Nama lengkap beliau adalah Abdurrahman Abu Zaid
Waliuddin bin Muhammad bin Muhammad bin Abi Bakar Muhammad bin al-Hasan. Nama
pemberian ayah beliau adalah Abdurrahman, Beliau biasa dipanggil Abu Zaid dan
bergelar Waliuddin. Nama Ibnu Khaldun sendiri merujuk pada kakek moyangnya yang
bernama Khalid bin Utsman. Orang Arab, sebagai bentuk takzim kepada ketinggian
ilmunya, menambahkan huruf wawu dan nun pada nama kakek moyangnya itu. Jadilah
ia terkenal hingga sekarang dengan sebutan Ibnu Khaldun.
Ibnu Khaldun dilahirkan di Tunisia pada awal bulan
Ramadhan 732 H, atau tepatnya pada 27 Mei 1332 M. Keluarga Bani Khaldun
diketahui berasal dari daerah Hadramaut, sebuah daerah di selatan jazirah Arab.
Banu Khaldun kemudian pindah ke Andalusia dan menetap di Sevilla pada permulaan
penyebaran Islam di sana
pada sekitar abad ke-9 masehi. Selanjutnya keluarga Bani Khaldun merupakan
keluarga terpandang yang memegang jabatan-jabatan penting dalam pemerintahan
dan angkatan perang Bani Umayyah Andalusia, Al-Murabitun (Almoravide), dan Al-Muwahhidun (Almohade). Pada abad ke-13 masehi, ketika
Andalusia menjadi republik bangsawan yang
feodal, keluarga Bani Khaldun juga memegang peranan penting.
Pada masa reconquista,
keluarga Bani Khaldun menyeberang ke Ceuta di Afrika Utara sebelum akhirnya
menetap di Tunisia. Perpindahan Bani Khaldun ini terjadi pada tahun 1248, namun
ada pula sumber lain yang mengatakan bahwa Bani Khaldun pindah pada 1223. Di
Tunis ini ternyata Bani Khaldun juga memainkan peran yang cukup penting dalam
pemerintahan. Muhammad Ibn Muhammad, kakek Ibnu Khaldun berprofesi sebagai
seorang Hajib (kepala rumah
tangga istana) dinasti Hafsh. la sangat dikagumi dan disegani di kalangan
istana, berkali-kali Amir Abu Yahya al-Lihyani (711 H), pemimpin dinasti
al-Muwahhidun yang telah menguasai bani Hafz di Tunisia, menawarkan kedudukan
yang lebih tinggi kepada Muhammad Ibn Muhammad, tetapi tawaran itu ditolaknya,
pada akhir hayatnya, kakek Ibnu Khaldun ini suka menekuni ilmu-ilmu keagamaan
hingga wafatnya pada 1337 M.
Dalam lingkuangan keluarga terpelajar seperti inilah
Abdurrahman atau Ibnu Khaldun lahir dan tumbuh berkembang. Tentulah lingkungan
keluarganya yang terpelajar ini membawa pengaruh besar kepada Ibnu Khaldun.
Selain itu didukung dengan intelegensi beliau yang di atas rata-rata menjadikan
beliau kelak menjadi tokoh yang mendunia dan karya-karyanya abadi.
Periode Menuntut Ilmu
Ibnu Khaldun muda, seperti halnya pemuda-pemuda Arab
lainnya, mendapatkan pengajaran tradisional langsung dari sang ayah.
Pertama-tama Ibnu Khaldun mempelajari Al-Qur’an dan menghafalnya sekali. Lalu
Ibnu Khaldun juga mempelajari macam-macam qira’at untuk Al-Qur’an. Kemudian
beliau mempelajari ilmu tata bahasa dan syair, dan baru setelah itu beliau
mempelajari hukum. Selain dari sang ayah, Ibnu Khaldun juga amat antusias
mempelajari tafsir, hadits, usul fiqih, tauhid, fiqih madzhab Maliki, fisika
dan matematika.
Semua pengetahuan itu dipelajari langsung oleh Ibnu
Khaldun dari para cendekiawan di Tunisia . Di antara para guru beliau
adalah Abu Abdillah Muhrnas Ibn Sa’ad al-Anshari dan Abu al-Abbas Ahmad ibn
Muhammad al-Bathani dalam qira’at; Abu Abdillah Ibn al-Qashar dalam ilmu
gramatika Arab; Abu ‘Abdillah Muhammad Ibn Bahr dan Abu Abdillah Ibn Jabir
al-Wadiyasyi dalam sastra; Abu Abdillah al-Jayyani dan Abu Abdillah ibn Abd
al-Salam dalam ilmu fiqh; dan masih banyak lagi gurunya. Yang mengagumkan dari
Ibnu Khaldun adalah kedalaman wawasannya dalam berbagai bidang ilmu yang ia
pelajari. Padahal tentulah bukan perkara mudah mempelajari semua itu secara
hampir bersamaan.
Masa menuntut ilmu ini beliau
jalani selama kurang lebih 18 tahun. Terhitung sejak kelahirannya pada 1332
hingga 1350. Setelah matang dengan ilmu-ilmu yang beliau pelajari, pada usia 18
tahun Ibnu Khaldun mulai memasuki dunia politik. Inilah pengalaman pertama Ibnu
Khaldun berprofesi di pemerintahan sebagai Sahib
al-Alamah (penyimpan tanda tangan), pada pemerintahan Abu Muhammad
Ibn Tafrakhtan di Tunis.
Periode Berpolitik
Sejak awal terjun ke dunia
politik praktis, Ibnu Khaldun seringkali berpindah-pindah tempat. Semula ia bekerja
di Fez, lalu ke Granada, Baugie, Biskara dan lain-lain, dalam jangka waktu
antara 1350-1382 M. Awal karir sebagai Sahib al-Alamah ini hanya dijalani
Ibnu Khaldun selama kurang lebih 2 tahun, kemudian ia berkelana menuju Biskara.
Kemudian
pada tahun 1354 Ibnu Khaldun pindah ke Maroko menetap di Fez. Penguasa Fez,
Sultan Abu Inan ketika itu lalu mengangkatnya menjadi sekretaris sultan.
Selama 8 tahun Ibnu Khaldun
menetap di Fez, banyak sekali intrik politik yang terjadi dan akhirnya juga
menyudutkannya. Sultan Abu Inan menuduhnya berkhianat dan berkomplot dengan Abu
Abdillah Muhammad dari Bani Hafsh. Akhirnya ia memantapkan diri pergi ke
Spanyol dan sampai di Granada pada tanggal 26 Desember 1362 M. Beliau diterima
dengan baik oleh penguasa Granada, Abu Abdillah Muhammad ibn Yusuf. Setahun
kemudian mulailah beliau menjalankan tugas barunya sebagai diplomat. Ibnu
Khaldun di utus kepada Raja Pedro El Cruel, penguasa Sevilla. Di Sevilla inilah
beliau melihat apa yang beliau sebut “peninggalan-peninggalan kekuasaan nenek
moyang saya”. Karena dinilai cakap, Raja Pedro menawarkan tanah-tanah “nenek
moyangnya” asalkan beliau mau bekerja kepada raja Kristen itu. Ibnu Khaldun
menolak tawaran tersebut.
Lagi-lagi aktivitas politik Ibnu
Khaldun menimbulkan kecemburuan di dalam istana Granada. Untuk menghindari
konflik lebih jauh, Ibnu Khaldun mengundurkan diri dan kembali ke Afrika
bersama-sama keluarganya. Kali ini beliau mencoba peruntungan di Bougi,
Aljazair. Penguasa Bougi kemudian mengangkatnya menjadi perdana menteri. Di
sini beliau sempat memimpin pasukan-pasukan kecil untuk memadamkan
kerusuhan-kerusuhan yang ditimbulkan oleh suku barbar.
Setelah malang melintang di
dunia politik yang penuh intrik dan kekacauan, Ibnu Khaldun akhirnya merasa
bahwa ia harus berhenti. Tahun 1375 menjadi tahun yang amat penting bagi
beliau. Sejak saat itulah beliau melepaskan semua jabatan resmi pemerintahan
kemudian bersama-sama keluarganya menetap di istana Qal’at Ibnu Salamah di
dekat Oran. Di sinilah beliau berkhalwat dan selama empat tahun berikutnya
beliau fokuskan pikirannya untuk menyelesaikan karya besarnya, Muqaddimah dan kitab Al-I’bar wa Diwanul Mubtada’wal Khabar fi Ayamul
‘Arab wal A’jam wal Barbar.
Karena kebutuhan akan
bahan-bahan penyusun karyanya itu, Ibnu Khaldun memutuskan kembali ke kampung
halamannnya, Tunisia, pada 1378. Di Tunisia ini beliau kembali lagi belajar dan
sekaligus juga mengajar. Pada 1382 Ibnu Khaldun berangkat ke Makkah untuk
menunaikan ibadah haji. Sebelum itu beliau singgah sementara di kota Iskandaria
di Mesir. Di kota inilah beliau tertarik untuk menetap di Kairo dan mengajar di
Universitas Al-Azhar.
Periode Mengajar
Ibnu Khaldun tiba di Kairo
setelah karya besarnya, Muqaddimah, lebih dulu terbit di Mesir. Beliau tiba
pada tanggal 6 Januari 1383. Sungguh meriah sambutan rakyat Mesir kepada Ibnu
Khaldun. Pada waktu itu Dinasti Mamluk sedang perkasa di Mesir dan keadaan
politik di sana pun stabil. Selama 20 tahun terakhir hidupnya Ibnu Khaldun
menghabiskannya di Mesir ini. Beliau bergiat menjadi pengajar di Universitas
Al-Azhar dan juga sebagai hakim tinggi di Mahkamah Agung.
Ibnu Khaldun memberikan
kuliahnya di lembaga-lembaga pendidikan tinggi di Mesir, seperti Universitas
al-Azhar, Sekolah Tinggi Hukum Qamhiyah, Sekolah Tinggi Zhahiriyyah dan sekolah
tinggi Sharghat Musyiyyah. Beliau mengajar terutama di bidang fiqih, hadis dan
beberapa teori tentang sejarah sosiologi yang telah ditulisnya dalam
Muqaddimah. Selain berjuang dalam dunia akademik, Ibnu Khaldun juga melakukan
kegiatan yang berkaitan dengan dunia hukum.
8 Agustus 1384, beliau diangkat
oleh Sultan Al-Zhahir Barqa, sebagai hakim agung Madzab Maliki pada mahkamah
Mesir. Ketika menjabat sebagai hakim agung inilah beliau berusaha keras
mereformasi lembaga hukum yang saat itu banyak dipenuhi korupsi. Tindakannya
ini tentu saja membawa dampak serius bagi dirinya. Sekali lagi Ibnu Khaldun
harus berhadapan dengan orang-orang yang iri dan menyebarkan preseden buruk
atas dirinya. Karena tidak tahan beliau akhirnya memilih mengundurkan diri.
Pada 1387 Ibnu Khaldun
melaksanakan ibadah haji dan ketika beliau kembali ke Mesir diangkat lagi
sebagai hakim agung Mahkamah Mesir oleh Sultan Mesir Nashir Faraj, putera
Sultan Burquq. Tahun 1400 adalah saat paling dramatis yang harus beliau alami.
Beliau beserta beberapa hakim dan ahli hukum lainnya dikirim oleh sultan Mamluk
ke Damaskus yang saat itu terancam oleh serbuan Timur Lenk. Celaka tak dapat
ditolak. Tentara Mesir yang mempertahankan Damaskus dapat dihancurkan oleh
pasukan Tartar dan terpaksa mundur. Sialnya, Ibnu Khaldun tertangkap dan
ditahan sebagai sandera untuk negosiasi penyerahan kota Damaskus kepada Timur
Lenk.
Namun Ibnu Khaldun, yang punya
segunung pengalaman politik tentu memiliki siasat untuk menghadapi Timur Lenk.
Timur Lenk sendiri tertarik pada pengetahuan dan kharisma yang dimiliki Ibnu
Khaldun. Timur Lenk mengajak beliau membahas soal-soal Afrika. Beliau sendiri
mengambil kesempatan untuk melengkapi studinya tentang sejarah bangsa Tartar
dan Mongol baru. Berkat agitasi dan lobi-lobinya, Ibnu Khaldun akhirnya
berhasil menyelamatkan sejumlah orang-orang terkemuka. Begitu kembali ke Mesir
beliau kembali diserahi jabatan hakim agung. Beliau menjabat hakim agung ini
hingga akhir hayatnya.
Karya-karya Ibnu Khaldun
& Pengaruhnya
Ibnu Khaldun dikenal sebagai
sejarawan dan bapak sosiologi Islam yang hafal Al-Qur’an sejak usia dini.
Sebagai ahli politik Islam, ia pun dikenal sebagai bapak Ekonomi Islam, karena
pemikiran-pemikirannya tentang teori ekonomi yang logis dan realistis jauh
telah dikemukakannya sebelum Adam Smith (1723-1790) dan David Ricardo
(1772-1823) mengemukakan teori-teori ekonominya. Bahkan ketika memasuki usia
remaja, tulisan-tulisannya sudah menyebar ke mana-mana. Tulisan-tulisan dan
pemikiran Ibnu Khaldun terlahir karena studinya yang sangat dalam, pengamatan
terhadap berbagai masyarakat yang dikenalnya dengan ilmu dan pengetahuan yang
luas, serta ia hidup di tengah-tengah mereka dalam pengembaraannya yang luas
pula.
Tahun 1375 menjadi saat yang
penting dalam hidup Ibnu Kholdun. Setelah bergelut dalam aktivitas politik
selama kurang lebih 25 tahun, beliau mulai mengundurkan diri dari hiruk-pikuk
dunia politik dan memulai kembali aktivitas intelektualnya. Dalam masa 4 tahun,
sejak 1375 hingga 1378 beliau memfokuskan dirinya menyelesaikan naskah kitab Al-I’bar yang telah beliau siapkan
sebelumnya. Dengan riset-riset yang terperinci dan mendalam akhirnya selesailah
kitab sejarah itu dalam 7 jilid dengan judul baru Al-I’bar wa Diwanul Mubtada’wal Khabar fi Ayamul ‘Arab wal A’jam wal
Barbar wa Man ‘Asharahum min
Dzawis Sulthan al-Akbar. Dan bagian pendahuluannya yang sekarang
kita kenal dengan Muqaddimah Ibnu Khaldun
sangat berpengaruh dalam perkembangan ilmu sosial dan terus dikaji hingga kini.
Kitab ini pada tahun 1863
diterjemahkan oleh De Slane ke dalam bahasa Prancis dengan judul Les
Prolegomenes d’Ibn Khaldoun. Setelah itu menjelang akhir abad ke-19 rumusan-rumusan
Ibnu Khaldun dalam kitab ini banyak memengaruhi pemikiran para sosiolog Jerman
dan Austria. Karya-karya lain Ibnu Khaldun yang bernilai sangat tinggi
diantaranya, At-Ta’riif bi Ibn Khaldun
(sebuah kitab autobiografi, catatan dari kitab sejarahnya), Lubab al-Muhassal fi Ushul ad-Diin
(sebuah kitab tentang permasalahan dan pendapat-pendapat teologi, yang
merupakan ringkasan dari kitab Muhassal
Afkaar al-Mutaqaddimiin wa al-Muta’akh-khiriin karya Imam
Fakhruddin ar-Razi).
Komentar Mereka terhadap
Ibnu Khaldun
Ibnu Khaldun, ia wafat di Kairo
Mesir pada saat bulan suci Ramadan tepatnya pada tanggal 25 Ramadan 808 H./19
Maret 1406 M. Dalam hidupnya yang penuh gejolak dan pengembaraan,
renungan-renungan dan riset-risetnya yang mendalam telah menjadikannya seorang
cendekiawan muslim yang begitu masyur hingga sekarang. Tak hanya orang Timur
yang mengkaji mutiara-mutiara pemikirannya, tetapi juga para cendekiawan Barat.
Dan inilah beberapa komentar dari beberapa cendekiawan yang pernah mengkaji
karya-karya beliau.
“Tulisan-tulisan sosial dan sejarah dari Ibnu Khaldun
hanya satu-satunya dari tradisi intelektual yang diterima dan diakui di dunia
Barat, terutama ahli-ahli sosiologi dalam bahasa Inggris (yang menulis
karya-karyanya dalam bahasa Inggris)” – DR. Bryan S. Turner, guru besar sosiologi di Universitas of Aberdeen , Scotland
dalam artikelnya “The Islamic Review & Arabic Affairs” di tahun 1970-an.
“… ‘Abd-ar-Rahman ibn Muhammad ibn Chaldun al-Hadrami
dari Tunis (hidup dalam tahun 1332-1406) adalah seorang genial bangsa Arab yang
dalam ‘kesempatan’ kurang dari empat tahun dari lima puluh empat tahun usia
dewasa yang digunakannya untuk bekerja, dapat mencapai suatu hasil karya abadi
berupa sebuah tulisan yang boleh dibandingkan dengan karya Thucydides atau
Machiavelli, baik dalam luas visinya, maupun dalam kekuatan intelektualnya
semata. Bintang Ibn Chaldun tambah bersinar dengan amat cemerlangnya, karena ia
menyoroti alam yang gelap gulita. Kalau Thucydides, Machiavelli, dan Clarendon
adalah bintang-bintang cemerlang yang hidup dalam masa-masa dan tempat-tempat
yang cemerlang pula, maka Ibn Chaldun adalah hanya satu-satunya titik cahaya
yang bersinar pada waktu itu di cakrawala.” – Arnold J. Toynbee,
dari Royal Institute of International Affairs and Oxford University Press,
dalam A Study of History volume III.
“… Ibnu Khaldun adalah seorang ahli sejarah, politik,
sosiologi, dan ahli ekonomi, seorang yang mendalami persoalan-persoalan
manusia, meneliti kehidupan manusia yang telah lewat untuk memahami kehidupan
sekarang dan di hari yang akan datang. Ia bukan hanya ahli sejarah yang
terbesar dari abad pertengahan, yang menjulang tinggi laksana raksasa diantara
suku orang-orang kerdil, tetapi ia adalah seorang dari ahli filsafat sejarah
yang pertama, seorang pembuka jalan bagi Machiavelli, Bodin, Comte, dan
Curnot.” – George Sarton, dalam Introduction To
the History of Science.
Muqaddimah.
Inilah karya monumental Ibnu Khaldun, seorang ilmuwan dan sejarawan agung pada
abad ke-14 M. Buku yang ditulis pemikir dari Tunisia, Afrika Utara itu tercatat
sebagai karya yang sangat mengagumkan. Pengaruhnya begitru luar biasa, tak
hanya mewarnai pemikiran di dunia Islam, namun juga peradaban Barat.
Orang
Yunani menyebut karya Ibnu Khaldun itu sebagai Prolegomena. Sejumlah pemikir sepakat
bahwa Muqaddimah adalah karya pertama yang mengkaji filsafat sejarah,
ilmu-ilmu sosial, demografi, histografi serta sejarah budaya. IM Oweiss
dalam karyanya bertajuk Ibn Khaldun: A fourteenth-Century Economist menilai,
Muqaddimah merupakan salah satu buku perintis ekonomi modern.
Selain itu, Ibnu Khaldun dalam adikaryanya itu
juga membedah dan mengupas masalah teologi Islam. Yang lebih
menarik lagi, Ibnu Khaldun pun membahas sains atau ilmu pengetahuan alam dalam
kitabnya yang sangat populer itu. Secara khusus, Ibnu Khaldun mengupas tentang
studi biologi dan kimia dalam bab tersendiri mengenai ilmu pengetahuan alam.
Biologi
Teodros Kiros dalam karyanya Explorations in African Political Thought, mengatakan, dalam bidang biologi secara khusus Ibnu Khaldun membahas masalah teori evolusi. Menurut Khaldun, dunia ini dengan segala isinya memiliki urutan tertentu dan susunan benda. Ia mencoba mencoba mengaitkan antara penyebab dan hal-hal yang disebabkan, kombinasi dari beberapa bagian penciptaan dengan yang lain, dan transformasi dari beberapa wujud menjadi sesuatu yang lain.
Teodros Kiros dalam karyanya Explorations in African Political Thought, mengatakan, dalam bidang biologi secara khusus Ibnu Khaldun membahas masalah teori evolusi. Menurut Khaldun, dunia ini dengan segala isinya memiliki urutan tertentu dan susunan benda. Ia mencoba mencoba mengaitkan antara penyebab dan hal-hal yang disebabkan, kombinasi dari beberapa bagian penciptaan dengan yang lain, dan transformasi dari beberapa wujud menjadi sesuatu yang lain.
Selain itu, Ibnu Khaldun juga membahas penciptaan
dunia. Menurut dia, makhluk hidup berawal dari sebuah mineral kemudian
berkembang dan berakal. Secara bertahap, kemudian berubah menjadi tanaman dan
hewan. "Tahap terakhir mineral ''terhubung'' dengan tahap pertama dari
tanaman, seperti tumbuhan dan tanaman tak berbiji,'' tutur Ibnu Khaldun.
Tahap terakhir tanaman, lanjut dia, seperti pohon
kelapa dan tumbuhan yang merambat (pohon anggur), terhubung dengan tahap
pertama binatang, seperti keong (siput) dan kerang yang hanya memiliki kekuatan
sentuh.
Menurut Ibnu Khaldun, dunia binatang kemudian semakin
meluas menjadi berbagai jenis. Dalam proses penciptaan bertahap, hewan/binatang
akhirnya mengarah ke bentuk manusia, yang mampu berpikir dan mengartikan.
"Tahap tertinggi manusia dicapai dari dunia kera, di mana kedua kecerdasan
dan persepsi ditemukan, namun belum mencapai tahap refleksi dan berpikir
sebenarnya," tutur Ibnu Khaldun.
Ibnu Khaldun ternyata seorang penganut determinisme lingkungan. Dia menjelaskan bahwa kulit hitam itu disebabkan oleh iklim panas dari gurun Sahara Afrika dan bukan karena keturunan. "Dia justru menghalau teori Hamitic, di mana anak-anak Ham yang dikutuk oleh makhluk hitam, sebagai mitos," jelas Chouki El Hameldalam karyanya Race, slavery and Islam in Maghribi Mediterranean thought: the question of the Haratin inMorocco .
Ibnu Khaldun ternyata seorang penganut determinisme lingkungan. Dia menjelaskan bahwa kulit hitam itu disebabkan oleh iklim panas dari gurun Sahara Afrika dan bukan karena keturunan. "Dia justru menghalau teori Hamitic, di mana anak-anak Ham yang dikutuk oleh makhluk hitam, sebagai mitos," jelas Chouki El Hameldalam karyanya Race, slavery and Islam in Maghribi Mediterranean thought: the question of the Haratin in
Kimia
Menurut George Anawati, dalam bidang kimia, Ibnu Khaldun adalah seorang kritikus praktik kimia pada dunia Islam. "Dalam bab 23 berjudul Fi 'Ilm al-kimya, ia membahas sejarah kimia, yang dilihat dari ahli kimia seperti Jabir ibnu Hayyan (721-815 M), dan teori dari perubahan logam dan elixir (obat yang mujarab) kehidupan. " ungkap Anawati dalam karyanya Arabic Alchemy.
Menurut George Anawati, dalam bidang kimia, Ibnu Khaldun adalah seorang kritikus praktik kimia pada dunia Islam. "Dalam bab 23 berjudul Fi 'Ilm al-kimya, ia membahas sejarah kimia, yang dilihat dari ahli kimia seperti Jabir ibnu Hayyan (721-815 M), dan teori dari perubahan logam dan elixir (obat yang mujarab) kehidupan. " ungkap Anawati dalam karyanya Arabic Alchemy.
Anawati menambahkan dalam bab 26 Kitab
Muqaddimah yang berjudul thamrat Fi inkar al-kimya wa istihalat wujudiha wa ma
yansha min al-mafasid, Khadlun menulis sebuah sanggahan sistematis
tentang kimia dalam sosial, ilmiah, filosofis dan dasar agama.
"Dia mengawali sanggahan pada dasar sosial,
argumentasi bahwa banyak ahli kimia yang mampu mendapatkan penghasilan dari
hidup karena pemikiran yang menjadi kaya melalui kimia dan akhirnya kehilangan
kredibilitas," papar Anawati.
Ibnu Khaldun juga berpendapat bahwa beberapa ahli
kimia terpaksa melakukan penipuan, baik secara terbuka dengan menggunakan
sedikit lapisan emas / perak di atas perak / perhiasan tembaga maupun secara
diam-diam menggunakan prosedur yang melapisi pemutihan tembaga dengan
menyublimasi raksa. Meski begitu, ia mengakui bahwa ada saja ahli kimia
yang jujur.
Ibnu Khaldun juga mengkritisi pandangan dan teori
tenteng kimia yang dicetuskan al-Farabi, Ibnu Sina dan Al-Tughrai.
"Ilmu pengetahuan manusia tak berdaya bahkan untuk mencapai yang terendah
sekalipun, kimia menyerupai seseorang yang ingin menghasilkan manusia, binatang
atau tanaman."
Anawati mengatakan, dalam mengkritisi ilmu kimia, Ibnu Khaldun pun menggunakan sosial logikanya. Anawati menuturkan bahwa Ibnu Khaldun dalam kitabnya menegaskan bahwa kimia hanya dapat dicapai melalui pengaruh psikis (bi-ta'thirat al-nufus). Hal yang luar biasa menjadi salah satu keajaiban dari ilmu gaib/ilmu sihir (rukiat) ... Mereka tak terbatas, tak dapat diklaim untuk mendapatkan mereka."
Prof Hamed A EAD, dari Universitas Kairo dalam tulisannya bertajuk Alchemy in Ibn Khaldun's Muqaddimah mengatakan bahwa Ibnu Khaldun mendefinisikan kimia sebagai "ilmu yang mempelajari zat yang mana generasi emas dan perak tiruan bisa diciptakan.''
Anawati mengatakan, dalam mengkritisi ilmu kimia, Ibnu Khaldun pun menggunakan sosial logikanya. Anawati menuturkan bahwa Ibnu Khaldun dalam kitabnya menegaskan bahwa kimia hanya dapat dicapai melalui pengaruh psikis (bi-ta'thirat al-nufus). Hal yang luar biasa menjadi salah satu keajaiban dari ilmu gaib/ilmu sihir (rukiat) ... Mereka tak terbatas, tak dapat diklaim untuk mendapatkan mereka."
Prof Hamed A EAD, dari Universitas Kairo dalam tulisannya bertajuk Alchemy in Ibn Khaldun's Muqaddimah mengatakan bahwa Ibnu Khaldun mendefinisikan kimia sebagai "ilmu yang mempelajari zat yang mana generasi emas dan perak tiruan bisa diciptakan.''
Begitulah Ibnu Khaldun mengupas ilmu pengetahuan alam
dalam karyanya yang sangat fenomenal, Al-Muqaddimah.
Dibalik Penulisan Muqaddimah
lbnu Khaldun adalah seorang ilmuwan besar yang
terlahir di Tunisia
pada 27 Mei 1332 atau 1 Ramadhan 732 H. Ia bernama lengkap Waliuddin
Abdurrahman bin Muhammad Ibn Khaldun Al-Hadrami Al-Ishbili. Selain dikenal
sebagai pemikir hebat, ia juga seorang politikus kawakan.
Setelah mundur dari percaturan politik praktis, Ibnu Khaldun bersama keluarganya memutuskan untuk menyepi di Qalat Ibnu Salamah, sebuah istana yang terletak di negeri Banu Tajin, selama empat tahun. Selama masa kontemplasi itulah, Ibnu Khaldun menyelesaikan penulisan karyanya yang sangat fenomenal bertajuk Al-Muqaddimah.
Setelah mundur dari percaturan politik praktis, Ibnu Khaldun bersama keluarganya memutuskan untuk menyepi di Qalat Ibnu Salamah, sebuah istana yang terletak di negeri Banu Tajin, selama empat tahun. Selama masa kontemplasi itulah, Ibnu Khaldun menyelesaikan penulisan karyanya yang sangat fenomenal bertajuk Al-Muqaddimah.
''Dalam pengunduran diri inilah saya merampungkan
Al-Muqaddimah, sebuah karya yang seluruhnya orisinal dalam perencanaannya dan
saya ramu dari hasil penelitian luas yang terbaik," ungkap Ibnu Khaldun
dalam biografinya yang berjudul Al-Tarif bi Ibn-Khaldun wa Rihlatuhu Gharban wa
Sharqan.
Buah pikir Ibnu Khaldun itu begitu memukau. Tak heran, jika ahli sejarah Inggris, Arnold J Toynbee menganggap Al-Muqaddimah sebagi karya terbesar dalam jenisnya sepanjang sejarah.
Buah pikir Ibnu Khaldun itu begitu memukau. Tak heran, jika ahli sejarah Inggris, Arnold J Toynbee menganggap Al-Muqaddimah sebagi karya terbesar dalam jenisnya sepanjang sejarah.
Menurut Ahmad Syafii Maarif dalam bukunya berjudul
Ibnu Khaldun dalam Pandangan Penulis Barat dan Timur, salah satu tesis Ibnu
Khaldun dalam Al-Muqaddimah yang sering dikutip adalah: `Manusia bukanlah
produk nenek moyangnya, tapi adalah produk kebiasaan-kebiasaan sosial."
Secara garis besar, Tarif Khalidi dalam bukunya
Classical Arab Islam membagi Al-Muqaddimah menjadi tiga bagian utama. Pertama, membicarakan
histografi mengupas kesalahan-kesalahan para sejarawan Arab-Muslim. Kedua,
Al-Muqaddimah mengupas soal ilmu kultur.
Bagi Ibnu Khaldun, ilmu tersebut
merupakan dasar bagi pemahaman sejarah. Ketiga, mengupas lembaga-lembaga dan
ilmu-ilmu keislaman yang telah berkembang sampai dengan abad ke-14. Meski hanya
sebagai pengantar dari buku utamanya yang berjudul al-Ibar, kenyataannya
Al-Muqaddimah lebih termasyhur.
Pasalnya, seluruh bangunan teorinya tentang ilmu sosial, kebudayaan, dan sejarah termuat dalam kitab itu. Dalam buku itu Ibnu Khaldun diantara menyatakan bahwa kajian sejarah haruslah melalui pengujian-pengujian yang kritis.
Pasalnya, seluruh bangunan teorinya tentang ilmu sosial, kebudayaan, dan sejarah termuat dalam kitab itu. Dalam buku itu Ibnu Khaldun diantara menyatakan bahwa kajian sejarah haruslah melalui pengujian-pengujian yang kritis.
''Di tangan Ibnu Khaldun,
sejarah menjadi sesuatu yang rasional, faktual dan bebas dari
dongeng-dongeng," papar Syafii Maarif. Bermodalkan pengalamannya yang
malang-melintang di dunia politik pada masanya, Ibnu Khaldun mampu menulis Al-muqaddimah
dengan jernih. Dalam kitabnya itu, Ibnu Khaldun juga membahas peradaban
manusia, hukum-hukum kemasyarakatan dan perubahan sosial.
Menurut Charles Issawi dalam An Arab Philosophy of History, lewat Al-Muqaddimah, Ibnu Khaldun adalah sarjana pertama yang menyatakan dengan jelas, sekaligus menerapkan prinsip-prinsip yang menjadi dasar sosiologi. Salah satu prinsip yang dikemukakan Ibnu Khaldun mengenai ilmu kemasyarakatan antara lain; "Masyarakat tidak statis, bentuk-bentuk soisal berubah dan berkembang."
Menurut Charles Issawi dalam An Arab Philosophy of History, lewat Al-Muqaddimah, Ibnu Khaldun adalah sarjana pertama yang menyatakan dengan jelas, sekaligus menerapkan prinsip-prinsip yang menjadi dasar sosiologi. Salah satu prinsip yang dikemukakan Ibnu Khaldun mengenai ilmu kemasyarakatan antara lain; "Masyarakat tidak statis, bentuk-bentuk soisal berubah dan berkembang."
Pemikiran Ibnu Khaldun telah
memberi pengaruh yang besar terhadap para ilmuwan Barat. Jauh, sebelum Aguste
Comte pemikir yang banyak menyumbang kepada tradisi keintelektualan positivisme
Barat metode penelitian ilmu pernah dikemukakan pemikir Islam seperti Ibnu
Khaldun (1332-1406).
Dalam metodeloginya, Ibnu Khaldun mengutamakan data empirik, verifikasi teoritis, pengujian hipotesis, dan metode pemerhatian. Semuanya merupakan dasar pokok penelitian keilmuan Barat dan dunia, saat ini. "Ibnu Khaldun adalah sarjana pertama yang berusaha merumuskan hukum-hukum sosial," papar Ilmuwan asal Jerman, Heinrich Simon
Dalam metodeloginya, Ibnu Khaldun mengutamakan data empirik, verifikasi teoritis, pengujian hipotesis, dan metode pemerhatian. Semuanya merupakan dasar pokok penelitian keilmuan Barat dan dunia, saat ini. "Ibnu Khaldun adalah sarjana pertama yang berusaha merumuskan hukum-hukum sosial," papar Ilmuwan asal Jerman, Heinrich Simon
Ibn Khaldun, nama ini begitu
mashur dikalangan pemikir dan Ilmuwan Barat. Ia adalah pemikir dan Ilmuwan Muslim yang pemikiranya dianggap murni dan
baru pada zamannya. Tak heran ide-idenya tentang masyarakat Arab seperti yang
tertuang dalam buku fenomenalnya “muqaddimah” dianggap sebagai bibit dari
kelahiran Ilmu Sosiologi. Penelitiannya tentang sejarah dengan menggunakan
metode yang berbeda dari penelitian Ilmuwan pada saat itu juga disebut sebagai
bibit dari kemunculan Filsafat Sejarah seperti yang ada sekarang. Kehidupannya
yang malang melintang di Tunisia (Afrika) dan Andalusia ,
serta hidup dalam dunia politik tak ayal mendukung pemikirannya tentang Politik
serta Sosiologi tajam dan mampu memberikan sumbangsih yang besar pada Ilmu
Pengetahuan.
Asal Mula Negara (daulah)
Menurut Ibn Khaldun manusia diciptakan sebagai
makhluk politik atau sosial, yaitu makhluk yang selalu membutuhkan orang lain
dalam mempertahankan kehidupannya, sehingga kehidupannya dengan masyarakat dan
organisasi sosial merupakan sebuah keharusan (dharury) (Muqaddimah: 41).
Pendapat ini agaknya mirip dengan pendapat Al-Mawardi dan Abi Rabi’. Lebih
lanjut, manusia hanya mungkin bertahan untuk hidup dengan bantuan makanan.
Sedang untuk memenuhi makanan yang sedikit dalam waktu satu hari saja
memerlukan banyak pekerjaan. Sebagai contoh dari butir-butir gandum untuk
menjadi potongan roti memerlukan proses yang panjang. Butir-butir gandum
tersebut harus ditumbuk dulu, untuk kemudian dibakar sebelum siap untuk
dimakan, dan untuk semuanya itu dibutuhkan alat-alat yang untuk mengadakannya
membutuhkan kerjasama dengan pandai kayu atau besi. Begitu juga gandum-gandum
yang ada, tidak serta merta ada, tetapi dibutuhkan seorang petani. Artinya,
manusia dalam mempertahankan hidupnya dengan makanan membutuhkan manusia yang
lain. (Muqaddimah: 42). Selain kebutuhan makanan untuk mempertahankan hidup,
menurut Ibn Khaldun manusia memerlukan bantuan dalam hal pembelaan diri
terhadap ancaman bahaya. Hal ini karena Allah ketika menciptakan alam semesta
telah membagi-bagi kekuatan antara makhluk-makhluk hidup, bahkan banyak
hewan-hewan yang mempunyai kekuatan lebih dari yang dimiliki oleh manusia. Dan
watak agresif adalah sesuatu yang alami bagi setiap makhluk. Oleh karenanya
Allah memberikan kepada masing-masing makhluk hidup suatu anggota badan yang
khusus untuk membela diri. Sedang manusia diberikan akal atau kemampuan
berfikir dan dua buah tangan oleh Tuhan. Dengan akal dan tangan ini manusia
bisa mempertahankan hidup dengan berladang, ataupun melakukan kegiatan untuk
mempertahankan hidup lainya. Tetapi sekali lagi untuk mempertah`nkan hidup
tersebut manusia tetap saling membutuhkan bantuan dari yang lainnya, sehingga
organisasi kemasyarakatn merupakan sebuah keharusan. Tanpa organisasi tersebut
eksistensi manusia tidak akan lengkap, dan kehendak Tuhan untuk mengisi dunia
ini dengan ummat manusia dan membiarkannya berkembang biak sebagai khalifah
tidak akan terlaksana (Muqaddimah: 43). Setelah organisasi masyarakat terbentuk,
dan inilah peradaban, maka masyarakat memerlukan seseorang yang dengan
pengaruhnya dapat betindak sebagai penengah dan pemisah antara anggota
masyarakat. Ini karena manusia mempunyai watak agresif dan tidak adil, sehingga
dengan akal dan tangan yang diberikan Tuhan padanya tidak memungkinkan untuk
mempertahankan diri dari serangan manusia yang lain karena setiap manusia
mempunyai akal dan tangan pula. Untuk itulah diperlukan sesuatu yang lain untuk
menangkal watak agresif manusia terhadap lainnya. Ia adalah seseorang dari
masyarakat itu sendiri, seorang yang berpengaruh kuat atas anggota masyarakat,
mempunyai otoritas dan kekuasaan atas mereka sebagai pengendali / wazi’ (الوازع). Dengan demikian tidak
akan ada anggota masyarakat yang menyerang sesama anggota masyarakat lain.
Kebutuhan akan adanya seseorang yang mempunyai otoritas dan bisa mengendalikan
ini kemudian meningkat. Didukung dengan rasa kebersamaan yang terbentuk bahwa
seorang pemimpin (rais) dalam mengatur dan menjadi penengah tidak dapat bekerja
sendiri sehingga membutuhkan tentara yang kuat dan loyal, perdana Menteri,
serta pembantu-pembantu yang lain hingga terbentuklah sebuah Dinasti (daulah)
atau kerajaan (mulk). (Muqaddimah: 139). Pemikiran Ibn Khaldun dalam hal ini
agaknya mirip dengan yang dikemukakan oleh Aristoteles, Farabi, Ibn Abi Rabi’,
al-Mawardi. Sehingga pemikirannya dalam hal ini bukan hal baru, meskipun ia
sendiri mengatakan bahwa teorinya ini adalah yang baru. Tetapi yang
membedakannya bahwa penelitian yang dilakukan Ibn Khaldun dalam Muwaddimahnya
bukan sekadar kajian filososif, melainkan kajian yang berdasarkan pada
pengamatan Inderawi dan analisis perbandingan data-data yang obyektif, sebagai upaya
untuk memahami manusia pada masa lampau dan kini untuk meramalkan masa depan
dengan berbagai kecenderungannya.
Sosiologi Masyarakat:
Peradaban Badui, Orang Kota, dan Solidaritas Sosial
Selain apa yang telah dipaparkan
di atas, Ibn Khaldun berpendapat bahwa ada faktor lain pembentuk Negara
(daulah), yaitu ‘ashabiyah (العصبـيّة). Teorinya tentang ‘ashabiyah
inilah yang melambungkan namanya dimata para pemikir modern, teori yang
membedakannya dari pemikir Muslim lainnya. ‘Ashabiyah mengandung makna Group
feeling, solidaritas kelompok, fanatisme kesukuan, nasionalisme, atau sentimen
sosial. Yaitu cinta dan kasih sayang seorang manusia kepada saudara atau
tetangganya ketika salah satu darinya diperlakukan tidak adil atau disakiti.
Ibn Khaldun dalam hal ini memunculkan dua kategori sosial fundamental yaitu
Badawah (بداوة)(komunitas pedalaman, masyarakat primitif, atau daerah gurun)
dan Hadharah (حضارة)(kehidupan kota, masyarakat beradab). Keduanya merupakan
fenomena yang alamiah dan Niscaya (dharury) (Muqaddimah: 120). Penduduk kota
menurutnya banyak berurusan dengan hidup enak. Mereka terbiasa hidup mewah dan
banyak mengikuti hawa nafsu. Jiwa mereka telah dikotori oleh berbagai macam
akhlak tercela. Sedangkan orang-orang Badui, meskipun juga berurusan dengan
dunia, namun masih dalam batas kebutuhan, dan bukan dalam kemewahan, hawa nafsu
dan kesenangan (Muqaddimah: 123). Daerah yang subur berpengaruh terhadap
persoalan agama. Orang-orang Badui yang hidup sederhana dibanding orang-orang
kota serta hidup berlapar-lapar dan meninggalkan makanan yang mewah lebih baik
dalam beragama dibandingkan dengan orang yang hidup mewah dan berlebih.
Orang-orang yang taat beragama sedikit sekali yang tinggal di kota-kota karena
kota telah dipenuhi kekerasan dan masa bodoh. Oleh karena itu, sebagian orang
yang hidup di padang pasir adalah orang zuhud. Orang Badui lebih berani
daripada penduduk kota. Karena penduduk kota malas dan suka yang mudah-mudah.
Mereka larut dalam kenikmatan dan kemewahan. Mereka mempercayakan urusan
keamanan diri dan harta kepada penguasa. Sedangkan orang Badui hidup
memencilkan diri dari masyarakat. Mereka hidup liar di tempat-tempat jauh di
luar kota dan tak pernah mendapatkan pengawasan tentara. Karena itu, mereka
sendiri yang mempertahankan diri mereka sendiri dan tidak minta bantuan pada
orang lain (Muqaddimah: 125). Untuk bertahan hidup masyarakat pedalaman harus
memiliki sentimen kelompok (‘ashabiyyah) yang merupakan kekuatan pendorong
dalam perjalanan sejarah manusia, pembangkit suatu klan. Klan yang memiliki
‘ashabiyyah kuat tersebut dapat berkembang menjadi sebuah negeri (Muqaddimah:
120). Sifat kepemimpinan selalu dimiliki orang yang memiliki solidaritas
sosial. Setiap suku biasanya terikat pada keturunan yang bersifat khusus (khas)
atau umum (‘aam). Solidaritas pada keturunan yang bersifat khusus ini lebih
mendarah-daging daripada solidaritas dari keturunan yang bersifat umum. Oleh
karena itu, memimpin hanya dapat dilaksanakan dengan kekuasaan. Maka
solidaritas sosial yang dimiliki oleh pemimpin harus lebih kuat daripada
solidaritas lain yang ada, sehingga dia memperoleh kekuasaan dan sanggup
memimpin rakyatnya dengan sempurna. Solidaritas sosial menjadi syarat kekuasaan
(Muqaddimah: 131). Di dalam memimpin kaum, harus ada satu solidaritas sosial
yang berada di atas solidaritas sosial masing-masing individu. Sebab, apabila
solidaritas masing-masing individu mengakui keunggulan solidaritas sosial sang
pemimpin, maka akan siap untuk tunduk dan patuh mengikutinya (Muqaddimah: 132).
Bangsa-bangsa liar lebih mampu memiliki kekuasaan daripada bangsa lainnya. Kehidupan
padang pasir merupakan sumber keberanian. Tak ayal lagi, suku liar lebih berani
dibanding yang lainnya. Oleh karena itulah, mereka lebih mampu memiliki
kekuasaan dan merampas segala sesuatu yang berada dalam genggaman bangsa lain.
Sebabnya, adalah karena kekuasaan dimiliki melalui keberanian dan kekerasan.
Apabila di antara golongan ini ada yang lebih hebat terbiasa hidup di padang
pasir dan lebih liar, dia akan lebih mudah memiliki kekuasaan daripada golongan
lain (Muqaddimah: 138). Pendapat Ibn khaldun dalam hal ini tidak mengherankan,
karena beliau melakukan penelitian pada masyarakat ‘Arab dan Barbar khususnya
yang memang menjalani kehidupan sukar dipadang pasir. Tujuan terakhir
solidaritas adalah kedaulatan. Karena solidaritas sosial itulah yang mempersatukan
tujuan; mempertahankan diri dan mengalahkan musuh. Begitu solidaritas sosial
memperoleh kedaulatan atas golongannya, maka ia akan mencari solidaritas
golongan lain yang tak ada hubungan dengannya. Jika solidaritas sosial itu
setara, maka orang-orang yang berada di bawahnya akan sebanding. Jika
solidaritas sosial dapat menaklukan solidaritas lain, keduanya akan bercampur
yang secara bersama-sama menuntun tujuan yang lebih tinggi dari kedaulatan.
Akhirnya, apabila suatu negara sudah tua umurnya dan para pembesarnya yang
terdiri dari solidaritas sosial sudah tidak lagi mendukungnya, maka solidaritas
sosial yang baru akan merebut kedaulatan negara. Bisa juga ketika negara sudah
berumur tua, maka butuh solidaritas lain. Dalam situasi demikian, negara akan
memasukkan para pengikut solidaritas sosial yang kuat ke dalam kedaulatannya
dan dijadikan sebagai alat untuk mendukung negara. Inilah yang terjadi pada
orang-orang Turki yang masuk ke kedaulatan Bani Abbas (Muqaddimah: 139-140).
Aka tetapi hambatan jalan mencapai kedaulatan adalah kemewahan. Semakin besar
kemewahan dan kenikmatan mereka semakin dekat mereka dari kehancuran, bukan
tambah memperoleh kedaulatan. Kemewahan telah menghancurkan dan melenyapkan
solidaritas sosial. Jika suatu negara sudah hancur, maka ia akan digantikan
oleh orang yang memiliki solidaritas yang campur di dalam solidaritas sosial
(Muqaddimah: 140). Menurut Ibn Khaldun apabila suatu bangsa itu liar,
kedaulatannya akan sangat luas. Karena bangsa yang demikian lebih mampu memperoleh
kekuasaan dan mengadakan kontrol secara penuh dalam menaklukan golongan lain
(Muqaddimah: 145). Tujuan akhir dari solidaritas sosial (‘ashabiyyah) adalah
kedaulatan. ‘Ashabiyyah tersebut terdapat pada watak manusia yang dasarnya bisa
bermacam-macam; ikatan darah atau persamaan keTuhanan, tempat tinggal
berdekatan atau bertetangga, persekutuan atau aliansi, dan hubungan antara
pelindung dan yang dilindungi. Khusus bangsa Arab menurut Ibn Khaldun,
persamaan Ketuhananlah yang membuat mereka berhasil mendirikan Dinasti. Sebab
menurutnya, Bangsa Arab adalah Bangsa yang paling tidak mau tunduk satu sama
lain, kasar, angkuh, ambisius dan masing-masing ingin menjadi pemimpin.
‘Ashabiyyah yang ada hanya ‘ashabiyyah kesukuan/qabilah yang tidak memungkinkan
mendirikan sebuah dinasti karena sifat mereka. Hanya karena Agama yang dibawa
oleh Nabi mereka akhirnya bisa dipersatukan dan dikendalikan (Muqaddimah: 151).
Tetapi menurutnya pula, bahwa motivasi Agama saja tidak cukup sehingga tetap
dibutuhkan solidaritas kelompok (‘ashabiyyah). Agama dapat memperkokoh
solidaritas kelompok tersebut dan menambah keampuhannya, tetapi tetap ia
membutuhkan motivasi-mativasi lain yang bertumpu pada hal-hal diluar Agama
(Muqaddimah: 159). Homogenitas juga berpengaruh dalam pembentukan sebuah
Dinasti yang besar. Adalah jarang sebuah Dinasti dapat berdiri di kawasan yang
mempunyai beragam aneka suku, sebab dalam keadaan demikian masing-masing suku
mempunyai kepentingan, aspirasi, dan pandangan yang berbeda-beda sehingga
kemungkinan untuk membentuk sebuah Dinasti yang besar merupakan hal yang sulit.
Hanya dengan hegemonitas akan menimbulkan solidaritas yang kuat sehingga
tercipta sebuah Dinasti yang besar (Muqaddimah: 163). Dalam kaitannya tentang
‘ashabiyyah, Ibn Khaldun menilai bahwa seorang Raja haruslah berasal dari
solidaritas kelompok yang paling dominan. Sebab dalam mengendalikan sebuah
negara, menjaga ketertiban, serta melindungi negara dari ancaman musuh baik
dari luar maupun dalam dia membutuhkan dukungan, loyalitas yang besar dari
rakyatnya. Dan hal ini hanya bisa terjadi jika ia berasal dari kelompok yang
dominan.
Khilafah, Imamah,
Sulthanah
Khilafah menurut Ibn Khaldun
adalah pemerintahan yang berlandaskan Agama yang memerintahkan rakyatnya sesuai
dengan petunjuk Agama baik dalam hal keduniawian atau akhirat. Maka
pemerintahan yang dilandaskan pada Agama disebut dengan Khilafah, Imamah atau
Sulthananh. Sedang pemimpinnya disebut Khalifah, Imam atau Sulthan. Khilafah
adalah pengganti Nabi Muhammad dengan tugas mempertahankan agama dan
menjalankan kepemimpinan dunia. Lembaga imamah adalah wajib menurut hukum
agama, yang dibuktikan dengan dibai’atnya Abu Bakar sebagai khalifah. Tetapi
ada juga yang berpendapat, imamah wajib karena akal/ perlunya manusia terhadap
organisasi sosial. Namun hukum wajibnya adalah fardhu kifayah (Muqaddimah:
191-193). Ibn Khaldun sendiri menetapkan 5 syarat bagi khalifah, Imam, ataupun
Sulthan, yaitu: 1. Memiliki pengetahuan. 2. Memiliki sifat ‘adil. 3. Mempunyai
kemampuan. 4. Sehat Panca indera dan badannya. 5. Keturunan Quraisy.
Berdasarkan teori ‘ashabiyah, Ibn Khaldun berpendapat sama dengan Pemikir
Muslim sebelumnya tentang keutamaan keturunan Quraisy. Ia mengemukakan bahwa
orang-orang Quraisy adalah pemimpin-pemimpin terkemuka, original dan tampil dari
bani Mudhar. Dengan jumlahnya yang banyak dan solidaritas kelompoknya yang
kuat, dan dengan keanggunannya suku Quraisy memiliki wibawa yang tinggi. Maka
tidak heran jika kepemimpinan Islam dipercayakan kepada mereka, sebab seluruh
bangsa Arab mengakui kenyataan akan kewibawaannya, serta mereka hormat pada
keunggulan suku Quraisy. Dan jika kepemimpinan dipegang oleh suku lain, maka
yang terjadi adalah pembangkangan serta berujung pada kehancuran. Padahal Nabi
menginginkan persatuan, solidaritas, dan persaudaraan (Muqaddimah: 194). Tetapi
menurut Ibn Khaldun hal ini jangan diartikan bahwa kepemimpinan itu dimonopoli
oleh suku Quraisy, atau syarat keturunan Quraisy didahulukan daripada
kemampuan. Ini hanya didasarkan pada kewibawaan dan solidaritas yang tinggi pada
suku Quraisy pada saat itu, hingga ketika suku Quraisy telah dalam keadaan
tidak berwibawa, atau ada suku lain yang mempunyai ‘ashabiyyah yang tinggi dan
kebibawaan yang tinggi, dan juga kepemimpinan dari suku Quraisy sudah tidak
dapat lagi diharapkan, maka kepemimpinan dapat berpindah ke suku atau kelompok
lain yang mempunyai kewibawaan, solidaritas, dan kemampuan yang lebih.
Pemikiran Ibn Khaldun dalam hal ini mirip dengan pemikiran Al-Mawardi ataupun
Ghazali, bahwa khalifah haruslah dari golongan Quraisy. Tetapi Ibn Khaldun
merealisasikannya dengan teori ‘Ashabiyyah seperti dijelaskan di atas.
Bentuk-Bentuk
Pemerintahan
Ibn Khaldun berpendapat bentuk
pemerintahan ada 3: 1. Pemerintahan yang natural (siyasah thabi’iyah), yaitu
pemerintahan yang membawa masyarakatnya sesuai dengan tujuan nafsu. Artinya,
seorang raja dalam memerintah kerajaan (mulk) lebih mengikuti kehendak dan hawa
nafsunya sendiri dan tidak memperhatikan kepentingan rakyat yang akibatnya
rakyat sukar mentaati akibat timbulnya terror, penindasan, dan anarki.
Pemerintahan jenis ini pada zaman sekarang menyerupai pemerintahan otoriter,
individualis, otokrasi, atau inkonstitusional. 2. Pemerintahan yang berdasarkan
nalar (siyasah ‘aqliyah), yaitu pemerintahan yang membawa rakyatnya sesuai dengan
rasio dalam mencapai kemaslahatan duniawi dan mencegah kemudharatan.
Pemerintahan yang berasaskan Undang-undang yang dibuat oleh para cendekiawan
dan orang pandai. Bentuk Pemerintahan seperti ini dipuji disatu sisi tetapi
dicela disatu sisi. Pemerintahan jenis ini pada zaman sekarang serupa dengan
pemerintahan Republik, atau kerajaan insitusional yang dapat mewujudkan
keadilan sampai batas tertentu. 3. Pemerintahan yang berlandaskan Agama
(siyasah Diniyyah), yaitu pemerintahan yang membawa semua rakyatnya sesuai
dengan tuntunan agama, baik yang bersifat keduniawian maupun keukhrawian.
Menurut Ibn Khaldun model pemerintahan seperti inilah yang terbaik, karena
dengan hukum yang bersumber dari ajaran Agama akan terjamin tidak saja keamanan
dan kesejahteraan di dunia tetapi juga di akhirat. Dan karena yang dipakai
sebagai asas kebijaksanaan pemerintahan itu adalah ajaran Agama, khususnya
Islam, maka kepala Negara disebut Khalifah dan Imam. Khalifah, oleh karena ia
adalah pengganti Nabi dalam memelihara kelestarian Agama dan kesejahteraan
duniawi rakyatnya. Imam, karena sebagai pemimpin dia ibarat Imam Salat yang
harus diikuti oleh rakyatnya sebagai makmum (Muqaddimah: 191). Dari pembagian
pemerintahan di atas, nampak bahwa Ibn Khaldun menempuh jalur baru dibanding
Al-Farabi dan Ibn Abi Rabi’ dalam pengklasifikasian pemerintahan. Ia tidak
memandang pada sisi personalnya, juga pada jabatan Imam itu sendiri, melainkan
pada makna fungsional keimamahan itu sendiri. Sehingga menurutnya substansi
setiap pemerintahan adalah undang-undang yang menjelaskan karakter suatu sistem
pemerintahan.
Tahapan Timbul Tenggelamnya Peradaban
Berdasarkan teorinya ‘ashabiyyah, Ibn Khaldun membuat
teori tentang tahapan timbul tenggelamnya suatu Negara atau sebuah peradaban
menjadi lima
tahap, yaitu: (Muqaddimah: 175). 1.Tahap sukses atau tahap konsolidasi, dimana
otoritas negara didukung oleh masyarakat (`ashabiyyah) yang berhasil
menggulingkan kedaulatan dari dinasti sebelumnya. 2.Tahap tirani, tahap dimana
penguasa berbuat sekehendaknya pada rakyatnya. Pada tahap ini, orang yang
memimpin negara senang mengumpulkan dan memperbanyak pengikut. Penguasa menutup
pintu bagi mereka yang ingin turut serta dalam pemerintahannya. Maka segala
perhatiannya ditujukan untuk kepentingan mempertahankan dan memenangkan
keluarganya. 3.Tahap sejahtera, ketika kedaulatan telah dinikmati. Segala
perhatian penguasa tercurah pada usaha membangun negara. 4.Tahap kepuasan hati,
tentram dan damai. Pada tahap ini, penguasa merasa puas dengan segala sesuatu
yang telah dibangun para pendahulunya. 5.Tahap hidup boros dan berlebihan. Pada
tahap ini, penguasa menjadi perusak warisan pendahulunya, pemuas hawa nafsu dan
kesenangan. Pada tahap ini, negara tinggal menunggu kehancurannya. Tahap-tahap
itu menurut Ibnu Khaldun memunculkan tiga generasi, yaitu:
1. Generasi Pembangun, yang dengan segala
kesederhanaan dan solidaritas yang tulus tunduk dibawah otoritas kekuasaan yang
didukungnya.
2. Generasi Penikmat, yakni mereka yang karena
diuntungkan secara ekonomi dan politik dalam sistem kekuasaan, menjadi tidak
peka lagi terhadap kepentingan bangsa dan negara.
3. Generasi yang tidak lagi
memiliki hubungan emosionil dengan negara. Mereka dapat melakukan apa saja yang mereka sukai tanpa memedulikan
nasib negara. Jika suatu bangsa sudah sampai pada generasi ketiga ini, maka
keruntuhan negara sebagai sunnatullah sudah di ambang pintu, dan menurut Ibnu
Khaldun proses ini berlangsung sekitar satu abad. Ibn Khaldun juga menuturkan
bahwa sebuah Peradaban besar dimulai dari masyarakat yang telah ditempa dengan
kehidupan keras, kemiskinan dan penuh perjuangan. Keinginan hidup dengan makmur
dan terbebas dari kesusahan hidup ditambah dengan ‘Ashabiyyah di antara mereka
membuat mereka berusaha keras untuk mewujudkan cita-cita mereka dengan
perjuangan yang keras. Impian yang tercapai kemudian memunculkan sebuah
peradaban baru. Dan kemunculan peradaban baru ini pula biasanya diikuti dengan
kemunduran suatu peradaban lain (Muqaddimah: 172). Tahapan-tahapan di atas
kemudian terulang lagi, dan begitulah seterusnya hingga teori ini dikenal
dengan Teori Siklus.
Karya-karya
lain Ibnu Khaldun yang bernilai sangat tinggi diantaranya, at-Ta’riif bi Ibn
Khaldun (sebuah kitab autobiografi, catatan dari kitab sejarahnya); Muqaddimah
(pendahuluan atas kitabu al-’ibar yang bercorak sosiologis-historis, dan
filosofis); Lubab al-Muhassal fi Ushul ad-Diin (sebuah kitab tentang
permasalahan dan pendapat-pendapat teologi, yang merupakan ringkasan dari kitab
Muhassal Afkaar al-Mutaqaddimiin wa al-Muta’akh-khiriin karya Imam Fakhruddin
ar-Razi).
DR.
Bryan S. Turner, guru besar sosiologi di Universitas of Aberdeen , Scotland
dalam artikelnya “The Islamic Review & Arabic Affairs” di tahun 1970-an
mengomentari tentang karya-karya Ibnu Khaldun. Ia menyatakan, “Tulisan-tulisan
sosial dan sejarah dari Ibnu Khaldun hanya satu-satunya dari tradisi intelektual yang diterima dan diakui di
dunia Barat, terutama ahli-ahli sosiologi dalam bahasa Inggris (yang menulis
karya-karyanya dalam bahasa Inggris).” Salah satu tulisan yang sangat menonjol
dan populer adalah muqaddimah (pendahuluan) yang merupakan buku terpenting
tentang ilmu sosial dan masih terus dikaji hingga saat ini.
Bahkan
buku ini telah diterjemahkan dalam berbagai bahasa. Di sini Ibnu Khaldun
menganalisis apa yang disebut dengan ‘gejala-gejala sosial’ dengan
metoda-metodanya yang masuk akal yang dapat kita lihat bahwa ia menguasai dan
memahami akan gejala-gejala sosial tersebut. Pada bab ke dua dan ke tiga, ia
berbicara tentang gejala-gejala yang membedakan antara masyarakat primitif
dengan masyarakat moderen dan bagaimana sistem pemerintahan dan urusan politik
di masyarakat.
Bab ke dua dan ke empat berbicara tentang gejala-gejala yang berkaitan dengan cara berkumpulnya manusia serta menerangkan pengaruh faktor-faktor dan lingkungan geografis terhadap gejala-gejala ini. Bab keempat dan kelima, menerangkan tentang ekonomi dalam individu, bermasyarakat maupun negara. Sedangkan bab ke enam berbicara tentang paedagogik, ilmu dan pengetahuan serta alat-alatnya. Sungguh mengagumkan sekali sebuah karya di abad ke-14 dengan lengkap menerangkan hal ihwal sosiologi, sejarah, ekonomi, ilmu dan pengetahuan. Ia telah menjelaskan terbentuk dan lenyapnya negara-negara dengan teori sejarah.
Bab ke dua dan ke empat berbicara tentang gejala-gejala yang berkaitan dengan cara berkumpulnya manusia serta menerangkan pengaruh faktor-faktor dan lingkungan geografis terhadap gejala-gejala ini. Bab keempat dan kelima, menerangkan tentang ekonomi dalam individu, bermasyarakat maupun negara. Sedangkan bab ke enam berbicara tentang paedagogik, ilmu dan pengetahuan serta alat-alatnya. Sungguh mengagumkan sekali sebuah karya di abad ke-14 dengan lengkap menerangkan hal ihwal sosiologi, sejarah, ekonomi, ilmu dan pengetahuan. Ia telah menjelaskan terbentuk dan lenyapnya negara-negara dengan teori sejarah.
Ibnu Khaldun sangat meyakini sekali, bahwa pada
dasarnya negera-negara berdiri bergantung pada generasi pertama (pendiri
negara) yang memiliki tekad dan kekuatan untuk mendirikan negara. Lalu, disusul
oleh generasi ke dua yang menikmati kestabilan dan kemakmuran yang ditinggalkan
generasi pertama. Kemudian, akan datang generasi ke tiga yang tumbuh menuju
ketenangan, kesenangan, dan terbujuk oleh materi sehingga sedikit demi sedikit
bangunan-bangunan spiritual melemah dan negara itu pun hancur, baik akibat
kelemahan internal maupun karena serangan musuh-musuh yang kuat dari luar yang
selalu mengawasi kelemahannya.
Ada beberapa catatan penting dari sini yang dapat
kita ambil bahan pelajaran. Bahwa Ibnu Khaldun menjunjung tinggi ilmu
pengetahuan dan tidak meremehkan akan sebuah sejarah. Ia adalah seorang
peneliti yang tak kenal lelah dengan dasar ilmu dan pengetahuan yang luas. Ia
selalu memperhatikan akan komunitas-komunitas masyarakat. Selain seorang
pejabat penting, ia pun seorang penulis yang produktif. Ia menghargai akan
tulisan-tulisannya yang telah ia buat. Bahkan ketidaksempurnaan dalam
tulisannya ia lengkapi dan perbaharui dengan memerlukan waktu dan kesabaran.
Sehingga karyanya benar-benar berkualitas, yang di adaptasi oleh situasi dan
kondisi.
Karena pemikiran-pemikirannya yang briliyan Ibnu Khaldun
dipandang sebagai peletak dasar ilmu-ilmu sosial dan politik Islam. Dasar
pendidikan Al-Qur’an yang diterapkan oleh ayahnya menjadikan Ibnu Khaldun
mengerti tentang Islam, dan giat mencari ilmu selain ilmu-ilmu keislaman.
Sebagai Muslim dan hafidz Al-Qur’an, ia menjunjung tinggi akan kehebatan Al-Qur’an.
Sebagaimana dikatakan olehnya, “Ketahuilah bahwa pendidikan Al-Qur’an termasuk
syiar agama yang diterima oleh umat Islam di seluruh dunia Islam. Oleh kerena
itu pendidikan Al-Qur’an dapat meresap ke dalam hati dan memperkuat iman. Dan
pengajaran Al-Qur’an pun patut diutamakan sebelum mengembangkan ilmu-ilmu yang
lain.”
Jadi nilai-nilai spiritual sangat di utamakan sekali dalam kajiannya, disamping mengkaji ilmu-ilmu lainnya. Kehancuran suatu negara, masyarakat, atau pun secara individu dapat disebabkan oleh lemahnya nilai-nilai spritual. Pendidikan agama sangatlah penting sekali sebagai dasar untuk menjadikan insan yang beriman dan bertakwa untuk kemaslahatan umat. Itulah kunci keberhasilan
Ibnu Khaldun, ia wafat di Kairo Mesir pada saat bulan suci Ramadan tepatnya pada tanggal 25 Ramadan 808 H./19 Maret 1406 M.***
Jadi nilai-nilai spiritual sangat di utamakan sekali dalam kajiannya, disamping mengkaji ilmu-ilmu lainnya. Kehancuran suatu negara, masyarakat, atau pun secara individu dapat disebabkan oleh lemahnya nilai-nilai spritual. Pendidikan agama sangatlah penting sekali sebagai dasar untuk menjadikan insan yang beriman dan bertakwa untuk kemaslahatan umat. Itulah kunci keberhasilan
Ibnu Khaldun, ia wafat di Kairo Mesir pada saat bulan suci Ramadan tepatnya pada tanggal 25 Ramadan 808 H./19 Maret 1406 M.***
Orang yang mencintai ilmu tak akan ada bosannya untuk membaca dan belajar ...sabda nabi Muhammad saw ; tuntutlah ilmu semenjak dari buaian sampai keliang lahat ....
BalasHapus