Syekh Bahaudin Syah
Naqsyabandiah pendiri
tharikat Naqsyabandiah, seorang
pemuka tasawuf terkenal, dilahairkan pada tahun 717 H disebuah desa bernama
Qashrul'arifan, kurang lebih 4 mil dari bukhara, soviet rusia, tempat lahir imam bukhari.
Belia wafat pada tahun 791 H.(1391 M) dengan meninggalkan tharikat
Naqsyabandiah yang tersebar luas di benua Asia dan Afrika.
Beliau mengambil tharikat dari Syekh Mihammad Baba As-Samasi,kemudian dari Sayid Amir Kulal.
Silsilah mata rantai dari tharikat Naqsyabandiah; Nabi Muhammad saw, Abu BakarShidiq, Syekh Salman Al-Farisi, Syekh Qosim bin Muhammadbin Abu Bakar Shidiq, Syekh Imam Ja'far Shadiq, Syekh Abu Yazid Thaifur bin Isa bin Adam bin Sarusyan Al -Bustami, Syekh Abu Hasan 'Ali bin Abu Ja'far Al-Khargani, Syekh Abu Ali Al-Fadlal bin Muhammad Ath-Thusi Al-Frmadi, Syekh Abu YA'KUB Al-Hamdani bin Yusuf bin Al-Husain, Syekh Abdul Khaliq Al-Ghajduwani bin Al-Imam Abdul Jamil, Syekh Arif Ar-Riyukuri, Syekh Mahmud Al-Anjiri Fagnawi, Syekh Ali Ar-Ramitni, Syekh Baba As-Samasi, Syekh Sayid Amir Kulal bin Sayid Hamzah, Syekh Bahaudin Muhammad bin Muhammad As-Sariful Husaini Al-HasaniAl-Uwaisi Al-Bukhari, Syekh Muhammad Alaudin Al-'Aththar,Syekh Ya'kub Al-Jarakhi,Syekh Mashirudin Ubaidullah Al-Ahrar, Syekh Muhammad Zahid, Syekh Darwis Muhammad As-Samarqandi, Syekh Muhammad Al-Khawajaki As-Samarqandi, Syekh Muhammad Al-Baqi, Syekh Muhammad Al-Faruqi As-Sirhindi.
Beliau mengambil tharikat dari Syekh Mihammad Baba As-Samasi,kemudian dari Sayid Amir Kulal.
Silsilah mata rantai dari tharikat Naqsyabandiah; Nabi Muhammad saw, Abu BakarShidiq, Syekh Salman Al-Farisi, Syekh Qosim bin Muhammadbin Abu Bakar Shidiq, Syekh Imam Ja'far Shadiq, Syekh Abu Yazid Thaifur bin Isa bin Adam bin Sarusyan Al -Bustami, Syekh Abu Hasan 'Ali bin Abu Ja'far Al-Khargani, Syekh Abu Ali Al-Fadlal bin Muhammad Ath-Thusi Al-Frmadi, Syekh Abu YA'KUB Al-Hamdani bin Yusuf bin Al-Husain, Syekh Abdul Khaliq Al-Ghajduwani bin Al-Imam Abdul Jamil, Syekh Arif Ar-Riyukuri, Syekh Mahmud Al-Anjiri Fagnawi, Syekh Ali Ar-Ramitni, Syekh Baba As-Samasi, Syekh Sayid Amir Kulal bin Sayid Hamzah, Syekh Bahaudin Muhammad bin Muhammad As-Sariful Husaini Al-HasaniAl-Uwaisi Al-Bukhari, Syekh Muhammad Alaudin Al-'Aththar,Syekh Ya'kub Al-Jarakhi,Syekh Mashirudin Ubaidullah Al-Ahrar, Syekh Muhammad Zahid, Syekh Darwis Muhammad As-Samarqandi, Syekh Muhammad Al-Khawajaki As-Samarqandi, Syekh Muhammad Al-Baqi, Syekh Muhammad Al-Faruqi As-Sirhindi.
Nama lengkapnya adalah
Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad Al-Husayni Al-Uwaysi Al-Bukhari. Ia lahir di
Qasrel Arifan, sebuah desa di kawasan Bukhara, Asia Tengah, pada bulan Muharram
tahun 717 H/1317 M. Nasabnya bersambung kepada Rasulullah SAW melalui Sayyidina
Al-Husain RA. Semua keturunan Al-Husain di Asia Tengah dan anak benua India lazim
diberi gelar shah, sedangkan keturunan Al-Hasan biasa dikenal dengan gelar
zadah dari kata bahasa Arab saadah (bentuk plural dari kata sayyid) sesuai
dengan sabda Rasulullah SAW tentang Al-Hasan RA, ”Sesungguhnya anakku ini
adalah seorang sayyid.” Shah Naqshaband diberi gelar Bahauddin karena berhasil
menonjolkan sikap beragama yang lurus, tetapi tidak kering. Kemudian, sikap
beragama yang benar, tetapi penuh penghayatan yang indah.
Pada masanya, tradisi
keagamaan Islam di Asia Tengah berada di bawah bimbingan para guru besar sufi
yang dikenal sebagai khwajakan (bentuk plural dari ‘khwaja’ atau ‘khoja’ dalam
bahasa Persia berarti para kiai agung). Dan pembesar mereka adalah Khoja Baba
Sammasi yang ketika Muhammad Bahauddin lahir, ia melihat cahaya menyemburat
dari arah Qasrel Arifan, yaitu saat Sammasi mengunjungi desa sebelah.
Sammasi lalu memberitahukan
bahwa dari desa itu akan muncul seorang wali agung. Sekitar 18 tahun kemudian,
Khoja Baba Sammasi memanggil kakek Bahauddin agar membawanya ke hadapan dirinya
dan langsung dibaiat. Ia lalu mengangkat Bahauddin sebagai putranya.
Sebelum meninggal dunia,
Baba Sammasi memberi wasiat kepada penggantinya, Sayyid Amir Kulali, agar
mendidik Bahauddin meniti suluk sufi sampai ke puncaknya seraya menegaskan,
“Semua ilmu dan pencerahan spiritual yang telah kuberikan menjadi tidak halal
bagimu kalau kamu lalai melaksanakan wasiat ini!”
Meniti jalan spiritual
Bahauddin pun
berangkat ke kediaman Sayyid Amir Kulali di Nasaf dengan membawa bekal dasar
yang telah diberikan oleh Baba Sammasi. Sammasi menyatakan jalan tasawuf
dimulai dengan menjaga kesopanan tindak-tanduk dan perasaan hati agar tidak
lancang kepada Allah, Rasulullah, dan guru.
Bahauddin
juga percaya bahwa sebuah jalan spiritual hanya bisa mengantarkan tujuan kalau
dilalui dengan sikap rendah hati dan penuh konsistensi. Karena
itu, melakukan makna eksplisit dari sebuah perintah barangkali harus diundurkan
demi menjaga kesantunan.
Inilah yang
dilakukan oleh Bahauddin ketika dihentikan oleh seorang lelaki berkuda yang
memerintahkan dirinya agar berguru pada orang tersebut. Dengan tegas, tetapi
sopan ia menolak seraya menyatakan bahwa dia tahu siapa lelaki itu. Masalah
berguru kepada seorang tokoh adalah persoalan jodoh, meskipun
lelaki berkuda tadi sangat mumpuni, ia tidak berjodoh dengan Bahauddin.
Setelah tiba di
hadapan Sayyid Amir Kulali, Bahauddin langsung ditanya mengapa menolak perintah
lelaki berkuda yang sebenarnya adalah Nabi Khidir AS? Beliau menjawab, “Karena,
hamba diperintahkan untuk berguru kepada anda semata!”
Di bawah asuhan
Amir Kulali, Bahauddin mengalami berbagai peristiwa yang mencengangkan. Di
antaranya, beliau pernah ditangkap oleh dua orang tak dikenal dan dikirimkan ke
makam seorang wali. Di sana, dia mendapatkan lentera yang minyaknya masih
banyak dan sumbunya juga masih panjang, tetapi apinya hampir padam.
Bahauddin
mendapat ilham untuk menggerakkan sedikit sumbu itu agar aliran bahan bakar
menjadi lancar. Dengan khusyuk, ia melakukannya, tahu-tahu sekat pembatas
antara dunia nyata dan alam barzakh terbuka di hadapan beliau. Di balik tabir
ruang dan waktu itu, Bahauddin mendapatkan semua mahaguru khawajakan yang sudah
meninggal dunia, termasuk guru pertamanya, Khoja Baba Sammasi.
Oleh salah
seorang guru mereka, Bahauddin dihadapkan kepada kepala aliran khawajakan,
yaitu Khoja Abdul Khaliq Gujdawani. Dari mahaguru yang agung ini, Bahauddin
mendapatkan bimbingan langsung dalam meniti suluk sufi. Sejak saat itu,
Bahauddin dikenal dengan gelar Al-Uwaysi karena mendapatkan pelajaran spiritual
langsung dari seorang guru yang sudah meninggal dan tidak pernah ditemuinya di
dunia. Hal ini sama dengan Uways Al-Qarny, seorang tabiin yang mendapatkan
pelajaran spiritual langsung dari roh Sayyidina Rasulillah SAW.
Di bawah
bimbingan Amir Kulali pula, Bahauddin terus mempraktikkan semua ajaran Abdul
Khaliq Gujdawani, sebagaimana beliau juga mempelajari dengan tekun ilmu-ilmu
Islam lainnya, khususnya akidah, fikih, hadis, dan sirah Nabi SAW.
Dan karena wasiat
dari Baba Sammasi, tidak heran kalau Amir Kulali memberikan perhatian khusus
kepada Bahauddin. Setelah semua ilmu dan pencerahan spiritual yang ad` pada
gurunya diserap habis, Sayyid Amir Kulali memerintahkan Bahauddin untuk
mengembara seraya menunjuk ke puting dadanya dan berkata, “Semua yang ada di sumber
ini sudah habis kamu sedot, maka mengembaralah!”
Bahauddin
kemudian belajar kepada beberapa mahaguru lain, seperti Khoja Arif Dikkarani
dan Hakim Ata, hingga beliau menjadi mahaguru sufi terbesar yang pernah muncul
dari kawasan Asia Tengah (sekarang adalah negara-negara persemakmuran bekas
USSR), Persia, Turki, dan Eropa Timur.
Karena di dadanya
terukir Lafdzul Jalalah (Allah) yang bercahaya, ia dikenal juga sebagai
“Naqshaband” (bahasa Persia yang berarti: gambar yang berbuhul). Dan, kepada
beliau, dinisbahkan Tarekat Naqshabandiyah yang merupakan salah satu tarekat
terbesar di dunia. Tarekat ini tersebar luas di Turki, Hejaz, kawasan
Persia, Asia Tengah, serta anak benua India dan Indonesia.
Adanya Tarekat
Naqshabandiyah ternyata mampu mempertahankan identitas keislaman di Asia Tengah
dan Eropa Timur, di tengah prahara komunisme yang menerpa selama lebih dari
setengah abad. Para pemimpin kebangkitan Islam di Turki, seperti Erbakan dan
Erdogan, juga berafiliasi kepada tarekat ini. Bahkan, akhir-akhir ini, Tarekat
Naqshabandiyah memainkan peranan sangat penting dalam penyebaran Islam di Eropa
dan Amerika.
Sementara itu di
Indonesia ada beberapa cabang Tarekat Naqshabandiyah, seperti Khalidiyah,
Mujaddidiyah, dan Muzhariyah. Yang terbesar adalah Tarekat Qadiriyah-Naqshabandiyah
yang–sesuai namanya–merupakan hasil simbiosis dua tarekat terbesar di dunia.
Mengembalikan Esensi Tasawuf
Shah Naqshaband
muncul untuk merevitalisasi perilaku beragama dengan mengajak kembali kepada
tradisi yang hidup pada zaman Nabi SAW. Bagi Shah Naqshaband, hakikat sebuah
tarekat adalah penerapan ajaran syariat dalam wujud yang paling sempurna dan
konsisten. Sementara itu, hakikat adalah terealisasikannya “maqam kehambaan”
seorang anak manusia di hadapan Allah semata.
Shah Naqshaband
menyatakan bahwa tasawuf adalah inti agama dan inti terdalam dari tasawuf itu
sendiri adalah muraqabah, musyahadah, dan muhasabah. Muraqabah adalah melupakan
segala sesuatu yang selain Allah dengan hanya memfokuskan hati dan perbuatan
hanya kepada-Nya.
Musyahadah adalah
menyaksikan keagungan dan keindahan Allah dalam seluruh eksistensi. Sementara
itu, muhasabah adalah instropeksi diri yang terus-menerus agar tidak lalai dari
jalan yang mulia ini. Dengan ketiga inti tasawuf itu, hati seorang saleh terus
hidup dan dihidupkan oleh zikir dan kebersamaan bersama Allah dalam setiap
detak jantung dan embusan napasnya sampai dia tertidur sekalipun!
Agar
mencapai maqam tersebut, seorang saleh harus menjalani pelatihan di bawah
bimbingan seorang mahaguru spiritual. Dialah yang akan mengajarkannya prosesi
berzikir dalam hati sesuai dengan firman Allah, “Dan sebutlah nama Tuhanmu
dalam hatimu dengan penuh kesungguhan dan rasa takut (akan tidak diterima amal
perbuatanmu), tanpa mengangkat suara pada siang dan sore hari dan janganlah
kamu termasuk orang-orang yang lengah” (QS Al-A`raaf: 205).
Zikir
dalam hati dipilih karena silsilah utama tarekat ini bersambung melalui Abu
Bakar Ash-Shiddiq. Metode zikir ini diajari oleh Rasulullah dan berbeda dengan
tarekat lain yang semuanya bersambung melalui Ali bin Abi Thalib yang diajari
berzikir dengan menggunakan suara jelas. Zikir dalam hati adalah ibadah yang
terbesar (sesuai dengan bunyi tekstual QS Al-`Ankabuut: 45) dan bisa
dilaksanakan dalam keadaan apa pun.
Zikir dalam hati
yang dilakukan oleh seorang Naqsyabandi menggunakan Lafdzul Jalalah (Allah) dan
Laa Ilaaha illalLaah yang dilafalkan dengan cara tertentu sebagaimana diajarkan
langsung oleh seorang mahaguru sufi (syekh). Dengan prosesi zikir ini, seorang
Naqshabandi meniti tangga-tangga makrifat.
Shah
Naqshaband pernah menyatakan bahwa shalat adalah titian spiritual yang paling
efektif bagi seorang saleh asalkan shalatnya khusyuk. Untuk mewujudkannya,
seorang saleh diharuskan mengonsumsi makanan yang halal baginya dan tidak
pernah lalai mengingat atau “bersama” dengan Allah dalam kesehariannya, lebih
khusus lagi saat berwudhu serta bertakbiratul ihram.
Di sisi lain,
bertasawuf bagi Shah Naqshaband adalah sebuah perilaku sosial yang positif.
Bukan sekadar berbudi pekerti yang luhur, melainkan juga berbuat kebajikan
kepada sesama makhluk Allah. Seorang saleh tidak
boleh merasa dirinya lebih mulia dari seekor anjing sekalipun. Dia juga selalu
siap mengulurkan tangan kepada siapa pun yang membutuhkan bantuan. Bahkan bantuan tersebut bukan sekadar diberikan dalam bentuk material
semata, tetapi juga rohaniah dan spiritual.
Selain itu
bertasawuf juga berarti menghormati waktu. Shah Naqshaband pernah menegaskannya
dalam bahasa Persia, “Orang yang berakal pasti tidak suka berkawan dengan
seorang yang suka menunda-nunda pekerjaan jika mampu dilakukannya hari ini.”
Waktu harus digunakan untuk ibadah dalam pengertiannya yang paling komprehensif, berbuat
kebajikan baik yang ritual maupun yang sosial. Dan, tidak boleh ada waktu yang
berlalu sedetik pun tanpa yakin bahwa kita selalu “mengingat” dan “bersama”
Allah.
Dengan demikian bertasawuf
bagi Shah Naqshaband adalah mewujudkan ketundukan penuh kepada Nabi Muhammad
SAW secara paripurna,
menjalankan perintahnya, menghindari larangannya, meneladani perbuatannya, dan
menghayati spiritualitasnya, sesuai dengan ajaran Islam menurut mazhab
ahlussunnah wal jamaah.
Tidak heran kalau banyak
ulama yang mengakui bahwa Tarekat Naqshabandiyah adalah saripati semua tarekat
sufi. Dan barang siapa yang suluknya tidak sesuai dengan ajaran Shah Naqshaband
di atas berarti sudah keluar dari jalur yang benar meskipun mengaku sebagai
pengikut beliau. Shah Naqshaband pernah menegaskan, “Tasawuf adalah syariat.
Dan, barang siapa yang mengaku sebagai pengikut tasawuf, tetapi tidak
menerapkan syariat, berarti dia telah tersesat!”
Syekh Muhammad Baba menganugerahinya sebuah “kopiah wasiat al Azizan” yang
membuat cita-citanya untuk lebih dekat dan wusul kepada Allah Swt. semakin
meningkat dan bertambah kuat. Hingga pada suatu saat, Syekh Muhammad Bahauddin
Ra melaksanakan sholat lail di Masjid. Dalam salah satu sujudnya hati beliau
bergetar dengan getaran yang sangat menyejukkan sampai terasa hadir dihadapan
Allah (tadhoru’). Saat itu beliau berdo’a, “Ya Allah berilah aku kekuatan untuk
menerima bala’ dan cobaanya mahabbbah (cinta kepada Allah)”.
Setelah subuh, Syekh Muhammad Baba yang memang seorang waliyullah yang
kasyaf (mengetahui yang ghoib dan yang akan terjadi) berkata kepada Syekh
Bahauddin, “Sebaiknya kamu dalam berdo’a begini, “Ya Allah berilah aku apa saja
yang Engkau ridloi”. Karena Allah tidak ridlo jika hamba-Nya terkena bala’ dan
kalau memberi cobaan, maka juga memberi kekuatan dan memberikan kepahaman
terhadap hikmahnya”. Sejak saat itu Syekh Bahauddin seringkali berdo’a sesuai
dengan apa yang diperintahkan oleh Syekh Muhammad baba.
Untuk lebih berhasil dalam pendekatan diri kepada Sang Kholiq, Syekh
Bahauddin seringkali berkholwat menyepikan hatinya dari keramaian dan kesibukan
dunia. Ketika beliau berkholwat dengan beberapa sahabatnya, waktu itu ada
keinginan yang cukup kuat dalam diri Syekh Bahauddin untuk bercakap-cakap. Saat
itulah secara tiba-tiba ada suara yang tertuju pada beliau, “He, sekarang kamu
sudah waktunya untuk berpaling dari sesuatu selain Aku (Allah)”. Setelah
mendengar suara tersebut, hati Syekh Bahauddin langsung bergetar dengan
kencangnya, tubuhnya menggigil, perasaannya tidak menentu hingga beliau
berjalan kesana kemari seperti orang bingung. Setelah merasa cukup tenang,
Syekh Bahauddin menyiram tubuhnya lalu wudlu dan mengerjakan sholat sunah dua
rokaat. Dalam sholat inilah beliau merasakan kekhusukan yang luar biasa,
seolah-olah beliau berkomunikasi langsung dengan Allah Swt.
Saat Syekh Bahauddin mengalami jadzab yang pertama kali beliau mendengar
suara, “Mengapa kamu menjalankan thoriq yang seperti itu? “Biar tercapai
tujuanku’, jawab Syekh Muhammad Bahauddin. Terdengar lagi suara, “Jika demikian
maka semua perintah-Ku harus dijalankan. Syekh Muhammad Bahauddin berkata “Ya
Allah, aku akan melaksanakan semampuku dan ternyata sampai 15 hari lamanya
beliau masih merasa keberatan. Terus terdengar lagi suara, “Ya sudah, sekarang
apa yang ingin kamu tuju ? Syekh Bahauddin menjawab, “Aku ingin thoriqoh yang
setiap orang bisa menjalankan dan bisa mudah wushul ilallah”.
Hingga pada suatu malam saat berziarah di makam Syekh Muhammad Wasi’,
beliau melihat lampunya kurang terang padahal minyaknya masih banyak dan
sumbunya juga masih panjang. Tak lama kemudian ada isyarat untuk pindah
berziarah ke makam Syekh Ahmad al Ahfar Buli, tetapi disini lampunya juga
seperti tadi. Terus Syekh Bahauddin diajak oleh dua orang ke makam Syekh
Muzdakhin, disini lampunya juga sama seperti tadi, sampai tak terasa hati Syekh
Bahauddin berkata, “Isyarat apakah ini ?”
Kemudian Syekh Bahauddin, duduk menghadap kiblat sambil bertawajuh dan
tanpa sadar beliau melihat pagar tembok terkuak secara perlahan-lahan, mulailah
terlihat sebuah kursi yang cukup tinggi sedang diduduki oleh seseorang yang
sangat berwibawa dimana wajahnya terpancar nur yang berkilau. Disamping kanan
dan kirinya terdapat beberapa jamaah termasuk guru beliau yang telah wafat,
Syekh Muhammad Baba.
Salah satu dari mereka berkata, “Orang mulia ini adalah Syekh Muhammad
Abdul Kholiq al Ghojdawaniy dan yang lain adalah kholifahnya. Lalu ada yang
menunjuk, ini Syekh Ahmad Shodiq, Syekh Auliya’ Kabir, ini Syekh Mahmud al
Anjir dan ini Syekh Muhammad Baba yang ketika kamu hidup telah menjadi gurumu.
Kemudian Syekh Muhammad Abdul Kholiq al Ghojdawaniy memberikan penjelasan
mengenai hal-hal yang dialami Syekh Muhammad Bahauddin, “Sesunguhnya lampu yang
kamu lihat tadi merupakan perlambang bahwa keadaanmu itu sebetulnya terlihat
kuat untuk menerima thoriqoh ini, akan tetapi masih membutuhkan dan harus
menambah kesungguhan sehingga betul-betul siap. Untuk itu kamu harus
betul-betul menjalankan 3 perkara :
1. Istiqomah mengukuhkan syariat.
2. Beramar Ma’ruf Nahi mungkar.
3. Menetapi azimah (kesungguhan) dengan arti menjalankan agama dengan mantap
tanpa memilih yang ringan-ringan apalagi yang bid’ah dan berpedoman pada
perilaku Rasulullah Saw. dan para sahabat Ra.
Kemudian untuk membuktikan kebenaran pertemuan kasyaf ini, besok pagi
berangkatlah kamu untuk sowan ke Syekh Maulana Syamsudin al An-Yakutiy, di sana
nanti haturkanlah kejadian pertemuan ini. Kemudian besoknya lagi, berangkatlah
lagi ke Sayyid Amir Kilal di desa Nasaf dan bawalah kopiah wasiat al Azizan dan
letakkanlah dihadapan beliau dan kamu tidak perlu berkata apa-apa, nanti beliau
sudah tahu sendiri”.
Syekh Bahauddin setelah bertemu dengan Sayyid Amir Kilal segera meletakkan
“kopiah wasiat al Azizan” pemberian dari gurunya. Saat melihat kopiah wasiat al
Azizan, Sayyid Amir Kilal mengetahui bahwa orang yang ada didepannya adalah
syekh Bahauddin yang telah diwasiatkan oleh Syekh Muhammad Baba sebelum wafat
untuk meneruskan mendidiknya.
Syekh Bahauddiin di didik pertama kali oleh Sayyid Amir Kilal dengan
kholwat selama sepuluh hari, selanjutnya dzikir nafi itsbat dengan sirri.
Setelah semua dijalankan dengan kesungguhan dan berhasil, kemudian beliau
disuruh memantapkannnya lagi dengan tambahan pelajaran beberapa ilmu seperti, ilmu
syariat, hadist-hadist dan akhlaqnya Rasulullah Saw. dan para sahabat. Setelah
semua perintah dari Syekh Abdul Kholiq di dalam alam kasyaf itu benar–benar
dijalankan dengan kesungguhan oleh Syekh Bahauddin mulai jelas itu adalah hal
yang nyata dan semua sukses bahkan beliau mengalami kemajuan yang sangat pesat.
Jadi toriqoh An Naqsyabandiy itu jalur ke atas dari Syekh Muhammad Abdul
Kholiq al Ghojdawaniy ke atasnya lagi dari Syekh Yusuf al Hamadaniy seorang
Wali Qutub masyhur sebelum Syekh Abdul Qodir al Jailani. Syekh Yusuf al
Hamadaniy ini kalau berkata mati kepada seseorang maka mati seketika, berkata
hidup ya langsung hidup kembali, lalu naiknya lagi melalui Syekh Abu Yazid al
Busthomi naik sampai sahabat Abu Bakar Shiddiq Ra. Adapun dzikir sirri itu
asalnya dari Syekh Muhammad Abdul Kholiq al ghojdawaniy yang mengaji tafsir di
hadapan Syekh Sodruddin. Pada saat sampai ayat, “Berdo’alah
kepada Tuhanmu dengan cara tadhorru’ dan menyamarkan diri”...
Lalu beliau berkata bagaimana haqiqatnya dzikir khofiy
/dzikir sirri dan kaifiyahnya itu ? jawab sang guru: o, itu ilmu laduni dan
insya Allah kamu akan diajari dzikir khofiy. Akhirnya yang memberi pelajaran
langsung adalah nabi Khidhir as.
Pada suatu hari Syekh Muhammad Bahauddin Ra bersama salah seorang sahabat
karib yang bernama Muhammad Zahid pergi ke Padang pasir dengan membawa cangkul.
Kemudian ada hal yang mengharuskannya untuk membuang cangkul tersebut. Lalu
berbicara tentang ma’rifat sampai datang dalam pembicaraan tentang ubudiyah
“Lha kalau sekarang pembicaraan kita sampai begini kan berarti sudah sampai
derajat yang kalau mengatakan kepada teman, matilah, maka akan mati seketika”.
Lalu tanpa sengaja Syekh Muhammad Bahauddin berkata kepada Muhammad Zahid,
“matilah kamu!, Seketika itu Muhammad Zahid mati dari pagi sampai waktu dhuhur.
Melihat hal tersebut Syekh Muhammad Bahauddin Ra menjadi kebingungan,
apalagi melihat mayat temannya yang telah berubah terkena panasnya matahari.
Tiba-tiba ada ilham “He, Muhammad, berkatalah ahyi (hiduplah kamu). Kemudian
Syekh Muhammad Bahauddin Ra berkata ahyi sebanyak 3 kali, saat itulah terlihat
mayat Muhammad Zahid mulai bergerak sedikit demi sedikit hingga kembali seperti
semula. Ini adalah pengalaman pertama kali Syekh Muhammad Bahauddin Ra dan yang
menunjukkan bahwa beliau adalah seorang Wali yang sangat mustajab do’anya.
Syekh Tajuddin salah satu santri Syekh Muhammad Bahauddin Ra berkata,
“Ketika aku disuruh guruku, dari Qoshrul ‘Arifan menuju Bukhara yang jaraknya
hanya satu pos aku jalankan dengan sangat cepat, karena aku berjalan sambil
terbang di udara. Suatu ketika saat aku terbang ke Bukhara, dalam perjalanan
terbang tersebut aku bertemu dengan guruku. Semenjak itu kekuatanku untuk
terbang di cabut oleh Syekh Muhammad Bahauddin Ra, dan seketika itu aku tidak
bisa terbang sampai saat ini”.
Berkata Afif ad Dikaroniy, “Pada suatu hari aku berziarah ke Syekh Muhammad Bahauddin Ra. Lalu ada orang yang menjelek-jelekkan beliau. Aku peringatkan, kamu jangan berkata jelek terhadap Syekh Muhammad Bahauddin Ra dan jangan kurang tata kramanya kepada kekasih Allah. Dia tidak mau tunduk dengan peringatanku, lalu seketika itu ada serangga datang dan menyengat dia terus menerus. Dia meratap kesakitan lalu bertaubat, kemudian sembuh dengan seketika. Demikian kisah keramatnya Syekh Muhammad Bahauddin Ra. Rodiyallah ‘anhu wa a’aada a‘lainaa min barokaatihi wa anwaarihi wa asroorihii wa ‘uluumihii wa akhlaaqihi allahuma amiin.
Berkata Afif ad Dikaroniy, “Pada suatu hari aku berziarah ke Syekh Muhammad Bahauddin Ra. Lalu ada orang yang menjelek-jelekkan beliau. Aku peringatkan, kamu jangan berkata jelek terhadap Syekh Muhammad Bahauddin Ra dan jangan kurang tata kramanya kepada kekasih Allah. Dia tidak mau tunduk dengan peringatanku, lalu seketika itu ada serangga datang dan menyengat dia terus menerus. Dia meratap kesakitan lalu bertaubat, kemudian sembuh dengan seketika. Demikian kisah keramatnya Syekh Muhammad Bahauddin Ra. Rodiyallah ‘anhu wa a’aada a‘lainaa min barokaatihi wa anwaarihi wa asroorihii wa ‘uluumihii wa akhlaaqihi allahuma amiin.
SHEIKUNA JALALUDDIN AHMAD
AR-ROWI
Prinsip Thariqat Naqshbandi
'Abdul Khaliq al-Ghujdawani
mengemukakan butir-butir renungan ini yang kini dianggap sebagai prinsip Thariqat
Naqshbandi Sufi:
1.
Bernapas Secara Sadar ("Hosh dar
dam")
Hosh berarti "pikir".
Dar berarti "dalam". Dam berarti "napas".
Artinya, menurut Abdul Khaliq al-Ghujdawani, bahwa :
"pencari/pejalan/murid
yang bijak harus melindungi napasnya terhadap kealpaan/kesembronoan, menarik
dan menghembuskan, dengan itu selalu menjaga kalbunya berada dalam Hadhirat
Allah; dan dia harus menghidupkan napasnya dengan pengabdian dan penghambaan
dan mempersembahkan pengabdian itu kepada Tuhannya penuh dengan kehidupan /
kegairahan, karena setiap tarikan dan hembusan napas dengan demikian (Hadhirat)
itu adalah hidup dan menyambung dengan Hadhirat Ilahi. Setiap tarikan dan
hembusan napas dengan kealpaan/kecerobohan adalah mati, terputus hubungan
dengan Hadhirat Ilahi."
Ubaidullah al-Ahrar mengatakan, "Missi paling penting dalam
Thariqat ini adalah untuk melindungi napasnya, dan dia yang tak dapat menjaga
napasnya, baginya akan dikatakan, dia telah kehilangan dirinya.'"
Shah Naqshband mengatakan, "Thariqat ini dibangun atas
dasar napas. Sehingga adalah suatu keharusan bagi semuanya untuk menjaga
napasnya pada waktu menarik dan menghembuskan dan selanjutnya, untuk menjaga
napasnya dalam interval antara menarik dan menghembuskan napas."
Shaikh Abul Janab Najmuddin
al-Kubra mengatakan dalam bukunya, Fawatih
al-Jamal, "Dhikr mengalir dalam diri setiap makhluq hidup dengan
keharusan napasnya – meskipun tanpa niat – sebagai suatu tanpa ketundukan, yang adalah
bagian dari penciptaannya. Melalui napasnya, bunyi huruf "Ha" dari asmaul
husna Allah dibuat dalam setiap
penghembusan dan penarikan dan itu adalah tanda dari Essensi Tak-Nampak sedang
mengungkapkan penekanan Ke-Unik-an Allah. Jadi sangatlah penting untuk selalu
“hadir” dengan napas itu, agar supaya menyadari (merasakan) Essensi dari Al
Khaliqu."
Nama 'Allah' yang
melingkupi sembilan puluh
sembilan asma ul-husna terdiri
dari empat huruf : Alif, Lam, Lam dan Hah (ALLAH). Pengikut Sufi mengatakan
bahwa Dzat Allah Azza Wa Jalla yang gaib sempurna dinyatakan dengan huruf terakhir,
"Ha" itu. Huruf ini mewakili Dia Yang Maha gaib Sempurna (Ghayb al-Huwiyya al-Mutlaqa lillah 'azza wa
jall). Lam pertama adalah untuk identifikasi (tacrif) dan Lam
kedua adalah untuk penekanan (mubalagha).
Memelihara napasmu dari
ketidak-pedulian akan menuntunmu kepada Hadhirat Nya secara utuh, dan Hadhirat
Utuh akan menuntun engkau kepada Pandangan (Vision) utuh, dan Pandangan (Vision) utuh akan menuntun engkau
kepada Manifestasi Utuh sembilan puluh sembilan asma ul husna Allah. Allah akan menuntun engkau kepada
Manifestasi sembilan puluh
sembilan Asma Nya dan keseluruhan Asma Nya yang lain, karena dikatakan bahwa,
"Asma Allah adalah sebanyak napas umat manusia."
Hendaknya diketahui oleh
semua bahwa menyelamatkan napas dari ketak-pedulian adalah suatu proses yang
sukar bagi seorang pencari.. Sehingga mereka harus melakukan hal itu dengan
mencari ampunan (istighfar)
karena mencari ampunan akan membersihkan dan mensucikan diri kita dan
mempersiapkan si pencari untuk Manifestasi Sesungguhnya Allah yang memang
berada dimana-mana.
2.
Perhatikan Langkahmu ("Nazar bar
qadam")
Itu artinya bahwa sang
pencari sewaktu berjalan hendaknya pandangan matanya hanya tertuju kepada
kakinya saja. Kemanapun kakinya hendak dia tempatkan, pandangan matanya
hendaknya berada disitu pula. Dia tidak diperkenankan melemparkan pandangannya
kesana kemari, untuk melihat kekiri atau kekanan atau kedepannya, karena
pemandangan yang tak perlu akan menutupi kalbunya. Kebanyakan tabir pada kalbu
diciptakan oleh gambar(an) yang ditransmisikan dari mata kepada pikiran selama
menjalani kehidupan sehari-hari. Hal-hal ini mungkin (boleh jadi) mengganggu
(menggoncangkan) kalbumu dengan turbulensi (gambaran dari gerak air sewaktu
ombak mendampar karang), karena berbagai macam keinginan yang (telah) dicetak
di dalam pikiran kita (oleh berbagai gambar(an) itu). Bayangan-bayangan
tersebut adalah seperti tabir yang menutupi kalbu. Mereka menghadang Cahaya
Hadhirat Ilahiah. Itulah sebabnya para wali Sufi tidak membolehkan para
pengikutnya, yang telah membersihkan kalbu mereka melalui Dhikr
berkesinambungan, untuk melihat selain kepada kaki mereka. Kalbu mereka sudah
seperti kaca cermin, memantulkan dan menyerap gambar (image) secara mudah.
Gambar ini akan menyimpangkan mereka dan membawa berbagai kekotoran
(ketak-murnian) kedalam kalbu mereka. Maka para pencari diperintahkan untuk
merendahkan pandangannya agar supaya tidak diserbu oleh anak panah syaithan.
Merendahkan pandangan juga
merupakan tanda kerendahan hati; orang yang bangga dan sombong tidak pernah
melihat kaki mereka. Itu juga suatu indikasi bahwa seseorang sedang mengikuti
jejak (yang dicontohkan) Nabi (s.a.w.), yang jika berjalan tidak pernah
melihat ke kiri atau ke kanan, tetapi selalu melihat ke kakinya, bergerak
dengan tegas dan mantap menuju arah tujuannya. Itu juga sebuah tanda dari
sebuah ketinggian maqam bila seorang pencari tidak melihat kemana-mana kecuali
hanya kepada Tuhannya. Seperti seorang yang ingin sampai ke tujuannya dengan
cepat, demikian juga seorang pencari Hadhirat Allah bergerak dengan cepat,
tidak melihat ke kanan atau ke kirinya, tidak melihat kepada keinginan duniawi,
tetapi hanya melihat kepada Hadhirat Ilahiah.
Imam ar-Rabbani Ahmad
al-Faruqi mengatakan dalam suratny` ke
295 dari Maktubat nya:
"Pandangan mendahului
langkah dan langkah mengikuti pandangan. Perjalanan mendaki (mi’raj) ke maqam
yang lebih tinggi mula-mula dengan Pandangan, diikuti Langkah. Apabila Langkah
mencapai level Ketinggian dari Pandangan, maka Pandangan akan naik lagi ke
tingkat berikutnya, atas itu Langkah juga mengikuti secara bergilir. Maka
Pandangan akan diangkat ke tempat yang lebih tinggi lagi dan Langkah akan
mengikutinya secara bergilir. Dan begitu seterusnya sampai Pandangan mencapai
tingkat Kesempurnaan ke arah itulah Langkah akan ditarik (oleh Pandangan). Kita
katakan, 'Bila Langkah mengikuti Pandangan, sang murid telah mencapai tingkat
Kesiapan dalam mendekati Langkah Nabi (s.a.w.). Maka Langkah Nabi (s.a.w.) itu
disebut juga sebagai Awal atau Sejatinya semua langkah lainnya.'"
Shah Naqshband
mengatakan, "Jika kita (hanya) melihat kesalahan shahabat kita,
kita akan ditinggalkan tanpa teman, karena tak seorangpun sempurna."
3.
Perjalanan Pulang ("safar dar
watan")
Itu artinya perjalanan
menuju kampung halaman. Itu artinya sang pencari berjalan dari dunia ciptaan
menuju kepada dunia Sang Pencipta. Diceritakan bahwa Nabi (s.a.w.) mengatakan, "Saya
akan mengunjungi Tuhan ku dari satu maqam ke maqam yang lebih baik dan dari
satu stasiun ke stasiun yang lebih tinggi." Dikatakan bahwa
sang pencari harus berjalan dari Kenginan untuk hal terlarang kepada Keinginan
untuk Hadhirat Ilahi.
Thariqat
Naqshbandi membagi perjalanan itu menjadi dua kategori. Pertama adalah
perjalanan eksternal dan kedua adalah perjalanan internal. Perjalanan eksternal
adalah berjalan dari satu tempat ke tempat lain mencari seorang pembimbing yang
sempurna untuk membawa dan mengarahkan engkau ke sasaran yang engkau tuju. Ini
akan memungkinkan engkau untuk menapak ke kategori kedua, perjalanan internal. Para
pencari, sekali mendapatkan pembimbing sempurna (mursid), dilarang untuk
melakukan perjalanan eksternal lainnya. Dalam perjalanan eksternal terdapat
banyak kesukaran yang tak akan sanggup ditanggung oleh pemula tanpa jatuh
kepada tindakan terlarang (haram), karena mereka memang masih lemah dalam
ibadahnya.
Kategori
kedua adalah perjalanan internal. Perjalanan internal memerlukan para pencari
meninggalkan akhlaq buruk mereka dan meningkat ke akhlaq yang lebih tinggi,
mencampakkan semua kehnginan dunia dari kalbunya. Dia akan diangkat dari
keadaan tidak bersih ke keadaan bersih atau murni. Pada saat itu dia tidak lagi
memerlukan perjalanan internal lainnya. Dia telah mensucikan kalbunya,
membuatnya jernih seperti air, transparan seperti kristal, mengkilap seperti
cermin, memperlihatkan kebenaran dari semua hal yang esensi dari kehidupannya
sehari-hari, tanpa memerlukan gerakan eksternal dari sisinya. Dalam kalbunya
akan muncul semua hal yang diperlukan untuk kehidupannya dan untuk kehidupan
mereka yang berada di sekelilingnya.
4.
Kesendirian dalam Keramaian ("khalwat
dar anjuman")
"Khalwat" berarti menyendiri. Itu
artinya secara tampak luar bersama dengan manusia di sekelilingnya sementara
secara batin selalu bersama Allah. Terdapat juga dua kategori “khalwat”. Pertama adalah penyendirian
eksternal dan kedua adalah penyendirian internal.
Penyendirian eksternal
memerlukan para pencari unutk menyendiri dalam suatu tempat yang tiada orang
lainnya. Tinggal disitu sendirian, dia konsentrasi dan meditasi pada
Dhikrullah, mengingat Allah, agar supaya mencapai keadaan dimana Teritori
Kebenaran Allah menjadi nyata (menjelma). Apabila engkau merantai indera
eksternal, indera internal mu akan bebas untuk mencapai Teritori Kebenaran
Langit (Surgawi). Ini akan membawamu ke kategori kedua : kesendirian internal.
Kesendirin internal berarti
menyendiri diantara keramaian orang. Disitu kalbu pencari hendaknya hadir
dengan Tuhannya dan absen dari dunia ciptaan sambil secara fisik berada
di antara mereka. Dikatakan, "Sang pencari akan begitu terkait mendalam
dengan Dhikr sunyi (sir) dalam kalbunya, meskipun dia masuk ke kerumunan orang,
dia tidak akan mendengar suara mereka. Keadaan Dhikr nya telah menguasainya.
Kenyataan (manifestasi) dari Hadhirat Ilahi menariknya dan membuatnya tidak
sadar kepada semuanya kecuali kepada Tuhannya. Ini adalah posisi tertinggi
suatu khalwat,
dan dianggap khalwat yang
benar, sebagaimana disebut dalam al Qur'an: "Orang-orang yang tak dapat
dialihkan perhatiannya dari mengingat Allah oleh bisnis maupun keuntungan
" [24:37]. Inilah cara Tharekat Naqshbandi.
Khalwat
utama seorang
shaykh Tharekat Naqshbandi adalah kesendirian internal. Mereka bersama Allah
dan sekaligus bersama umatnya. Sebagaimana dikatakan Nabi (s.a.w.), "Saya
memiliki dua sisi : satu muka menghadap Al Khaliq muka lainnya menghadap
ciptaan (makhluq)." Shah Naqshband menekankan kebaikan berjamaah,
bermajelis (berkumpul) ketika dia mengatakan: Tariqatuna as-suhbat wa-l-khairu fil-jamciyyat
("Tharekat kita adalah persahabatan (kebersamaan), dan Kebaikan berada
dalam Kebersamaan ").
Dikatakan bahwa seorang
beriman yang bergaul dengan orang dan mengangkat (memikul) kesukaran mereka
lebih baik dari seorang beriman yang menyendiri dari orang. Terhadap hal yang
peka ini Imam Rabbani mengatakan,
"Hendaknya diketahui
bahwa sang pencari pada awalnya mungkin menggunakan khalwat external untuk mengisolasi dirinya dari orang, beribadah
dan konsentrasi kepada Allah, Azza wa Jalla, sampai dia mencapai tahap yang
lebih tinggi. Pada waktu itu dia akan dianjurkan oleh shaikh-nya, dalam
kata-kata Sayyid al-Kharraz, Kesempurnaan bukan pada peragaan kekuatan karomah,
tetapi kesempurnaan adalah duduk bersama orang (banyak), menjual dan membeli,
menikah dan mempunyai anak; namun tak pernah meninggalkan kehadiran Allah
bahkan sekejabpun.'"
5.
Dhikr Utama (Essensi) ("yad
kard")
Arti 'Yad' adalah Dhikr.
Arti 'kard' adalah essensi
Dhikr. Sang pencari hendaknya melakukan Dhikr dengan penolakan (negasi) dan
penerimaan (affirmasi) pada lidahnya sampai dia mencapai keadaan meditasi
(kontemplasi) kalbu (muraqaba).
Keadaan itu akan dicapai dengan setiap hari menyebut penolakan (negasi) : LA
ILAHA dan penerimaan (affirmasi) ILLALLAH pada lidah, antara 5,000 dan 10,000
kali, membuang dari kalbunya segala elemen yang akan mengotori dan membuatnya
berkarat. Dhikr ini mempoles kalbu dan membawa sang pencari ke dalam keadaan
Kenyataan (Manifestasi). Dia harus melakukan dhikr harian itu, baik dengan
kalbu atau dengan lidah, mengulang ALLAH, yang mewakili (meliputi) semua asma
dan sifat Nya, atau dengan negasi dan affirmasi melalui penyebutan LA ILAHA
ILLALLAH.
Dhikr harian ini akan
membawa sang pencari kedalam kehadiran sempurna dari Huwa Allahu Ahad.
Dhikr dengan negasi dan
affirmasi, dalam tata cara
Shaykh Naqshbandi, menghendaki bahwa sang pencari menutup matanya, menutup
mulutnya, menggigit giginya, melekatkan lidahnya pada langit-langit mulutnya,
dan menahan napasnya. Dia harus membaca dhikr itu melalui kalbu, dengan negasi
dan affirmasi, memulai dengan kata LA ("Tidak"). Dia mengangkat
"Tidak" ini dari bawah pusarnya naik ke otaknya. Sampai di otak kata
"Tidak" mengeluarkan kata ILAHA ("Tuhan"), bergerak dari
otak ke bahu kiri, dan menabrak kalbu (jantung)nya dengan ILLALLAH
("kecuali Allah "). Apabila kata itu menabrak kalbu, energi dan
panasnya memancar keseluruh bagian tubuh. Sang pencari yang telah menolak semua
yang ada di dunia ini dengan kalimat LA ILAHA, dan menyatakan menerima kalimat
ILLALLAH, artinya berada dalam keadaan bahwa semua yang exist (ada) hilang
lenyap dalam Hadhirat Allah.
Sang pencari mengulang ini
dengan setiap napas, menghirup dan meniup, selalu membuatnya mencapai kalbu,
sesuai dengan jumlah angka yang di-instruksikan oleh shaikh-nya. Sang pencari
secara
berangsur akan mencapai keadaan dimana dalam satu napas dia dapat mengulang LA
ILAHA ILLALLAH duapuluh tiga kali. Seorang shaikh mursid dapat mengulang LA
ILAHA ILLALLAH tak terhitung banyaknya dalam setiap kali napas. Arti dari
praktek ini adalah bahwa sasaran satu-satunya hanya ALLAH dan tidak ada sasaran
lain lagi bagi kita. Dengan melihat Hadhirat Allah sebagai satu-satunya
Kenyataan (Existensi), akan memasukkan kedalam kalbu murid itu cinta Nabi
(s.a.w.) dan pada saat itu dia mengatakan, MUHAMMADUN RASULULLAH yang adalah
jantung dari Hadhirat Allah.
6.
Kembali ("baz gasht")
Ini adalah keadaan dimana
sang pencari, yang melakukan Dhikr dengan negasi dan affirmasi, sampai kepada
pengertian ungkapan Nabi (s.a.w.), ilahi
anta maqsudi wa ridaka matlubi ("Ya Allah, Engkaulah yang kami
Maksud dan Ridha Mu adalah dambaanku.") Pembacaan ungkapan ini akan
menambah kesadaran sang pencari tentang Ke-Esa-an Allah, sampai dia
mencapai keadaan di mana keberadaan semua ciptaan (makhluq) lenyap dari
pandangan matanya. Semua yang dilihatnya, kemanapun dia memandang, adalah
Allahu Shamadu. Murid Naqshbandi membaca dhikr macam ini agar supaya menyuling
dari kalbunya rahasia Al Ahad, dan untuk membuka diri mereka kepada Kenyataan
Hadhirat Allahu Shamadu. Para pemula tidak berwenang meninggalkan dhikr
ini bila dia tidak mendapatkan kekuatan itu muncul dalam kalbunya. Dia harus
tetap membaca dhikr ini mengikuti (meniru) Shaykh-nya, karena Nabi (s.a.w.)
telah mengatakan, "Barang siapa meniru suatu golongan orang akan menjadi
bagian dari golongan itu." Dan barang siapa meniru gurunya akan suatu hari
mendapatkan rahasia itu terbuka untuk kalbunya.
Arti dari "baz gasht" adalah kembali kepada
Allah Azza wa Jalla dengan menunjukkan kepasrahan diri sempurna dan tunduk
kepada Kemauan Nya, dan kerendahan diri sempurna dengan menyampaikan semua
pepujian kepada Nya. Itulah alasan Nabi (s.a.w.) menyebutkan dalam doanya, ma dzakarnaka aqqa dzikrika ya Madzkar
("Kami tidak Mengingat Engkau sebagaimana seharusnya Engkau Diingat, Ya
Allah"). Sang pencari tidak dapat datang kepada hadhirat Allah dalam
dzikrnya, dan tidak dapat mengungkapkan Rahasia dan Sifat Allah dalam dzikrnya,
bila dia tidak melaksanakan dzikrnya itu dengan Dukungan Allah dan dengan Allah
Mengingat dirinya. Sebagaimana dikatakan Bayazid: "Ketika aku mencapai Dia
aku melihat bahwa ingatan Dia (kepadaku)
mendahului ingatan saya kepada Nya." Sang pencari tidak dapat melakukan
dzikr oleh sendirinya. Dia harus mengetahui bahwa Allah adalah justru yang
sedang melakukan Dzikr melalui diri hamba Nya itu.
7.
Perhatian ("nigah dasht")
"Nigah" berarti pandangan (visi).
Itu artinya sang pencari hendaknya mengendalikan qalbunya dan melindunginya
dengan cara mencegah masuknya pikiran buruk. Kecenderungan buruk akan
menghalangi qalbu dari penyatuan diri dengan Hadhirat Allah. Diakui dalam
Naqshbandiyya bahwa bagi seorang pencari dapat melindungi qalbunya dari
kecenderungan buruk selama lima menit saja adalah sebuah hasil yang besar.
Untuk ini saja dia sudah akan diakui sebagai seorang sufi sejati. Sufisme adalah
sebuah kekuatan untuk melindungi qalbu dari pemikiran buruk dan menjaganya dari
kecenderungan rendah. Barang siapa berhasil dengan dua sasaran ini akan
mengerti qalbunya, dan barang siapa mengerti qalbunya akan mengenali Tuhannya.
Nabi s.a.w. mengatakan, "Barang siapa mengenal dirinya sendiri, mengenal
Tuhannya."
Seorang
shaikh Sufi mengatakan, "Karena saya melindungi qalbu ku untuk sepuluh
malam, qalbuku melindungiku untuk dua puluh
tahun."
Abu Bakr al-Qattani
mengatakan, "Aku adalah penjaga pintu qalbuku selama 40 tahun, dan aku tak
pernah membukanya untuk siapapun kecuali Allah, Azza wa Jalla, sampai qalbuku
tidak lagi mengenali siapapun kecuali Allah Azza wa Jalla."
Abul Hassan al-Kharqani
mengatakan, "Telah 40 tahun Allah melihat ke dalam qalbu saya dan
mendapati bahwa tak seorangpun berada disana kecuali Diri Nya Sendiri. Dan
memang tidak ada ruang dalam qalbu saya untuk selain Allah."
8.
Memori ("yada dasht")
Artinya pembaca Dzikr
melindungi qalbunya dengan negasi dan affirmasi dalam setiap hembusan napas
tanpa meninggalkan Hadhirat Allah Azza wa Jalla. Hendaknya sang pencari agar
mempertahankan qalbunya supaya selalu berada dalam Hadhirat Allah. Ini akan
membuatnya menyadari dan merasakan Cahaya Esensi dari Allah (anwar adh-dhat al-Ahadiyya). Dia
kemudian membuang tiga dari empat bentuk pikiran : pikiran egoistik, pikiran
jahat, dan pikiran malaikatis, sambil mempertahankan dan membenarkan hanya
bentuk pikiran ke-empat, yaitu : pikiran kebenaran atau haqqani. Hal ini akan membimbing sang pencari menuju keadaan
tertinggi dari kesempurnaan dengan membuang semua khayalannya dan hanya
merengkuh Kebenaran yang adalah Ke-Esa-an Allah, 'Azza wa Jalla.
'Abdul Khaliq al-Ghujdawani
mempunyai empat orang khalifah. Yang pertama adalah Shaikh Ahmad as-Siddiq,
berasal dari Bukhara. Yang kedua adalah Kabir al-Awliya ("Terbesar
diantara Wali "), Shaikh Arif Awliya al-Kabir. Berasal dari Bukhara, dia
adalah ulama terkemuka dalam Ilmu external dan internal. Khalifah yang ketiga
adalah Shaikh Sulaiman al-Kirmani . Khalifah keempat adalah Arif
ar-Riwakri . Kepada khalifah keempat inilah Abdul Khaliq mewariskan Rahasia Mata Rantai Emas
(Naqshbandi) sebelum dia meninggal pada 12 Rabi'ul-Awwal 575 H.
Beliau
meninggal pada malam Senin, 3 Rabiul Awwal 791 H/1391 M.