Hassan al-Basri dilahirkan
di Madinah pada masa
pemerintahan Khalifah
Umar bin al-Khattab pada tahun 21 Hijrah (642 Masihi). Pernah menyusu pada
Ummu Salmah, isteri Rasulullah S.A.W., ketika ibunya keluar melaksanakan
suruhan beliau. al-Hassan al-Basri pernah berguru kepada beberapa orang sahabat
Rasul SAW sehingga beliau muncul sebagai ulama terkemuka dalam peradapan Islam.
al-Hassan al-Basri meninggal di Basrah Iraq pada 110 Hijrah (728 Masihi). Beliau
pernah hidup pada zaman pemerintahan Khalifah Abdul Malik bin Marwan.
Al-Hasan bin Yasar
Suatu
hari ummahatul mu’minin, Ummu Salamah, menerima khabar bahwa mantan “maula”
(pembantu wanita)-nya telah melahirkan seorang putera mungil yang sehat. Bukan
main gembiranya hati Ummu Salamah mendengar berita tersebut. Diutusnya
seseorang untuk mengundang bekas pembantunya itu untuk menghabiskan masa nifas
di rumahnya.
Ibu muda
yang baru melahirkan tersebut bernama Khairoh, orang yang amat disayangi oleh
Ummu Salamah. Rasa cinta ummahatul mu’minin kepada bekas maulanya itu, membuat
ia begitu rindu untuk segera melihat puteranya. Ketika Khairoh dan puteranya
tiba, Ummu Salamah memandang bayi yang masih merah itu dengan penuh sukacita
dan cinta. Sungguh bayi mungil itu sangat menawan. “Sudahkah kau beri nama bayi
ini, ya Khairoh?” tanya Ummu Salamah. “Belum ya ibunda. Kami serahkan kepada
ibunda untuk menamainya” jawab Khairoh. Mendengar jawaban ini, ummahatul
mu’minin berseri-seri, seraya berujar “Dengan berkah Allah, kita beri nama
Al-Hasan.” Maka do’apun mengalir pada si kecil, begitu selesai acara
pemberian nama.
Al-Hasan
bin Yasar – atau yang kelak lebih dikenal sebagai Hasan Al-Basri, ulama
generasi salaf terkemuka – hidup di bawah asuhan dan didikan salah seorang
isteri Rasulullah SAW: Hind binti Suhail yang lebih terkenal sebagai Ummu
Salamah. Beliau adalah seorang puteri Arab yang paling sempurna akhlaqnya dan
paling kuat pendiriannya, ia juga dikenal – sebelum Islam – sebagai penulis
yang produktif. Para ahli sejarah mencatat beliau sebagai yang paling luas
ilmunya di antara para isteri Rasulullah SAW.
Waktu
terus berjalan. Seiring dengan semakin akrabnya hubungan antara Al-Hasan dengan
keluarga Nabi SAW, semakin terbentang luas kesempatan baginya untuk ber”uswah”
(berteladan) pada keluarga Rasulullah SAW. Pemuda cilik ini mereguk ilmu dari
rumah-rumah ummahatul mu’minin serta mendapat kesempatan menimba ilmu bersama
sahabat yang berada di masjid Nabawi.
Ditempa
oleh orang-orang sholeh, dalam waktu singkat Al-Hasan mampu meriwayatkan hadist
dari Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abu Musa Al-Asy’ari, Abdullah bin
Umar, Abdullah bin Abbas, Anas bin Malik dan sahabat-sahabat Rasulullah
lainnya.
Al-Hasan
sangat mengagumi Ali bin Abi Thalib, karena keluasan ilmunya serta
kezuhudannya. Penguasan ilmu sastra Ali bin Abi Thalib yang demikian tinggi,
kata-katanya yang penuh nasihat dan hikmah, membuat Al-Hasan begitu terpesona.
Pada usia
14 tahun, Al-Hasan pindah bersama orang tuanya ke kota Basrah, Iraq, dan menetap
di sana. Dari sinilah Al-Hasan mulai dikenal dengan sebutan Hasan Al-Basri.
Basrah kala itu terkenal sebagai knta ilmu dalam Daulah Islamiyyah.
Masjid-masjid yang luas dan cantik dipenuhi halaqah-halaqah ilmu. Para
sahabat dan tabi’in banyak yang sering singgah ke kota ini.
Di
Basrah, Hasan Al-Basri lebih banyak tinggal di masjid, mengikuti halaqah-nya
Ibnu Abbas. Dari beliau, Hasan Al-Basri banyak belajar ilmu tafsir, hadist dan
qiro’at. Sedangkan ilmu fiqih, bahasa dan sastra dipelajarinya dari sahabat-sahabat
yang lain. Ketekunannya mengejar dan menggali ilmu menjadikan Hasan Al-Basri
sangat ‘alim dalam berbagai ilmu. Ia terkenal sebagai seorang faqih yang
terpercaya.
Keluasan
dan kedalaman ilmunya membuat Hasan Al-Basri banyak didatangi orang yang ingin
belajar langsung kepadanya. Nasihat Hasan Al-Basri mampu menggugah hati
seseorang, bahkan membuat para pendengarnya mencucurkan air mata. Nama Hasan
Al-Basri makin harum dan terkenal, menyebar ke seluruh negeri dan sampai pula
ke telinga penguasa.
Ketika
Al-Hajaj ats-Tsaqofi memegang kekuasan gubernur Iraq, ia terkenal akan
kediktatorannya. Perlakuannya terhadap rakyat terkadang sangat melampaui batas.
Nyaris tak ada seorang pun penduduk Basrah yang berani mengajukan kritik
atasnya atau menentangnya. Hasan Al-Basri adalah salah satu di antara sedikit
penduduk Basrah yang berani mengutarakan kritik pada Al-Hajaj. Bahkan di depan
Al-Hajaj sendiri, Hasan Al-Basri pernah mengutarakan kritiknya yang amat pedas.
Saat itu
tengah diadakan peresmian istana Al-Hajaj di tepian kota Basrah. Istana itu
dibangun dari hasil keringat rakyat, dan kini rakyat diundang untuk menyaksikan
peresmiannya. Saat itu tampillah Hasan Al-Basri menyuarakan kritiknya terhadap
Al-Hajaj:
“Kita
telah melihat apa-apa yang telah dibangun oleh Al-Hajaj. Kita juga telah
mengetahui bahwa Fir’aun membangun istana yang lebih indah dan lebih megah dari
istana ini. Tetapi Allah menghancurkan istana itu … karena kedurhakaan dan
kesombongannya …”
Kritik
itu berlangsung cukup lama. Beberapa orang mulai cemas dan berbisik kepada
Hasan Al-Basri, “Ya Abu Sa’id, cukupkanlah kritikmu, cukuplah!” Namun beliau
menjawab, “Sungguh Allah telah mengambil janji dari orang-orang yang berilmu,
supaya menerangkan kebenaran kepada manusia dan tidak menyembunyikannya.”
Begitu
mendengar kritik tajam tersebut, Al-Hajaj menghardik para ajudannya, “Celakalah
kalian! Mengapa kalian biarkan budak dari Basrah itu mencaci maki dan bicara
seenaknya? Dan tak seorangpun dari kalian mencegahnya? Tangkap dia, hadapkan
kepadaku!” .
Semua
mata tertuju kepada sang Imam dengan hati bergetar. Hasan Al-Basri berdiri
tegak dan tenang menghadapi Al-Hajaj bersama puluhan polisi dan algojonya.
Sungguh luar biasa ketenangan beliau. Dengan keagungan seorang mu’min, izzah
seorang muslim dan ketenangan seorang da’i, beliau hadapi sang tiran.
Melihat
ketenangan Hasan Al-Basri, seketika kecongkakan Al-Hajaj sirna. Kesombongan dan
kebengisannya hilang. Ia langsung menyambut Hasan Al-Basri dan berkata lembut,
“Kemarilah ya Abu Sa’id …” Al-Hasan mendekatinya dan duduk berdampingan. Semua
mata memandang dengan kagum.
Mulailah
Al-Hajaj menanyakan berbagai masalah agama kepada sang Imam, dan dijawab oleh
Hasan Al-Basri dengan bahasa yang lembut dan mempesona. Semua pertanyaannya
dijawab dengan tuntas. Hasan Al-Basri dipersilakan untuk pulang. Usai pertemuan
itu, seorang pengawal Al-Hajaj bertanya, “Wahai Abu Sa’id, sungguh aku melihat
anda mengucapkan sesuatu ketika hendak berhadapan dengan Al-Hajaj. Apakah
sesungguhnya kalimat yang anda baca itu?” Hasan Al-Basri menjawab, “Saat itu
kubaca: Ya Wali dan Pelindung dalam kesusahan. Jadikanlah hukuman Hajaj sejuk
dan keselamatan buatku, sebagaimana Engkau telah jadikan api sejuk dan
menyelamatkan Ibrahim.”
Nasihatnya
yang terkenal diucapkannya ketika beliau diundang oleh penguasa Iraq, Ibnu
Hubairoh, yang diangkat oleh Yazid bin Abdul Malik. Ibnu Hubairoh adalah
seorang yang jujur dan sholeh, namun hatinya selalu gundah menghadapi
perintah-perintah Yazid yang bertentangan dengan nuraninya. Ia berkata, “Allah
telah memberi kekuasan kepada Yazid atas hambanya dan mewajibkan kita untuk
mentaatinya. Ia sekarang menugaskan saya untuk memerintah Iraq dan Parsi, namun
kadang-kadang perintahnya bertentangan dengan kebenaran. Ya, Abu Sa’id apa
pendapatmu? Nasihatilah aku …”
Berkata
Hasan Al-Basri, “Wahai Ibnu Hubairoh, takutlah kepada Allah ketika engkau
mentaati Yazid dan jangan takut kepada Yazid ketika engkau mentaati Allah.
Ketahuilah, Allah membelamu dari Yazid, dan Yazid tidak mampu membelamu dari
siksa Allah. Wahai Ibnu Hubairoh, jika engkau mentaati Allah, Allah akan
memeliharamu dari siksaan Yazid di dunia, akan tetapi jika engkau mentaati
Yazid, ia tidak akan memeliharamu dari siksa Allah di dunia dan akhirat.
Ketahuilah, tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam ma’siat kepada Allah,
siapapun orangnya.” Berderai air mata Ibnu Hubairoh mendengar nasihat Hasan
Al-Basri yang sangat dalam itu.
Seseorang
datang menemui Syekh al-Hasan. Dia bercerita bahwa dirinya baru saja diumpat
oleh si Fulan. Syekh al-Hasan justru menyuruh orang tersebut untuk kembali
menemui si Fulan.
“Ingat,
kata ulama, orang yang suka mengumpat memasang senjata untuk melemparkan
kebaikannya ke barat dan timur, serta ke kanan dan ke kiri,” kata Syekh
al-Hasan.
Orang
tadi lantas menuruti nasihat Syekh al-Hasan. Dia tak sekadar menemui tapi juga
membawakan sebakul kurma rutab. Sembari menyerahkan sebakul kurma yang
dibawanya, ia berkata dengan tenang: “Aku mendengar kabar bahwa engkau telah
menghadiahkan kebaikanmu kepadaku. Maka terimalah kirimanku sebagai ucapan
terimakasih.”
Apa lagi
sebenarnya yang dikatakan Syekh al-Hasan hingga lelaki yang diumpat itu bisa
sebaik demikian pada orang mengumpatnya? Ternyata, Syekh al-Hasan –seperti
dikisahkan oleh al-Ghazali—mengutipkan satu nasehat yang pernah didengarnya
dari Syekh Ibn Mubarak.
Bunyinya
pendek sekali: “Jika aku suka mengumpat, tentu aku mengumpat ibuku, sebab ibuku
berhak menerima kebaikanku.”
Aku tahu,
rizkiku tak mungkin diambil orang lain Karenanya, hatiku tenang
Aku
tahu,amal-amalku tak mungkin dilakukan orang lain, Maka aku sibukkan diriku
untuk beramal
Aku tahu,
Allah selalu melihatku
Karenanya,
aku malu bila Allah mendapatiku melakukan maksiat
Aku tahu,
kematian menantiku
Maka aku
persiapkan bekal untuk berjumpa dengan Rabbku.
Pada suatu hari, Hasan Al-Basri pergi mengunjungi Habib Ajmi, seorang sufi
besar lain. Pada waktu salatnya, Hasan mendengar Ajmi banyak melafalkan bacaan
salatnya dengan keliru. Oleh karena itu, Hasan memutuskan untuk tidak salat
berjamaah dengannya. Ia menganggap kurang pantaslah bagi dirinya untuk salat
bersama orang yang tak boleh mengucapkan bacaan salat dengan benar.
Di malam harinya, Hasan Al-Basri bermimpi. Ia mendengar Tuhan berbicara
kepadanya, “Hasan, jika saja kau berdiri di belakang Habib Ajmi dan menunaikan
salatmu, kau akan memperoleh keridaan-Ku, dan salat kamu itu akan memberimu
manfaat yang jauh lebih besar daripada seluruh salat dalam hidupmu. Kau mencoba
mencari kesalahan dalam bacaan salatnya, tapi kau tak melihat kemurnian dan
kesucian hatinya. Ketahuilah, Aku lebih menyukai hati yang tulus daripada
pengucapan tajwid yang sempurna.
Hasan al-Basri adalah
seorang imam yang terkenal dan di masanya hidup Habib al-’Ajami beliau bukan
seorang Arab, tapi dari Persia atau Bukhara, dan beliau buta huruf.
Suatu ketika Habib
al-’Ajami sedang duduk di depan khaniqahnya (pondokan untuk berdzikir),
tiba-tiba Hasan al-Basri datang dengan tergopoh-gopoh. “Oh Habib, sembunyikan
aku karena Hajjaj, wakil gubernur, mengutus tentaranya untuk menangkapku.
Sembunyikan aku” kata Hasan al Basri. Dan Habib membalas “Masuklah ke dalam dan
bersembunyilah.” Hasan masuk ke dalam dan menemukan sebuah tempat untuk
bersembunyi. Beberapa saat kemudian beberapa tentara menghampiri Habib, “Apakah
anda melihat Hasan al-Basri?”
“Ya, Aku
melihatnya di dalam. Dia ada di dalam.”
Mereka
masuk ke dalam dan melihat ke sekeliling melihat ke segala arah, bahkan
menyentuh kepala Hasan al-Basri, dan beliau melihat mereka dengan ketakutan. Kemudian
pasukan itu keluar, dan berkata kepada Habib, ”Apa sekarang anda tidak malu
(karena) anda telah berdusta. Di mana dia? Hajjaj akan berurusan dengan orang
yang bekerja sama dengan Hasan al-Basri, dan itu cocok dengan anda. Anda
berkata bahwa dia berada di dalam, apakah anda tidak malu telah berdusta!”
“Di
dalam, Aku tidak berdusta. Dia di dalam.”
Sekali
lagi, mereka masuk. Lalu, dengan sangat marah, mereka pergi. Kemudian Hasan
al-Basri keluar. “Oh, Syaikh, apa ini? Aku datang kapadamu, memintamu untuk
menjagaku dan engkau mengatakan kepada tentara bahwa aku berada di dalam.” “Ya
Hasan, ya Imam, najawt min sidqil-kalaam –engkau diselamatkan oleh kebenaranku!
Aku mengatakan kebenaran dan Allah melindungimu karena aku berkata dengan
jujur. Aku berkata, “Wahai Tuhanku, ini adalah Hasan al-Basri, hamba-Mu, dia
datang meminta pertolonganku, berkata, ‘Sembunyikan aku, jagalah aku!’ Aku
tidak bisa melindunginya. Aku mempercayakan dia kepada-Mu, menyerahkan dia
kepada-Mu sebagai amanat dariku. Engkau melindunginya.’ Aku hanya mengatakan
hal itu dan membaca Ayat al-Kursi.”
Karena
itulah para tentara tiada pun dapat melihatnya.
Imam Hasan Al Bashri adalah
seorang ulama tabi’in terkemuka di kota Basrah, Irak. Beliau dikenal sebagai
ulama yang berjiwa besar dan mengamalkan apa yang beliau ajarkan. Beliau juga
dekat dengan rakyat kecil dan dicintai oleh rakyat kecil.
Imam Hasan Al Bashri
memiliki seorang tetangga nasrani. Tetangganya ini memiliki kamar kecil untuk
kencing di loteng di atas rumahnya. Atap rumah keduanya bersambung menjadi
satu. Air kencing dari kamar kecil tetangfanya itu merembes dan menetes ke
dalam kamar Imam Hasan Al Bashri. Namun beliau sabar dan tidak mempermasalahkan
hal itu sama sekali. Beliau menyuruh istrinya meletakkan wadah untuk menadahi
tetesan air kencing itu agar tidak mengalir ke mana-mana.
Selama dua puluh tahun hal
itu berlangsung dan Imam Hasan Al Bashri tidak membicarakan atau memberitahukan
hal itu kepada tetangganya sama sekali. Dia ingin benar-benar mengamalkan sabda
Rasulullah SAW. “Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka
muliakanlah tetangganya.”
Suatu hari Imam Hasan Al
Bashri sakit. Tetangganya yang nasrani itu datang ke rumahnya menjenguk. Ia
merasa aneh melihat ada air menetes dari atas di dalam kamar sang Imam. Ia
melihat dengan seksama tetesan air yang terkumpul dalam wadah. Ternyata air
kencing. Tetangganya itu langsung mengerti bahwa air kencing itu merembes dari
kamar kecilnya yang ia buat di atas loteng rumahnya. Dan yang membuatnya
bertambah heran kenapa Imam Hasan Al Bashri tidak bilang padanya.
“Imam, sejak kapan Engkau
bersabar atas tetesan air kencing kami ini ?” tanya si Tetangga.
Imam Hasan Al Bashri diam
tidak menjawab. Beliau tidak mau membuat tetangganya merasa tidak enak. Namun …
“Imam, katakanlah dengan
jujur sejak kapan Engkau bersabar atas tetesan air kencing kami ? Jika tidak
kau katakan maka kami akan sangat tidak enak,” desak tetangganya.
“Sejak dua puluh tahun yang
lalu,” jawab Imam Hasan Al Bashri dengan suara parau.
“Kenapa kau tidak
memberitahuku ?”
“Nabi mengajarkan untuk
memuliakan tetangga, Beliau bersabda, “Siapa yang beriman kepada Allah dan hari
akhir maka muliakanlah tetangganya”
Seketika itu si Tetangga
langsung mengucapkan dua kalimat syahadat. Ia dan seluruh keluarganya masuk
Islam.
Pemikiran Tasawufnya
Dalam pengenalan Tasawuf beliau
mendapatkan ajaran tasawuf dari Huzaifah bin Al-Yaman,
sehingga ajaran itu melekat pada dirinya sikap
maupun perilaku pada kehidupan sehari-hari. Dan kemudian beliau dikenal sebagai
Ulama Sufi dan juga Zuhud. Dengan gigih dan
gayanya yang retorik, beliau mampu membawa kaum muslim pada garis agama
dan kemudian muncullah kehidupan sufistik.
Dasar pendirian yang paling utama
adalah Zuhud terhadap kehidupan dunia, sehingga ia menolak segala kesenangan
dan kenikmatan dunia. Hasan Al Basri mangumpamakan dunia ini
seperti ular, terasa mulus kalau disentuh tangan, tetapi racunnya dapat
mematikan. Oleh sebab itu, dunia ini harus dijauhi dan kemegahan serta kenikmatan
dunia harus ditolak. Karena dunia bisa membuat kita berpaling dari kebenaran
dan membuat kita selalu memikirkannya.
Prinsip kedua ajaran Hasan Al
basri adalah Khauf dan Raja', dengan pengertian merasa takut kepada siksa Allah
karena berbuat dosa dan sering melalaikan perintah Allah. Merasa kekurangan
dirinya dalam mengabdi kepada Allah, timbullah rasa was was dan takut, khawatir
mendapat murka dari Allah. Dengan adanya rasa takut itu pula menjadi motivasi
tersendiri bagi seseorang untuk mempertinggi kualitas dan kadar pengabdian
kepada Allah dan sikap daja' ini adalah mengharap akan ampunan Allah dan
karunia-NYA. Oleh karena itu prinsip-prinsip ajaran ini adalah mengandung sikap
kesiapan untuk melakukan muhasabah agar selalu mamikirkan kehidupan yang hakiki
dan abadi.
Corak Pemikiran Tasawufnya
Hasan Al Basri adalah seorang
sufi angkatan tabi'in, seorang yang sangat takwa, wara' dan zuhud pada
kehidupan dunia yang mana dikala masanya banyak dari kalangan masyarakt
khususnya dari kalangan atas yang hidup berfoya-foya. Yang mana kezuhudan itu
masih melekat ajarannya dari para ulama-ulama lainnya pada masa sahabat. Yang
mana ajaran beliau masih kental ataupun
berdasarkan Al Qur'an dan Hadist nabi, untuk itu beliau termasuk golongan
Tasawuf Sunni.
Karya-karyanya
Banyak dari buku atau kitab para
ulama-ulama yang membahas tentang kebajikan, kezuhudan
serta berbagai hal yang mengarah kepada kebesaran nama Hasan Al Basri. Yang
mana berkat perjuangan beliau berdampak kepada perubahan masyarakat Islam kepada
suatu hal yang lebih baik. Dan juga menjadi tongkat estafet bagi ulam-ulama
setelah beliau dalm menerapkan mendefinisikan sehingga sebagai pembuka jalan
generasi berikutnya. Dan jarang dari buku atau kitab para ulama-ulama yang
membahas tentang karya-karya beliau. Karena keterbatasan kemampuan, penulis
belum bisa memaprkan karya-karya beliau tapi ada ajaran beliau yang menjadi
pembicaraan kaum sufi adalah:
“ Anak Adam!
Dirimu, diriku! Dirimu hanya
satu,
Kalau ia binasa, binasalah
engkau.
Dan orang yang telah selamat tak
dapat menolongmu.
Tiap-tiap nikmat yang bukan
surga, adalah hina.
Mutiara tasawuf Hasan al-Bashri
Hasan al-Bashri adalah salah seorang tokoh
sufi awal baik dalam arti umum atau pun dalam arti harfiahnya, karena ia selalu
mengenakan jubah dari bulu domba (shûf) sepanjang hidupnya. Sebagai putra dari
perempuan yang dimerdekakan (dari Ummu Salamah, isteri Nabi saw.) dan laki-laki
yang dimerdekakan (dari Zaid Ibn Tsabit, putra angkat Nabi saw.), Imam Besar
dari Bashrah ini adalah seorang pemimpin para wali dan ulama pada masanya.
Beliau sangat dikenal luas karena pengejawantahannya yang menyeluruh dan ketat
terhadap sunah Nabi saw.. Beliau juga terkenal karena pengetahuannya yang luas,
kesederhanaan dan kezuhudannya, protesnya yang berani terhadap penguasa, dan
daya tariknya baik dalam perkataan atau penampilannya.
Ibnu al-Jauzi menulis
sebuah buku setebal seratus halaman tentang kehidupan dan kebiasaannya dengan
judul Adab al-Syaikh al-Hasan Ibn Abil-Hasan al-Bashri. Ia menyebutkan sebuah
riwayat bahwa, tatkala wafat, al-Hasan meninggalkan sebuah jubah wol putih yang
telah ia pakai sendiri selama dua puluh tahun, baik di musim dingin atau di musim
panas. Jubah tersebut masih dalam keadaan bagus, bersih, rapi dan tak ada
kotoran.
Al-Ghazâlî
meriwayatkan kata-kata dari al-Hasan tentang Jihâd al-nafs bahwa Hasan
al-Bashri mengatakan:
Dua fikiran berkecamuk di dalam jiwa, satu dari Allah dan satu dari musuh. Allah menunjukkan rahmatnya kepada seorang hamba yang tetap dengan fikiran yang datang dari-Nya. Ia memelihara fikiran yang datang dari Allah, seraya berjuang melawan fikiran yang datang dari musuh. Untuk menggambarkan tarik-menarik antara dua kekuatan ini di dalam hati, Nabi saw. bersabda, “Hati seorang mukmin berada di antara dua jari Yang Maha Pengasih (al-Rahmân)” . . . Kedua jari tangan tersebut membiarkan gejolak dan ketidakpastian di dalam hati . . . Apabila seseorang mengikuti dorongan kemarahan dan kesenangan, dominasi setan muncul di dalam dirinya melalui nafsu rendahnya dan hatinya menjadi tempat bersarang dan bersemayamnya setan, yang terus menerus memasok tuntutan hawa nafsunya.
Dua fikiran berkecamuk di dalam jiwa, satu dari Allah dan satu dari musuh. Allah menunjukkan rahmatnya kepada seorang hamba yang tetap dengan fikiran yang datang dari-Nya. Ia memelihara fikiran yang datang dari Allah, seraya berjuang melawan fikiran yang datang dari musuh. Untuk menggambarkan tarik-menarik antara dua kekuatan ini di dalam hati, Nabi saw. bersabda, “Hati seorang mukmin berada di antara dua jari Yang Maha Pengasih (al-Rahmân)” . . . Kedua jari tangan tersebut membiarkan gejolak dan ketidakpastian di dalam hati . . . Apabila seseorang mengikuti dorongan kemarahan dan kesenangan, dominasi setan muncul di dalam dirinya melalui nafsu rendahnya dan hatinya menjadi tempat bersarang dan bersemayamnya setan, yang terus menerus memasok tuntutan hawa nafsunya.
Apabila
ia berjuang melawan hawa nafsunya dan tidak membiarkan mereka menguasai diri
(nafs)-nya, maka berarti ia sedang meniru sifat-sifat malaikat. Pada saat ini,
hatinya menjadi tempat yang menyenangkan bagi para malaikat dan mereka akan berhamburan
datang ke sana.
Gambaran
mengenai betapa tingginya ketakwaan dan kewarakkan Hasan al-Bashri disampaikan
oleh pernyataannya berikut, yang juga dikutip oleh al-Ghazâlî:
Kelalaian
dan harapan adalah dua berkah Allah yang diberikan kepada anak-cucu Adam; akan
tetapi untuk keduanya kaum Muslim tidak akan berjalan di jalan raya
Wafat
Pada malam Jum’at, di awal Rajab tahun 110H, Hasan Al-Basri memenuhi panggilan Robb-nya. Ia wafat dalam usia 80 tahun. Penduduk Basrah bersedih, hampir seluruhnya mengantarkan jenazah Hasan Al-Basri ke pemakaman. Hari itu di Basrah tidak diselenggarakan sholat Ashar berjamaah, karena kota itu kosong tak berpenghuni.
Wafat
Pada malam Jum’at, di awal Rajab tahun 110H, Hasan Al-Basri memenuhi panggilan Robb-nya. Ia wafat dalam usia 80 tahun. Penduduk Basrah bersedih, hampir seluruhnya mengantarkan jenazah Hasan Al-Basri ke pemakaman. Hari itu di Basrah tidak diselenggarakan sholat Ashar berjamaah, karena kota itu kosong tak berpenghuni.
makasih, bermanfaat banget (y)
BalasHapusmakasih,,,, :)
BalasHapusMenginspirasi
BalasHapusmakasih sangat bermanfaat
BalasHapusBarakallah
BalasHapus