Rabu, 08 Februari 2012

Ibnu Arabi

Dunia Islam telah melahirkan para tokoh besar dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Bahkan diantaranya tak bisa ditandingi oleh tokoh-tokoh cendekiawan dari dunia luar, baik ahli hukum, filsuf maupun para fisikawan dan astronom serta matematikawannya. Dunia Barat sungguh berutang budi pada dunia Islam, karena transfer pengetahuan abad pertengahan senantiasa melalui interpretasi cendekiawan Muslim.
Tokoh paling unik, filsuf besar, ahli tafsir paling teosofik, dan seorang imam para filsuf sufi setelah Hujjatul Islam al-Ghazali, seorang ulama Islam yang jumlah karya-karyanya tak tertandingi oleh ulama Islam mana pun. Ia adalah Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Ali bin Abdullah bin Hatim, saudara Ady bin Hatim ath-Tha'y. Kemudian ia biasa dipanggil dengan Abu Bakr, Abu Muhammad dan Abu Abdullah. Namun gelarnya yang terkenal adalah Ibnu 'Araby Muhyiddin, dan al-Hatamy. Selain itu, ia juga mendapat gelar sebagai Syeikhul Akbar, danSang Kibritul Ahmar. Walaupun lahir di Andalusia, namun bernasab Arab
Ibnu 'Araby lahir ke dunia bertepatan tanggal 17 Ramadhan, hari Senen, tahun 560 H. Atau tanggal 29 Juli 1165 M. di kota Marsia, Ibu kota Andalusia Timur, sebuah kota yang banyak melahirkan tokoh-tokoh ulama, cendekiawan dan penyair besar Islam. Ia tumbuh di tengah-tengah keluarga sufi, ayahnya tergolong seorang ahli zuhud, sangat keras menentang hawa nafsu dan materialisme, menyandarkan kehidupannya kepada Tuhan yang masing-masing membentuk ideologi kehidupan dan tingkah psikologis sehari-harinya. Kelak dari keluarga inilah lahir filsuf besar, dan imam para sufi agung yang belum tertandingi dalam dunia Islam.
Ibunya adalah Nurul Anshariyah. Sungguh ibunda agung ini, menyusui putranya dengan air susu taqwa, menyuapinya dengan suapan mahabbah, mendidikknya lahir dan batin, hingga mencapai karakter dimana jiwa ibunda telah berpisah dari kemanusiaan menuju karakter uluhiyah. Suatu ketika, sufi besar Fathimah dari Kordoba berkata kepadanya, "Wahai Nurul Anshariyah, anakmu ini, adalah "ayahmu", didiklah dengan baik dan jangan kau batasi." Ibunda Ibnu 'Araby tidak terkejut dengan kata-kata itu, dan ia terima dengan penerimaan yang baik.
Di Seville (spanyol) ia mempelajari Al-Qur’an, hadis serta fiqih pada sejumlah murid seorang fiqih Andalusia terkenal, yakni Ibn Hazm Al-Zhahiri. Ia berasal dari suku al-Taiy, satu rumpun Arab al-hatimi yang pada umumnya terdiri dari keluarga-keluarga saleh. Orang tuanya sendiri adalah seorang sufi yang punya kebiasaan berkelana.Pada usia delapan tahun, Ibnu arabi sudah merantau ke Lissabon untuk belajar agama dari seorang ulama, Syekh abu Bakar Khalaf. Selesai belajar Ulumul Quran dan hukum Islam, ia pindah lagi ke Seville yang pada masa itu merupakan pusat pertemuan para sufi di Spanyol. Ia menetap di sana selama 30 tahun untuk memperluas pengetahuan dbidang hukum Islam dan Ilmu Kalam serta mulai belajar tasawuf. Dari Sevilla ia sering berkunjung ke Cordoba dengan tujuan utama untuk menimba ilmu dari Ibnu Russyd, kunjungan ini biasanya ia lanjutkan ke wilayah Tunisia dan Maroko.
Ibnu 'Araby belajar al-Qur'an dengan qira'at sab'ah dari beberapa guru seperti: Abu Bakr bin Muhammad bin Khalaf al-Lakhmy; Abul Qasim asy-Syarrath dan dari Ahmad bin Abi Hamzah. Sementara untuk mendalami bidang fiqh dan hadist ia menekuni fiqh mazhab Ibnu Hazm adz-Dzahiry dan mazhab Imam Malik, pada beberapa guru seperti Ali bin Muhamamd ibnul Haq al-Isybili, Ibnu Zarqun al-Anshary dan Abdul Mun'im al-Khazrajy.
Dalam majelis-majelis lainnya, ia tak pernah ketinggalan menekuni suatu kitab kecuali membaca keseluruhan. "Aku mempelajari kitab-kitab antara lain, al-Imta' wal-Mu'anasah karya Abu Hayyan at-Tauhidy, kitab Al-Mujalasah karya Dinawari, kitab Bahjatul Asrar, karya Imam Ibnu Jahadhah, kitab Al-Mubtada' karya Ishaq bin Bisyr, kitab Dalailun Nubuwwah, karya Ibnu Nu'aim, kitab As-Sirah karya Ibnu Hisyam, kitab Shafwatus Shafwah karya Ibnul Jauzy, Musnad asy-Syihab karya Ibnu Salamah al-Qadha'y, Al-Musnad karya al-Azraqy, Al-Musnad, karya Ibnu Hanbal, As-Sunan, karya Sijistany, Shahih Muslim, al-Bukhari, dan At-Tirmidzy..."
Toh dari sekian Imam dan kitab itu, Ibnu 'Araby tidak bertaklid sama sekali pada mereka. Ia termasuk tokoh yang (karena kapasitas ijtihadnya) menolak taklid. Bahkan ia membangun metodologi yang orisinal dalam menafsirkan al-Qur'an dan Sunnah yang berbeda dengan metode yang ditempuh para pendahulunya. Hampir seluruh penafsirannya diwarnai dengan penafsiran teosofik yang sangat cemerlang. "Kami menempuh metode pemahaman kalimat-kalimat yang ada itu. Dimana hati kami kosong dari kontemplasi pemikiran, dan kami bermajelis dengan Allah di atas hamparan adab, muraqabah, hudhur dan bersedia diri untuk menerima apa yang datang pada kami dari-Nya, sehingga Al-Haqq benar-benar melimpahkan ajaran bagi kami untuk membuka tirai dan hakikat.... dan semoga Allah memberikan pengetahuan kepada kalian semua..." Demikian kata Ibnu 'Araby.
Ketika berusia 30 tahun, ia mulai berkelana ke berbagai kawasan Andalusia dan kawasan Islam bagian barat. Diantara deretan guru-gurunya adalah
· Abu Madyan Al-Ghauts Al-talimsari
· Yasymin Musyaniyah ( seorang wali dari kalangan wanita )
Keduanya banyak mempengaruhi ajaran-ajaran Ibn Arabi, dikabarkan juga ia pernah berjumpa dengan Ibn Rusyd, filosof muslim dan tabib Istana dinasti Barbar dari Alomohad di Kordoba.
Pada tahun 1201 M/598 H Ibnu Arabi meninggalkan Spanyol karena situasi politik pada masa itu tidak menguntungkan baginya serta tasawuf yang dianutnya tidak disukai di kawasan itu. Barangkali dengan tujuan utama untuk ibadah haji, ia berangkat menuju kawasan timur. Mesir adalah negeri pertama yang ia singgahi untuk beberapa lama, tetapi ternyata di daerah itu aliran tasawufnya tidak diterima masyarakat. Oleh karena itu ia melanjutkan pengembaraanya melalui Jerussalem dan menetap di Mekah untuk beberapa lama.
Di kawasan Saudi ternyata ia diterima penguasa dan masyarakat dengan baik. Akan tetapi ia tidak menetap di kota suci itu, karena ternyata pengembaraan itu berakhir di Damaskus sebagai tempat menetapnya sampai ia meninggal tahun 1240 M/638 H dan dimakamkan di kaki gunung Qosiyun. Ia mempunyai dua orang putera yang seorang terkenal sebagai penyair sufi, namanya Sa’duddin dan yang satu lagi Imaduddin, keduanya dimakamkan berdekatan dengan Ibnu Arabi
THARIQAT KEPADA ALLAH SWT
Pada akhirnya, Ibnu 'Araby menempuh jalan halaqah sufi dari beberapa Syeikhnya. Sebagaimana diakuinya dalam kitabnya yang paling monumental Al-Futuhatul Makkiyah, ia mendalami dunia sufi dari beberapa syeikh yang memiliki disiplin spiritual yang beragam. Ibnu 'Araby pergi dari satu tempat ke tempat lainnya, meninggalkan keinginan duniawi dan kenikmatannya. Ia menemui para tokoh yang benar-benar jujur menepati janji Allah, yang tidak dialpakan oleh bisnis dan jual beli, hingga lalai dzikir kepada Allah. Ibnu 'Arabi berdzikir dan menghayati seluruh wirid mereka, hingga ruhnya me
nyangga ke atas derajat iluminasi dan emanasi yang kemudian melahirkan imajinasi yang dahsyat dalam dirinya, terurai dalam ratusan karyanya.

Usia 20 tahun, usia remaja penuh gejolak. Tapi Ibnu 'Araby telah matang dalam kepribadian intelektual dan moralnya. Usia inilah Ibnu 'Araby telah menjadi sufi. Ia berkata:

"Thariqat sufi ini dibangun di atas empat cabang: Bawa'its (instrumen yang membangkitkan jiwa spiritual); Dawa'i (pilar pendorong ruhani jiwa); Akhlaq dan Hakikat-hakikat. Sedangkan pendorong itu ada tiga hak: hak Allah, adalah hak untuk disembah oleh hamba-Nya dan tidak dimusyriki sedikitpun. Hak hamba terhadap sesamanya, yakni hak untuk mencegah derita terhadap sesama, dan menciptakan kebajikan pada mereka. Dan (terakhir) hak hamba terhadap diri sendiri, yaitu menempuh jalan (thariqat) yang didalamnya kebahagiaan dan keselamatannya."

Pada hak Allah (pertama) bisa dilacak secara sempurna pada seluruh karya Ibnu 'Araby. Dimana tauhid dijadikan sebagai konsumsi, iman sebagai cahaya hati,
Al-Qur'an sebagai akhlaknya. Kemudian naik ke tahap, dimana tak ada lagi selain al-Haqq (Allah swt.) Karakter Ibnu 'Araby senantiasa naik dan naik ke wilayah yang luhur, rahasianya senantiasa bertambah rindu, dan hatinya jernih semata hanya bagi Al-Haqq, rahasia batinnya bermukim menyertai-Nya tak ada yang lain yang menyibukkan dirinya kecuali Tuhannya.
Ibnu 'Araby menggunakan kendaraan mahabbah, bermazhab ma'rifah, dan berwushul tauhid. Ubudiyah dan iman satu-satunya hanyalah kepada Allah Yang Esa dan Maha Kuasa, Yang Suci dari pertemanan dan peranakan. Raja tanpa tanding, Pencipta dan Pengatur, Maujud dengan Dzat-Nya tanpa butuh pada pewujud-Nya. Bahkan seluruh yang wujud membutuhkan-Nya. Seluruh alam semesta wujud karena Wujud-Nya, dan hanyalah Dia yang berhak disifati sebagai Wujud. Yaitu Wujud Mutlak dengan sendiri-Nya tanpa batas. Dia bukan inti atom, bukan jasad, bukan arah dan suci dari dimensi, arah dan wilayah. Namun bisa dilihat oleh hati dan mata hati.

Sementara hak sesama makhluk, ia mengambil jalan taubat dan mujahadah jiwa, serta lari kepada-Nya. Ia gelisah manakala terjadi lowong atas tindakan kebajikan yang diberikan Allah, sebagai jalan mahabbah dan mencari ridha-Nya. Hak ini bersumber pada ungkapan ruhani dimana semesta alam yang ada di hadapannya merupakan penampilan al-Haqq. Seluruh semesta ini bertasbih pada Sang Khaliq, dan menyaksikan kebesaran-Nya, dan semuanya merupakan limpahan dari organisasi Ilahi.
Sementara hak terhadap diri sendiri adalah menempuh kewajiban agar sampai pada tingkah laku ruhani dengan cara berakhlak yang dilandaskan pada sifat-sifat al-Haqq, dan upaya penyucian dalam taman Dzat-Nya.
Semua ini tidak bisa ditempuh kecuali melalui bimbingan dan pendidikan dari para Syeikh yang kamil, dimana mereka mampu membukakan pintu-pintu cakrawala pencerahan yang luhur dalam perjalanan ruhaninya.

Ajaran Tasawufnya
Ajaran sentral Ibn Arabi adalah tentang wahdat Al-wujud (kesatuan wujud). Meskipun demikian, istilah wahdat Al-wujud yang dipakai untuk menyebut ajaran sentralnya itu, tidaklah berasal dari dia, tetapi berasal dari Ibnu Taimiyah, tokoh yang paling keras dalam mengecam dan mengkritik ajaran sentral tersebut. Setidaknya ibnu Taimiyah yang telah berjasa dalam mempopulerkan Wahdat Al-wujud ke tengah masyarakat Islam. Meskipun semua orang sepakat menggunakan istilah Wahdat Al-wujud untuk menyebut ajaran sentral Ibn ‘Arabi, mereka berbeda pendapat dalam memformulasikan pengertian wahdat Al-wujud
Menurut Ibnu Taimiyah, wahdat Al-wujud adalah penyamaan Tuhan dengan alam. Menurutnya orang yang berfaham ini mengatakan bahwa wujud itu sesungguhnya hanya satu dan wajib Al-wujud yang dimiliki oleh khaliq adalah juga adalah mumkin Al-wujud yang dimiliki oleh makhluk. Selain itu orang-orang yang mempunyai faham ini juga mengatakan bahwa wujud alam sama dengan wujud Tuhan,tidak ada kelainan dan tidak ada perbedaan.
Paham ini merupakan perluasan dari paham hulul nya Husen Ibnu Mansur al-Hallaj. karena nasut yang ada dalam hulul diubah oleh Ibn ‘Arabi menjadi khalq (makhluk) dan lahut menjadi haq (tuhan). Khalq dan haq adalah dua aspek bagi sesuatu. Aspek yang sebelah luar disebut khalq dan aspek sebelah dalam disbut haq. Menurut paham ini tiap-tiap yang ada mempunyai dua aspek. Aspek luar merupakan ,ard dan khalq yang mempunyai sifat kemakhlukan, dan aspek dalam merupakan jauhar dan haq yang mempunyai sifat ketuhanan. Dengan kata lain dalam tiap-tiap yang berwujud itu terdapat sifat ketuhanan atau haq dan sifat kemakhlukan atau khalq.
Menurut Ibn ‘Arabi, wujud semua yang ada ini hanyalah satu dan pada hakikatnya wujud makhluk adalah wujud khalik pula.
Tidak ada perbedaan antara keduanya (khalik dan makhluk) dari segi hakikat. Adapun kalau ada yang mengira adanya perbedaan wujud khalik dan makhluk, hal itu dilihat dari sudut pandang panca indra lahir dan akal yang terbatas kemampuannya dalam menangkap hakikat apa yang ada pada dzat-Nya dari kesatuan dzatiyah, yang segala sesuatu berhimpun pada-Nya. Hal ini tersimpul dalam ucapan Ibn Arabi berikut ini :
“Mahasuci Tuhan yang telah menjadikan segala sesuatu dan Dia sendiri adalah hakikat segala sesuatu”.
Menurut Ibn Arabi, wujud alam pada hakikatnya adalah wujud Allah, dan Allah adalah hakikat alam. Tidak ada perbedaan antara wujud yang qadim yang disebut khalik dengan wujud yang baru yang disebut makhluk. Tidak ada perbedaan antara ‘abid (menyembah) dengan ma’bud (yang disembah). Antara yang menyembah dan yang disembah adalah satu. Perbedaan itu hanyalah pada bentuk dan ragam dari hakikat yang satu.
Kalau antara khaliq dan makhluk bersatu dalam wujudnya,mengapa terlihat dua ? menurut Ibn Arabi, manusia tidak memandangnya dari sisi yang satu, tetapi memandang keduanya bahwa keduanya adalah khalik dari sisi yang satu dan makhluk dari sisi yang lain. Jika mereka memandang keduanya dari sisi yang satu,atau keduanya adalah dua sisi untuk hakikat yang satu, mereka pasti mengetahui hakikat keduanya, yakni dzatnya satu yang tidak terbilang dan berpisah.
Sehubungan dengan hal ini, Ibn Arabi pun menyatakan dalam syairnya sebagai berikut :
“Pada satu sisi, Al-Haq adalah makhluk, maka pikirlah.
Pada sisi lain, Dia bukanlah makhluk, maka renungkanlah.
Siapa saja yang menangkap apa yang aku katakan, penglihatannya tidak pernah kabur.
Tidak ada yang dapat menangkapnya, kecuali orang yang memiliki penglihatan.
Satukan dan pisahkan(bedakan), sebab ‘ain (hakikat) itu sesungguhnya hanya satu
Hakikat itu adalah yang banyak, yang tidak kekal (tetap) dan yang tidak pula buyar”
Dari keterangan di atas terkesan bahwa wujud Tuhan adalah juga wujud alam dan wujud alam yang dalam istilah barat disebut panteisme, atau yang didefinisikan Henry C. Theissen berikut ini :
“Panteisme adalah teori yang menyatakan bahwa segala sesuatu yang terbatas adalah aspek modifikasi atau bagian dari satu wujud yang kekal dan ada dengan sendirinya. Ia memandang Tuhan sebagi satu dengan natural (alam). Tuhan adalah semuanya, semuanya adalah Tuhan. Ia muncul dalm berbagai bentuk masa kini yang diantaranya mempunyai pula unsur-unsur atestik, polteistik, dan teistik.
Apabila dilihat dari segi adanya kesamaan antara wujud Tuhan dan wujud alam serta antara wujud Tuhan bersatu dengan wujud alam, kemudian membandingkan dengan pengertian panteisme di atas, pemahaman Ibnu Taimiyah tentang wahdat Al-wujud ada benarnya. Meskipun demikian perlu diingat pula bahwa wujud yang disebut oleh Ibn Arabi maksudnya adalah wjud yang mutlak, yaitu wujud Tuhan. Satu-satunya wujud menurut Ibn Arabi adalah wujud Tuhan, tidak ada wujud selain wujud-Nya.
Selanjutnya Ibn Arabi menjelaskan hubungan antara Tuhan dengan alam, menurutnya , alam ini adalah bayangan Tuhan atau bayangan wujud yang hakiki. Alam tidak mempunyai wujud sebenarnya.
Oleh karena itu, alam merupakan tempat tajali dan mazhar (penampakan ) Tuhan.
Ketika Allah menciptakan alam ini, Ia juga memberikan sifat-sifat ketuhanan pada segala sesuatu. Alam ini seperti cermin yang buram dan seperti badan yang tidak bernyawa. Allah menciptakan manusia untuk memperjelas cermin itu. Dengan kata lain, alam ini merupakan mazhar (penampakan) dari asma dan sifat Allah yang terus menerus. Tanpa alam, sifat dan asma-Nya itu kehilangan maknanya dan senantiasa dalam bentuk zat yang tinggal dalam ke-mujarrad-an (kesendirian)-Nya yang mutlak yang tidak dikenal oleh siapapun.
Dalam Fushush Al-Hikam, Ibn Arabi menjelaskan hal tersebut dengan ungkapan syairnya :
“Wajah itu sebenarnya hanya satu, tetapi jika anda perbanyak cermin, ia pun menjadi banyak”
Untuk memperkuat pendiriannya, Ibn Arabi merujuk sebuah hadits Qudsi yang artinya:
“Aku pada mulanya adalah perbendaharaan yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal, maka kuciptakan makhluk lalu dengan itulah mereka mengenal Aku”
Selanjutnya Ibn Arabi dalam sya’irnya menjelaskan tentang tanzih dan tasybih pada Tuhan :
“Jika engkau berkata tanzih, engkau mengikat-Nya. Jika engkau hanya berkata dengan Tasybih, engkau membatasi-Nya.”
Jika engkau berkata dengan kedua-duanya, engkau adalah benar dan engkau adalah imam dan tuan dalam berbagai pengetahuan.
Siapa saja yang berkata dengan dualistis Tuhan dan alam adalah musyrik, dan sipa saja yang berkata dengan pemisahan Tuhan dari alam, adalah muwahhid. Karena itu, berhati-hatilah terhadap tasybih jika engkau mengakui dualistis, dan berhati-hatilah engkau terhadap tanzih jika engkau mengakui monoistis.
Ibn ‘Arabi kemudian menjelaskan bahwa firman Allah,
Mengandung pengertian, Tanzihkanlah Dia, sedangkan firman-Nya,
Mengandung pengertian, Tasybihkanlah Dia. Dengan demikian, firman Allah,
Mengandung pengertian, “Tasybihkanlah Dia dan jadilah dualistis, dan tanzihkanlah Dia dan jadilah monoistis”
Dari konsep wahdat Al-wujud Ibn Arabi ini, muncul dua konsep yang sekaligus merupakan lanjutan atau cabang dari konsep dari wahdat al-wujud tersebut, yaitu konsep Al-hakikat Al-muhammadiyah dan konsep wahdat Al-adyan (kesamaan agama).
Menurut Ibn Arabi Tuhan adalah pencipta alam semesta. Adapun proses penciptaannya adalah sebagai berikut :
1. Tajalli Dzat Tuhan dalam bentuk a’yan tsabitah.
2. Tanazul Dzat Tuhan dari alam ma’ani ke alam ta’ayyunat (relitas-realitas rohaniyah), yaitu alam arwah yang mujarrad.
3. Tanazul kepada realitas-realitas nafsiyah,yaitu alam nafsiyah berfikir.
4. Tanazul Tuhan dalam bentuk ide materi yang bukan materi, yaitu alam mitsal (ide) atau khayal.
5. Alam materi, yaitu alam indrawi
Ibn Arabi juga menjelaskan bahwa terjadinya alam ini tidak dapat dipisahkan dari ajaran Hakikat Muhammadiyah atau Nur muhammad. Menurutnya, tahapan-tahapan kejadian proses kejadian alam dan hubungannya dengan kedua ajaran itu dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Wujud Tuhan sebagai wujud mutlak, yaitu Dzat yang mandiri dan tidak berhajat pada apapun.
2. Wujud hakikat Muhammadiyah sebagai emanasi (pelimpahan) pertama dari wujud Tuhan kemudian muncullah segala yang wujud dengan proses tahapan-tahapannya sebagaimana dikemukakan di atas.
Karenanya, Ibn Arabi menolak ajaran yang mengatakan bahwa alam semesta ini diciptakan dari tiada (cretio ex nihilio). Ia mengatakan bahwa Nur Muhammad itu qadim, dan merupakan sumber emanasi dengan berbagai kesempurnaan ilmiyah dan amaliyah yang terealisasikan pada diri para nabi semenjak Adam sampai Muhammad dan terealisasikan dari Muhammad pada diri para pengikutnya, kalangan para wali, dan insan kamil (manusia sempurna). Ibn Arabi kadang-kadang menyebut hakikat Muhammadiyah tersebut dengan Quthb dan kadang –kadang pula dengan ruh Al-khatam.

Konsep Insan Kamil Ibn Arabi dalam Tasawuf Nusantara

"Secara umum, tasawuf tidak bisa lepas dari tokoh yang bernama Ibn Arabi. Karena beliaulah tokoh yang berpengaruh di dalam dunia tasawuf. Bahkan Muthahari dalam bukunya “Insan Kamil” menyebut Muhyiddin Arabi al Andalusi Tha’i sebagai bapak sufisme."
Berbicara tasawuf tidak akan lengkap tanpa menyebut tokoh yang sangat kesohor satu ini, yaitu Ibn Arabi. Bak ungkapan “ada gula, ada semut”, setiap pembicaraan tentang tasawuf / ’irfan atau mistik atau apapun kata yang berpadangan dengannya dimanapun dan kapanpun kayaknya kurang greget dan bak sayur tanpa garam kalau tidak menyebut nama Ibn Arabi. Bukan tanpa alasan kami membincang beliau karena tema tulisan ini adalah pembahasan tentang konsep insan kamil yang rasanya kurang pas kalau tidak menyebut nama Ibn Arabi yang memang adalah penggagas utama konsep ini.
Makalah ini tidak sedang memaksakan diri untuk bagaimana caranya memasukkan nama Ibn Arabi di dalamnya namun kami sekadar ingin membuktikan betapa pandangan tentang insan kamil yang identik dengan Ibn Arabi sedikit-banyak memengaruhi perjalanan tasawuf di nusantara. Ajaran insan kamil Ibn al-‘Arabî diulas dan diperkenalkan oleh sejumlah ulama sufi seperti Hamzah Fansûri, Syams al-Dîn al-Sumatrânî, dan yang lainnya.
"Insan Kamil'' makna harfiahnya (tekstual) adalah manusia sempurna. ''Insan'' berasal dari bahasa Arab yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan manusia. ''Insan'' berbeda maknanya dengan ''basyar'' yang juga diterjemahkan dengan manusia. ''Insan'' berarti manusia dalam pengertian manusia yang memiliki dimensi rohani, sementara basyar mengarah kepada manusia dalam pengertian jasad (biologis). Dengan demikian ''insan kamil'' adalah manusia yang sempurna dalam pengertian rohani.
Ketika Ibn Arabi membahas manusia, beliau biasanya mengarahkan pembahasannya pada manusia sempurna, bukan manusia biasa yang umumnya dikenal dengan pelupa dan bodoh. Hakikat manusia sempurna yang dimaksudkan adalah arketipe abadi dan kekal dari seluruh manusia sempurna secara individual.
Muhyiddin Ibn Arabi menggunakan istilah manusia sempurna (insan kamil) dari sisi pandangan khusus tasawuf. Beliau mengambil pandangan al Hallaj lalu mengubahnya secara mendasar dan cakupannya pun dikembangkan secara jauh lebih luas.
Ibn Arabi dualisme aspek “lahut” dan “nasut” ditampilkannya dalam satu hakikat, bukan memiliki zat atau esensi tersendiri, lalu lahut dan nasut bukan hanya terdapat pada manusia, bahkan secara potensial ia mewujud pada setiap perkara yang lain, bahkan di otak pun terdapat peran keduanya, sehingga pada segala sesuatu dapat dikenali nasut sebagai manifestasi eksternal dan lahut sebagai manifestasi internal/batin. Namun Allah SWT yang memanifestasi (tajalli) pada segala sesuatu secara nyata, Dia mengejawantah secara sempurna pada sosok insan kamil dimana para nabi dan para wali merupakan contoh kongkrit yang paling menonjol darinya.
Pandangan ini merupakan tema asli dua kitab utama beliau, Fushus al Hikam dan at Tadbirat al Ilahiyyah, dan banyak bagian-bagian penting dari kitab tersebut yang kemudian ditelaah dan dikajinya kembali dalam kitab Futuhat al Makkiyah dan pelbagai karya beliau lainnya. Kitab Fushus al Hikam yang kemudian begitu tenar di kalangan umat Islam menjadi gita sufistik yang sangat disambut oleh para ulama kenamaan. Dalam beberapa abad yang lalu, lebih dari seratus sepuluh syarah dalam bahasa Persia, Turki, dan Arab ditulis untuk buku ini dan pandangan/teori insan kamil dipaparkan sebagai salah satu diskursus klasik mistik teoritis (`irfan nazhari).
Fushus al Hikam mempunyai dua puluh tujuh fash (segmen) dan masing-masing fash dinamai dengan nama-nama para nabi dimana mereka merupakan manifestasi insan kamil di zamannya dan salah satu dari pengejawantahan Muhammadiyah (Nur Muhammad) dan manifesati yang komprehensif dan holistik dari insan kamil adalah Nabi Muhammad saw.
Ibn Arabi memandang bahwa insan kamil adalah wakil yang benar/sah di muka bumi dan muallimul mulk (pengajar alam gaib) di langit. Dalam perspektif beliau, insan kamil adalah potret yang paling sempurna yang diciptakan oleh Allah dan derajatnya lebih baik dari batasan mungkin dan lebih tinggi dari maqam ciptaan (makhluk). Karena kedudukannya, pancaran rahmat dan bantuan al Haq (Allah SWT)—yang merupakan penyebab kelestarian alam—sampai kepada alam.
Insan kamil adalah ciptaan yang azali dan abadi dan kalimat penentu dan komprehensi. Dengan perantara manusia seutuhnya, rahasia-rahasia Ilahi dan makrifat-makrifat hakiki mewujud dan hubungan yang pertama dan yang terakhir tersambung serta tingkatan alam batin dan alam lahir menyempurna. Insan kamil adalah wadah seluruh peran dan duplikat asma-asma Ilahi dan hakikat-hakikat kekinian. Insan kamil merupakan rahmat terbesar al Haqq bagi makhluk. Insan kamil adalah ruh alam dan alam adalah jasadnya. Sebagaimana ruh mengatur dan menguasai badan melalui kekuatan-kekuatan spiritual dan fisik, insan kamil juga—melalui asma-asma Ilahi dimana Allah mengajarkan pelbagai rahasianya kepadanya—mengintervensi alam dan sebagaimana ruh menjadi penyebab kehidupan badan, dan ketika ruh meninggalkan/mengabaikan badan maka badan akan menderita dan tidak akan menyempurna maka insan kamil pun menjadi faktor kehidupan alam dan ketika ia meninggalkan alam ini, maka alam akan rusak dan kehilangan makna. Dan insan kamil adalah manifestasi pertama dari makhluk yang Zat Ahadiyah memantulkan cahaya-Nya kepadanya.
Jadi, karena hubungan yang organik antara manusia dan kosmos, Ibn Arabi menyebut manusia sempurna dengan “Pilar Kosmos”. Tanpa mereka, kosmos akan runtuh dan mati, inilah juga yang terjadi pada hari akhir ketika manusia sempurna yang terakhir terpisah dari dunia. Secara kosmologis dapat dikatakan, bahwa kerusakan dan kehancuran alam dan lingkungan sosial di era modern adalah salah satu tanda berkurangnya jumlah manusia sempurna di muka bumi ini.
Hakikat Muhammadiyah, bukan kepribadian Rasulullah saw, tetapi suatu wujud metafisik yang sepadan dengan akal pertama (‘aql awwwal) dimana hal ini terdapat pada seluruh insan kamil dan setiap insan kamil percaya terhadap hakikat inh. Hakikat ini dari sisi hubungan dengan manusia merupakan potret sempurna dari manusia dan bila dilihat dari aspek pertalian dengan ilmu-ilmu batin merupakan sumber berbagai ilmu pengetahuan.
Kajian tentang wilayah yang dipaparkan terkait dengan insan kamil dalam pandangan Ibn Arabi tidak hanya khusus berlaku untuk pria. Ibn Arabi dalam kitabnya “Aqluhu al Mustaufiz” setelah menjelaskan bahwa barometer khilafah (maqam sebagai khalifatullah) adalah kemanusiaan manusia dan potret ketuhanannya, beliau menegaskan bahwa kedudukan sebagai pengganti/wakil Ilahi tidak hanya dikhususkan bagi kaum Adam, namun kaum hawa pun mampu meraih maqam ini.
Sebab, jenis kelamin pria dan wanita itu merupakan ciri khas atau karakter kemanusiaan, bukan hakikat dan esensinya. Bahkan Nabi saw sendiri bersaksi bahwa kaum hawa pun mampu mencapai maqam khilafah ini dalam sabdanya:
کمل من الـرجال کثیـرون و کملت مـن النساء مریـم بنت عمـران
Banyak laki-laki yang sempurna dan yang sempurna dari kaum hawa adalah Maryam Binti ‘Imran

Insan Kamil dalam Pandangan Muthahari
Berbeda dengan Ibn Arabi yang mengulas konsep insan kamil dalam bingkai tasawuf, Murtadha Muthahari mengkaji insan kamil dalam bukunya “Perfect Man” dari sudut pandangan Alquran. Namun sebagaimana Ibn Arabi, Muthahari melihat insan kamil sebagai manusia yang menangkap dan mengembangkan asma Allah secara proporsional.
Muthahari mengkitik tasawuf negatif yang hanya memperhatikan satu aspek dan nilai saja. Beliau mengkritik tajam kaum sufi yang mengabaikan peran akal dalam mendekati dan memahami agama serta perannya dalam perjalanan spiritual. Bagi Muthahari, pengembaraan dan pencerahan spiritual harus memakai kendaraan akal supaya sukses.
Perlu digarisbawahi di sini bahwa Muthahari tidak menyerang ajaran tasawuf secara keseluruhan, namun sikap ifrath (ekstremitas) dan tafrith (kelonggaran) yang menjadi sasaran kritikannya. Sebab bagi beliau, insan kamil adalah sosok manusia yang bukan hanya superior di satu bidang dan nilai namun inferior di bagian yang lain. Insan kamil adalah sosok manusia yang mampu merekat dan merajut berbagai nilai dan prestasi secara seimbang. Insan kamil tidak bisa diwakili oleh sosok petapa yang perutnya kempes, badannya lesu, mukanya pucat pasi, matanya merah karena kurang tidur, namun kepekaan sosialnya hilang. Manusia seperti ini adalah abid yang individualis.
Insan kamil tidak juga diwakili oleh orang yang keberaniannya luar biasa bak macam kumbang yang selalu siap menerkam mangsanya. Manusia seperti ini mengganggu kenyamanan dan keamanan orang lain. Insan kamil bukan juga pada diri filosof yang mengkultuskan akal namun aspek rohaninya kering kerontang. Ia lebih banyak mendiskusikan agama dan menghafal istilah-istilah filosofis ketimbang mengamalkannya. Dan insan kamil tidak bisa diklaim oleh pemabuk cinta yang kemana-mana mensenandungkan nyacian cinta dan mabuk dalam buaian arak cinta. Ia hanya mendekati Tuhan-Nya dengan syair-syair cinta dan nada-nada mahabbah, namun ia mengebiri akal. Sebab, baginya akal adalah “tirai” yang menutup jalan manusia menuju al Mahbub.
Jadi, insan kamil adalah sosok manusia yang berhasil memadukan nilai-nilai luhur dan bajik secara proporsional. Ia abid, sekaligus `arif (pesalik jalan spiritual dengan makrifat), sekaligus `akil (pengguna akal) dan asyiq (pecinta). Dan akhirnya ia sejatinya adalah manifestasi ‘abdul haqiqi (hamba sejati) Wajibul Wujud.
Apanya yang sempurna?
Saat menjelaskan bentuk kesempurnaan manusia, Muthahari menyitir ayat Alquran yang berbunyi:
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat. Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir.” (QS. Al Insan: 2-3)
Lalu beliau mengemukakan: “Ini berarti, manusia telah dianugerahi banyak kemampuan dan dibiarkan bebas untuk membuktikan apakah ia patut memperoleh pahala atau hukuman atas perbuatannya. Makhluk lain tak mendapatkan semua itu. Manusia harus memilih jalannya sendiri, dan ia mendapatkan kesempurnaan melalui pengendalian dan penyeimbangan diri dan dengan mengerahkan semua kemampuannya. Ini serupa dengan kesempurnaan fisik. Perhatikanlah seorang bocah yang tumbuh. Bila seluruh organ dan anggota badannya sehat dan berkembang secara harmonis, maka secara fisik ia sempurna. Tetapi bila ia tumbuh seperti kartun yang sebagian organ dan anggota badannya berkembang berlebihan sedang yang lain sama sekali tidak tumbuh atau hanya tumbuh sedikit, ia tak akan mencapai kesempurnaan fisik. Jadi, perkembangan yang harmonis dan menyeluruh dapat menghasilkan kesempurnaan. Imam Ali adalah manusia sempurna karena semua nilai manusiawi tumbuh secara maksimum dan harmonis dalam dirinya(2).”
Jejak Teori Insan Kamil Ibn Arabi di Nusantara
Secara umum tasawuf tidak bisa lepas dari tokoh yang bernama Ibn Arabi. Karena beliaulah tokoh yang berpengaruh di dalam dunia tasawuf. Bahkan Muthahari dalam bukunya “Insan Kamil” tidak canggung-canggung menyebut Muhyiddin Arabi al Andalusi Tha’i sebagai sufi kawakan dan sekaligus bapak sufisme, tak terkecuali ketika kita berbicara tasawuf di nusantara rasanya aroma Ibn Arabi tercium dimana-mana. Hal ini tidak mengherankan karena sebagaimana pengakuan Prof. Abdul Hadi WM., sejak abad ke-17 karya-karya penting sufi terkemuka menyebar di pusat-pusat studi keagamaan tanah air, seperti pesantren dan sudah akrab di kalangan para ulama, khususnya yang konsen tehadap kajian tasawuf dan tarekat: Dalam hal ini Prof. Abdul Hadi WM. menulis:
Pada awal abad ke-17 M dengan pindahnya pusat kekuasaan Jawa ke pedalaman, kegiatan penulisan suluk berkembang pula di pedalaman, terutama di pesantren dan pusat-pusat kekuasaan. Di istana-istana raja Jawa, kegiatan penulisan sastra suluk mula-mula digalakkan oleh Panembahan Seda Krapyak pada permulaan abad ke-17 M. Perkembangan sastra suluk semakin pesat pada masa pemerintahan Panembahan Senapati di Mataram. Pada masa ini sejumlah besar suluk-suluk pesisir disalin dan disadur kembali ke dalam bahasa Jawa Baru. Di antaranya Suluk Wujil karya Sunan Bonang, dan Suluk Malang Sumirang karya Sunan Panggung (Poerbatjaraka 1938). Pada masa ini juga karya Jalaluddin Rumi yang masyhur Diwan-i Shamsi Tabriz disadur ke dalam bahasa Jawa di bawah judul Suluk Syamsi Tabriz. Sementara karya-karya Imam al-Ghazali, Abdul Karim al-Jili (al-Insan al-Kamil), Ibn `Arabi, dan karya sufi Arab dan Persia lain mulai dipelajari secara meluas di berbagai pesantren.
Salah satu tokoh sufi kenamaan tanah air yang pemikiran tasawufnya sedikit banyak dipengaruhi oleh pandangan-pandangan sufistik Ibn Arabi adalah Hamzah Fansuri. Berikut ini kami akan mengulang sedikit bagaimana pandangan insan kamil Ibn Arabi memengaruhi pemikiran tasawuf Hamzah Fansuri.
Hamzah Fansuri dan Pandangan Insan Kamil Ibn Arabi
Tasawuf Hamzah Fansuri banyak dipengaruhi oleh pandangan Ibn Arabi. Berkaitan dengan hal ini Prof. Dr. Abdul Hadi WM. menulis:
Mula-mula Hamzah Fansuri mempelajari tasawuf setelah menjadi anggota tarekat Qadiriyah yang didirikan oleh Syekh Abdul Qadir Jilani dan dalam tarekat ini pula dia dibai’at. Setelah mengembara ke berbagai pusat Islam seperti Baghdad, Mekkah, Madinah dan Yerusalem, dia kembali ke tanah airnya serta mengembangkan ajaran tasawuf sendiri. Ajaran tasawuf yang dikembangkannya banyak dipengaruhi pemikiran wujudiyah Ibn `Arabi, Sadrudin al-Qunawi dan Fakhrudin `Iraqi. Sedangkan karangan-karangan sastranya banyak dipengaruhi Fariduddin al-Aththar, Jalaluddin al-Rumi dan Abdur Rahman al-Jami.
Sehubungan dengan pandangan Hamzah Fansuri terkait dengan kemuliaan manusia dan insan kamil, Dr. Abdul Hadi WM. menulis:
Dalam pandangan Hamzah Fansuri, kemulian manusia terletak pada kesempurnaannya dalam berhubungan dengan Allah. Manusia yang paling sempurna adalah mereka yang mampu memanifestasikan keseluruhan sifat Tuhan dalam diriya.
Dalam Burung Pingai Hamzah menyatakan:
Mazhar Allah akan rupanya
Asma Allah akan namanya
Malaikat akan tentaranya
‘Akulah wasil’ akan katanya
Sayapnya bernama furqan
Tubuhnya bersurat Qur’an
Kakinya Hannan dan Mannan
Daim bertengger di tangan Rahman
Ruh Allah akan nyawanya
Sirr Allah akan angganya
Nur Allah Akan matanya
Nur Muhammad daim sertanya
Syair di atas menggambarkan posisi manusia yang telah menyatu dengan Tuhan. Ia menggambarkan bagaimana keseluruhan dirinya diliputi oleh asma’ dan sifat Tuhan. Tidak ada sisi dalam dirinya yang tidak diliputi Tuhan. Bagaikan Tuhan ia dikawal malaikat-Nya dan berdiri di atas kakinya yang juga merupakan malaikat-Nya (Hannan dan Mannan). Dalam tataran inilah manusia menjadi sempurna.
Anda perhatikan bagaimana Hamzah Fansuri menggambarkan sosok insan kamil secara apik dan elegan dan bagaimana ia menggunakan istilah manusia sempurna atau insan kamil dalam beberapa penjelasannya. Ini membuktikan bahwa beliau bukan hanya terpengaruh oleh pandangan insan kamil Ibn Arabi tapi sebenarnya juga berusaha mengembangkannya dengan bahasa yang lebih mudah dan popular sehingga dapat dipahami dan kemudian diamalkan oleh para muridnya dan umat Islam di Indonesia yang peduli terhadap kajian tasawuf.
Cinta Ilahi, Akhir perjalanan Pesalik
Hamzah Fansuri lebih jauh memotret insan kamil secara lebih tajam ketika beliau menjelaskan konsep mahabbah (cinta). Baginya cinta hakiki akan terbangun antara ‘asyiq dan ma`syuq ketika tidak ada lagi noda cinta dunia. Selama masih ada kepentingan materi, maka cinta hakiki dan abadi tidak akan pernah terwujud. Maka pesalik harus berusaha sekuat tenaga untuk bagaimana caranya menghilangkan noktah-noktah hitam dan merah akibat cinta. Sebagaimana disabdakan oleh wujud insan kamil terbesar, yaitu Rasulullah saw bahwa: “Cinta dunia adalah pangkal segala kesalahan (dosa).” Dalam kaitan ini, Dr. Abdul Hadi WM. menulis:
Cinta adalah hakikat Tuhan yang Wujud dalam alam. Ia menampakkan dirinya berupa surah dalam diri manusia. Setiap manusia yang menempah jalan menuju Tuhan mesti membersihkan diri dari sifat keduniawian. Sifat ketuhanan akan masuk dalam diri yang telah bebas dari sifat keduniawiannya. Seseorang yang telah mampu menampakkan sifat-sifat ketuhanan dalam dirinya ia adalah insan kamil.
Dan yang menarik, ketika Hamzah Fansuri menyebutkan cinta Ilahi sebagai terminal akhir pesalik/abid. Ya, Allah SWT memanisfestasi melalui asma-asma-Nya yang paling indah dan terbaik, supaya dengan nama-nama tersebut para pesalik mampu mengenal-Nya dengan baik dan menjalankan aktifitas ibadah dengan kesadaran tauhid tertinggi; tauhid yang mengantarkan insan pada hakikat ibadah, yaitu penyembahan yang semata karena cinta dan kerinduan kepada-Nya dan tenggelam dalam asma-Nya; hingga tiada lagi abid; tiada lagi ibadah, yang ada hanya Ma’bud (Sang Kekasih Absolut); yang ada hanya nyayian dan lagu cinta.
Dalam hal ini, Hamzah Fansuri mengatakan, “Akhir dari perjalan seorang salik adalah mendapatkan cinta Ilahi yang akan menjadikannya sebagai insan kamil.” Penggapaian ini berwujud pada kesadaran kesatuan pandang antara diri dan Tuhan, seperti terungkap dalam sya’irnya:
Ma’bud itulah yang bernama haqiq
Sekalian alam di dalamnya ghariq
Olehnya itu sekalian fariq
Pada kunhi-nya tiada beroleh thariq
Konsep Insan Kamil dalam Tasawuf Syamsudin Pasai
Tokoh sufi kesohor lainnya di tanah air yang juga terpengaruh oleh pandangan insan kamil Ibn Arabi adalah Syamsudin Pasai.
Dalam kitabnya Mir`at al-Muhaqqiqin Syamsudin Pasai menerangkan bahwa rupa batin manusia merupakan salinan dari wajah Tuhan. Tetapi hanya manusia yang telah mencapai martabat insan kamil dapat kembali mencapai tipe ideal asalnya yang rupa batinnya mengandung gambaran sifat ketuhanan. Uraiannya mengenai wahdat al-wujud (kesatuan transenden wujud) dapat dilihat dalam bab ketiga bukunya ini, yaitu fasal yang membicarakan nisbah (kaitan) perbuatan atau fi`il dan sifat, serta nisbah dzat dan wujud. Perbuatan kita sebenarnya, jika ditilik secara mendalam, digerakkan Tuhan, tetapi mengikuti keinginan dan gerak hati kita sendiri. Kata Syamsudin, “ “Dalil (nya ialah) firman Tuhan yang berarti: Allah Ta`ala menjadikan kamu dan perbuatan kamu”. Mengutip pernyataan Ibn `Arabi, dia mengatakan, bahwa barang siapa memandang perbuatan makhluq tiada berasal dari diri makhluq itu sendiri, maka ia benar.
Seperti Ibn `Arabi, bagi Syamsudin Pasai sempurnanya makrifat seseorang terletak pada penguasaan tujuh pengetahuan;
1. Pengetahuan tentang nama-nama-Nya;
2. Pengetahuan tentang tajalli Ilahi;
3. Pengetahuan taklif Tuhan terhadap hamba-Nya;
4. Pengetahuan tentang kesempurnaan dan kekurangan wujud alam semesta;
5. Pengetahuan mengenai alam akhirat;
6. Pengetahuan tentang hakikat diri;
7. Pengetahuan mengenai sebab-sebab dari penyakit batin dan obatnya (Ibid).
Syamsudin Pasai juga menulis beberapa syair. Satu bait dari syairnya yang indah ialah yang ini:
Heninglah laut semata-mata
Hapuslah sekalian rupa yang nyata
Pendeklah sini sekalian kata
Isyarat pun habis dari cita
(Braginsky 2002)
Coba Anda garis bawahi pernyataan beliau: “Rupa batin manusia merupakan salinan dari wajah Tuhan. Tetapi hanya manusia yang telah mencapai martabat insan kamil dapat kembali mencapai tipe ideal asalnya yang rupa batinnya mengandung gambaran sifat ketuhanan.” Betapa indahnya beliau menggambarkan potret batin insan kamil yang jiwanya dipenuhi dengan pantulan dan cahaya asma Allah. Ketika beliau mengatakan bahwa batin manusia merupakan salinan dan duplikat dari wajah Allah, maka di sini menunjukkan bahwa insan kamil memiliki kekuatan ilahiah. Dalam sebuah hadis qudsi yang terkenal dikatakan:
Wahai hamba-Ku, taatlah kepada-Ku, hingga aku menjadikanmu seperti-Ku. Maka, sebagaimana Aku yang memiliki kemampuan “kun fayakun” maka engkau pun dapat mengatakan kepada sesuatu “kun fayakun”.
Kemampuan mendemontrasikan “kun fayakun” ketika seseorang berhasil menjadi salinan Allah di muka bumi. Namun menjadi salinan wajah Allah bukan perkara mudah. Kedudukan ini tidak diberi cuma-cuma, Syamsudin Pasai membatasi tipe manusia yang paling ideal ini hanya bagi mereka yang memang bersedia melalui jenjang-jenjang spiritual yang mengantarkannya kepada posisi terhormat sebagai insan kamil. Dengan kata lain, idealitas manusia bukan diukur dari sebanyak mana harta yang dikumpulkannya; secantik apa istri yang dinikahinya; sebesar dan seluas apa tahta yang didudukinya namun semua itu hanya fatamorgana yang tak berguna ketika ia belum mencicipi rasanya menjadi insan kamil. Insan kamil adalah martabat kemanusiaan yang paling tinggi dan paling mulia.

Insan Kamil dalam Tasawuf Nuruddin al-Raniri
Tokoh sufi lainnya di tanah air yang juga terpengaruh oleh pandangan insan kamil Ibn Arabi adalah Nuruddin al-Raniri.
Ulama dan sastrawan besar Aceh yang tidak kalah masyhur dari Hamzah Fansuri dan Syamsudin Pasai ialah Nuruddin al-Raniri. Nama lengkap berikut gelar yang diberikan kepadanya ialah al-`Alim Allama al-Mursyid ila al-Tariq al-Salama Maulana al-Syeikh Nuruddin Muhammad ibn `Ali Hasan ji bin Muhammad Hamid al-Qurayshi al-Raniri. Ulama keturunan India Arab ini lahir di Ranir, Gujarat, pada tahun 1568 (Windstedt 1968:145; Ahmad Daudy 1983:49) dan sangat mencintai dunia Melayu. Pada masa hidupnya Gujarat merupakan pelabuhan dagang yang ramai dikunjungi kapal-kapal dagang Arab, Persia, Mesir, Turki dan Nusantara. Di sini bahasa Melayu dipelajari oleh para pedagang dan pendakwah yang akan berkunjung ke Nusantara. Nuruddin tertarik mempelajari bahasa ini sejak usianya masih muda dan berhasrat tinggal di negeri Melayu mengikuti jejak pamannya yang pernah berdakwah di Aceh pada abad ke-16 M.
Pada tahun 1582, setelah agak lama belajar di Tarim, Arab, dia menunaikan ibadah haji di Mekkah (Ibid). Pertemuannya dengan banyak orang Melayu selama di Mekkah dan Gujarat memperkuat hasratnya untuk menetap di negeri Melayu. Apalagi setelah mendengar kabar perkembangan paham wujudiya di Aceh yang dipandang oleh ahli-ahli tasawuf India ketika telah banyak menyimpang. Terutama pada zaman pemerintahan Sultan Iskandar Muda, ketika pengaruh Hamzah Fansuri dan Syamsudin Pasai semakin kuat. Dia sendiri adalah pengikut Ibn `Arabi, tetapi dalam menafsirkan ajaran wujudiya dia bertolak dari ketentuan syariat dan fiqih sedemikian ketatnya.
Pada masa itulah dia pergi ke Pahang, tinggal lama di situ dan memperdalam penguasaannya terhadap bahasa dan kesusastraan Melayu sehingga akhirnya mampu menulis kitab dan karangan sastra dalam bahasa ini. Ketika Sultan Iskandar Muda wafat pada tahun 1636 M, segera dia pergi ke Aceh dan diterima sebagai ulama istana oleh sultan yang baru Iskandar Tsani (1637-1641). Di sini dia angkat sebagai mufti atau qadi agung. Sejak itulah karirnya sebagai penulis sastra kitab dan ketatanegaraan mencapai puncaknya (Ibid). Selain menguasai berbabagai cabang ilmu agama dan kesusastraan, Syekh Nuruddin juga menguasai ilmu mantiq (logika) dan balaghah (retorika), dan ilmu pengetahuan lain seperti sejarah, ilmu ketabiban dan sebagainya.
Pengakuan Dr. Abdul Hadi WM. bahwa “Nuruddin al-Raniri adalah pengikut Ibn `Arabi, meskipun dalam menafsirkan ajaran Wahdatul Wujud dia bertolak dari ketentuan syariat dan fiqih sedemikian ketatnya” menandakan bahwa beliau tentu seyogianya akrab dengan pembahasan-pembahasan utama yang disampaikan oleh Ibn Arabi, terutama pembahasan terkenal beliau tentang teori insan kamil.
Dalam bukunya “Bustan al-Salatin’, bab pertama, beliau membahas “Nur Muhammad”. Tentu saja pembahasan ini sangat kental beraroma sufistik dan berhubungan dengan konsep penciptaan Adam (insan kamil) yang menjadi guru para malaikat.
Di samping itu, dalam kajian sastra sufistik, sosok insan kamil tentu dijelaskan secara puitis dalam bait-bait syair dan sastra. Banyak sekali karya satra, utamanya dalam bahasa Arab yang memuji Nabi Muhammad saw sedemikian tingginya; melebihi sekat-sekat manusia biasa. Tentu saja segala pujian yang ditujukan kepada Nabi Muhammad itu terasa pas dan tidak perlu dianggap pengkultusan dan hiperbolis bila dilihat dari sudut posisi beliau sebagai insan kamil.
Berkaitan dengan bagaimana maraknya syair pujian dalam sastra Melayu, Dr. Abdul Hadi WM. menulis:
Syair Pujian Kepada Nabi Muhamad Saw Walaupun tema tentang Nur Muhammad dan pujian kepada beliau terdapat dalam syair-syair makrifat, terdapat syair pujian khusus kepada beliau. Dalam kesusastraan Arab disebut al-mada`ih al-nabawiyah dan di Persia disebut na`tiya, dari perkataan na`at yang berarti pujian. Syair jenis ini dalam kesusastraan Melayu terutama diilhami oleh Qasida al-Burdah, Syaraf al-Anam dan Qasida al-Barzanji. Di antaranya ialah Syair Rampai Maulid, Syair Maulid Jawi, Nazam Dua Puluh Lima Rasul, yang didahului dengan puji-pujian kepada nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad Saw Dimasukkan ke dalam kategori karya bercorak tasawuf, karena penulisnya biasa adalah sufi atau guru tariqat, dan dalam ungkapan-ungkapannya terdapat simbol-simbol yang berlaku dalam sastra sufi. Misalnya perumpamaan terhadap Nabi Muhammad Saw sebagai matahari yang menerangi dunia, bulan purnama, kekasih Tuhan, teladan bagi sekalian ahli makrifat, dan lain sebagainya.
Tema tentang Nur Muhammad saw hampir merata disebutkan dalam buku-buku Maulid (kelahiran) beliau. Dan tema ini sangat cocok bila dikaji dari sudut pandangan insan kamil. Bahwa karena Nur Muhammad-lah alam dan seisinya ini diciptakan.
Hasil karya Ibn Arabi
Ibnu Arabi adalah penulis yang produktif, yang menurut Browne ada 500 judul karya tulis dan 90 judul diantaranya asli tulisan tangannya tersimpan di Perpustakaan Negara Mesir. Tetapi menurut Sya’roni, Ibnu Arabi menulis buku sekitar 400 judul buku saja termasuk Fusus dan Futuhat. Produktifitasnya dalam menulis terutama ia bermukim di Mekkah dan Damaskus atau sekitar 20 tahun terakhir masa hidupnya.
Adapun hasil karya Ibn Arabi antara lain:
· Masyahid Al-Asrar
· Mathali’ Al-Anwar Al-Ilahiyah
· Hilyat Al-Abdal
· Kimiya Al-Sa’adat
· Muhadharat Al-Abrar
· Kitab Al-akhlaq
· Majmu’Al-rasa’il Al-Ilahiyah
· Mawaqi’Al-Nujum
· Al-Ma’rifah Al-Ilahiyah
· Al-Isra’Ila Maqam Al-Atsna.
Selain kitab-kitab tersebut ada karya beliau yang monumental yaitu, Al futuhat Al-Makiyyah yang ditulis pada tahun 1201 M, ketika ia sedang menunaikan ibadah haji dan Tarjuman Al-Asuywaq yang ditulisnya untuk mengenang kecantikan, ketakwaan dan kepintaran seorang gadis cantik dari keluarga seorang sufi dari Persia.
KONTROVERSI SEPUTAR KARYA-KARYANYA
Pandangan-pandangan filsafat tasawuf Ibnu 'Araby dinilai oleh beberapa pihak, teruatama kaum fuqaha' dan ahli hadist sangat kontroversial. Sebab, teorinya tentang Wahdatul Wujud dianggap condong pada pantheisme. Hal ini disebabkan seluruh karya-karya Ibnu 'Araby, meggunakan bahasa simbolik, sehingga kalangan awam dan kaum tekstualis sangat kebingungan. Bahkan tidak sedikit yang mengganggap murtad dan kufur pada Ibnu 'Araby. Tak kurang, misalnya Syeikhul Islam Ibnu Taymiyah, dan pengikutnya. Tetapi pada akhirnya, Ibnu Taimiyah menerima pandangan Ibnu 'Araby setelah bertemu dengan Taqyuddin Ibnu Athaillah as-Sakandari asy-Syadzily di sebuah masjid di Kairo, yang menjelaskan makna-makna metafora Ibnu 'Araby. "Kalau begitu yang sesat itu adalah pandangan pengikut Ibnu 'Araby yang tidak memahami makna sebenarnya," kata Ibnu Taimiyah.


Kesimpulan
1. Ibn Arabi adalah berasal dari suku al-Taiy, satu rumpun Arab Al-Haitami yang pada umumnya terdiri dari keluarga-keluarga saleh.Dia memiliki nama lengkap muhammad bin ‘Ali bin Ahmad bin ‘Abdullah at-Tha’i Al-Haitami. Lahir di Murcia, andalusia tenggara Spanyol tahun 510 H.
2. Ibn Arabi adalah penulis yang produktif, yang menurut Browne ada 500 judul karya tulis. Diantara hasil karya yang sangat monumental adalah Al-Futuhat Al-Makiyyah dan Tarjuman Al-Asywaq
3. Ajaran Tasawufnya adalah tentang Wahdat Al-wujud , menurutnya semua yang ada ini adalah satu dan pada hakikatnya wujud makhluk adalah wujud khalik pula.
4. Dalam hubungannya antara Tuhan dengan Alam, dia menjelaskan bahwa alam ini adalah bayangan Tuhan atau bayangan wujud yang hakiki. Alam tidak mempunyai wujud sebenarnya.
5. Ibn Arabi juga menjelaskan bahwa terjadinya alam ini tidak dapat dilepaskan dari ajaran Hakikat Muhammadiyah atau Nur Muhammad.
6. Ibn Arabi adalah maestro tasawuf dalam dunia Islam yang berjasa besar dalam perkembangan dan pengukuhan ilmu tasawuf. Sehingga secara langsung atau tidak banyak tokoh sufi dunia yang terpangaruh dan berhutang kepadanya. Tak terkecuali tokoh-tokoh tasawuf di nusantara yang sedikit-banyak terpangaruh oleh pandangan-pandangan Ibn Arabi. Salah satu pandangan sufistik Ibn Arabi yang mewabah di kalangan sufi tanah air adalah teori ''insan kamil''. Para sufi beken, seperti Hamzah Fansuri, Syamsudin Pasai dan Nuruddin al-Raniri sudah akrab dengan konsep insan kamil dan bahkan masing-masing mereka dengan caranya masing-masing berusaha menyebarkan dan mengembangkannya. Ibn Arabi menilai bahwa Insan kamil adalah ciptaan yang azali dan abadi dan kalimat penentu dan komprehensi. Dengan perantaranya, rahasia-rahasia Ilahi dan makrifat-makrifat hakiki mewujud. Insan kamil adalah wadah seluruh peran dan duplikat asma-asma Ilahi dan merupakan rahmat terbesar al Haqq bagi makhluk. Berbeda dengan Ibn Arabi yang membahas teori insan kamil dalam bingkai tasawuf, Murtadha Muthahari menguraikan konsep insan kamil dari sudut pandang Alquran. Sebagaimana Ibn Arabi, Muthahari melihat insan kamil sebagai manusia yang menangkap dan mengembangkan asma Allah secara proporsional. Sedangkan menurut Hamzah Fansuri, manusia yang paling sempurna adalah mereka yang mampu memanifestasikan keseluruhan sifat Tuhan dalam diriya. Adapun Syamsudin Pasai berpendapat bahwa rupa batin manusia merupakan salinan dari wajah Tuhan. Tetapi hanya manusia yang telah mencapai martabat insan kamil dapat kembali mencapai tipe ideal asalnya yang rupa batinnya mengandung gambaran sifat ketuhanan. Dan akhirnya, pembahasan tentang “Nur Muhammad” yang dilakukan Nuruddin al-Raniri dan juga terdapat dalam sastra Melayu menandakan betapa kuatnya pengaruh pandangan kamil Ibn Arabi dalam literatur dan khazanah tasawuf nusantara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar