Nama lengkapnya adalah Syekh Ahmad Ibn Muhammad ibn ‘Atha’illah as-Sakandari. Ia lahir di Iskandariah (Mesir) pada 648H/1250M, dan meninggal di Kairo pada 1309M. Julukan al-Iskandari atau as-Sakandari merujuk kota kelahirannya itu. Syeikh Ibn ‘Atha’illah as-Sakandari hidup di Mesir di masa kekuasaan Dinasti Mameluk. Di
Ibn ‘Athaillah tergolong ulama yang
produktif. Tak kurang dari 20 karya yang pernah dihasilkannya. Meliputi
bidang
tasawuf, tafsir, aqidah, hadits, nahwu, dan ushul fiqh. Dari beberapa
karyanya
itu yang paling terkenal adalah kitab al-Hikam. Buku ini disebut-sebut
sebagai
magnum opusnya. Kitab itu sudah beberapa kali disyarah. Antara lain oleh
Muhammad bin Ibrahim ibn Ibad ar Rundi, Syaikh Ahmad Zarruq, dan Ahmad
ibn
Ajiba.
Beberapa kitab
lainnya yang ditulis adalah
Al-Tanwir fi Isqath al-Tadbir, ‘Unwan at-Taufiq fi’dab al-Thariq, miftah
al-Falah dan al-Qaul al-Mujarrad fil al-Ism al-Mufrad. Yang terakhir ini
merupakan tanggapan terhadap Syaikhul Islam ibn Taimiyyah mengenai
persoalan
tauhid. Kedua ulama besar itu memang hidup dalam satu zaman, dan
kabarnya
beberapa kali terlibat dalam dialog yang berkualitas tinggi dan sangat
santun.
Ibn Taimiyyah adalah sosok ulama yang tidak menyukai praktek sufisme.
Sementara
ibn ‘Athaillah dan para pengikutnya melihat tidak semua jalan sufisme
itu
salah. Karena mereka juga ketat dalam urusan syari’at.
Ibn ‘Athaillah dikenal sebagai sosok yang
dikagumi dan bersih. Ia menjadi panutan bagi banyak orang yang meniti
jalan
menuju Tuhan. Menjadi teladan bagi orang-orang yang ikhlas, dan imam
bagi para
juru nasihat.
Ia dikenal sebagai
master atau syaikh
ketiga dalam lingkungan tarikat Syadzili setelah yang pendirinya Abu al
Hasan
Asy Syadzili dan penerusnya, Abu Al Abbas Al Mursi. Dan Ibn ‘Athillah
inilah
yang pertama menghimpun ajaran-ajaran, pesan-pesan, doa dan biografi
keduanya,
sehingga khazanah tarikat syadziliah tetap terpelihara.
Meski ia tokoh kunci di sebuah tarikat,
bukan berarti aktifitas dan pengaruh intelektualismenya hanya terbatas
di
tarekat saja. Buku-buku ibn Athaillah dibaca luas oleh kaum muslimin
dari
berbagai kelompok, bersifat lintas mazhab dan tarikat, terutama kitab Al
Hikam
yang melegenda ini.
Pengarang kitab
al-Hikam yang cukup
populer di negeri kita ini adalah Tajuddin, Abu al-Fadl, Ahmad bin
Muhammad bin
Abd al-Karim bin Atho’ al-Sakandari al-Judzami al-Maliki al-Syadzili. Ia
berasal dari bangsa Arab. Nenek moyangnya berasal dari Judzam yaitu
salah satu
Kabilah Kahlan yang berujung pada Bani Ya’rib bin Qohton, bangsa Arab
yang
terkenal dengan Arab al-Aa’ribah. Kota Iskandariah merupakan kota
kelahiran
sufi besar ini. Suatu tempat di mana keluarganya tinggal dan kakeknya
mengajar.
Kendatipun namanya hingga kini demikian harum, namun kapan sufi agung
ini
dilahirkan tidak ada catatan yang tegas. Dengan menelisik jalan hidupnya
DR.
Taftazani bisa menengarai bahwa ia dilahirkan sekitar tahun 658 sampai
679 H.
Ayahnya termasuk
semasa dengan Syaikh Abu
al-Hasan al-Syadili -pendiri Thariqah al-Syadziliyyah-sebagaimana
diceritakan
Ibnu Atho’ dalam kitabnya “Lathoiful Minan “ : “Ayahku bercerita
kepadaku,
suatu ketika aku menghadap Syaikh Abu al-Hasan al-Syadzili, lalu aku
mendengar
beliau mengatakan: “Demi Allah… kalian telah menanyai aku tentang suatu
masalah
yang tidak aku ketahui jawabannya, lalu aku temukan jawabannya tertulis
pada
pena, tikar dan dinding”.
Keluarga Ibnu Atho’ adalah keluarga yang
terdidik dalam lingkungan agama, kakek dari jalur nasab ayahnya adalah
seorang
ulama fiqih pada masanya. Tajuddin remaja sudah belajar pada ulama
tingkat
tinggi di Iskandariah seperti al-Faqih Nasiruddin al-Mimbar al-Judzami.
Kota
Iskandariah pada masa Ibnu Atho’ memang salah satu kota ilmu di
semenanjung
Mesir, karena Iskandariah banyak dihiasi oleh banyak ulama dalam bidang
fiqih,
hadits, usul, dan ilmu-ilmu bahasa arab, tentu saja juga memuat banyak
tokoh-tokoh tasawwuf dan para Auliya’ Sholihin.
Oleh karena itu tidak mengherankan bila Ibnu Atho’illah tumbuh sebagai seorang faqih, sebagaimana harapan dari kakeknya. Namun kefaqihannya terus berlanjut sampai pada tingkatan tasawuf. Hal mana membuat kakeknya secara terang-terangan tidak menyukainya.
Oleh karena itu tidak mengherankan bila Ibnu Atho’illah tumbuh sebagai seorang faqih, sebagaimana harapan dari kakeknya. Namun kefaqihannya terus berlanjut sampai pada tingkatan tasawuf. Hal mana membuat kakeknya secara terang-terangan tidak menyukainya.
Ibnu Atho’
menceritakan dalam kitabnya
“Lathoiful minan” : “Bahwa kakeknya adalah seorang yang tidak setuju
dengan
tasawwuf, tapi mereka sabar akan serangan dari kakeknya. Di sinilah guru Ibnu Atho’ yaitu Abul Abbas al-Mursy
mengatakan: “Kalau anak dari seorang alim fiqih Iskandariah (Ibnu
Atho’illah)
datang ke sini, tolong beritahu aku”, dan ketika aku datang, al-Mursi
mengatakan: “Malaikat jibril telah datang kepada Nabi bersama dengan
malaikat
penjaga gunung ketika orang quraisy tidak percaya pada Nabi. Malaikat
penjaga
gunung lalu menyalami Nabi dan mengatakan: ” Wahai Muhammad. kalau
engkau mau,
maka aku akan timpakan dua gunung pada mereka”. Dengan bijak Nabi
mengatakan :
” Tidak… aku mengharap agar kelak akan keluar orang-orang yang bertauhid
dan
tidak musyrik dari mereka”. Begitu juga, kita harus sabar akan
sikap
kakek yang alim fiqih (kakek Ibnu Atho’illah) demi orang yang alim fiqih
ini”.
Pada akhirnya Ibn Atho’ memang lebih terkenal sebagai seorang sufi
besar. Namun
menarik juga perjalanan hidupnya, dari didikan yang murni fiqh sampai
bisa
memadukan fiqh dan tasawuf. Oleh karena itu buku-buku biografi
menyebutkan
riwayat hidup Atho’illah menjadi tiga masa:
Masa pertama
Masa ini dimulai ketika ia
tinggal di Iskandariah sebagai pencari ilmu agama seperti tafsir,
hadits,
fiqih, usul, nahwu dan lain-lain dari para alim ulama di Iskandariah.
Pada
periode itu beliau terpengaruh pemikiran-pemikiran kakeknya yang
mengingkari
para ahli tasawwuf karena kefanatikannya pada ilmu fiqih, dalam hal ini
Ibnu
Atho’illah bercerita: “Dulu aku adalah termasuk orang yang mengingkari
Abu
al-Abbas al-Mursi, yaitu sebelum aku menjadi murid beliau”. Pendapat
saya waktu
itu bahwa yang ada hanya ulama ahli dzahir, tapi mereka (ahli tasawwuf)
mengklaim adanya hal-hal yang besar, sementara dzahir syariat
menentangnya”.
Masa kedua
Masa ini merupakan masa paling
penting dalam kehidupan sang guru pemburu kejernihan hati ini. Masa ini
dimulai
semenjak ia bertemu dengan gurunya, Abu al-Abbas al-Mursi, tahun 674 H,
dan
berakhir dengan kepindahannya ke Kairo. Dalam masa ini sirnalah
keingkarannya
ulama’ tasawvuf. Ketika bertemu dengan al-Mursi, ia jatuh kagum dan
simpati.
Akhirnya ia mengambil Thariqah langsung dari gurunya ini.
Ada cerita menarik mengapa ia beranjak memilih dunia tasawuf ini. Suatu ketika Ibn Atho’ mengalami goncangan batin, jiwanya tertekan. Dia bertanya-tanya dalam hatinya : “apakah semestinya aku membenci tasawuf. Apakah suatu yang benar kalau aku tidak menyukai Abul Abbas al-Mursi ?. setelah lama aku merenung, mencerna akhirnya aku beranikan diriku untuk mendekatnya, melihat siapa al-Mursi sesungguhnya, apa yang ia ajarkan sejatinya. Kalau memang ia orang baik dan benar maka semuany` akan kelihatan. Kalau tidak demikian halnya biarlah ini menjadi jalan hidupku yang tidak bisa sejalan dengan tasawuf.
Ada cerita menarik mengapa ia beranjak memilih dunia tasawuf ini. Suatu ketika Ibn Atho’ mengalami goncangan batin, jiwanya tertekan. Dia bertanya-tanya dalam hatinya : “apakah semestinya aku membenci tasawuf. Apakah suatu yang benar kalau aku tidak menyukai Abul Abbas al-Mursi ?. setelah lama aku merenung, mencerna akhirnya aku beranikan diriku untuk mendekatnya, melihat siapa al-Mursi sesungguhnya, apa yang ia ajarkan sejatinya. Kalau memang ia orang baik dan benar maka semuany` akan kelihatan. Kalau tidak demikian halnya biarlah ini menjadi jalan hidupku yang tidak bisa sejalan dengan tasawuf.
Lalu aku datang ke majlisnya.
Aku mendengar, menyimak ceramahnya dengan tekun tentang masalah-masalah
syara’.
Tentang kewajiban, keutamaan dan sebagainya. Di sini jelas semua bahwa
ternyat
al-Mursi yang kelak menjadi guru sejatiku ini mengambil ilmu langsung
dari
Tuhan. Dan segala puji bagi Allah, Dia telah menghilangkan rasa bimbang
yang
ada dalam hatiku”.
Maka
demikianlah, ketika ia
sudah mencicipi manisnya tasawuf hatinya semakin tertambat untuk masuk
ke dalam
dan lebih dalam lagi. Sampai-sampai ia punya dugaan tidak akan bisa
menjadi
seorang sufi sejati kecuali dengan masuk ke dunia itu secara total,
menghabiskan seluruh waktunya untuk sang guru dan meningalkan aktivitas
lain.
Namun demikian ia tidak berani memutuskan keinginannya itu kecuali
setelah
mendapatkan izin dari sang guru al-Mursi.
Dalam hal ini Ibn Athoilah menceritakan : “Aku menghadap guruku al-Mursi, dan dalam hatiku ada keinginan untuk meninggalkan ilmu dzahir. Belum sempat aku mengutarakan apa yang terbersit dalam hatiku ini tiba-tiba beliau mengatakan : “Di kota Qous aku mempunyai kawan namanya Ibnu Naasyi’. Dulu dia adalah pengajar di Qous dan sebagai wakil penguasa. Dia merasakan sedikit manisnya tariqah kita. Kemudian ia menghadapku dan berkata : “Tuanku… apakah sebaiknya aku meninggalkan tugasku sekarang ini dan berkhidmat saja pada tuan?”. Aku memandangnya sebentar kemudian aku katakan : “Tidak demikian itu tariqah kita. Tetaplah dengan kedudukan yang sudah di tentukan Allah padamu. Apa yang menjadi garis tanganmu akan sampai padamu juga”.
Setelah bercerita semacam itu yang sebetulnya adalah nasehat untuk diriku beliau berkata: “Beginilah keadaan orang-orang al-Siddiqiyyin. Mereka sama sekali tidak keluar dari suatu kedudukan yang sudah ditentukan Allah sampai Dia sendiri yang mengeluarkan mereka”. Mendengar uraian panjang lebar semacam itu aku tersadar dan tidak bisa mengucapkan sepatah katapun. Dan alhamdulillah Allah telah menghapus angan kebimbangan yang ada dalam hatiku, sepertinya aku baru saja melepas pakaianku. Aku pun rela tenang dengan kedudukan yang diberikan oleh Allah”.
Dalam hal ini Ibn Athoilah menceritakan : “Aku menghadap guruku al-Mursi, dan dalam hatiku ada keinginan untuk meninggalkan ilmu dzahir. Belum sempat aku mengutarakan apa yang terbersit dalam hatiku ini tiba-tiba beliau mengatakan : “Di kota Qous aku mempunyai kawan namanya Ibnu Naasyi’. Dulu dia adalah pengajar di Qous dan sebagai wakil penguasa. Dia merasakan sedikit manisnya tariqah kita. Kemudian ia menghadapku dan berkata : “Tuanku… apakah sebaiknya aku meninggalkan tugasku sekarang ini dan berkhidmat saja pada tuan?”. Aku memandangnya sebentar kemudian aku katakan : “Tidak demikian itu tariqah kita. Tetaplah dengan kedudukan yang sudah di tentukan Allah padamu. Apa yang menjadi garis tanganmu akan sampai padamu juga”.
Setelah bercerita semacam itu yang sebetulnya adalah nasehat untuk diriku beliau berkata: “Beginilah keadaan orang-orang al-Siddiqiyyin. Mereka sama sekali tidak keluar dari suatu kedudukan yang sudah ditentukan Allah sampai Dia sendiri yang mengeluarkan mereka”. Mendengar uraian panjang lebar semacam itu aku tersadar dan tidak bisa mengucapkan sepatah katapun. Dan alhamdulillah Allah telah menghapus angan kebimbangan yang ada dalam hatiku, sepertinya aku baru saja melepas pakaianku. Aku pun rela tenang dengan kedudukan yang diberikan oleh Allah”.
Masa ketiga
Masa ini
dimulai semenjak kepindahan Ibn
Atho’ dari Iskandariah ke Kairo. Dan berakhir dengan kepindahannya ke
haribaan
Yang Maha Asih pada tahun 709 H. Masa ini adalah masa kematangan dan
kesempurnaan
Ibnu Atho’illah dalam ilmu fiqih dan ilmu tasawwuf. Ia membedakan antara
Uzlah
dan kholwah. Uzlah menurutnya adalah pemutusan (hubungan) maknawi bukan
hakiki,
lahir dengan makhluk, yaitu dengan cara si Salik (orang yang uzlah)
selalu
mengontrol dirinya d`n menjaganya dari perdaya dunia. Ketika seorang
sufi sudah
mantap dengan uzlah-nya dan nyaman dengan kesendiriannya ia memasuki
tahapan
khalwah. Dan khalwah dipahami dengan suatu cara menuju rahasia Tuhan,
kholwah
adalah perendahan diri dihadapan Allah dan pemutusan hubungan dengan
selain
Allah SWT.
Menurut Ibnu
Atho’illah, ruangan yang
bagus untuk ber-khalwah adalah yang tingginya, setinggi orang yang
berkhalwat
tersebut. Panjangnya sepanjang ia sujud. Luasnya seluas tempat duduknya.
Ruangan itu tidak ada lubang untuk masuknya cahaya matahari, jauh dari
keramaian, pintunya rapat, dan tidak ada dalam rumah yang banyak
penghuninya.
Ibnu Atho’illah sepeninggal gurunya Abu al-Abbas al-Mursi tahum 686 H,
menjadi
pengfantinya dalam mengembangkan Tariqah Syadziliah. Tugas ini ia emban
di
samping tugas mengajar di kota Iskandariah. Maka ketika pindah ke Kairo,
ia
bertugas mengajar dan ceramah di Masjid al-Azhar.
Ibnu Hajar berkata: “Ibnu Atho’illah berceramah di Azhar dengan tema yang menenangkan hati dan memadukan perkatan-perkatan orang kebanyakan dengan riwayat-riwayat dari salafus soleh, juga berbagai macam ilmu. Maka tidak heran kalau pengikutnya berjubel dan beliau menjadi simbol kebaikan”. Hal senada diucapkan oleh Ibnu Tagri Baradi : “Ibnu Atho’illah adalah orang yang sholeh, berbicara di atas kursi Azhar, dan dihadiri oleh hadirin yang banyak sekali. Ceramahnya sangat mengena dalam hati. Dia mempunyai pengetahuan yang dalam akan perkataan ahli hakekat dan orang orang ahli tariqah”. Termasuk tempat mengajar beliau adalah Madrasah al-Mansuriah di Hay al-Shoghoh. Beliau mempunyai banyak anak didik yang menjadi seorang ahli fiqih dan tasawwuf, seperti Imam Taqiyyuddin al-Subki, ayah Tajuddin al-Subki, pengarang kitab “Tobaqoh al-syafi’iyyah al-Kubro”.
Karya.
Sebagai seoarang sufi yang alim Ibn Atho’ meninggalkan banyak karangan sebanyak 22 kitab lebih. Mulai dari sastra, tasawuf, fiqh, nahwu, mantiq, falsafah sampai khitobah.
Ibnu Hajar berkata: “Ibnu Atho’illah berceramah di Azhar dengan tema yang menenangkan hati dan memadukan perkatan-perkatan orang kebanyakan dengan riwayat-riwayat dari salafus soleh, juga berbagai macam ilmu. Maka tidak heran kalau pengikutnya berjubel dan beliau menjadi simbol kebaikan”. Hal senada diucapkan oleh Ibnu Tagri Baradi : “Ibnu Atho’illah adalah orang yang sholeh, berbicara di atas kursi Azhar, dan dihadiri oleh hadirin yang banyak sekali. Ceramahnya sangat mengena dalam hati. Dia mempunyai pengetahuan yang dalam akan perkataan ahli hakekat dan orang orang ahli tariqah”. Termasuk tempat mengajar beliau adalah Madrasah al-Mansuriah di Hay al-Shoghoh. Beliau mempunyai banyak anak didik yang menjadi seorang ahli fiqih dan tasawwuf, seperti Imam Taqiyyuddin al-Subki, ayah Tajuddin al-Subki, pengarang kitab “Tobaqoh al-syafi’iyyah al-Kubro”.
Karya.
Sebagai seoarang sufi yang alim Ibn Atho’ meninggalkan banyak karangan sebanyak 22 kitab lebih. Mulai dari sastra, tasawuf, fiqh, nahwu, mantiq, falsafah sampai khitobah.
Kitabnya yang paling
masyhur sehingga
telah menjadi terkenal di seluruh dunia Islam ialah kitabnya yang
bernama
Hikam, yang telah diberikan komentar oleh beberapa orang ulama di
kemudian hari
dan yang juga telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa asing lain,
termasuklah bahasa Melayu dan bahasa Indonesia.
Kitab ini dikenali juga dengan nama al-Hikam al-ata’iyyah untuk membezakannya daripada kitab-kitab lain yang juga berjudul Hikam.
Kitab ini dikenali juga dengan nama al-Hikam al-ata’iyyah untuk membezakannya daripada kitab-kitab lain yang juga berjudul Hikam.
Karomah Ibn Athoillah
Al-Munawi dalam kitabnya “Al-Kawakib
al-durriyyah mengatakan: “Syaikh Kamal Ibnu Humam ketika ziarah ke makam
wali
besar ini membaca Surat Hud sampai pada ayat yang artinya: “Diantara
mereka ada
yang celaka dan bahagia…”. Tiba-tiba terdengar suara dari dalam liang
kubur Ibn
Athoillah dengan keras: “Wahai Kamal… tidak ada diantara kita yang
celaka”.
Demi menyaksikan karomah agung seperti ini Ibnu Humam berwasiat supaya
dimakamkan dekat dengan Ibnu Atho’illah ketika meninggal kelak.
Di antara karomah pengarang kitab al-Hikam
adalah, suatu ketika salah satu murid beliau berangkat haji. Di sana si
murid
itu melihat Ibn Athoillah sedang thawaf. Dia juga melihat sang guru ada
di
belakang maqam Ibrahim, di Mas’aa dan Arafah. Ketika pulang, dia
bertanya pada
teman-temannya apakah sang guru pergi haji atau tidak. Si murid langsung
terperanjat ketiak mendengar teman-temannya menjawab “Tidak”. Kurang
puas
dengan jawaban mereka, dia menghadap sang guru. Kemudian pembimbing
spiritual
ini bertanya : “Siapa saja yang kamu temui ?” lalu si murid menjawab :
“Tuanku…
saya melihat tuanku di sana “. Dengan tersenyum al-arif billah ini
menerangkan
: “Orang besar itu bisa memenuhi dunia. Seandainya
saja Wali Qutb di panggil dari liang tanah, dia pasti
menjawabnya”.
Pandangan tentang
Maqam Sufi
Dalam pandangan
tasawuf secara umum,
konsep maqām dan hāl adalah dua konsep yang sangat berhubungan dengan
salik (pejalan
sufi).
Maqām adalah
tahapan-tahapan thariqah yang
harus dilalui oleh seorang salik, yang membuahkan keadaan tertentu yang
merasuk
dalam diri salik. Semisal maqām taubat; seorang salik dikatakan telah
mencapai
maqām ini ketika dia telah bermujahadah dengan penuh kesungguhan untuk
menjauhi
segala bentuk maksiat dan nafsu syahwati. Dengan demikian, maqām adalah
suatu
keadaan tertentu yang ada pada diri salik yang didapatnya melalui proses
usaha
riyadhah (melatih hawa nafsu).
Sedangkan yang dimaksud dengan hāl −
sebagaimana diungkapkan oleh al-Qusyairi − adalah suatu keadaan yang
dianugerahkan kepada seorang sālik tanpa melalui proses usaha riyadhah.
Namun, dalam konsep maqām ini Ibn
Atha’illah memiliki pemikiran yang berbeda, dia memandang bahwa suatu
maqām
dicapai bukan karena adanya usaha dari seorang salik, melainkan semata
anugerah
Allah swt. Karena jika maqām dicapai karena usaha salik sendiri, sama
halnya
dengan menisbatkan bahwa salik memiliki kemampuan untuk mencapai suatu
maqām
atas kehendak dan kemampuan dirinya sendiri.
Pun jika demikian, maka hal ini
bertentangan dengan konsep fana’ iradah, yaitu bahwa manusia sama sekali
tidak
memiliki kehendak, dan juga bertentangan dengan keimanan kita bahwa
Allah yang
menciptakan semua perbuatan manusia. Dengan demikian, bagi seorang salik
untuk
mencapai suatu maqām hendaknya salik menghilangkan segala kehendak dan
angan-angannya (isqath al-iradah wa al-tadbir).
Mengenai maqām, Ibn Atha’illah membaginya
tingkatan maqam sufi menjadi 9 tahapan;
1. Maqam
taubat
2. Maqam
zuhud
3. Maqam
shabar
4. Maqam
syukur
5. Maqam
khauf
6. Maqam
raja’
7. Maqam
ridha
8. Maqam
tawakkal
9. Maqam
mahabbah
Maqam Taubat
Taubat adalah maqam awal yang harus
dilalui oleh seorang salik. Sebelum mencapai maqam ini seorang salik
tidak akan
bisa mencapai maqam-maqam lainnya. Karena sebuah tujuan akhir tidak akan
dapat
dicapai tanpa adanya langkah awal yang benar.
Cara taubat sebagaimana pandangan Ibn
Atha’illah adalah dengan bertafakkur dan berkhalwat. sedang tafakkur itu
sendiri adalah hendaknya seorang salik melakukan instropeksi terhadap
semua
perbuatannya di siang hari. Jika
dia mendapati perbuatannya tersebut berupa ketaatan kepada Allah, maka
hendaknya dia bersyukur kepada-Nya. Dan sebaliknya jika dia mendapati
amal
perbuatannya berupa kemaksiatan, maka hendaknya dia segera beristighfar
dan
bertaubat kepada-Nya.
Untuk mencapai maqam taubat ini, seorang
salik harus meyakini dan mempercayai bahwa irodah (kehendak) Allah
meliputi
segala sesuatu yang ada. Termasuk bentuk ketaatan salik, keadaan lupa
kepada-Nya, dan nafsu syahwatnya, semua atas kehendak-Nya.
Sedangkan hal yang dapat membangkitkan
maqam taubat ini adalah berbaik sangka (husn adz-dzon) kepada-Nya. Jika
seorang
salik terjerumus dalam sebuah perbuatan dosa, hendaknya ia tidak
menganggap
bahwa dosanya itu sangatlah besar sehingga menyebabkan dirinya merasa
putus asa
untuk bisa sampai kepada-Nya.
Maqam Zuhud
Dalam pandangan Ibn ‘Aţā’illah, zuhd ada 2
macam; Zuhd Ẓahir Jalī seperti zuhd dari perbuatan berlebih-lebihan
dalam
perkara ḥalal, seperti: makanan, pakaian, dan hal lain yang tergolong
dalam
perhiasan duniawi. Dan Zuhd Bāţin Khafī seperti zuhd dari segala bentuk
kepemimpinan, cinta penampilan zahir, dan juga berbagai hal maknawi yang
terkait deng`n keduniaan”.
Hal yang dapat membangkitkan maqām zuhd
adalah dengan merenung (ta’ammul). Jika seorang sālik benar-benar
merenungkan
dunia ini, maka dia akan mendapati dunia hanya sebagai tempat bagi yang
selain
Allah, dia akan mendapatinya hanya berisikan kesedihan dan kekeruhan.
Jikalau
sudah demikian, maka sālik akan zuhd terhadap dunia. Dia tidak akan
terbuai
dengan segala bentuk keindahan dunia yang menipu.
Maqām zuhd tidak dapat tercapai jika dalam hati sālik masih terdapat rasa cinta kepada dunia, dan rasa ḥasud kepada manusia yang diberi kenikmatan duniawi. Alangkah indahnya apa yang dikatakan oleh Ibn ‘Aţā’illah: ”Cukuplah kebodohan bagimu jika engkau ḥasud kepada mereka yang diberi kenikmatan dunia. Namun, jika hatimu sibuk dengan memikirkan kenikmatan dunia yang diberikan kepada mereka, maka engkau lebih bodoh daripada mereka. Karena mereka hanya disibukkan dengan kenikmatan yang mereka dapatkan, sedangkan engkau disibukkan dengan apa yang tidak engkau dapatkan”.
Maqām zuhd tidak dapat tercapai jika dalam hati sālik masih terdapat rasa cinta kepada dunia, dan rasa ḥasud kepada manusia yang diberi kenikmatan duniawi. Alangkah indahnya apa yang dikatakan oleh Ibn ‘Aţā’illah: ”Cukuplah kebodohan bagimu jika engkau ḥasud kepada mereka yang diberi kenikmatan dunia. Namun, jika hatimu sibuk dengan memikirkan kenikmatan dunia yang diberikan kepada mereka, maka engkau lebih bodoh daripada mereka. Karena mereka hanya disibukkan dengan kenikmatan yang mereka dapatkan, sedangkan engkau disibukkan dengan apa yang tidak engkau dapatkan”.
Inti dari zuhd adalah keteguhan jiwa,
yaitu tidak merasa bahagia dengan kenikmatan dunia yang didapat, dan
tidak
bersedih dan putus asa atas kenikmatan dunia yang tidak didapat.
Seorang salik tidak dituntut menjadi orang
yang faqir yang sama sekali tidak memiliki apa-apa. Karena ciri-ciri
seorang
zuhd ada dua; yaitu saat kenikmatan dunia tidak ada dan saat kenikmatan
dunia
itu ada. Ini dimaksudkan bahwa jika kenikmatan dunia itu didapat oleh
sālik, maka
dia akan menghargainya dengan bershukur dan memanfaatkan nikmat tersebut
hanya
karena Allah. Sebaliknya, jika nikmat sirna dari dirinya, maka dia
merasa
nyaman, tenang dan tidak sedih.
Maqam Sabar
Ibn ‘Ata’illah membagi sabar menjadi 3
macam sabar terhadap perkara haram, sabar terhadap kewajiban, dan sabar
terhadap segala perencanaan (angan-angan) dan usaha.
Sabar terhadap perkara haram adalah sabar
terhadap hak-hak manusia. Sedangkan sabar terhadap kewajiban adalah
sabar
terhadap kewajiban dan keharusan untuk menyembah kepada Allah. Segala
sesuatu
yang menjadi kewajiban ibadah kepada Allah akan melahirkan bentuk sabar
yang
ketiga yaitu sabar yang menuntut salik untuk meninggalkan segala bentuk
angan-angan kepada-Nya.
“Sabar atas keharaman adalah sabar atas
hak-hak kemanusiaan. Dan sabar atas kewajiban adalah sabar atas
kewajiban
ibadah. Dan semua hal yang termasuk dalam kewajiban ibadah kepada Allah
mewajibkan pula atas salik untuk meniadakan segala angan-angannya
bersama
Allah”.
Sabar bukanlah suatu
maqam yang diperoleh
melalui usaha salik sendiri. Namun, sabar adalah suatu anugerah yang
diberikan
Allah kepada salik dan orang-orang yang dipilih-Nya.
Maqam sabar itu dilandasi oleh keimanan
yang sempurna terhadap kepastian dan ketentuan Allah, serta menanggalkan
segala
bentuk perencanaan (angan-angan) dan usaha.
Maqam Syukur
Shukur dalam pandangan Ibn ‘Ata’illah
terbagi menjadi 3 macam; pertama shukur dengan lisan, yaitu
mengungkapkan
secara lisan, menceritakan nikmat yang didapat. Kedua, shukur dengan
anggota
tubuh, yaitu shukur yang diimplementasikan dalam bentuk ketaatan.
Ketiga,
shukur dengan hati, yaitu dengan mengakui bahwa hanya Allah Sang Pemberi
Nikmat, segala bentuk kenikmatan yang diperoleh dari manusia semata-mata
dari-Nya. Sebagaimana diungkapkan oleh Ibn ‘Ata’illah:
“Dalam syukur menurut Ibn ‘Ata’illah
terdapat tiga bagian; shukur lisan yaitu memberitakan kenikmatan (pada
orang
lain), shukur badan adalah beramal dengan ketaatan kepada Allah, dan
shukur
hati adalah mengakui bahwa Allah semata Sang Pemberi nikmat. Dan segala
bentuk
kenikmatan dari seseorang adalah semata-mata dari Allah.”
Ibn ‘Ata’illah juga menjelaskan bahwa bentuk shukur orang yang berilmu adalah dengan menjadikan ilmunya sebagai landasan untuk memberi petunjuk kepada manusia lainnya. Sedangkan bentuk shukur orang yang diberi kenikmatan kekayaan adalah dengan menyalurkan hartanya kepada mereka yang membutuhkan. Bentuk shukur orang yang diberi kenikmatan berupa jabatan dan kekuasaan adalah dengan memberikan perlindungan dan kesejahteraan terhadap orang-orang yang ada dalam kekuasaannya.
Ibn ‘Ata’illah juga menjelaskan bahwa bentuk shukur orang yang berilmu adalah dengan menjadikan ilmunya sebagai landasan untuk memberi petunjuk kepada manusia lainnya. Sedangkan bentuk shukur orang yang diberi kenikmatan kekayaan adalah dengan menyalurkan hartanya kepada mereka yang membutuhkan. Bentuk shukur orang yang diberi kenikmatan berupa jabatan dan kekuasaan adalah dengan memberikan perlindungan dan kesejahteraan terhadap orang-orang yang ada dalam kekuasaannya.
Lebih lanjut Ibn
‘Aţā’illah memaparkan
bahwa shukur juga terbagi menjadi 2 bagian; shukur ẓāhir dan shukur
bāţin.
Shukur ẓāhir adalah melaksanakan perintah Allah dan menjauhi segala
larangan-Nya. Sedangkan shukur bāţin adalah mengakui dan meyakini bahwa
segala
bentuk kenikmatan hanyalah dari Allah semata.
Manfaat dari shukur adalah menjadikan anugerah kenikmatan yang didapat menjadi langgeng, dan semakin bertambah. Ibn ‘Ata’illah memaparkan bahwa jika seorang salik tidak menshukuri nikmat yang didapat, maka bersiap-siaplah untuk menerima sirnanya kenikmatan tersebut. Dan jika dia menshukurinya, maka rasa shukurnya akan menjadi pengikat kenikmatan tersebut. Allah berfirman: لَئِنْ شَكَرْتُمْ لأَزِيْدَنَّكُمْ (Jika kalian bersyukur [atas nikmat-Ku] niscaya akan kutambah [kenikmatan itu]).
Manfaat dari shukur adalah menjadikan anugerah kenikmatan yang didapat menjadi langgeng, dan semakin bertambah. Ibn ‘Ata’illah memaparkan bahwa jika seorang salik tidak menshukuri nikmat yang didapat, maka bersiap-siaplah untuk menerima sirnanya kenikmatan tersebut. Dan jika dia menshukurinya, maka rasa shukurnya akan menjadi pengikat kenikmatan tersebut. Allah berfirman: لَئِنْ شَكَرْتُمْ لأَزِيْدَنَّكُمْ (Jika kalian bersyukur [atas nikmat-Ku] niscaya akan kutambah [kenikmatan itu]).
Jika seorang salik
tidak mengetahui sebuah
nikmat yang diberikan Allah kepada-Nya, maka dia akan mengetahuinya
ketika
nikmat tersebut telah hilang. Hal inilah yang telah diperingatkan oleh
Ibn
‘Ata’illah.
Lebih lanjut Ibn ‘Ata’illah menambahkan hendaknya seorang salik selalu bershukur kepada Allah sehingga ketika Allah memberinya suatu kenikmatan, maka dia tidak terlena dengan kenikmatan tersebut dan menjadikan-Nya lupa kepada Sang Pemberi Nikmat.
Lebih lanjut Ibn ‘Ata’illah menambahkan hendaknya seorang salik selalu bershukur kepada Allah sehingga ketika Allah memberinya suatu kenikmatan, maka dia tidak terlena dengan kenikmatan tersebut dan menjadikan-Nya lupa kepada Sang Pemberi Nikmat.
Meskipun
pada dasarnya semua kenikmatan
pada hakikatnya adalah dari Allah, shukur kepada makhluk juga menjadi
kewajiban
seorang salik. Dia harus bershukur terhadap apa yang telah diberik`n
orang lain
kepadanya, karena hal ini adalah suatu tuntutan shari‘at, seraya
mengakui dan
meyakini dalam hati bahwa segala bentuk kenikmatan tersebut adalah dari
Allah.
Pengejawantahan
shukur tetap harus
dilandasi dengan menanggalkan segala bentuk angan-angan dan keinginan.
Akal
adalah kenikmatan paling agung yang diberikan Allah kepada manusia.
Karena akal
inilah manusia menjadi berbeda dari sekalian makhluk. Namun, dengan
kelebihan
akal ini pula manusia memiliki potensi untuk bermaksiat kepada Allah.
Dengan
akal ini manusia dapat berpikir, berangan-angan, dan berkehendak.
Sehingga
manusia memiliki potensi untuk mengangan-angankan dan menginginkan suatu
bentuk
kenikmatan yang akan diberikan oleh Allah. Hal inilah yang harus
ditiadakan
dalam pengejawantahan shukur.
Maqam khauf
Seorang salik dapat mencapai derajat maqam
khauf apabila dia merasa takut atas sirnanya ḥal dan maqamnya, karena
dia tahu
bahwa Allah memiliki kepastian hukum dan kehendak yang tidak dapat
dicegah.
Ketika Allah berkehendak untuk mencabut suatu maqām dan ḥal yang ada
pada diri
salik, seketika itu juga Allah akan mencabutnya.
“Bukti dari makna ini mengharuskan maqām khauf bagi seorang hamba terwujud, ketika dia memiliki ucapan yang baik dan perilaku yang terpuji maka dia tak akan terputus maqām khauf ini, serta dia tidak terpedaya dengan urusan duniawi, karena hukum kepastian dan kehendak Allah terwujud.”
“Bukti dari makna ini mengharuskan maqām khauf bagi seorang hamba terwujud, ketika dia memiliki ucapan yang baik dan perilaku yang terpuji maka dia tak akan terputus maqām khauf ini, serta dia tidak terpedaya dengan urusan duniawi, karena hukum kepastian dan kehendak Allah terwujud.”
Khauf seorang sālik bukanlah sekedar rasa
takut semata. Khauf pasti diiringi dengan rajā’ (harapan) kepada Allah,
karena
khauf adalah pembangkit dari rajā’. Maqām khauf adalah maqām yang
membangkitkan
maqām rajā’. Rajā’ tidak akan ada jika khauf tidak ada.
Ibn ‘Atā’illah menyatakan bahwa jika sālik
ingin agar dibuka baginya pintu rajā’ maka hendaknya dia melihat apa
yang
diberikan Allah kepadanya berupa anugerah maqām, ḥal dan berbagai
kenikmatan
yang dia terima. Jika dia ingin agar terbuka baginya pintu khauf, maka
hendaknya dia melihat apa yang dia berikan kepada-Nya berupa peribadatan
dan
ketaatan penuh pada-Nya. Sebagaimana diutarakan oleh Ibn ‘Atā’illah:
”Jika engkau ingin agar Allah membukakan bagimu pintu rajā’, maka lihatlah segala sesuatu yang diberikan Allah kepadamu. Dan jika engkau ingin agar Allah membukakan bagimu pintu khauf, maka lihatlah apa yang telah kau berikan kepada-Nya.”
”Jika engkau ingin agar Allah membukakan bagimu pintu rajā’, maka lihatlah segala sesuatu yang diberikan Allah kepadamu. Dan jika engkau ingin agar Allah membukakan bagimu pintu khauf, maka lihatlah apa yang telah kau berikan kepada-Nya.”
Rajā’ bukan
semata-mata berharap, rajā’
harus disertai dengan perbuatan. Jika rajā’ hanya berupa harapan tanpa
perbuatan, maka tidak lain itu hanyalah sebuah angan-angan atau impian
belaka.
Dengan demikian wajib bagi seorang sālik untuk menyertakan rajā’nya
dengan amal
kepatuhan, dan peribadatan yang dapat mendekatkan dirinya kepada Allah
secara
kontinyu.
Jika rajā’ sudah ada
dalam diri sālik,
maka rajā’ ini akan semakin menguatkan khauf yang ada pada dirinya.
Karena
suatu harapan, pasti akan disertai dengan rasa takut akan sesuatu,
sehingga
dapat dinyatakan bahwa khauf akan melahirkan rajā’, dan rajā’ akan
menjadi
penguat khauf.
Maqam Ridha
dan Tawakkal
Riḍa dalam pandangan Ibn ‘Ata’illah adalah
penerimaan secara total terhadap ketentuan dan kepastian Allah. Hal ini
didasarkan pada QS. al-Mā’idah ayat 119:
(Allah riḍa terhadap mereka, dan mereka
riḍa kepada Allah), dan juga sabda Rasulullah SAW.:
(Orang yang merasakan [manisnya] iman
adalah orang yang riḍa kepada Allah).
Maqam riḍa bukanlah maqam yang diperoleh
atas usaha salik sendiri. Akan tetapi riḍa adalah anugerah yang
diberikan
Allah.
Jika maqam riḍa sudah
ada dalam diri
sālik, maka sudah pasti maqām tawakkal juga akan terwujud. Oleh karena
itu, ada
hubungan yang erat antara maqām riḍa dan maqām tawakkal. Orang yang riḍa
terhadap ketentuan dan kepastian Allah, dia akan menjadikan Allah
sebagai
penuntun dalam segala urusannya, dia akan berpegang teguh kepada-Nya,
dan yakin
bahwa Dia akan menentukan yang terbaik bagi dirinya.
Maqām tawakkal akan membangkitk`n
kepercayaan yang sempurna bahwa segala sesuatu ada dalam kekuasaan
Allah.
Sebagaimana termaktub dalam QS. Hūd ayat 123:
(…kepada-Nya lah segala urusan
dikembalikan, maka sembahlah Dia, dan bertawakkallah kepada-Nya).
Sebagaimana maqām-maqām lainnya, maqām
riḍa dan tawakkal tidak akan benar jika tanpa menanggalkan angan-angan.
Ibn
‘Aţā’illah menyatakan bahwa angan-angan itu bertentangan dengan
tawakkal,
karena barangsiapa telah berpasrah kepada Allah, dia akan menjadikan
Allah
sebagai penuntunnya, dia akan berpegang teguh kepada-Nya atas segala
urusannya,
dan jika sudah demikian tiadalah bagi dirinya segala bentuk ang`n-angan.
“Perencanaan (tadbīr)
juga bertentangan
dengan maqam tawakkal karena seorang yang bertawakkal kepada Allah
adalah orang
yang menyerahkan kendali dirinya kepada-Nya, dan berpegang teguh
kepada-Nya
atas segala urusannya. Barangsiapa telah menetapi semua hal tersebut,
maka
tiada lagi perencanaan baginya, dan dia berpasrah terhadap perjalanan
takdir.
Peniadaan perencanaan (isqaţ tadbīr) juga terkait dengan maqām tawakkal
dan
riḍa, hal ini jelas, karena seorang yang riḍa maka cukup baginya
perencanaan
Allah atasnya. Maka bagaimana mungkin dia menjadi perencana bersama
Allah,
sedangkan dia telah rela dengan perencanan-Nya. Apakah engkau tidak tahu
bahwa
cahaya riḍa telah membasuh hati dengan curahan perencanan-Nya. Dengan
demikian,
orang yang riḍa terhadap Allah telah dianugrahkan baginya cahaya riḍa
atas
keputusan-Nya, maka tiada lagi baginya perencanaan bersama Allah…”
Hikmah riḍa kepada qaḍā’ dan qadar, antara
lain dapat menghilangkan keruwetan dan kesusahan. Musibah yang diperoleh
seseorang, jika dihadapi/dengan pikiran yang lapang dan dengan bekerja
yang
sungguh-sungguh di sanalah seseorang akan mendapatkan jalan dan petunjuk
yang
lebih berguna, daripada dihadapi dengan meratapi kesusahan-kesusahan
itu, yang
tidak ada berkesudahan.
Dasar riḍa akan qaḍā’ dan qadar, ialah
firman Allah dalam al-Qur’an:
“Orang-orang (yang mu’min) jika mereka
mendapat sesuatu bencana berkatalah mereka “Bahwasanya kami ini
kepunyaan
Allah, dan kami (semua) pasti kembali lagi kepada-Nya.”
Jika seseorang ditimpa bencana hendaklah
dia riḍa, hatinya tidak boleh mendongkol. Riḍa dengan qaḍā’ ialah
menerima
segala kejadian yang menimpa diri seseorang, dengan rasa senang hati dan
lapang
dada.
Meriḍai qaḍā’ dan
qadar, karena ditimpa
bencana atau menderita sesuatu, sangat disukai oleh agama. Tetapi sekali-kali tiada dibenarkan
seseorang meriḍai kekufuran dan kemaksiatan.
Riḍa dengan taqdir Allah adalah suatu
perangai yang terpuji dan mulia serta membiasakan jiwa menyerahkan diri
atas
keputusan Allah, juga dapat mendapatkan hiburan yang sempurna di kala
menderita
segala bencana. Dialah obat yang sangat mujarab untuk menolak penyakit
gelap
mata hati. Dengan riḍa atas
segala ketetapan Allah, hidup seseorang menjadi tenteram dan tidak
gelisah.
Seseorang wajib
berkeyakinan, bahwa
bencana yang menimpa seseorang, adakalanya juga merupakan cobaan bagi
seorang
hamba, untuk lebih suka mengoreksi segala amal perbuatan pada masa-masa
yang
lampau, agar seseorang dapat mengubah dan memperbaiki jejak langkah dan
perbuatannya pada masa-masa yang akan datang.
Menyerah kepada qaḍā’illah (keputusan
takdir) Allah termasuk tidak boleh mengandai-andaikan, misalnya andaikan
tadinya dia tidak ikut rombongan ini, barangkali dia tidak termasuk
korban
kecelakaan ini, sebagaimana firman Allah SWT.:
Hai orang yang beriman, janganlah kamu
seperti orang-orang kafir, yang berkata kepada saudara-saudara mereka
tatkala
mereka bepergian di bumi, atau sedang bertempur : Sekiranya bersama-sama
kami,
niscaya mereka tidak akan mati, dan tidak akan terbunuh. Yang demikian
karena
Allah hendak jadikan yang tersebut itu duka cita di hati-hati mereka dan
Allah
rnenghidupkan dan mematikan, dan Allah Maha melihat akan apa yang engkau
kerjakan.
Maqam
Mahabbah
Imam al-Ghazālī
berpendapat bahwa maqām
maḥabbah adalah maqām tertinggi dari sekian maqām-maqām dalam tarekat.
Dia
menggambarkan bahwa maḥabbah adalah tujuan utama dari semua maqām.
Namun, Ibn ‘Aţā’illah memiliki pandangan yang berbeda tentang konsep maḥabbah bahwa dalam maḥabbah seorang sālik harus menanggalkan segala angan-angannya. Dia berpendapat demikian karena alasan bahwa sālik yang telah sampai pada maḥabbah (cinta) bisa jadi dia masih mengharapkan balasan atas cintanya kepada yang dicintainya. Dari sini tampak bahwa rasa cinta sālik didasarkan atas kehendak dirinya untuk mendapatkan balasan cinta sebagaimana cintanya. Karena pecinta sejati adalah orang yang rela mengorbankan segala yang ada pada dirinya demi yang dicintainya, dan tidak mengharapkan imbalan apapun dari yang dicintainya, yang dalam konteks ini adalah Allah SWT.
Namun, Ibn ‘Aţā’illah memiliki pandangan yang berbeda tentang konsep maḥabbah bahwa dalam maḥabbah seorang sālik harus menanggalkan segala angan-angannya. Dia berpendapat demikian karena alasan bahwa sālik yang telah sampai pada maḥabbah (cinta) bisa jadi dia masih mengharapkan balasan atas cintanya kepada yang dicintainya. Dari sini tampak bahwa rasa cinta sālik didasarkan atas kehendak dirinya untuk mendapatkan balasan cinta sebagaimana cintanya. Karena pecinta sejati adalah orang yang rela mengorbankan segala yang ada pada dirinya demi yang dicintainya, dan tidak mengharapkan imbalan apapun dari yang dicintainya, yang dalam konteks ini adalah Allah SWT.
”…maḥabbah (cinta) kepada Allah adalah
tujuan luhur dari seluruh maqām, titik puncak dari seluruh derajat.
Tiada lagi
maqām setelah mahabbah, karena maḥabbah adalah hasil dari seluruh maqām,
menjadi akibat dari seluruh maqām, seperti rindu, senang, riḍa dan lain
sebagainya. Dan tiadalah maqām sebelum maḥabbah kecuali hanya menjadi
permulaan
dari seluruh permulaan maqām, seperti taubat, sabar, zuhd dan lain
sebagainya…”
Siapa
saja yang membangun keyakinannya semata-mata berdasarkan bukti-bukti
yang
tampak dan argumen deduktif, maka ia membangun keyakinan dengan dasar
yang tak
bisa diandalkan. Karena ia
akan selalu dipengaruhi oleh
sangahan-sangahan balik yang konstan. Keyakinan bukan berasal dari
alasan logis
melainkan tercurah dari lubuk hati.
(Ibn
Arabi)
Kesaksian Ibn Taymiyah kepada Ibn Athaillah
Syaikh
Ibn Taymiyah ditahan di Alexandria. Ketika sultan memberikan ampunan, ia
kembali ke Kairo. Menjelang malam, ia menuju masjid Al Ahzar untuk
sholat
maghrib yang diimami Syaikh ibn Athaillah. Selepas shalat, Ibn Athailah
terkejut
menemukan Ibn Taymiyah sedang berdoa dibelakangnya. Dengan senyuman,
sang
syaikh sufi menyambut ramah kedatangan Ibn Taymiyah di Kairo seraya
berkata:
Assalamualaikum, selanjutnya ia memulai pembicaraan dengan tamu
cendekianya
ini.
Ibn Athaillah: “Biasanya
saya sholat di masjid Imam Husein dan sholat Isya di sini. Tapi lihatlah
bagaimana ketentuan Allah berlaku! Allah menakdirkan sayalah orang
pertama yang
harus menyambut anda (setelah kepulangan anda ke Kairo). Ungkapkanlah
kepadaku
wahai faqih, apakah anda menyalahkanku atas apa yang telah terjadi?”
Ibn Taymiyah: “Aku
tahu, anda tidak bermaksud buruk terhadapku, tapi perbedaan pandangan
diantara
kita tetap ada. Sejak hari ini, dalam kasus apapun, aku tidak
mempersalahkan
dan membebaskan dari kesalahan, siapapun yang berbuat buruk terhadapku”
Ibn Athaillah: Apa
yang anda ketahui tentang aku, syaikh Ibn Taymiyah?
Ibn Taymiyah : Aku
tahu anda adalah seorang yg saleh, berpengetahuan luas, dan senantiasa
berbicara benar dan tulus. Aku bersumpah tidak ada orang selain anda,
baik di
Mesir maupun Syria yang lebih mencintai Allah ataupun mampu meniadakan
diri di
(hadapan) Allah atau lebih patuh atas perintahNya dan menjauhi
laranganNya. Tapi
bagaimanapun juga kita memiliki perbedaan pandangan. Apa yang
anda ketahui tentang saya? Apakah anda atau saya sesat dengan menolak
kebenaran
(praktik) meminta bantuan seseorang untuk memohon pertolongan Allah
(istighatsah)?
Ibn Athaillah: Tentu
saja, rekanku, anda tahu bahwa istighatsah atau memohon pertolongan sama
dengan
tawasul atau mengambil wasilah (perantara) dan meminta syafaat; dan
bahwa
Rasulullah saw, adalah seorang yang kita harapkan bantuannya karena
beliaulah
perantara kita dan yang syafaatnya kita harapkan.
Ibn Taymiyah: Mengenai hal ini saya berpegang pada sunnah rasul yang ditetapkan dalam syariat. Dalam hadits berbunyi sebagai: Aku telah dianugerahkan kekuatan syafaat. Dalam ayat al Qur’an juga disebutkan: “Mudah-mudahan Allah akan menaikkan kamu (wahai Nabi) ke tempat yang terpuji (q.s. Al Isra : 79). Yang dimaksud dengan tempat terpuji adalah syafaat. Lebih jauh lagi, saat ibunda khalifah Ali ra wafat, Rasulullah berdoa pada Allah di kuburnya: “Ya Allah Yang Maha Hidup dan Tak pernah mati, Yang Menghidupkan dan Mematikan, ampuni dosa-dosa ibunda saya Fatimah binti Asad, lapangkan kubur yang akan dimasukinya dengan syafaatku, utusanMu, dan para nabi sebelumku. Karena Engkaulah Yang Maha Pengasih dan Maha Pengampun”.
Ibn Taymiyah: Mengenai hal ini saya berpegang pada sunnah rasul yang ditetapkan dalam syariat. Dalam hadits berbunyi sebagai: Aku telah dianugerahkan kekuatan syafaat. Dalam ayat al Qur’an juga disebutkan: “Mudah-mudahan Allah akan menaikkan kamu (wahai Nabi) ke tempat yang terpuji (q.s. Al Isra : 79). Yang dimaksud dengan tempat terpuji adalah syafaat. Lebih jauh lagi, saat ibunda khalifah Ali ra wafat, Rasulullah berdoa pada Allah di kuburnya: “Ya Allah Yang Maha Hidup dan Tak pernah mati, Yang Menghidupkan dan Mematikan, ampuni dosa-dosa ibunda saya Fatimah binti Asad, lapangkan kubur yang akan dimasukinya dengan syafaatku, utusanMu, dan para nabi sebelumku. Karena Engkaulah Yang Maha Pengasih dan Maha Pengampun”.
Inilah
syafaat yang dimiliki rasulullah saw. Sementara mencari pertolongan dari
selain
Allah, merupakan suatu bentuk kemusyrikan; Rasulullah saw sendiri
melarang
sepupunya, Abdullah bin Abbas, memohon pertolongan dari selain Allah.
Ibn Athaillah : Semoga
Allah mengaruniakanmu keberhasilan, wahai faqih! Maksud dari saran
Rasulullah
saw kepada sepupunya Ibn Abbas, adalah agar ia mendekatkan diri kepada
Allah
tidak melalui kekerabatannya dengan rasul melainkan dengan ilmu
pengetahuan.
Sedangkan mengenai pemahaman anda tentang istighosah sebagai mencari
bantuan
kepada selain Allah, yang termasuk perbuatan musyrik, saya ingin
bertanya
kepada anda,” Adakah muslim yang beriman pada Allah dan rasulNya yang
berpendapat ada selain Allah yang memiliki kekuasaaan atas segala
kejadian dan
mampu menjalankan apa yang telah ditetapkanNya berkenaan dengan dirinya
sendiri?”
”Adakah
mukmin sejati yang meyakini ada yang dapat memberikan pahala atas
kebaikan dan
menghukum atas perbuatan buruk, selain dari Allah? Disamping itu,
seharusnya
kita sadar bahwa ada berbagai ekspresi yang tak bisa dimaknai sebatas
harfiah
belaka. Ini bukan saja
dikhawatirkan akan membawa kepada
kemusyrikan, tapi juga untuk mencegah sarana kemusyrikan. Sebab,
siapapun yang
meminta pertolongan Rasul berarti mengharapkan anugerah syafaat yang
dimiliknya
dari Allah, sebagaimana jika anda mengatakan: “Makanan ini memuaskan
seler`ku”.
Apakah dengan demikian
makanan itu sendiri yang memuaskan
selera anda? Ataukah disebabkan Allah yang memberikan kepuasan melalui
makanan?
Sedangkan
pernyataan anda bahwa Allah melarang muslim untuk mendatangi seseorang
selain DiriNya
guna mendapat pertolongan, pernahkah anda melihat seorang muslim memohon
pertolongan kepada selain Allah? Ayat Al Qur’an yang anda rujuk,
berkenaan
dengan kaum musyrikin dan mereka yang memohon pada dewa dan berpaling
dari
Allah. Sedangkan satu-satunya jalan bagi kaum muslim yang meminta
pertolongan
rasul adalah dalam rangaka bertawasul atau mengambil perantara, atas
keutamaan
(hak) rasul yang diterimanya dari Allah (bihaqqihi inda Allah) dan
tashaffu
atau memohon bantuan dengan syafaat yang telah Allah anugerahkan kepada
rasulNya.
Sementara
itu, jika anda berpendapat bahwa istighosah atau memohon pertolongan itu
dilarang syariat karena mengarah pada kemusyrikan, maka kita seharusnya
mengharamkan anggur karena dapat dijadikan minuman keras, dan mengebiri
laki-laki yang tidak menikah untuk mencegah zina.
(Kedua
syaikh tertawa atas komentar terakhir ini).
Lalu Ibn
Athaillah melanjutkan: “Saya kenal
betul dengan segala inklusifitas dan gambaran mengenai sekolah fiqih
yang
didirikan oleh syaikh anda, Imam Ahmad, dan saya tahu betapa luasnya
teori
fiqih serta mendalamnya “prinsip-prinsip agar terhindar dari godaan
syaitan”
yang anda miliki, sebagaimana juga tanggung jawab moral yang anda pikul
selaku
seorang ahli fiqih.
Namun
saya juga menyadari bahwa anda dituntut menelisik di balik kata-kata
untuk
menemukan makna yang seringkali terselubung dibalik kondisi harfiahnya. Bagi
sufi, makna laksana ruh, sementara kata-kata adalah jasadnya. Anda harus
menembus ke dalam jasad fisik ini untuk meraih hakikat yang mendalam.
Kini anda
telah memperoleh dasar bagi pernyataan anda terhadap karya Ibn Arabi,
Fususul
Hikam. Naskah tersebut telah dikotori oleh musuhnya bukan saja dengan
kata-kata
yang tak pernah diucapkannya, juga pernyataan-pernyataan yang tidak
dimaksudkannya
(memberikan contoh tokoh islam).
Ketika
syaikh al islam Al Izz ibn Abd Salam memahami apa yang sebenarnya
diucapan dan
dianalisa oleh Ibn Arabi, menangkap dan mengerti makna sebenarnya
dibalik
ungkapan simbolisnya, ia segera memohon ampun kepada Allah swt atas
pendapat
sebelumnya d`n menokohkan Muhyiddin Ibn Arabi sebagai Imam Islam.
Sedangkan
mengenai
pernyataan al Syadzili yang memojokkan Ibn Arabi, perlu anda ketahui,
ucapan tersebut tidak keluar dari mulutnya, melainkan dari salah seorang
murid
Sadziliyah. Lebih jauh lagi, pernyataan itu dikeluarkan saat para murid
membicarakan sebagian pengikut Sadziliyah. Dengan
demikian, pernyataan itu diambil dalam konteks yang tak pernah
dimaksudkan oleh
sang pembicaranya sendiri. “Apa pendapat anda mengenai khalifah
Sayyidina Ali
bin Abi Thalib?”
Ibn Taymiyah: Dalam
salah satu haditsnya, rarul saw bersabda: “Saya adalah kota ilmu dan Ali
lah
pintunya”. Sayyidina Ali adalah merupakan seorang mujahid yang tak
pernah
keluar dari pertempuran kecuali dengan membawa kemenangan. Siapa lagi
ulama
atau fuqaha sesudahnya yang mampu berjuang demi Allah menggunakan lidah,
pena
dan pedang sekaligus? Dialah sahabat rasul yang paling sempurna-semoga
Allah
membalas kebaikannya. Ucapannya bagaikan cahaya lampu yang menerangi
sepanjang
hidupku setelah Al Qur’an dan sunnah. Duhai! Seseorang yang meski
sedikit
perbekalannya namun panjang perjuangannya.
Ibn Athaillah:
Sekarang, apakah Imam Ali ra meminta agar orang-orang berpihak padanya
dalam
suatu faksi? Sementara faksi ini mengklaim bahwa malaikat jibril
melakukan
kesalahan dengan menyampaikan wahyu kepada Muhammad saw, bukannya kepada
Ali!
Atau pernahkah ia meminta mereka untuk menyatakan bahwa Allah menitis ke
dalam
tubuhnya dan sang imam menjadi tuhan? Ataukah ia tidak menentang dan
memberantas mereka dengan memberikan fatwa (ketentuan hukum) bahwa
mereka harus
dibunuh dimanapun mereka ditemukan?
Ibn Taymiyah:
Berdasarkan fatwa ini saya memerangi mereka di pegunungan Syria selama
lebih
dari 10 tahun.
Ibn Athaillah: Dan
Imam Ahmad- semoga Allah meridoinya-mempertanyakan perbuatan sebagian
pengikutnya yang berpatroli, memecahkan tong-tong anggur (di toko-toko
penganut
kristen atau dimanapun mereka temukan), menumpahkan isinya di lantai,
memukuli
gadis para penyanyi, dan menyerang masyarakat di jalan.
Meskipun
sang Imam tak memberikan fatwa bahwa mereka harus mengecam dan
menghardik
orang-orang tersebut. Konsekuensinya para pengikutnya ini dicambuk,
dilempar ke
penjara dan diarak di punggung keledai dengan menghadap ekornya. Apakah
Imam
Ahmad bertanggung jawab atas perbuatan buruk yang kini kembali dilakukan
pengikut Hambali, dengan dalih melarang benda atau hal-hal yang
diharamkan?
Dengan
delikian, Syaikh Muhyidin Ibn Arabi tidak bersalah atas pelanggaran yang
dilakukan para pengikutnya yang melepaskan diri dari ketentuan hukum dan
moral
yang telah ditetapkan agama serta melakukan pebuatan yang dilarang
agama.
Apakah anda tidak mem`hami hal ini?
Ibn Taymiyah: “Tapi
bagaimana pendirian mereka di hadapan Allah? Di antara kalian, para
sufi, ada
yang menegaskan bahwa ketika Rasulullah saw memberitakan khabar gembira
pada
kaum miskin bahwa mereka akan memasuki surga sebelum kaum kaya,
selanjutnya
kaum miskin tersebut tenggelam dalam luapan kegembiraan dan mulai
merobek-robek
jubah mereka; saat itu malaikat jibril turun dari surga dan mewahyukan
kepada
rasul bahwa Allah akan memilih di antara jubah-jubah yang robek itu;
selanjutnya malaikat jibril mengangkat satu dari jubah dan
menggantungkannya di
singgasana Allah. berdasarkan ini, kaum sufi mengenakan jubah kasar dan
menyebut dirinya fuqara atau kaum “papa”.
Ibn Athaillah: “Tidak
semua sufi mengenakan jubah dan pakaian kasar. Lihatlah apa yang saya
kenakan;
apakah anda tidak setuju dengan penampilan saya?
Ibn Taymiyah: “Tetapi
anda adalah ulama syariat dan mengajar di Al Ahzar.”
Ibn Athaillah: “Al
Ghazali adalah seorang imam syariat maupun tasawuf. Ia
mengamalkan fiqih, sunnah, dan syariat dengan semangat seorang sufi. Dan
dengan
cara ini, ia mampu menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama. Kita tahu bahwa
dalam
tasawuf, noda tidak memiliki tempat dalam agama dan bahwa kesucian
merupakan
ciri dari kebenaran. Sufi yang tulus dan sejati harus menyuburkan
hatinya
dengan kebenaran yang ditanamkan ahli sunnah.
Dua abad
yang lalu muncul fenomena sufi gadungan yang anda sendiri telah mengecam
dan
menolaknya. Dimana sebagian orang mengurangi kewajiban beribadah dan
peraturan
keagamaan, melonggarkan berpuasa dan melecehkan pengamalan sholat wajib
lima
kali sehari. Ditunggangi kemalasan dan ketidakpedulian, mereka telah
mengklaim
telah bebas dari belenggu kewajiban beribadah. Begitu brutalnya tindakan
mereka
hingga Imam Qusyairi sendiri mengeluarkan kecaman dalam bukunya ar
Risalah (
Risalatul Qusyairiyah ).
Di sini,
ia juga menerangkan secara rinci jalan yang benar menuju Allah, yakni
berpegang
teguh pada Al Quran dan Sunnah. Imam tasawuf juga berkeinginan
mengantarkan
manusia pada kebenaran sejati, yang tidak hanya diperoleh melalui bukti
rasional yang dapat diterima akal manusia yang dapat membedakan yang
benar dan
salah, melainkan juga melalui penyucian hati dan pelenyapan ego yang
dapat
dicapai dengan mengamalkan laku spiritual.
Kelompok
diatas
selanjutnya tersingkir lantaran sebagai hamba Allah sejati, seseorang
tidak akan menyibukkan diriya kecuali demi kecintaannya pada Allah dan
rasulNYA. Inilah posisi mulia yang menyebabkan seorang menjadi hamba
yang
shaleh, sehat dan sentosa. Inilah jalan guna membersihkan manusia dari
hal-hal
yang dapat menodai manusia, semacam cinta harta, dan ambisi akan
kedudukan tertentu.
Meskipun
demikian, kita harus berusaha di jalan Allah agar memperoleh ketentraman
beribadah. Sahabatku yang cendekia, menerjemahkan naskah secara harfiah
terkadang menyebabkan kekeliruan. Penafsiran harfiahlah yang mendasari
penilaian anda terhadap Ibn Arabi, salah seorang imam kami yang terkenal
akan
kesalehannya. Anda tentunya mengerti bahwa Ibn Arabi menulis dengan gaya
simbolis; sedangkan para sufi adalah orang-orang ahli dalam menggunakan
bahasa
simbolis yang mengandung makna lebih dalam dan gaya hiperbola yang
menunjukkan
tingginya kepekaan spiritual serta kata-kata yang menghantarkan rahasia
mengenai fenomena yang tak tampak.
Ibn Taymiyah: “Argumentasi tersebut justru ditujukan untuk anda. Karena saat Imam al-Qusyairi melihat pengikutnya melenceng dari jalan Allah, ia segera mengambil langkah untuk membenahi mereka. Sementara apa yang dilakukan para syaikh sufi sekarang? Saya meminta para sufi untuk mengikuti jalur sunnah dari para leluhur kami (salafi) yang saleh dan terkemuka: para sahabat yang zuhud, generasi sebelum mereka dan generasi sesudahnya yang mengikuti langkah mereka.
Ibn Taymiyah: “Argumentasi tersebut justru ditujukan untuk anda. Karena saat Imam al-Qusyairi melihat pengikutnya melenceng dari jalan Allah, ia segera mengambil langkah untuk membenahi mereka. Sementara apa yang dilakukan para syaikh sufi sekarang? Saya meminta para sufi untuk mengikuti jalur sunnah dari para leluhur kami (salafi) yang saleh dan terkemuka: para sahabat yang zuhud, generasi sebelum mereka dan generasi sesudahnya yang mengikuti langkah mereka.
Siapapun
yang menempuh jalan ini, saya berikan penghargaan setinggi-tingginya dan
menempatkan sebagai imam agama. Namun bagi mereka yang melakukan
pembaruan yang
tidak berdasar dan menyisipkan gagasan kemusyrikan seperti filososf
Yunani dan
pengikut Budha, atau yang beranggapan bahwa manusia menempati Allah
(hulul)
atau menyatu denganNya (ittihad), atau teori yang menyatakan bahwa
seluruh
penampakan adalah satu adanya/kesatuan wujud (wahdatul wujud) ataupun
hal-hal
lain yang diperintahkan syaikh anda: semuanya jelas perilaku ateis dan
kafir”.
Ibn Athaillah: “Ibn Arabi adalah salah seorang ulama terhebat yang
mengenyam pendidikan di
Dawud al Zahiri seperti Ibn Hazm al Andalusi, seorang yang pahamnya
selaras
dengan metodologi anda tentang hukum islam, wahai penganut Hambali! Tetapi meskipun Ibn Arabi seorang Zahiri (menerjemahkan
hukum islam secara lahiriah), metode yang ia terapkan untuk memahami
hakekat
adalah dengan menelisik apa yang tersembunyi, mencari makna spiritual
(thariq
al bathin), guna mensucikan bathin (thathhir al bathin).
Meskipun
demikian tidak seluruh pengikut mengartikan sama sama apa-apa yang
tersembunyi.
Agar anda tidak keliru atau lupa, ulangilah bacaan anda mengenai Ibn
Arabi
dengan pemahaman baru akan simbol-simbol dan gagasannya. Anda akan
menemukannya
sangat mirip dengan al-Qusyairi. Ia telah menempuh jalan tasawuf di
bawah
payung Al-Qur’an dan sunnah, sama seperti hujjatul Islam Al Ghazali,
yang mengusung
perdebatan mengenai perbedaan mendasar mengenai iman dan isu-isu ibadah
namun
menilai usaha ini kurang menguntungkan dan berfaedah.
Ia
mengajak orang untuk memahami bahwa mencintai Allah adalah cara yang
patut
ditempuh seorang hamba Allah berdasarkan keyakinan. Apakah anda setuju
wahai
faqih? Atau anda lebih suka melihat perselisihan di antara para ulama? Imam Malik ra. telah mengingatkan
mengenai perselisihan semacam ini dan
memberikan nasehat: Setiap kali seseorang berdebat mengenai iman, maka
kepercayaannya
akan berkurang.”
Sejalan
dengan ucapan itu, Al Ghazali berpendapat: Cara tercepat untuk
mendekatkan diri
kepada Allah adalah melalui hati, bukan jasad. Bukan berarti hati dalam
bentuk
fisik yang dapat melihat, mendengar atau merasakan secara gamblang.
Melainkan,
dengan menyimpan dalam benak, rahasia terdalam dari Allah Yang Maha
Agung dan
Besar, yang tidak dapat dilihat atau diraba.
Sesungguhnya
ahli
sunnahlah yang menobatkan syaikh sufi, Imam Al-Ghazali, sebagai
Hujjatul
Islam, dan tak seorangpun yang menyangkal pandangannya bahkan seorang
cendekia
secara berlebihan berpendapat bahwa Ihya Ulumuddin nyaris setara dengan
Al
Quran. Dalam pandangan Ibn Arabi dan Ibn Al Farid, taklif at`u kepatuhan
beragama laksana ibadah yang mihrab atau sajadahnya menandai aspek
bathin,
bukan semata-mata ritual lahiriah saja.
Karena
apalah arti duduk berdirinya anda dalam sholat sementara hati anda
dikuasai
selain Allah. Allah memuji hambaNya dalam Al Quran:”(Yaitu) orang-orang
yang
khusyuk dalam sholatnya”; dan Ia mengutuk dalam firmanNya: “(Yaitu)
orang-orang
yang lalai dalam sholatnya”. Inilah yang dimaksudkan oleh Ibn Arabi saat
mengatakan: “Ibadah bagaikan mihrab bagi hati, yakni aspek bathin, bukan
lahirnya”.
Seorang
muslim takkan bisa mencapai keyakinan mengenai isi Al Quran, baik dengan
ilmu
atau pembuktian itu sendiri, hingga ia membersihkan hatinya dari segala
yang
dapat mengalihkan dan berusaha untuk khusyuk. Dengan demikian Allah akan
mencurahkan ilmu ke dalam hatinya, dan dari sana akan muncul
semangatnya. Sufi
sejati tak mencukupi dirinya dengan meminta sedekah.
Seseorang yang tulus adalah ia yang menyuburkan diri di (hadapan) Allah dengan mematuhiNya. Barangkali yang menyebabkan para ahli fiqih mengecam Ibn Arabi adalah karena kritik beliau terhadap keasyikan mereka dalam berargumentasi dan berdebat seputar masalah iman, hukum kasus-kasus yang terjadi (aktual) dan kasus-kasus yang baru dihipotesakan (dibayangkan padahal belum terjadi).
Seseorang yang tulus adalah ia yang menyuburkan diri di (hadapan) Allah dengan mematuhiNya. Barangkali yang menyebabkan para ahli fiqih mengecam Ibn Arabi adalah karena kritik beliau terhadap keasyikan mereka dalam berargumentasi dan berdebat seputar masalah iman, hukum kasus-kasus yang terjadi (aktual) dan kasus-kasus yang baru dihipotesakan (dibayangkan padahal belum terjadi).
Ibn
Arabi mengkritik demikian karena ia melihat betapa sering hal tersebut
dapat
mengalihkan mereka dari kejernihan hati. Ia menjuluki mereka
sebagai “ahli fiqih basa-basi wanita”. Semoga Allah mengeluarkanmu
karena telah
menjadi salah satu dari mereka! Pernahkan anda membaca pernyataan Ibn Arabi bahwa:”Siapa saja yang
membangun keyakinannya semata-mata
berdasarkan bukti-bukti yang tampak dan argumen deduktif, maka ia
membangun
keyakinan dengan dasar yang tak bisa diandalkan. Karena ia akan selalu
dipengaruhi oleh sangahan-sangahan balik yang konstan. Keyakinan bukan
berasal dari
alasan logis melainkan tercurah dari lubuk hati.” “Adakah pernyataan
yang
seindah ini?”
Ibn Taymiyah : “Anda telah berbicara dengan baik, andaikan saja gurumu seperti yang anda katakan, maka ia s`ngat jauh dari kafir. Tapi menurutku apa yang telah ia ucapkan tidak mendukung pandangan yang telah anda kemukakan.”
Ibn Taymiyah : “Anda telah berbicara dengan baik, andaikan saja gurumu seperti yang anda katakan, maka ia s`ngat jauh dari kafir. Tapi menurutku apa yang telah ia ucapkan tidak mendukung pandangan yang telah anda kemukakan.”
Wafat
Tahun 709 H adalah tahun kemalangan dunia maya ini. Karena tahun tersebut wali besar yang tetap abadi nama dan kebaikannya ini harus beralih ke alam barzah, lebih mendekat pada Sang Pencipta. Namun demikian madrasah al-Mansuriyyah cukup beruntung karena di situlah jasad mulianya berpisah dengan sang nyawa. Ribuan pelayat dari Kairo dan sekitarnya mengiring kekasih Allah ini untuk dimakamkan di pemakaman al-Qorrofah al-Kubro.
Tahun 709 H adalah tahun kemalangan dunia maya ini. Karena tahun tersebut wali besar yang tetap abadi nama dan kebaikannya ini harus beralih ke alam barzah, lebih mendekat pada Sang Pencipta. Namun demikian madrasah al-Mansuriyyah cukup beruntung karena di situlah jasad mulianya berpisah dengan sang nyawa. Ribuan pelayat dari Kairo dan sekitarnya mengiring kekasih Allah ini untuk dimakamkan di pemakaman al-Qorrofah al-Kubro.
Segala puji bagi Allah,
satu-satunya pemilik kebenaran, zat yang berhak mengatur, satu-satunya
pembuat
hukum dan ketentuan. Tidak
ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya. Dia Maha Mendengar, Maha
Melihat.
Dia
adalah Raja Diraja.
Tidak ada sesuatupun, besar maupun kecil, yang berada di luar
kekuasaannya. Tak
ada yang menyerupai dalam kesempurnaan sifat-Nya. Kesempurnaan sifat-Nya
tak
terbayangkan.
Dia
Maha Mengetahui, Tak ada
sesuatupun dalam diri ini yang luput dari pengetahuan- Nya.
Dia Maha Berilmu. Ilmu-Nya
meliputi awal dan akhir segala urusan.
Dia Maha Mendengar. Tak ada
yang luput dari pendengaran-Nya, baik yang nyaring maupun yang samar.
Dia Maha Memberi Rejeki,
yang terus menerus melimpahi makhluk-Nya dengan makanan.
Dia Maha Tegak, yang
mencukupi seluruh makhluk dalam seluruh keadaan mereka.
Dia Maha Pemberi, yang
menganugerahi setiap jiwa eksistensi kehidupannya.
Dia Maha Kuasa. Kepada-Nya
seluruh manusia kembali setelah kematian mereka.
Dia Maha Menghitung. Dia
akan memberikan balasan kepada manusia yang datang membawa amal kebaikan
dan
keburukannya. Maha Suci Tuhan yang telah memberi kebaikan kepada
hamba-hambanya
sebelum mereka mewujud. Dia mencukupi rezeki mereka, baik ketika mereka
mengakui maupun ketika membangkang. Dia menggenapi seluruh wujud dengan
karunia-Nya.
Keberadaan-Nya menjaga keberadaan semesta melalui bentangan
keabadian-Nya, yang
tampak lewat hikmah-Nya di bumi dan lewat kekuasaan-Nya di langit.
Saudaraku, ketahuilah…
Allah telah memasukkanmu ke
dalam golongan orang yang mencintai-Nya, menganugerahimu kedekatan
kepada-Nya,
memberimu minuman para kekasih-Nya, menyelamatkanmu lewat hubungan yang
tak
terputus dari-Nya, mengaitkanmu dengan para hamba yang terhubung
dengan-Nya.
Dengan
cahaya-Nya
manifestasi-Nya Dia pecahkan kekerasan hati mereka, setelah mereka
mengetahui
bahwa Dia tak terjangkau mata dan tak terjamah akal. Dia bukakan taman
kedekatan ke hati mereka. Dia perlihatkan kepada mereka pengaturan-Nya
yang
telah berlaku atas mereka sehingga merekapun menyerahkan kendali
kepada-Nya.
Dia singkapkan kepada mereka kelembutan karunia penciptaan-Nya sehingga
mereka
tidak menentang dan membangkang.
Mereka pasrah dan bersandar
kepada-Nya dalam selaksa perkara karena tahu bahwa seorang hamba tidak
bisa
mencapai ridha-Nya kecuali dengan sikap ridha dan tidak akan mencapai
penghambaan sejati kecuali dengan pasrah pada ketentuan-Nya. Mereka
tidak
disibukkanoleh segala sesuatu selain Dia; merekapun tak tersentuh
kotoran.
Mereka
tunduk pada
keagungan-Nya dalam setiap ketentuan yang berlaku ; mereka senantiasa
pasrah
pada segala hukum-Nya.
Siapapun yang ingin sampai
kepada Allah swt. tentu saja harus datang melalui pintu-Nya dan
mencapai-Nya
lewat keberadaan sebab-sebab-Nya.
Setelah itu jangan pernah
berupaya untuk ikut mengatur atau ikut campur dalam pengaturan dan
ketentuan-Nya.
Mantaaapppssss nuhuun
BalasHapus