Junaid
bin Muhammad Abu Al-Qosim Al-Khazzaz al-Baghdadi (830-910 M) adalah salah satu
tokoh besar bagi Persia, beliau adalah mistikus Muslim, atau ulama sufi
beragama Islam dan merupakan pusat tokoh dalam rantai emas banyak sufi.
Al-Junaid adalah salah seorang sufi terkemuka di samping seorang ahli fiqih.
Dalam fiqih beliau bermadzhab kepada Imam Abu Tsaur. Di kalangan sufi Al-Junaid
dikenal sebagai pemuka dan pimpinan mereka dengan gelar Sayyid ath-Thaifah
ash-Shûfiyyah.
Awal
pendidikan Al-Junaid dimulai dengan belajar ilmu pengetahuan agama pada
pamannya sendiri, Sari Al-Saqati, yang juga dikenal sebagai seorang sufi yang
sangat luas ilmu pengetahuannya, lalu kepada al-Harits al-Muhasibi, Muhammad
ibn al-Qashshab al-Baghdadi, dan sufi terkemuka lainnya. Ketika usianya 20
tahun, Al-Junaid mulai belajar hadits dan fiqh pada Abu Thawr, sorang faqih
kondang di Baghdad .
Setelah mempelajari hadits dan fiqh, Al-Junaid beralih menekuni tasawuf,
sekalipun sebenarnya dia sudah mulai mengenal ajaran tasawuf sejak berumur 7
tahun di bawah bimbingan Sari Al-Saqati. Selain itu Junaid kecil juga belajar
sufisme dari siapa saja sehingga pengetahuan sufismenya semakin hari bertambah
luas. Ketika dewasa bisa dibilang ilmu Al-Junaid dalam sufisme telah cukup
matang.
Al-Junaid
adalah seorang sufi yang cerdas, memiliki pikiran cemerlang dan selalu cepat
tanggap dalam menghadapi segala situasi dan kondisi. Analisisnya terhadap
berbagai masalah yang diajukan kepadanya sangatlah tajam, sehingga sering
membuat para pendengarnya terkagum-kagum. Padahal sifat dan kemampuannya ini
sudah tampak sejak masa kanak-kanak. Kedudukannya di antara para sufi sangatlah terhormat, bahkan Sari Al-Saqati
sendiri sempat mengakuinya. Dalam riwayat dinyatakan, ketika seseorang bertanya
pada Sari Al-Saqati, “Apakah seorang murid dapat mencapai tingkat yang lebih
tinggi dari gurunya dalam tasawuf?” Sari Al-Saqati menjawab, “Tentu saja dapat,
lantaran ada banyak bukti yang menunjukkan hal tersebut. Ketahuilah bahwa
tingkat tasawuf Al-Junaid itu sesungguhnya lebih tinggi dari tingkat yang
pernah kucapai.”
Pengalaman Syekh Junaid
Syekh Junaid Baghdadi pergi untuk jalan-jalan
keluar Baghdad. Murid-murid mengikutinya.
Syekh bertanya bagaimana kabar bahlul yang
gila ?
Mereka menjawab, “Dia adalah orang gila,
apa yang anda perlukan dari dia?”
“bawalah aku ke dia, karena aku ada perlu dengan nya.”
“bawalah aku ke dia, karena aku ada perlu dengan nya.”
Para murid mencari Bahlul dan menemukannya
di padang pasir. Mereke membawa Syekh Junaid kepadanya, ketika Syekh Junaid
pergi mendekati Bahlul, Beliau melihat Bahlul dalam keadaan gelisah dengan batu
bata ada dibawah kepalanya (posisi kepala dibawah)
Syekh mengucapkan salam
Bahlul menjawab dan bertanya, “Siapakah
Anda? ”
” Saya Junaid Baghdadi.”
Bahlul bertanya, “Apakah Anda Abul Qosim?”
“Ya, betul !” jawab Syekh
Bahlul bertanya lagi ” Apakah Anda Syekh
Baghdadi yang memberikan orang-orang Petunjuk spiritual? ”
“Ya!” kemudian Bahlul bertanya ” Tahukah
Anda bagaimana cara makan?”
“Ya!” Saya mengucapkan Bismillah (Dengan
mengucap nama Allah SWT). Saya makan yang paling dekat dengan saya, Saya
mengambil gigitan kecil, meletakkannya di sisi kanan dari mulut saya, dan
mengunyah pelan-pelan. Saya tidak nampak ke gigitan yang lain. Saya mengingat
Allah SWT saat makan. Untuk sebutir apapun yang saya makan, Saya mengucap
Alhamdulillah (Segala puji bagi Allah SWT). Saya mencuci tangan sebelum dan
sesudah makan.”
Bahlul berdiri, menggerakkan pakaiannya
pada Syekh, dan berkata, ” Anda ingin menjadi pemimpin spiritual dunia tapi
Anda tidak pun mengetahui bagaimana cara makan.” setelah mengucapkannya, dia
langsung pergi.
Para Murid Syekh berkata, “O Syekh! Dia
orang yang gila. ”
Syekh menjawab, Dia adalah orang gila yang
sangat pandai dalam berucap. dengarkan pernyataan yang benar dari nya.
Setelah mengucapkan Beliau pergi
dibelakang Bahlul, dan berkata, ” Saya ada perlu dengan Bahlul.”
Ketika Bahlul mencapai bangunan yang
berdebu, dia duduk. Junaid mendekatinya.
Bahlul bertanya, “Siapakah Anda?”
” Syekh Baghdadi yang tidak mengetahui
bagaimana cara makan.”
” Anda tidak mengetahui bagaimana makan,
tapi apakah Anda tahu bagaimana berbicara?”
“Ya”
” Bagaimana anda berbicara ?”
” Saya berbicara secara umum dan langsung
pada pokok masalah. Saya tidak berbicara terlalu tinggi atau terlalu banyak.
Saya berbicara sehingga para pendengar dapat mengerti. Saya memanggil semua
orang di dunia untuk kembali ke Allah dan RasulNya. Saya tidak berbicara
terlalu banyak sehingga semua orang akan bosan. Saya memperhatikan kedalaman
pengetahuan spiritual dan yang umum.
kemudian dia menggambarkan apapun yang
berhubungan dengan Adab dan etika
Bahlul berkata, “Lupakan soal makan, Anda
pun tidak mengetahui bagaimana berbicara.”
Bahlul berdiri, menggerakkan pakaiannya
pada Syekh dan pergi
Para murid berkata, “O Syekh! Anda
lihatkan, dia orang yang gila. Apa yang Anda harapkan dari orang yang gila!”
Syekh berkata, ” Saya ada perlu dengan
dia. Kalian tidak tahu.”
Sekali lagi Beliau pergi setelah Bahlul
sampai Beliau menjumpainya.
Bahlul bertanya, “Apa yang Anda inginkan
dari saya? Anda yang tidak mengetahui Adab makan dan bicara, apakah Anda
mengetahui bagaimana cara untuk tidur?”
” Ya, saya tahu.”
” Bagaimana cara tidur?” Bahlul bertanya
” Ketika saya selesai sholat Isya’ dan
membacakan permohonan, saya pakai baju tidur saya.”
Kemudian beliau menggambarkan adab-adab
tidur yang sudah diterima oleh beliau dari Orang-orang yang telah belajar
agama.
Bahlul kemudian berkata : ” Saya mengerti
bahwa Anda pun tidak mengetahui juga bagaimana untuk tidur.”
Dia ingin berdiri, tapi Junaid menangkap
memegang pakaian nya dan berkata, O Bahlul! Saya tidak mengetahuinya; Demi
kecintaan kepada Allah SWT ajari saya.
Bahlul berkata ” Anda mengklaim
pengetahuan dan berkata bahwa anda tahu sehingga Saya mencegah Anda. sekarang
Anda mengakui ketiadaan pengetahuan Anda, Saya akan mengajari Anda.”
“Tahu apapun yang Anda utarakan itu adalah
tidak penting.”
” Kebenaran dibalik memakan makanan yang
Anda makan menurut hukum adalah sepotong demi sepotong. Jika Anda makan makanan
yang dilarang juga, dengan seratus adab, hal itu tidak akan menguntungkan Anda,
tapi bisa menjadi alasan untuk menghitamkan hati.”
” Semoga Allah memberkati Anda pahala yang
sangat besar.” ucap Syekh.
Bahlul melanjutkan, Hati haruslah bersih,
dan memiliki niat yang baik sebelum Anda mulai bicara. dan pembicaraan Anda
haruslah menyenangkan Allah SWT. Jika itu untuk segala urusan dunia atau
pekerjaan yang sia-sia, maka apapun yang Anda ekspresikan, akan menjadi bencana
bagi Anda. Itulah sebabnya diam dan tenang adalah yang terbaik.”
“Apapun yang Anda ucapkan tentang tidur
juga tidak penting. Kebenarannya adalah bahwa hati Anda seharusnya bebas dari
permusuhan, cemburu, dan kebencian. Hati Anda seharusnya TIDAK rakus untuk
dunia ini atau kekayaannya, dan ingatlah Allah SWT ketika akan tidur.
Syekh Junaid kemudian mencium tangan
Bahlul dan berdoa untuk nya.
Para murid yang menyaksikan kejadian ini,
dan yang telah berfikir bahwa Bahlul gila, melupakan tindakannya dan memulai
hidup baru.
Imam Abul Qosim Al-Junaid r.a. bercerita :
Sekali peristiwa ketika aku pergi naik
haji ke Baitullah Al-Haram, dan juga untuk menziarahi maqam Nabi Saw, sedang
aku dalam perjalanan menuju kesana, tiba tiba terdengar oleh telinga ku suatu
suara rintihan yang sangat menyayat hati, yang pada anggapan ku tentulah suara
itu datangnya dari hati seorang yang remuk redam.
Aku pun mencari cari dari mana datangnya
sumber suara itu, dan ternyata bahwa rintihan itu keluar dari mulut seorang
pemuda yang sangat kurus, lemah, namun wajahnya bercahaya terang seperti bulan.
Saya mendekatinya, ia membuka matanya dan langsung mengucapkan ..Assalamu’alaikum,
ya Abul Qosim!!..
Wa’alaikumussalam! Jawab ku penuh keheranan….Nak,
siapakah yang memberitahukan nama ku pada mu, sedangkan kita belum pernah
mengenal satu sama lain ? Aku bertanya kepadanya..
Wahai Abul Qosim ! Saya telah mengenali
bapak sejak dialam Roh. Dan Allah lah yang memberikan nama bapak kepada ku.
Demi Allah, wahai Abul Qosim, kalau aku sudah mati, maka mandikan dan
bungkuslah aku dengan baju yang aku pakai ini, dan naiklah ke bukit itu, lalu
panggillah orang orang untuk menyalati ku, lalu tanamlah aku ditempat ini pula
! Hanya Allah lah yang akan membalas segala kebaikan bapak.
Berkata Abul Qosim Al-Junaid lagi
menyambung ceritanya :
Kemudian aku lihat anak muda tadi penuh
berkeringat dahinya sehingga membasahi seluruh wajahnya, suaranya semakin
menekan, barang kali, kerana kesakitan….Dalam pada itu ia sempat berpesan lagi,
katanya:
Wahai Abul Qosim! Setelah anda selesai
menunaikan haji mu, dan sudah mau kembali ke negeri mu, hendaklah anda menuju
dulu ke Bagdad, dan tanyakan lah orang orang disana tentang kampung Darb
Za’faran. Setelah tiba dikampung itu, tanyakan pula tentang ibu ku dan putra ku
serta sampaikanlah salam kepada mereka!…. Baiklah, jawab ku.
Anak muda itu kemudian merintih makin lama
makin lemah, dan tak lama sesudah itu pulanglah ia ke rahmatullah dengan
tenangnya, sedangkan wajahnya tampak semakin bercahaya. Saya pun memandikannya,
kemudian mengafankannya dengan bajunya. Sesudah itu saya naik keatas bukit dan
berseru dengan suara keras sekali: wahai orang orang sekalian ! marilah kita
bersama sama menyalati mayat asing ini!.
Tiba tiba datanglah beribu ribu orang dari
segenap penjuru, seperti ulat layaknya, sedang wajah wajah mereka bagaikan
terangnya cahaya bulan purnama. Kami pun turut bersama menyalati mayat itu,
kemudian menguburkannya. Setelah selesai penguburan mayat itu, maka dengan
serta merta pula, hilanglah ribuan orang orang tadi secara mendadak dan tanpa
ada bekasnya. Saya benar benar keheranan atas kejadian itu, juga atas kemuliaan
mayat yang tidak saya kenal sebelumnya.
Setelah selesai ibadat haji, saya segera
pergi ke Bagdad, dan terus menuju ke kampung Darb Za’faran. setelah menemukannya
tampak dilorong lorong kecil kampung itu ada anak anak sedang bermain main.
Tiba tiba seorang dari antara mereka memandang tajam kepadaku, seraya mendekati
ku dan berkata:
Assalamu’alaikum, ya Abul Qosim! Mungkin
kedatangan tuan untuk untuk memberitahu tentang kematian ayah ku, agaknya ?
Hati ku terkejut mendengar pertanyaan anak
kecil itu. Ah, alangkah tepatnya apa yang dikatakan, padahal ia masih demikian
kecil. Ia kemudian menuntun
ku ke sebuah rumah, lalu mengetuk pintunya. Seorang wanita tua membuka pintu,
dan alangkah terangnya wajah wanita tua itu, dan alangkah salihah ia tampaknya.
Saya mengucapkan salam
kepadanya . Ia pun segera membalasnya, lalu menangis terisak isak. kemudian ia
bertanya: Wahai Abul Qosim !
Dimanakah tempat kematian anak ku, dan
cahaya mataku. Moga moga ia
mati di Arafah? Jawabku, tidak!…..apakah di Mina?…… jawabku, tidak!…. di
Muzdalifah? …. jawabku tidak…..
Habis dimana? Tanya ibu itu, Di padang pasir, dibawah pohon ghailan? jawab : Ya,
Habis dimana? Tanya ibu itu, Di padang pasir, dibawah pohon ghailan? jawab : Ya,
Mendengar berita itu ia menjerit keras
seraya berkata: oh anak ku! Oh anak ku! Suaranya bercampur tangisan yang
sungguh menyayat hati semua orang yang disitu. Oh! Anak ku ! Oh anak ku!
Mengapa tidak disampaikannya ke rumah Nya (Baitullah), atau dibiarkanNya saja
ia dengan kami? Ibu itu terus sesak dadanya, dan ketika itulah ia menghembuskan
nyawanya meninggalkan dunia yang fana ini, kembali ke rahmatullah, moga moga
Allah mencucuri rahmat atas rohnya.
Berkata Al-Junaid seterusnya :
Melihat neneknya telah meninggal dunia,
anak kecil itu pun mendekati mayatnya sambil menangis terisak isak. Kemudian
menengadah kearah langit seraya berdoa:
Ya Allah, ya Tuhan ku Mengapa Engkau tidak
ambil aku bersama sama nenek ku ! Ya Allah, lebih baik Engkau ambil aku untuk
pergi bersama sama mereka berdua!… Dengan tiba tiba saja sesaklah dada anak
kecil itu, dan ia pun menghembuskan nafasnya yang terakhir, moga moga Allah
merahmati mereka sekalian.
Saya benar benar tercengang menyaksikan
segala peristiwa yang baru berlaku tadi itu, dan saya kira alangkah bahagianya
keluarga itu. Saya merawati jenazah itu bersama dengan tetangga mayat itu
dangan sempurna dan baik.
Setelah kami menguburkan jenazah jenazah
itu, maka dangan hati yang penuh sedih dan iba, saya meninggalkan kubur kubur
mereka!
Syekh Junaid al-Baghdadi adalah peletak
dasar bagi mistisisme sadar dalam kontras dengan yang mabuk-Sufi Allah seperti
al-Hallaj, Abu yazid Bustami dan Abu sa’id Abu al-khair. Dalam proses persidangan
al-Hallaj, mantan murid, Khalifah waktu itu yang diminta fatwa dan ia
mengeluarkan ini fatwa : “Dari penampilan luar dia mati dan kita menilai sesuai
dengan penampilan luar dan Tuhan yang tahu” lebih baik. Dia disebut oleh para
Sufi sebagai Taifa ut-Sayyid yaitu pemimpin kelompok.
Imam Junaid juga seorang ahli perniagaan
yang berjaya. Beliau memiliki sebuah gedung perniagaan di kota Baghdad yang
ramai pelanggannya. Sebagai seorang guru sufi, beliau tidaklah disibukkan
dengan menguruskan perniagaannya sebagaimana setengah peniaga lain yang kaya
raya di Baghdad.
Waktu perniagaannya sering disingkatkan
seketika kerana lebih mengutamakan pengajian anak-anak muridnya yang dahaga
ilmu pengetahuan. Apa yang mengkagumkan ialah Imam Junaid akan menutup kedainya
setelah selesai mengajar murid-muridnya. Kemudian beliau balik ke rumah untuk
beribadat seperti solat, membaca Al-Qur’an dan berzikir.
Setiap malam beliau berada di masjid besar
Baghdad untuk menyampaikan kuliahnya. Ramai penduduk Baghdad datang ke masjid
untuk mendengar kuliahnya sehingga penuh sesak.
Imam Junaid hidup dalam keadaan zuhud.
Beliau ridha dan bersyukur kepada Allah SWT dengan segala nikmat yang dikaruniakan
kepadanya. Beliau tidak pernah berangan-angan untuk mencari kekayaan duniawi
dari sumber pekerjaannya sebagai peniaga.
Beliau akan membagi-bagikan sebagian dari
keuntungan perniagaannya kepada golongan fakir miskin, peminta dan orang-orang
tua yang lemah.
Bertasawuf Ikut Sunnah Rasulullah saw
Imam Junaid seorang yang berpegang kuat
kepada Al-Qur’an dan as-Sunnah. Beliau senantiasa merujuk kepada Al-Qur’an dan
sunnah Rasulullah Saw dalam setiap pengajiannya.
Beliau pernah berkata:
“Setiap jalan tertutup, kecuali bagi
mereka yang senantiasa mengikuti perjalanan Rasulullah saw. Siapa yang tidak
menghafal al-Quran, tidak menulis hadis-hadis, tidak boleh dijadikan ikutan
dalam bidang tasawuf ini.”
Imam Junaid mempunyai beberapa kelebihan
dan karamah, Antaranya ialah berpengaruh kuat setiap kali menyampaikan
kuliahnya. Kehadiran murid-muridnya di masjid, bukan saja terdiri daripada
orang-orang biasa malah semua golongan meminatinya.
Masjid-masjid sering dipenuhi oleh
ahli-ahli falsafah, ahli kalam, ahli fiqih, ahli tasawuf, ahli politik dan
sebagainya. Namun begitu, beliau tidak pernah angkuh dan bangga diri dengan
kelebihan tersebut.
Diuji Dengan Seorang Wanita Cantik
Setiap insan yang ingin mencapai keridhaan
Allah selalunya menerima ujian dan cobaan. Imam Junaid menerima ujian daripada
beberapa orang musuhnya setelah pengaruhnya meluas. Mereka telah membuat fitnah
untuk menjatuhkan popularitas Imam Junaid.
Musuh-musuhnya telah bekerja keras
menghasut khalifah di masa itu agar membenci Imam Junaid. Namun usaha mereka
untuk menjatuhkan kemasyhuran Imam Junaid tidak berhasil.
Musuh-musuhnya berusaha berbuat sesuatu
yang boleh memalukan Imam Junaid. Pada suatu hari, mereka menyuruh seorang
wanita cantik untuk memikat Imam Junaid. Wanita itu pun mendekati Imam Junaid
yang sedang tekun beribadat. Ia mengajak Imam Junaid agar melakukan perbuatan
terkutuk.
Namun wanita cantik itu hanya dikecewakan
oleh Imam Junaid yang sedikitpun tidak mengangkat kepalanya. Imam Junaid
meminta pertolongan dari Allah agar terhindar daripada godaan wanita itu.
Beliau tidak suka ibadahnya diganggu oleh sesiapa. Beliau melepaskan satu
hembusan nafasnya ke wajah wanita itu sambil membaca kalimah Lailahailallah.
Dengan takdir Tuhan, wanita cantik itu rebah ke bumi dan mati.
Khalifah yang mendapat tahu kematian
wanita itu telah memarahi Imam Junaid kerana menganggapnya sebagai suatu
perbuatan jenayah.
Lalu khalifah memanggil Imam Junaid untuk
memberikan penjelasan di atas perbuatannya. “Mengapa engkau telah membunuh
wanita ini?” tanya khalifah.
“Saya bukan pembunuhnya. Bagaimana pula
dengan keadaan tuan yang diamanahkan sebagai pemimpin untuk melindungi kami,
tetapi tuan berusaha untuk meruntuhkan amalan yang telah kami lakukan selama 40
tahun,” jawab Imam Junaid.
Asy-Syibli, anggota istana yang
angkuh, pergi ke Al-Junaid, mencari pengetahuan sejati. Katanya, “Aku dengar bahwa engkau
mempunyai karunia pengetahuan. Berikan, atau juallah padaku.”
Al-Junaid berkata, “Aku tidak
dapat menjualnya padamu, karena engkau tidak mempunyai harganya. Aku tidak
memberikan padamu, karena yang akan kau miliki terlalu murah. Engkau harus
membenamkan diri ke dalam air, seperti aku, supaya memperoleh mutiara.”
“Apa yang harus kulakukan?”
tanya asy-Syibli.
“Pergilah dan jadilah penjual
belerang.”
Setahun berlalu, al-Junaid
berkata padanya, “Engkau maju sebagai pedagang. Sekarang menjadi darwis, jangan
jadi apa pun selain mengemis.”
Asy-Syibli menghabiskan satu
tahun mengemis di jalanan Baghdad, tanpa keberhasilan. Ia kembali ke Al-Junaid, dan sang Guru
berkata kepadanya:
“Bagi umat manusia, kau
sekarang ini bukan apa-apa. Biarkan mereka bukan apa-apa bagimu. Dulu engkau
adalah gubernur. Kembalilah sekarang ke propinsi itu dan cari setiap orang yang
dulu kau tindas. Mintalah maaf pada mereka.” Ia pergi, menemukan mereka semua
kecuali seorang, dan mendapatkan pengampunan merdka.
Sekembalinya asy-Syibli, Al-Junaid
berkata bahwa ia masih merasa dirinya penting. Ia menjalani tahun berikutnya
dengan mengemis. Uang yang diperoleh, setiap senja dibawa ke Guru, dan
diberikan kepada orang miskin. Asy-Syibli sendiri tidak mendapat makanan sampai
pagi berikutnya.
Ia diterima sebagai murid.
Setahun sudah berlalu, menjalani sebagai pelayan bagi murid lain, ia merasa
menjadi orang paling rendah dari seluruh makhluk.
Ia menggunakan ilustrasi
perbedaan antara kaum Sufi dan orang yang tidak dapat diperbaiki lagi, dengan
mengatakan hal-hal yang tidak dapat dipahami masyarakat luas.
Suatu hari, karena bicaranya
tidak jelas, ia telah diolok-olok sebagai orang gila di masyarakat, oleh para pengumpat.
Dia berkata:
Bagi pikiranmu, aku gila. Bagi pikiranku, engkau semua bijak.
Maka aku berdoa untuk meningkatkan kegilaanku
Dan meningkatkan kebijakanmu ‘Kegilaanku’
dari kekuatan Cinta;
Kebijakanmu dari kekuatan
ketidaksadaran.
Syekh Junaid mempunyai anak didik yang
amat ia senangi. Santri-santri Junaid yang lain menjadi iri hati. Mereka tak
dapat mengerti mengapa Syeikh memberi perhatian khusus kepada anak itu.
Suatu saat, Junaid menyuruh semua
santrinya untuk membeli ayam di pasar untuk kemudian menyembelihnya. Namun
Junaid memberi syarat bahwa mereka harus menyembelih ayam itu di tempat di mana
tak ada yang dapat melihat mereka. Sebelum matahari terbenam, mereka harus
dapat menyelesaikan tugas itu.
Satu demi satu santri kembali ke hadapan
Junaid, semua membawa ayam yang telah tersembelih. Akhirnya ketika matahari
tenggelam, murid muda itu baru datang, dengan ayam yang masih hidup.
Santri-santri yang lain menertawakannya dan mengatakan bahwa santri itu tak
bisa melaksanakan perintah Syeikh yang begitu mudah.
Junaid lalu meminta setiap santri untuk
menceritakan bagaimana mereka melaksanakan tugasnya. Santri pertama berkata
bahwa ia telah pergi membeli ayam, membawanya ke rumah, lalu mengunci pintu,
menutup semua jendela, dan membunuh ayam itu. Santri kedua bercerita bahwa ia
membawa pulang seekor ayam, mengunci rumah, menutup jendela, membawa ayam itu
ke kamar mandi yang gelap, dan menyembelihnya di sana. Santri ketiga berkata
bahwa ia pun membawa ayam itu ke kamar gelap tapi ia juga menutup matanya
sendiri. Dengan itu, ia fikir, tak ada yang dapat melihat penyembelihan ayam itu.
Santri yang lain pergi ke hutan yang lebat dan terpencil, lalu memotong
ayamnya. Santri yang lain lagi mencari gua yang amat gelap dan membunuh ayam di
sana.
Tibalah giliran santri muda yang tak
berhasil memotong ayam. Ia menundukkan kepalanya, malu karena tak dapat
menjalankan perintah guru, “Aku membawa ayam ke rumahku. Tapi di rumahku tak ada tempat di mana Dia (Allah)
tak melihatku. Aku pergi ke hutan lebat, tapi Dia (Allah) masih bersamaku.
Bahkan di tengah gua yang teramat gelap, Dia (Allah) masih menemaniku. Aku tak
bisa pergi ke tempat di mana tak ada yang melihatku, aku merasa dimanapun dan
kapanpun aku berada disitu selalu ada Dia (Allah). Demikian jawaban dari santri
muda tersebut.
Tasawuf Syekh Junaid al-Baghdadi
Al-Junaid barkata, “Tasawuf adalah bersama
dengan Tuhan tanpa pertalian dengan apapun.” Melalui definisi ini, sebenarnya
Al-Junaid ingin menyatakan bahwa sufisme merupakan cara atau sarana menuju
Tuhan dan bersatu dengan kehendak-Nya. Sedangkan pengertian yang demikian ini,
dihasilkan dari kesadaran akan adanya suatu jurang yang sangat lebar memisahkan
manusia dari Tuhan. Sehingga sufisme, dimaksudkannya untuk menjembatani jurang
tersebut.
Dengan perantaraan sufisme, manusia dapat
mendekati-Nya, bahkan dapat bersatu di dalam-Nya. Agar dapat mencapai persatuan
tersebut, manusia harus mampu memisahkan ruhnya dari semua sifat kemakhlukan
yang melekat pada dirinya. Jika hal ini dapat dilaksanakan, niscaya tujuan
untuk mendekati Tuhan dan bersatu di dalam-Nya akan tercapai.
Namun demikian, Al-Junaid juga menyatakan
bahwa, “Sufisme adalah suatu keadaan yang di dalamnya terdapat kehidupan
manusia.” Dan ketika ditanya apakah sifat itu sifat manusia atau sifat Tuhan?
Al-Junaid menjawab, “Esensinya memang merupakan sifat Tuhan, namun gambaran lahiriahnya
adalah sifat manusia.” Melalui definisi ini, Al-Junaid ingin menggambarkan
bahwa sesungguhnya dalam diri manusia telah dihiasi dengan sifat Tuhan,
sehingga kondisi tertinggi dari pengalaman sufistik yang dicapai seorang sufi
berupa persatuannya dengan Tuhan, juga dapat dilukiskan. Pada tingkat ini, seorang sufi akan kehilangan
kesadarannya, tidak lagi merasa memiliki hubungan dengan lingkungannya. Bahkan
semua yang ada di sekitarnya tidak lagi menjadi obyek pemikirannya, lantaran
seluruh perhatiannya hanya tertuju kepada Tuhan. Sementara dengan hilangnya
semua perhatian dan kesadarannya itu, maka dia otomatis sedang berada di tangan
Tuhan.
Lebih jauh Al-Junaid menegaskan,
bagaimanapun tingginya tingkatan yang telah dicapai, seorang sufi harus tetap meyakini
Keesaan Tuhan dan menjalankan perintah-Nya serta menjauhi larangan-Nya sesuai
dengan Al-Qur’an dan Sunah Rasul.
Dalam ajaran Sufi, delapan
sifat harus dilatih. Kaum Sufi memiliki:
1. Kemurahan hati seperti
Ibrahim a.s.;
2. Penerimaan yang tak bersisa sedikit pun
dari Ismail a.s.;
3. Kesabaran, sebagaimana
dimiliki Ya’kub a.s.;
4. Kemampuan berkomunikasi
dengan simbolisme, seperti halnya Zakaria a.s.;
5. Pemisahan dari para
pendukungnya sendiri, sebagaimana halnya Yahya a.s.;
6. Jubah wool seperti mantel
gembala Musa a.s.;
7. Pengembaraan, seperti
perjalanan Isa a.s.;
8. Kerendahan-hati, seperti
jiwa dari kerendahan hati Muhammad saw.
1. Ajaran Zuhud
Zuhud merupakan dasar dari segala ajaran
yang terkandung dalam ajaran sufisme yang diyakini oleh para sufi. Yang
merupakan langkah awal dari mereka yang menekuni tasawuf dalam usahanya untuk
berada sedekat mungkin dengan Tuhan. Sehingga siapa saja yang tidak berhasil
melalui tahap ini, maka niscaya tidak akan pernah berhasil mencapai hal dan
maqam sesudahnya.
Menurut Al-Junaid, “Zuhud adalah kosongnya
tangan dari kepemilikan dan hati dari hal yang mengikutinya (ketamakan).”
Dengan kata lain, zuhud bagi Al-Junaid lebih merupakan sikap seorang sufi yang
tidak begitu terikat dengan duniawi. Namun bukan berarti zuhud itu menjauhi
dunia. Bahkan lebih jauh, pengertian zuhud ini melahirkan sikap kedermawanan
dan suka bersedekah pada orang yang membutuhkan.
Al-Junaid juga bertutur, “Seorang sufi
tidak seharusnya berdiam diri di masjid dan berdzikir saja tanpa bekerja untuk
nafkahnya. Sehingga untuk menunjang kehidupannya, orang tersebut menggantungkan
dirinya hanya pada pemberian orang lain.” Bagi Al-Junaid, sifat dan sikap
seperti itu sengatlah tercela, lantaran sekalipun sufi, orang tersebut harus
tetap bekerja keras untuk menopang kehidupannya sehari-hari. Jika sudah
mendapat nafkah diharapkan mau menggunakannya di jalan Allah, yaitu dengan
mendermakan sebagian hartanya kepada siapa saja yang membutuhkan.
2. Ajaran Tawakal
Menurut Al-Junaid, “Hakikat tawakal adalah
menjadi milik Tuhan seperti sebelum terjadi.” Pengertian ini berarti bahwa
seorang yang bertawakal menjadi seperti ketika belum diciptakan, yaitu sebagai
milik Tuhan. Dan lantaran dia kepunyaan-Nya, maka apapun yang akan diperbuat
Tuhan terhadapnya, dia akan menerimanya. Junaid juga bertutur, “Bahwasannya
kamu harus puas dengan Tuhan dalam segala keadaan, dan kamu tidak mengharapkan
sesuatu yang lain kecuali Tuhan.”
3. Ajaran Mahabbah
Junaid bertutur tentang mahabbah,
“Mahabbah adalah masuknya sifat-sifat yang Dicintai ke dalam diri yang
mencintai, sebagai ganti dari sifat-sifat yang mencintai.” Maksudnya adalah
jika seorang sufi telah benar-benar jatuh cinta kepada Tuhan, maka perhatiannya
hanya akan tertuju pada-Nya. Tiada lagi perasaan yang tertuju kepada hal-hal
lain yang masih tertinggal pada dirinya. Pada saat yang sama, dia akan
menjadikan tempat di segala sudut dalam hatinya, hanya untuk Tuhan.
Namun demikian, semua ini hanya akan
terjadi apabila diawali dengan menghilangkan sifat-sifat yang ada pada dirinya
sebagai makhluk, dengan meyakini esensi Tuhan yang kekal. Lantaran ketika sifat-sifat kemanusiaannya hilang,
pada saat itulah dia akan terhiasi oleh sifat-sifat Tuhan yang dicintai-Nya.
Jika sufi tersebut masih merasakan sifat-sifat kemakhlukan pada dirinya,
niscaya dia tidak akan dapat menghayati keindahan Tuhan yang dicintainya.
Tetapi jika dia tahu bahwa keindahan Tuhan hanya dapat dicapai dengan usaha
yang tekun dan pertolongan-Nya, maka ia pasti akan berusaha untuk meraihnya,
sekalipun untuk itu, dia harus menghilangkan sifat-sifat dirinya. Sehingga dengan demikian, mahabbah yang
sejati pada Tuhan akan terwujud.
4. Ajaran Mushahadah
Mushahadah berarti menyaksikan atau lebih
jelasnya, “Melihat Tuhan dengan mata hati, tanpa keraguan sedikitpun, bagaikan
melihat-Nya dengan mata kepala.” Hal ini berarti bahwa dalam ajaran sufisme,
seorang sufi dalam keadaan tertentu akan dapat melihat Tuhan dengan mata
hatinya. Sehingga boleh jadi, hanya bagi mereka, Tuhan itu dapat dilihat.
Menurut Al-Junaid, Tuhan hanya dapat dilihat melalui mata hati, bukan dengan
mata kepala. Sehingga seandainya Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala di
akhirat nanti, maka Al-Junaid pun tidak ingin melakukannya.
Al-Junaid bertutur, “Apabila Tuhan berkata
kepadaku: Lihatlah Aku, aku akan menjawab: Aku tidak dapat melihat Engkau ya
Allah. Lantaran dalam cinta,
mata adalah sesuatu yang lain selain Tuhan dan makhluk. Kecemburuan pada yang
lain akan menjagaku dari melihat-Nya. Selain itu, ketika di dunia aku telah
biasa melihat-Nya tanpa perantaraan mata kepala, maka bagaimana aku harus
menggunakan perantaraan seperti itu di akhirat nanti.”
5. Ajaran Mithaq
Menurut Al-Junaid, yang dimaksud dengan
mithaq adalah perjanjian yang terjadi antara Tuhan dengan ruh, sebelum dia
masuk ke dalam tubuh manusia. Dimana akad ini terjadi ketika ruh tersebut diciptakan-Nya pada masa azali.
6. Ajaran Tentang Fana dan Baqa
Kontribusi Junaid terhadap tasawuf banyak,
ide dasar berurusan dengan kemajuan yang menyebabkan orang untuk “memurnahkan”
diri (fana) sehingga berada dalam serikat lebih dekat dengan Ilahi. Orang perlu
“melepaskan keinginan alam, untuk menghapus atribut manusia, untuk membuang
motif egois, untuk menumbuhkan kualitas spiritual, untuk mengabdikan diri
kepada pengetahuan yang benar, untuk melakukan apa yang terbaik dalam konteks
keabadian, keinginan baik untuk seluruh masyarakat, harus benar-benar beriman
kepada Allah, dan mengikuti Nabi dalam hal syariat “. Ini dimulai dengan
praktek penolakan (zuhud) dan berlanjut dengan penarikan dari masyarakat,
konsentrasi intensif pada pengabdian (Ibadat) & mengingati (zikir) Allah,
ketulusan (Ikhlas), dan kontemplasi (muraqaba) masing-masing; kontemplasi
menghasilkan fana. Jenis “perjuangan semantik” recreates pengalaman persidangan
(bala) yang penting dalam tulisan-tulisan Junaid. Hal ini memungkinkan orang
untuk masuk ke dalam keadaan fana. Junaid membagi atas keadaan fana menjadi
tiga bagian: “
1) yang meninggal dari atribut seseorang
melalui upaya terus-menerus menentang ego-diri sendiri (nafs);
2) berlalu dari perasaan seseorang tentang
prestasi, yaitu berlalu dari “kita berbagi salah satu padang pasir manis dan
kenikmatan ketaatan‘; dan
3) lewat jauh dari visi tentang realitas”
dari ekstansi Anda sebagai tanda nyata mengalahkan Anda’ “.
Semua tahapan ini membantu seseorang untuk
mencapai fana. Ini adalah melalui tahap baqa yang satu dapat menemukan Tuhan –
atau lebih tepatnya, memiliki Allah menemukan dirinya. Menjangkau baqa bukanlah hal yang mudah dilakukan
meskipun; mendapatkan melalui tiga tahap membutuhkan disiplin yang ketat dan
kesabaran. Bahkan ada perdebatan antara ulama, apakah tahap ketiga dimungkinkan
untuk dicapai. Junaid membantu mendirikan “sadar” sekolah pemikiran sufi, yang
berarti bahwa dia sangat logis dan ilmiah tentang definisi tentang berbagai
kebajikan, Tauhid, dll. Tasawuf dicirikan oleh orang-orang yang Pengalaman fana
dan tidak hidup dalam keadaan penyerapan tanpa pamrih pada Tuhan tetapi
menemukan diri mereka kembali ke indera mereka oleh Allah. Kembali tersebut dari
pengalaman demikian dilarutkan mementingkan diri sebagai diri baru. Sebagai
contoh, Junaid mengatakan, “Air mengambil warna dari cawan itu.” Meskipun ini
mungkin tampak agak membingungkan pada awalnya, ‘Abd al-Hakeem Carney
menjelaskan lebih baik: kita dituntun menuju konsep penting dari ‘kapasitas,’
dimana penampakan Ilahi diterima oleh hati setiap orang menurut orang itu
tertentu menerima kapasitas dan akan ‘berwarna’ oleh alam seseorang “. Seperti
yang dapat dilihat, seperti ungkapan yang sederhana memiliki arti yang mendalam
seperti; ia membawa pembaca kembali ke pemahaman yang lebih dalam Tuhan melalui
metafora yang lebih bijaksana.
Fana dan baqa ini merupakan sesuatu yang
kembar dan datang bersamaan, sehingga jika seseorang mengalami fana (kesadaran
diri hilang dan lenyap), maka bersamaan dengan itu muncul baqa (munculnya
kesadaran akan kehadirannya di sisi Tuhan). Diri pribadi dengan segala sifatnya
yang menyukai kesenangan dan keinginan duniawi, merupakan tabir penghalang bagi
seorang sufi untuk mencapai persatuan dengan Tuhan. Sehingga semua penghambat
tersebut, harus terlebih dahulu dihapuskan agar dapat mencapai puncak tertinggi
dari sufisme. Atau dengan kata lain, untuk mencapai persatuan dalam Tuhan, maka
semua sifat kemakhlukan yang ada pada diri manusia dan semua perasaan terhadap
selain Tuhan, harus dihilangkan terlebih dahulu. Sehingga ketika hati
benar-benar telah bersih dan siap ditempati Tuhan, maka inilah yang dimaksud
dengan fana, yakni hilangnya kesadaran atas diri pribadi.
7. Ajaran Tauhid
Menurut Al-Junaid, tauhid adalah,
“Pengesaan yang qidam (kekal) dari yang hadath (baru atau diciptakan).” Dengan
pengertian ini, Al-Junaid ingin menegaskan bahwa tauhid merupakan pengesaan
Tuhan yang kekal (qidam) dari makhluk ciptaan-Nya yang baru (hadith). Pengesaan
ini berarti pemisahan Tuhan dari segala makhluk-Nya, termasuk di dalamnya
pemisahan dari manusia.
8. Ajaran Makrifat
Menurut Al-Junaid, marifat
adalah kesadaran akan adanya ketidaktahuan (kebodohan) ketika pengetahuan
tentang Tuhan datang. Melalui definisi ini, dia ingin menyatakan bahwa pada
hakikatnya manusia itu berada pada ketidaktahuan tentang hakikat Tuhan. Dimana
keadaan yang demikian ini, baru disadarinya ketika datang makrifat kepadanya.
Pada saat itu, dia akan mendapatkan pengetahuan tentang hal-hal yang berkenaan
dengan Tuhan yang sebelumnya tidak pernah diketahuinya.
Makrifat atau pengetahuan tentang Tuhan,
akan dapat dicapai oleh seorang sufi, dalam keadaan fana tertinggi. Dimana pada saat itu, segala sifat
kemanusiaan yang ada dalam dirinya hilang seketika. Semua keinginannya pada
benda-benda duniawi terhapus. Kesadaran akan dirinya lenyap, digantikan oleh
kesadaran akan kedekatannya pada Tuhan. Sedangkan yang masih tinggal pada
dirinya hanyalah perasaan akan bersatunya ruh dirinya dalam Tuhan. Dan pada
titik itulah sesungguhnya makrifat ini muncul menguasai dirinya. Di mana Tuhan dengan segala rahmat-Nya
telah berkenan menganugerahkan makrifat itu kepadanya.
Makrifat menurut Al-Junaid
merupakan milik Tuhan, yang hanya didapatkan melalui Dia dan akan ada bersama
dengan-Nya sendiri.
9. Sahw (Kembali Pada Kesadaran)
Dalam sufisme, istilah sahw adalah
kembalinya seorang arif (sufi) pada kesadarannya, setelah sebelumnya mengalami
ghaybah (fana) dan kehilangan kesadarannya. Al-Junaid menjelaskan masalah sahw
ini sebagai berikut, “Tuhan mengembalikan sufi kepada keadaannya semula, adalah
agar dia dapat menjelaskan bukti-bukti dari rahmat Tuhan kepadanya. Sehingga
cahaya anugerah-Nya akan tampak gemerlap melalui pengembalian pada sifat-sifatnya
sebagai manusia. Dengan demikian hal ini menjadikan masyarakat menghargai dan
tertarik kepadanya.”
Sahw ini merupakan tahap terakhir setelah
seorang sufi mengalami fana dan baqa. Pada kondisi inilah ujian sebenarnya
bahwa seorang sufi harus mampu kembali kepada kesadarannya dengan hati yang
telah disucikan oleh Allah. Para sufi ini harus mampu menyucikan hatinya secara
terus-menerus dalam kesadaran manusia sehingga dia benar-benar menjadi yang
mencintai dan dicintai Allah.
Junaid percaya bahwa Sufisme
adalah jalan bagi elit untuk mencapai Allah, bukan orang biasa. “Tasawuf,”
katanya, “adalah untuk membersihkan jantung dari setiap keinginan mengikuti
jalan orang-orang umum”.
Abu Ali ar-Raudzabari berkata: “Saya mendengar
Al-Junaid berkata kepada orang yang mengatakan bahwa ahli ma’rifat dapat sampai kepada suatu keadaan yang tidak
lagi baginya untuk berbuat apapun, –Artinya menurutnya
orang tersebut boleh meninggalkan pekerjaan-pekerjaan yang telah diwajibkan,
Al-Junaid berkata kepadanya: “Ini adalah perkataan kaum yang berpendapat segala
perbuatan-perbuatan akan gugur. Dan ini bagiku adalah sesuatu yang sangat
berbahaya. Seorang pelaku zina dan seorang yang mencuri jauh lebih baik dari
pada orang memiliki pendapat seperti itu. Sesungguhnya, orang-orang yang
‘Ârif Billâh adalah mereka yang mengerjakan seluruh pekerjaan sesuai perintah
Allah, karena hanya kepada-Nya pekerjaan-pekerjaan itu kembali. Andaikan aku
hidup dengan umur 1000 tahun, dan aku tidak meninggalkan kebaikan sedikitpun
selama umur tersebut, maka kebaikan itu tidak akan dianggap oleh Allah kecuali
bila sesuai dengan apa yang telah diperintahkannya. Inilah keyakinan yang terus
memperkuat ma’rifat-ku dan memperkokoh keadaanku”.
Sejak kecil, Al-Junaid terkenal sebagai seorang
anak yang cerdas, sehingga sangat mudah dan cepat belajar ilmu-ilmu agama dari
pamannya. Karena kecerdasannya itu, ketika berumur tujuh tahun, Al-Junaid telah
diuji oleh gurunya dengan sebuah pertanyaan tentang makna syukur. Kehidupan
Al-Junaid al-Baghdâdî, di samping sebagai seorang sufi yang senantiasa
mengajarkan ilmunya kepada murid-muridnya, ia juga sebagai pedagang
barang-barang pecah belah di pasar tradisional. Selesai berdagang, beliau
pulang ke rumah dan mampu mengerjakan salat dalam waktu sehari semalam sebanyak
empat ratus rakaat.
Al-Junaid al-Baghdâdî adalah seorang sufi yang
mempunyai prinsip tak kenal putus asa. Terbukti, misalnya dalam ibadah, baik di
kala sehat maupun sakit, ia senantiasa konsisten melaksanakannya; bahkan, dalam
keadaan sakit, ia merasa semakin dekat dengan Allah. Di samping itu, Al-Junaid
memiliki sifat tegas dalam pendirian. Ini terlihat ketika ia menandatangani
surat kuasa untuk menghukum mati muridnya sendiri, Husain ibn Mansur Al-Hallaj (w. 309/ 922 M), sufi pencetus al-hulûl. Dalam
surat kuasa itu, ia menulis dengan tegas, “Berdasarkan syari’at, ia (al-Hallaj)
bersalah, tetapi menururt hakikat, Allah Yang Maha Mengetahui”.
Dalam masa-masa hidupnya, Al-Junaid menghadapi
kendala dalam mengajarkan tasawufnya, terutama dari kaum ortodok. Karena
perlawanan mereka terhadap para sufi yang terjadi ketika itu, maka Al-Junaid
melakukan praktik-praktik spiritual dan mengajari murid-muridnya di balik pintu
terkunci. Dari surat-suratnya atau risalah-risalah singkatnya dan keterangan
dari para sufi serta penulis biografi sufi sesudahnya, dapat dipandang bahwa
jalan hidup Al-Junaid merupakan perjuangan yang permanen untuk kembali ke
“Sumber” segala sesuatu, yakni Tuhan.
Bagi Al-Junaid, cinta spiritual (mahabbah) berarti bahwa, “Sifat-sifat Yang Dicintai menggantikan sifat-sifat si pencinta”. Al-Junaid memusatkan semua yang ada dalam pikirannya, semua kecenderungannya, kekagumannya, dan semua harapan dan ketakutannya, hanya kepada Allah SWT. Untuk itulah, dengan paham-paham ketasawufannya, ia sering dipandang sebagai seorang syekh sufi yang kharismatik di kota Bahgdad. Banyak tarekat sufi yang silsilahnya melalui Al-Junaid. Paham dan amalan tasawuf Al-Junaid ini banyak digali dari pengalaman-pengalaman ketasawufannya; namun demikian, konsep-konsep pemikiran tasawufnya masih belum tersusun secara sistematis, tetapi lebih banyak dijelaskan lewat ungkapan-ungkapan verbalnya.
Bagi Al-Junaid, cinta spiritual (mahabbah) berarti bahwa, “Sifat-sifat Yang Dicintai menggantikan sifat-sifat si pencinta”. Al-Junaid memusatkan semua yang ada dalam pikirannya, semua kecenderungannya, kekagumannya, dan semua harapan dan ketakutannya, hanya kepada Allah SWT. Untuk itulah, dengan paham-paham ketasawufannya, ia sering dipandang sebagai seorang syekh sufi yang kharismatik di kota Bahgdad. Banyak tarekat sufi yang silsilahnya melalui Al-Junaid. Paham dan amalan tasawuf Al-Junaid ini banyak digali dari pengalaman-pengalaman ketasawufannya; namun demikian, konsep-konsep pemikiran tasawufnya masih belum tersusun secara sistematis, tetapi lebih banyak dijelaskan lewat ungkapan-ungkapan verbalnya.
Dari ungkapan-ungkapan itulah bisa dipahami konsep
tasawufnya. Misalnya, ketika ia menjelaskan tentang tasawuf yang dijalaninya,
ternyata ia peroleh dari pengalaman kezuhudan dan kesederhanaannya terhadap
dunia. Dalam hal ini, Sai’id Hawwa pernah mengutip pernyataan Al-Junaid, yang mengungkapkan, “Kami tidak mengambil tasawuf
dari pembicaraan atau kata-kata, melainkan dari lapar dan
keterlepasan dari dunia ini, dan dengan meninggalkan hal-hal yang sudah biasa
dan kami senangi”. Sikap
hidup fakir dan keterlepasan dari kemewahan dunia menjadi penting dalam
kehidupan sufistik menurut pandangan Al-Junaid .
Al-Junaid memandang tasawuf sebagai jalan kearifan manusia dalam menjalankan hidupnya. Dalam hal ini ia pernah ditanya tentang orang yang disebut ârif (sufi) sebagai berikut, “Siapakah orang ârif (sufi) itu?” Ia menjawab, orang ârif adalah orang yang tidak terikat oleh waktu.” Kehidupan tasawuf yang dilakukan seseorang merupakan jalan penyucian hati dan jalan kekhusyukan untuk mengingat Dia. Perkataan Al-Junaid yang berhubungan dengan hal ini adalah: “Tuhan menyucikan “hati” seseorang menurut kadar khusyuknya dalam mengingat dia. Al-Junaid mengatakan :”Sabar itu meneguk kepahitan tanpa cemberut muka.” Selain itu, Al-Junaid al-Baghdâdî juga mempunyai pemikiran tentang bast (rasa lapang) dan qabd (rasa kecut). Bast yang dimaksud adalah istilah tasawuf yang berarti suasana kelapangan jiwa melalui harapan atau kegembiraan rohani akan datangnya rahmat Allah. Di kalangan para sufi, bast dan qabd merupakan kelanjutan dari raja’ (harap) dan khauf (takut), yang keduanya merupakan cara untuk meminta perlindungan dari Tuhan. Untuk melihat bagaimana bast dan qabd sebagai kelanjutan dari raja’ dan khauf ini, dapat disimak ungkapan yang dikemukakan Al-Junaid sebagai berikut: “Takut (khauf) kepada Allah membuatku menjadi qabd, dan harap (raja’) kepada-Nya membuatku manjadi bast. Dengan al-haqiqah (hakikat) Dia mempersatukanku dengan eksistensi kemanusiaanku. Jika Dia membuatku qabd dan khauf, Dia menghancurkan eksistensi kemanusiaanku. Apabila Dia membuatku bast dan raja’, Dia mengembalikan eksistensi kemanusiaanku. Jika Dia mengumpulkanku dengan al-haqiqah, Dia menghadirkanku. Jika Dia memisahkanku dengan Al-Haqq (Tuhan), Dia menyaksikanku dalam eksistensi yang lain. Maka ketika itu aku dalam kedaan gelap gulita, dan menjadi tidak sadarkan diri. Ketika itu Dialah yang Yang Maha Tinggi yang menggerakkanku tanpa mendiamkanku dan Dia yang membuatku takut dan cemas tanpa membuatku merasakan adanya belaian kasih. Ketika eksistensi kemanusiaanku hadir, aku merasakan keberadaanku. Dan ketika eksistensi kemanusiaanku lepas, aku merasa hancur tidak sadarkan diri.” Al-Junaid al-Baghdâdî yang terkenal dengan julukan sayyid at-ta’ifah (sesepuh kaum sufi), menjelaskan bahwa cinta murni itu tercapai setelah adanya proses transformasi sifat-sifat yang dicintai pada diri pencinta secara total.
Al-Junaid memandang tasawuf sebagai jalan kearifan manusia dalam menjalankan hidupnya. Dalam hal ini ia pernah ditanya tentang orang yang disebut ârif (sufi) sebagai berikut, “Siapakah orang ârif (sufi) itu?” Ia menjawab, orang ârif adalah orang yang tidak terikat oleh waktu.” Kehidupan tasawuf yang dilakukan seseorang merupakan jalan penyucian hati dan jalan kekhusyukan untuk mengingat Dia. Perkataan Al-Junaid yang berhubungan dengan hal ini adalah: “Tuhan menyucikan “hati” seseorang menurut kadar khusyuknya dalam mengingat dia. Al-Junaid mengatakan :”Sabar itu meneguk kepahitan tanpa cemberut muka.” Selain itu, Al-Junaid al-Baghdâdî juga mempunyai pemikiran tentang bast (rasa lapang) dan qabd (rasa kecut). Bast yang dimaksud adalah istilah tasawuf yang berarti suasana kelapangan jiwa melalui harapan atau kegembiraan rohani akan datangnya rahmat Allah. Di kalangan para sufi, bast dan qabd merupakan kelanjutan dari raja’ (harap) dan khauf (takut), yang keduanya merupakan cara untuk meminta perlindungan dari Tuhan. Untuk melihat bagaimana bast dan qabd sebagai kelanjutan dari raja’ dan khauf ini, dapat disimak ungkapan yang dikemukakan Al-Junaid sebagai berikut: “Takut (khauf) kepada Allah membuatku menjadi qabd, dan harap (raja’) kepada-Nya membuatku manjadi bast. Dengan al-haqiqah (hakikat) Dia mempersatukanku dengan eksistensi kemanusiaanku. Jika Dia membuatku qabd dan khauf, Dia menghancurkan eksistensi kemanusiaanku. Apabila Dia membuatku bast dan raja’, Dia mengembalikan eksistensi kemanusiaanku. Jika Dia mengumpulkanku dengan al-haqiqah, Dia menghadirkanku. Jika Dia memisahkanku dengan Al-Haqq (Tuhan), Dia menyaksikanku dalam eksistensi yang lain. Maka ketika itu aku dalam kedaan gelap gulita, dan menjadi tidak sadarkan diri. Ketika itu Dialah yang Yang Maha Tinggi yang menggerakkanku tanpa mendiamkanku dan Dia yang membuatku takut dan cemas tanpa membuatku merasakan adanya belaian kasih. Ketika eksistensi kemanusiaanku hadir, aku merasakan keberadaanku. Dan ketika eksistensi kemanusiaanku lepas, aku merasa hancur tidak sadarkan diri.” Al-Junaid al-Baghdâdî yang terkenal dengan julukan sayyid at-ta’ifah (sesepuh kaum sufi), menjelaskan bahwa cinta murni itu tercapai setelah adanya proses transformasi sifat-sifat yang dicintai pada diri pencinta secara total.
Dari kutipan-kutipan di atas, maka jelas sekali
tasawuf Al-Junaid berlandaskan Al-Qur’an dan hadits. Ia menjauhi praktek yang
bertentangan dengan syariat Islam. Adapun dasar-dasar pemikiran Al-Junaid
tentang tasawuf adalah sebagai berikut:
1. Seorang
sufi harus meninggalkan kelakuan dan sifat-sifat yang buruk dan menjalankan
budi pekerti yang baik, sesuai dengan ajaran-ajaran tasawuf yang selalu
mengajarkan sifat-sifat baik dan meninggalkan bidi pekerti yang jelek.
2. Ajaran tasawuf adalah ajaran-ajaran yang dapat memurnikan hati manusia dan mengajarkan sifat-sifat baik dan meninggalkan sifat-sifat alamiah yang bisa merusak kesucian jiwa, menahan manusia dari godaan jasmani, mangambil sifat-sifat ruhani, mengingatkan diri pada ilmu hakikat, mengingat Allah SWT. dan rasul-Nya, Muhammad SAW.
2. Ajaran tasawuf adalah ajaran-ajaran yang dapat memurnikan hati manusia dan mengajarkan sifat-sifat baik dan meninggalkan sifat-sifat alamiah yang bisa merusak kesucian jiwa, menahan manusia dari godaan jasmani, mangambil sifat-sifat ruhani, mengingatkan diri pada ilmu hakikat, mengingat Allah SWT. dan rasul-Nya, Muhammad SAW.
3.
Memalingkan perhatian dari urusan duniawi kepada urusan ukhrawi. Bagi orang
beriman, meninggalkan pergaulan dengan sesama (manusia) masih mudah dan
berpaling kepada Allah sulit. Ternyata berpaling dari nafsu lebih sulit lagi.
Untuk itu, melawan nafsu adalah sangat penting untuk mendekatkan diri kepada
Allah. Dalam hal ini, al-Hujwiri mengutip bahwa Al-Junaid pernah ditanya,
“apakah persatuan dengan Tuhan?” dia menjawab, “meniadakan hawa nafsu,” karena
di antara semua tindakan ibadah yang diridhai Tuhan, tiada yang lebih besar
nilainya dari pada menundukkan hawa nafsu. Menghancurkan gunung lebih mudah
bagi seorang manusia dari pada menundukkan hawa nafsunya.”
4. Manusia
harus berpegang teguh kepada tauhid, termasuk dalam bertasawuf. Arti tauhid, menurut Al-Junaid, adalah mengesakan Allah SWT.
dengan sesempurna-Nya. Bahwa sesungguhnya Allah itu esa, tidak beranak dan
tidak pula diperanakkan, tidak berjumlah dan tidak pula tersusun, dan tak
satupun yang menyerupai-Nya, Dia Maha Mendengar, Dia Maha Melihat dan Maha
Tunggal, dan seterusnya.
5. orang
sufi harus bisa melakukan tiga syarat amalan, yaitu:
(a) melazimkan dzikr secara kontinu yang disertai
himmah dan dengan kesadaran yang penuh;
(b) mempertahankan tingkat kegairahan atau
semangat yang tinggi;
(c) senantiasa melaksanakan syari’at yang ketat
dan tepat dalam kehidupan sehari-hari.
Sebab itu, dalam soal berpegang teguh pada
syari’at, maka Al-Junaid seperti dikutip Sa’id Hawwa,
pernah menuduh orang yang menjadikan wusul (mencapai) Allah sebagai tindakan
untuk melepaskan diri dari hukum-hukum syari’ah. Dalam persoala ini dengan
tegas ia menyatakan, “Betul mereka sampai, tetapi ke neraka Saqar.” Imam
Malik bin Anas, pendiri madzhab fiqih pernah berkata, “Barang siapa mendalami
fiqih tanpa bertasawuf ia fasik, barang siapa yang mendalami tasawuf tanpa
mendalami fiqih ia zindiq, dan barang siapa yang melakukan keduanya ia
ber-tahaqquq (meraih kebenaran).”
Jadi, tasawuf merupakan hal yang mesti, dapat
dijadikan sebagai penyempurna fiqih. Begitu juga fiqih, dapat menjadi koridor
tasawuf dan kaidah pengendali amal dalam mengarah kepada-Nya. Jika salah satu
dari dua disiplin ilmu tersebut hilang, itu berarti separuh telah tiada.
Dikatakan
bahwa para sufi pada masanya, al-junaid adalah seorang sufi yang mempunyai
wawasan luas terhadap ajaran tasawuf, mampu membahas secara mendalam, khusus
tentang paham tauhid dan fana`. Karena itulah dia digelari Imam Kuam
Sufi (Syaikh al-Ta`ifah);
sementara al-Qusayiri di dalam kitabnya al-Risaalah al-Qusyairiyyah menyebutnya
Tokoh dan Imam kaum Sufi.
Al-Junaid
juga menandaskan bahwa tasawuf berarti “Allah akan menyebabkan mati dari dirimu
sendiri dan hidup di dalam-Nya.” Peniadaan diri ini oleh Junaid disebut fana`, sebuah istilah yang mengingatkan
kepada ungkapan Qur`ani “segala sesuatu akan binasa kecuali wajah-Nya (QA.
55:26-27); dan hidup dalam sebutannya baqa`. Al-Junaid menganggap bahwa tasawuf
merupakan penyucian dan perjuangan kejiwaan yang tidak ada habis-habisnya. Disamping
al-Junaid menguraikan paham tauhid dengan karakteristik para sufi, dia juga
mengemukakan ajaran-ajaran tasawuf lainnya.
Junaid Al-Baghdadi: Simbol Keharmonisan Tasawuf dan
Syariat
Rubrik Hujjatul Tak hanya tasawuf, ia juga
menguasai sejumlah bidang ilmu pengetahuan.Ajaran Islam tak hanya berbicara
masalah fikih, ibadah, dan akhlak. Di dalamnya, juga dibahas tentang masalah
tasawuf, yakni pendekatan diri kepada Allah melalui pemahaman yang lebih
mendalam dengan hati. Istilah tasawuf ini sebenarnya sudah berkembang sejak
masa Rasulullah SAW di Madinah. Dulu di Masjid Nabawi terdapat sekelompok orang
yang disebut dengan ahlus suffah . Karena itu, ada yang menyebutkan bahwa
tasawuf memiliki akar kata dari suffah . Namun menurut lainnya, tasawuf
berasal dari kata shafa atau shufi yang berarti suci atau bersih. Dalam perkembangannya, praktik-praktik
tasawuf baru meledak pada abad ketiga Hijriyah. Menurut Dr Abu Al Wafa At
Taftazani dalam bukunya Madkhal Ila At Tasawwuf al Islami, abad ketiga
Hijriyah merupakan titik tolak dan sejarah penting bagi perkembangan tasawuf
Islam. Al-Qusyairi dan Ibnu Khaldun menjelaskan, kata tasawuf sudah pernah
digunakan sebelum abad kedua Hijriyah, tetapi pada abad ketigalah istilah
tasawuf mulai dipergunakan secara luas. Pendapat Abu Al Wafa cukup berasalan. Sebab
saat itulah tasawuf yang semula sebatas dipahami sebagai implementasi terhadap
makna zuhud, mulai bergeser menjadi sebuah paradigma, gerakan, dan olah rasa di
kalangan para pegiatnya. Meski masih ditafsirkan secara sederhana, pada periode
ketiga Hijriyah muncul teori-teori sufi, seperti hulul, fana, dan tauhid. Selain itu, sejumlah tarekat sufi juga
mulai menjamur. Ada Tarekat Al-Qashariyah, At-Thaifuriyyah, Al-Kharraziyah,
An-Nuriiyah, dan Al-Hallajiyyah. Salah satu tokoh yang mempunyai andil besar
dalam proses transformasi tasawuf pada abad ketiga adalah Imam Junaid.
Benturan
pandangan para pengikut tasawwuf dan ahli fikih pada abad ketiga ini merisaukan
Al Junaid. Mengapa harus dipertentangkan. Bukankah ajaran tasawwuf itu
bersumber dari ajaran nabi. Begitu pula dengan fikih. Maka hendaknya kedua cara
pandang yang cenderung hakikat-centris dan yang cenderung legalit-centris,
dikompromikan. Dalam hal ini, Al Junaid mengatakan,
علمنا هذا مقيد بالكتاب والسنة من لم يقرأ القرآن ويكتب الحديث لا يقتدى به في علمنا هذا
“ilmu (tasawwuf) kami ini dilandasi oleh Al Quran dan As Sunnah, barang siapa tidak membaca Al Quran dan menulis As Sunnah, maka ucapannya tidak dapat diikuti dalam ilmu kami ini”
Frase
Ilmuna merujuk pada pengalaman dan pengetahuan yang didapatkan melalui
perjalanan spiritual. Pengetahuan yang kadang sulit dijelaskan oleh nalar
manusiawi. Sehingga kadangkala dampak dari ilmu tersebut terbilang aneh bagi
orang biasa. Semua merujuk pada tingkat ekstasie tertentu pada diri sufi yang
tidak dapat dijelaskan secara nalar. Namun hal itu memang benar mereka rasakan.
Mereka seperti masuk pada ruang tanpa batas. Pengetahuan tentang yang
supra-gaib. Sehingga muncul sikap radikal dan liberal dalam pemikiran tasawwuf.
Radikalisme dan liberalisme tasawwuf dapat kita amati dalam fenomena ittihad
dan hulul. Keduanya memiliki kesamaan dalam menafikan realitas konkret manusia.
Keliaran
pemikiran semacam ini dalam pandangan Al Junaid, tidaklah benar. Baginya, dunia
tasawwuf harus tetap berpijak pada realitas konkret manusia. Pencapaian
tertinggi dalam dunia tasawwuf hanyalah sampai level mahabbah dan ma’rifah. Dengan
demikian eksistensi konkret hamba (ubudiah) tetap terpisah dari eksistensi tuhan
(uluhiah).
Menurut
Al Junaid, syariat tetaplah penting dalam menuju mahabbah dan ma’rifah. Dari
sini, gagasan Al Junaid kemudian sangat kompatibel dengan pemikiran ahli fikih
dan hadis. Dan inilah makna ucapan “dilandasi Al Kitab dan As Sunnah”.
Imam
Junaid atau yang mempunyai julukan Abul Qosim ini adalah orang pertama yang
menyusun dan membahasakan tasawuf, hingga tak jarang kitab-kitab tasawuf yang
merujuk kepada ijtihad Imam Junaid. Dan beliau pulalah
yang merangkum pertama kali kata-kata bijak Imam Abu Yazid al-Busthomi yang
tidak lain adalah guru beliau sendiri.
Al-Junaid
di kenal dalam sejarah tasawuf sebagai seorang sufi yang banyak membahas
tentang tauhid. Pendapat-pendapatnya dalam masalah ini banyak diriwayatkan
dalam kitab-kitab biografi para sufi, antara lain sebagaimana diriwayatkan oleh
al-Qusyairi: Suatu ketika al-Junaid ditanya tentang pengertian tauhid. Dia
menjawab: “Orang-orang yang mengesakan Allah (al-muwahhid) ialah mereka yang
merealisasikan keesaan-Nya dalam arti sempurna, meyakini bahwa Dia adalah Yang
Maha Esa, Dia tidak beranak dan tidak diperanakan, menafikan segala bentuk
politeistik. Dia tidak bisa diserupakan,
diuraikan, digambarkan dan dibuat contoh-Nya. Dia tanpa padanan dan Dia adalah
zat yang Maha Mendengar dan Maha Melihat.”
Pengertian
tauhid yang diberikan al-Junaid di atas tidak keluar dari pengertian yang
diberikan oleh para teolog, sekalipun dia menguraikannya dari sudut pandang
para sufi. Menurutnya, akal-budi tidak mampu memahami itu. Sebab, “seandainya
pemikiran para pemikir dicurahkan sedalam-dalamnya pada masalah tauhid, pikiran
itu akan berakhir dengan kebingungan.” Dan katanya pula: “Ungkapan terbaik
tentang tauhid adalah ucapan Abu Bakr al-Siddiq: Maha Suci Zat yang tidak
menjadikan jalan bagi makhluk-Nya untuk mengenal-Nya, melainkan ketidakmampuan
mengenal-Nya.”[6]
Pengertian tauhid, sebagaimana diberikan al-Junaid, bahwa ia mengandung
unsur utama “pemisahan yang baqa’ dan fana’. Dengan menjadikan perjanjian azali
sebagai titik tolak, seraya merujuk kepada al-Qur’an (QS. Al-‘An’am:164-168)
menurut tafsiran sufi, ia memandang seluruh rangkaian sejarah ini sebagai upaya
manusia dalam memenuhi perjanjian itu dan kembali ke ihwal asalnya. Dalam
sebuah tafsir tentang percakapan yang konon berlangsung antara manusia dan
Tuhan dahulu kala, al-Junaid menulis: “Dalam ayat ini Allah menerangkan
kepadamu bahwa Dia berbicara kepada mereka pada zaman tatkala mereka (anak-cucu
Adam) belum maujud, tapi sudah maujud dalam diri-Nya. Kemaujudan ini bukanlah
kemaujudan yang lazim dari ciptaan-ciptaan-Nya. Namun kemaujudan ini merupakan
suatu kemaujudan yang hanya diketahui oleh Allah.
Tauhid
yang hakiki menurut al-Junaid adalah buah dari fana’ terhadap semua yang selain
Allah. Dalam hal ini dia mengatakan: “Tauhid yang secara khusus dianut para
sufi adalah pemisahan yang qidam dari yang hudus. Ketika menjelaskan sebuah
hadis: “Manakala Aku mencintainya, maka aku menjadikannya mampu mencapai hal
ini. Dialah yang menuntunnya dan mengaruniakan kepadanya hakikat dan kebenaran.
Dengan demikian, ia adalah perbuatan Allah lewat dirinya.
Tauhid
yang begini, menurut al-Junaid, adalah tauhid bagi kelompok tertentu. Misalnya
al-Tusi dalam kitabnya Al-Luma’, menuturkan: “Suatu ketika al-Junaid ditanya
tentang tauhid bagi kelompok tertentu (kaum khawas), jawabnya: Hendaklah
seseorang menjadi pribadi yang berada di tangan Allah di mana segala
kehendak-Nya berlaku bagi dirinya. Dan ini tidak bisa tercapai kecuali dengan
membuat dirinya fana’ terhadap dirinya dan makhluk sekitarnya. Dengan sirnanya
perasaan dan kesadarannya maka seluruhnya berlaku kehendak Allah SWT.
Al-Junaid memahami sepenuhnya bahwa pengalaman sufistik tidak bisa
diuraikan dengan akal dan berbahaya untuk dibicarakan secara terbuka mengenai
rahasia terdalam dari iman dihadapan orang-orang awam (terutama sekali terhadap
orang-orang yang memandang kegiatan para sufi dengan kecurigaan). Berdasarkan
alasan inilah ia menolak al-Hallaj yang telah menjadi contoh mereka yang telah
menjalani hukuman karena telah berbicara secara terbuka tentang rahasia cinta
dan penyatuan. Oleh karenanya, al-Junaid
memperhalus seni bicara melalui isyarat suatu kecenderungan yang mula-mula
diprakarsai oleh al-Kharraz. Surat-surat dan risalah-risalahnya ditulis dengan
gaya samar-samar; bahasanya begitu padat sehingga sangat sulit dipahami oleh
mereka yang tidak terbiasa dengan cara khas pengungkapan sufistik. Bahasa yang
indah itu lebih menutupi daripada membukakan makna sebenarnya.
Tasawuf dalam Pandangan Al Junaid
Dasar-dasar
Tasawuf
“Kitab ini yaitu Al-Qur’an adalah kitab
paling mulia dan paling lengkap. Syariah
kita
adalah aturan hidup yang paling jelas dan paling rinci.
Tareqat
kita, yakni jalan ahli tasawuf, dikuatkan dengan kitab dan sunnah.
Maka
barang siapa belum mendalami al-Qur’an, memelihara Sunnah dan
memahami
makna-maknanya tidak boleh di ikuti.”
Ia
juga berkata kepada sahabat-sabahatnya :
“Seandainya
kamu melihat seseorang terbang di udara maka janganlah kamu
meyakininya
hingga melihat perbuatannya berkaitan dengan perintah dan
larangan
Allah.
Jika
kamu melihat ia menjalankan perintah-perintah Allah dan meninggalkan
larangan-larangan-Nya,
maka kamu boleh mempercayai dan mengikutinya.
Tetapi
jika kamu melihat ia melanggar perintah dan larangan itu maka jauhilah
dia.”
Lingkungan Agung Para Sufi
“Manakala
Allah menghendaki kebaikan bagi seorang murid, Dia akan
membawanya
ke lingkungan para Sufi dan menjauhkannya dari kaum ulama
pembaca
buku.” Dikatakan kepada Abdullah bin Sa’id bin Kilab, “Anda berbicara
pandangan
masing-masing ulama. Lalu di sana ada seorang tokoh yang
dipanggil
dengan nama al-Junaid. Lihatlah, apakah Anda kontra atau tidak?”
Abdullah
lalu menghadiri majlis al-Junaid.
Ia
bertanya kepada al-Junaid tentang tauhid, lalu Junaid menjawabnya. Namun
Abdullah
kebingungan. Lantas kembali bertanya kepada al-Junaid, “Tolong Anda ulang
ucapan tadi bagiku!” Al-Junaid mengulangi, namun dengan ungkapan yang lain.
Abdullah lalu berkata, “Wah, ini lain lagi, aku tidak mampu menghafalnya.
Tolonglah Anda ulangi sekali lagi!” Lantas al-Junaid pun
mengulanginya,
tetapi dengan ungkapan yang lain lagi. Abdullah berkata, “Tidak
mungkin
bagiku memahami apa yang Anda ucapkan. Tolonglah Anda uraikan
untuk
kami!” Al-Junaid menjawab, “Kalau Anda memperkenankannya, aku akan
menguraikannya.”
Lalu
Abdullah berdiri, dan berkata akan keutamaan al-Junaid serta keunggulan
moralnya.
“Apabila
prinsip-prinsip kaum Sufi merupakan prinsip paling sahih, dan para
syekhnya
merupakan tokoh besar manusia, ulamanya adalah yang paling alim
di
antara manusia.
Bagi para murid yang tunduk kepadanya, bila sang murid itu termasuk ahli
penempuh dan penahap tujuan mereka, maka para syekh inilah yang menjaga
apa yang teristimewa, berupa terbukanya kegaiban.
Karenanya, tidak dibutuhkan lagi bergaul (terkait) dengan orang yang ada di
luar
golongan ini.
Bila
ingin mengikuti jalan Sunnah, sementara dirinya tidak bersaing untuk
mahir
dalam hujjah, lalu ingin mencapai peringkat bertaklid agar bisa sampai
pada
kebenaran, hendaknya ia bertaklid kepada ulama salafnya. Dan hendaknya
bersama
jalan generasi Sufi ini, sebab, mereka lebih utama dari yang lain.”
Tasawuf, Ilmu Paling Mulia
Al-Junaid
berkata, “Jika Anda mengetahui bahwa Allah swt. memiliki ilmu di
bawah
atap langit ini yang lebih mulia daripada ilmu tasawuf, dimana kita
berbicara
di dalamnya dengan sahabat-sahabat dan teman kita, tentu aku akan
berjalan
dan menuju ilmu tadi.”
Makna
Hakikat Terdalam
“Tasawuf
artinya Allah mematikan dirimu dari dirimu, dan menghidupkan dirimu
dengan-Nya.”
Tasawuf adalah engkau berada semata-mata bersama Allah swt.
tanpa
keterikatan apa pun.”
“Tasawuf adalah perang tanpa kompromi.” Dia berkata pula, “Para Sufi adalah
anggota dari satu keluarga yang tidak bisa dimasuki oleh orang-orang selain
mereka.” Selanjutnya dia juga menjelaskan lagi, “Tasawuf
adalah dzikir bersama, penyampain yang disertai bimbingan, dan tindakan yang
didasari Sunnah.”
Metafor Kaum Sufi
“Kaum
Sufi adalah seperti bumi, selalu semua kotoran dicampakkan kepadanya,
namun
tidak menumbuhkan kecuali segala tumbuhan yang baik.” Dia juga
mengatakan,
“Seorang Sufi adalah bagaikan bumi, yang di injak orang saleh
maupun
munafiq; juga seperti mendung, memayungi segala yang ada; seperti
air
hujan, mengairi segala sesuatu.”
Dia
melanjutkan, “jika engkau melihat seorang Sufi menaruh kepedulian kepada
penampilan
lahiriahnya, maka ketahuilah wujud batinnya rusak.”
Meninggal Dunia
Akhirnya
kekasih Allah itu telah menyahut panggilan Ilahi pada 297 Hijrah. Imam Junaid
telah wafat di sisi Abu Bakar As-Syibli, seorang daripada muridnya.
Ketika
sahabat-sahabatnya hendak mengajar kalimat tauhid, tiba-tiba Imam Junaid
membuka matanya dan berkata, “Demi Allah, aku tidak pernah melupakan kalimat
itu sejak lidahku pandai berkata-kata.”