mengambil hartamu tanpa sepengetahuanmu.”
Apa
yang bisa dipahami dari hadis ini? Secara umum, kita sedang belajar mengenal
sifat rahman (Maha pengasih) dan rahim (Maha Penyayang) Allah. Ketika
menyerahkan catatan kebaikan, pertanyaan yang diajukan Allah adalah, “Adakah
yang kurang?”. Allah menunjukkan bahwa tak ada kezhaliman dalam menyerahkan
catatan. Semua kebaikan yang dilakukan dicatat dalam buku catatan, pada saat ‘Laporan
Pertanggungjawaban’ (LPJ) di akhirat ditunjukkan Allah semuanya dengan rinci.
Demikian
halnya juga dengan amal keburukan yang dilakukan tak luput dicatat di dalam
catatan keburukan. Lalu ditanya, “Adakah yang bertambah?” Pertanyaan ini
menunjukkan ke-Maha Pengasihnya Allah. Allah tak menginginkan adanya penambahan
dalam catatan keburukan hamba-Nya.
Setelah
Allah memberikan catatan amal kebaikan dan keburukan kepada orang-orang yang
beriman, Allah memberikan catatan amal yang lain. Catatan amal yang menunjukkan
laporan hasil pendapatan yang didapat tanpa pengetahuan orang-orang yang
beriman. Sehingga menjadi ‘penambahan modal amal kebaikan’. Penambahan modal
kebaikan itu berasal dari perbuatan orang yang menzhalimi, namun dimaafkan.
Orang yang mencuri harta milik kita tanpa sepengetahuan kita.
Ibrahim bin Adham dan Bekas Budaknya
Ada kisah
Ibrahim bin Adham yang layak dijadikan contoh. Sebelum bertaubat, ia memiliki
72 budak. Ketika tobat dan kembali ke jalan Allah, dimerdekakannya semua
budak-budaknya. Salah satu budaknya bertemu dengannya, tapi dalam kondisi mabuk
minuman keras.
“Hai,
tolong antarkan aku kerumahku!”
“Ya!”
kata Ibrahim bin Ad-ham. Tapi
Ibrahim bin Adham membawanya ke perkuburan.
Ketika pemabuk tadi tahu
dia berada di perkuburan, ia memukul dan menghajar Ibrahim bin Adham dengan
sekuat-kuatnya. “Sudah kukatakan bawa aku ke rumahku, tapi kau bawa aku ke
kuburan.”
“Wahai manusia bodoh!
Inilah rumah sesungguhnya. Rumah-rumah yang lain adalah kiasan belaka.”
Diambilnya
cemeti yang ada di kuda Ibrahim bin Adham lalu dicambuknya Ibrahim bin Adham.
Setiap cambukan Ibrahim bin Adham berdoa, “Semoga Allah mengampunimu.”
Ketika
melintas seseorang di perkuburan itu dan melihat apa yang tengah terjadi.
Dikatakannya kepada pemabuk tadi.
“Hai, apa
yang kau lakukan? Kau memukul tuan yang telah memerdekakanmu?”
Begitu
mengetahuinya, pemabuk itu segera turun dari kudanya dan meminta maaf.
“Aku
terima maafmu. Lupakanlah apa yang telah terjadi.”
“Wahai
tuan! Kuhajar dan kusiksa kau, sedangkan kau mendoakan kebaikan bagiku. Setiap
pukulan kau selalu berdoa, ‘Semoga Allah mengampunimu.”
“Bagaimana
aku tak mendoakan yang baik, karena perbuatan menghajar dan menyiksa yang kau
lakukan kepadaku bisa mengantarkanku masuk surga.”
Luar
biasa apa yang dilakukan Ibrahim bhn Adham. Ia mampu menahan
sakit demi bisa masuk ke dalam surga. Ketika dizhalimi, ia tetap mendoakannya
dengan kebaikan. Perbuatan seperti ini layak ditiru. Ia melakukan apa pun
karena Allah. Sehingga ketika dizhalimi, ia tetap mendoakan orang yang
menzhaliminya dengan kebaikan.
Makanya,
cukup pantas kita memasukkan doa harian kita. “Ya Allah,
Engkaulah yang Maha Pantas dijadikan tujuan. Semoga hanya Engkau yang jadi
tujuan setiap gerak langkahku di dunia ini, hingga aku pulang kepangkuan-Mu.”
Burung Sehat
Syaqiiq
al-Balkhi adalah teman Ibrahim bin Adham yang dikenal ahli ibadah, zuhud dan
tinggi tawakalnya kepada Allah. Hingga pernah sampai pada tataran enggan untuk
bekerja. Penasaran dengan keadaan temannya, Ibrahim bin Adham bertanya, “Apa
sebenarnya yang menyebabkan Anda bisa seperti ini?”
Syaqiiq
menjawab,
“Ketika
saya sedang dalam perjalanan di padang yang tandus, saya melihat seekor burung
yang patah kedua sayapnya. Lalu saya berkata dalam hati, aku ingin tahu, dari
mana burung itu mendapatkan rizki. Maka aku duduk memperhatikannya dari jarak
yang dekat. Tiba-tiba datanglah seekor burung yang membawa makanan di paruhnya.
Burung itu mendekatkan makanan ke paruh burung yang patah kedua sayapnya untuk
menyuapinya.
Maka saya
berkata dalam hati, “Dzat yang mengilhami burung sehat untuk menyantuni burung
yang patah kedua sayapnya di tempat yang sepi ini pastilah berkuasa untuk
memberiku rejeki di manapun aku berada.” Maka sejak itu, aku putuskan untuk
berhenti bekerja dan aku menyibukkan diriku dengan ibadah kepada Allah. Mendengar
penuturan Syaqiiq tersebut Ibrahim berkata, “Wahai Syaqiiq, mengapa kamu serupakan
dirimu dengan burung yang cacat itu? Mengapa Anda tidak berusaha menjadi
burung sehat yang memberi makan burung yang sakit itu? Bukankah itu lebih
utama? Bukankah Nabi bersabda,
“Tangan
di atas lebih baik daripada tangan di bawah?” Sudah selayaknya bagi seorang
mukmin memilih derajat yang paling tinggi dalam segala urusannya, sehingga dia
bisa mencapai derajat orang yang berbakti? Syaqiiq tersentak dengan pernyataan
Ibrahim dan ia menyadari kekeliruannya dalam mengambil pelajaran. Serta merta
diraihnya tangan Ibrahim dan dia cium tangan itu sambil berkata, “Sungguh. Anda
adalah ustadzku, wahai Abu Ishaq (Ibrahim).”
10 Nasihat Ibrahim bin Adham
Suatu
ketika Ibrahim bin Adham, seorang alim yang terkenal zuhud dan wara’nya,
melewati pasar yang ramai. Selang beberapa saat beliau pun dikerumuni banyak
orang yang ingin minta nasehat. Salah seorang di antara mereka bertanya, “Wahai
Guru! Allah telah berjanji dalam kitab-Nya bahwa Dia akan mengabulkan doa
hamba-Nya. Kami telah berdoa setiap hari, siang dan malam, tapi mengapa sampai
saat ini doa kami tidak dikabulkan?”
Ibrahim
bin Adham diam sejenak lalu berkata, “Saudara sekalian. Ada sepuluh hal yang
menyebabkan doa kalian tidak dijawab oleh Allah.
Pertama, kalian
mengenal Allah, namun tidak menunaikan hak-hak-Nya.
Kedua, kalian
membaca Al-Quran, tapi kalian tidak mau mengamalkan isinya.
Ketiga, kalian
mengakui bahwa iblis adalah musuh yang sangat nyata, namun dengan suka hati
kalian mengikuti jejak dan perintahnya.
Keempat, kalian
mengaku mencintai Rasulullah, tetapi kalian suka meninggalkan ajaran dan
sunnahnya.
Kelima, kalian sangat menginginkan surga, tapi kalian tak pernah melakukan amalan ahli surga.
Keenam, kalian takut dimasukkan ke dalam neraka, namun kalian dengan senangnya sibuk dengan perbuatan ahli neraka.
Kelima, kalian sangat menginginkan surga, tapi kalian tak pernah melakukan amalan ahli surga.
Keenam, kalian takut dimasukkan ke dalam neraka, namun kalian dengan senangnya sibuk dengan perbuatan ahli neraka.
Ketujuh, kalian
mengaku bahwa kematian pasti datang, namun tidak pernah mempersiapkan bekal
untuk menghadapinya.
Kedelapan, kalian
sibuk mencari aib orang lain dan melupakan cacat dan kekurangan kalian sendiri.
Kesembilan, kalian setiap hari memakan rezeki Allah, tapi kalian lupa mensyukuri nikmat-Nya.
Kesepuluh, kalian sering mengantar jenazah ke kubur, tapi tidak pernah menyadari bahwa kalian akan mengalami hal yang serupa.”
Kesembilan, kalian setiap hari memakan rezeki Allah, tapi kalian lupa mensyukuri nikmat-Nya.
Kesepuluh, kalian sering mengantar jenazah ke kubur, tapi tidak pernah menyadari bahwa kalian akan mengalami hal yang serupa.”
Setelah
mendengar nasehat itu, orang-orang itu menangis.
Dalam
kesempatan lain Ibrahim kelihatan murung lalu menangis, padahal tidak terjadi
apa-apa. Seseorang bertanya kepadanya. Ibrahim menjawab, “Saya melihat kubur
yang akan saya tempati kelak sangat mengerikan, sedangkan saya belum
mendapatkan penangkalnya. Saya melihat perjalanan di akhirat yang begitu jauh,
sementara saya belum punya bekal apa-apa. Serta saya melihat Allah mengadili
semua makhluk di Padang Mahsyar, sementara saya belum mempunyai alasan yang
kuat untuk mempertanggungjawabkan segala amal perbuatan saya selama hidup di
dunia.”
Duduk Bertumpang Kaki
Seorang
sufi ternama, Ibrahim bin Adham, dikenal orang tak pernah duduk dengan
menumpangkan kakinya. Seorang muridnya keheranan dan bertanya, “Wahai Guru,
mengapa kau tak pernah duduk dengan bertumpang kaki?”
“Aku
pernah melakukan itu satu kali,” jawab Ibrahim, “Tapi
kemudian aku dengar sebuah suara dari langit: Hai Anak Adham, apakah seorang
hamba duduk seperti itu di hadapan tuannya?” Aku segera duduk tegak dan
memohon ampun.”
Ketika Ibrahim Bin Adham Menangis
Suatu
hari, seorang tokoh sufi besar, Ibrahim bin Adham, mencoba untuk memasuki
sebuah tempat pemandian umum. Penjaganya meminta uang untuk membayar karcis
masuk. Ibrahim menggeleng dan mengaku bahwa ia tak punya wang untuk membeli
karcis masuk.
Penjaga pemandian lalu
berkata, “Jika engkau tidak punya uang, engkau tak boleh masuk.”
Ibrahim
seketika menjerit dan tersungkur ke atas tanah. Dari mulutnya
terdengar ratapan-ratapan kesedihan. Para pejalan yang lewat berhenti dan
berusaha menghiburnya. Seseorang bahkan menawarinya uang agar ia dapat masuk ke
tempat pemandian.
Ibrahim
menjawab, “Aku menangis bukan karena ditolak masuk ke tempat pemandian ini.
Ketika si penjaga meminta ongkos untuk membayar karcis masuk, aku langsung
teringat pada sesuatu yang membuatku menangis. Jika aku tak diizinkan masuk ke
pemandian dunia ini kecuali jika aku membayar tiket masuknya, harapan apa yang
boleh kumiliki agar diizinkan memasuki surga? Apa yang akan terjadi padaku jika
mereka menuntut: Amal salih apa yang telah kau bawa? Apa yang telah kau
kerjakan yang cukup berharga untuk boleh dimasukkan ke surga? Sama ketika aku
diusir dari pemandian karena tak mampu membayar, aku tentu tak akan
diperbolehkan memasuki surga jika aku tak memptnyai amal salih apa pun. Itulah
sebabnya aku menangis dan meratap.”
Dan
orang-orang di sekitarnya yang mendengar ucapan itu langsung terjatuh dan
menangis bersama Ibrahim.