Dunia Islam telah
melahirkan para tokoh besar dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Bahkan
diantaranya tak bisa ditandingi oleh tokoh-tokoh cendekiawan dari dunia luar,
baik ahli hukum, filsuf maupun para fisikawan dan astronom serta matematikawannya.
Dunia Barat sungguh berutang budi pada dunia Islam, karena transfer pengetahuan
abad pertengahan senantiasa melalui interpretasi cendekiawan Muslim.
Tokoh paling unik, filsuf besar, ahli tafsir paling teosofik, dan seorang imam para filsuf sufi setelah Hujjatul Islam al-Ghazali, seorang ulama Islam yang jumlah karya-karyanya tak tertandingi oleh ulama Islam mana pun. Ia adalah Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Ali bin Abdullah bin Hatim, saudara Ady bin Hatim ath-Tha'y. Kemudian ia biasa dipanggil dengan Abu Bakr, Abu Muhammad dan Abu Abdullah. Namun gelarnya yang terkenal adalah Ibnu 'Araby Muhyiddin, dan al-Hatamy. Selain itu, ia juga mendapat gelar sebagai Syeikhul Akbar, danSang Kibritul Ahmar. Walaupun lahir di Andalusia, namun bernasab Arab
Tokoh paling unik, filsuf besar, ahli tafsir paling teosofik, dan seorang imam para filsuf sufi setelah Hujjatul Islam al-Ghazali, seorang ulama Islam yang jumlah karya-karyanya tak tertandingi oleh ulama Islam mana pun. Ia adalah Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Ali bin Abdullah bin Hatim, saudara Ady bin Hatim ath-Tha'y. Kemudian ia biasa dipanggil dengan Abu Bakr, Abu Muhammad dan Abu Abdullah. Namun gelarnya yang terkenal adalah Ibnu 'Araby Muhyiddin, dan al-Hatamy. Selain itu, ia juga mendapat gelar sebagai Syeikhul Akbar, danSang Kibritul Ahmar. Walaupun lahir di Andalusia, namun bernasab Arab
Ibnu 'Araby lahir ke dunia bertepatan tanggal 17 Ramadhan,
hari Senen, tahun 560 H. Atau tanggal 29 Juli 1165 M. di kota Marsia, Ibu kota
Andalusia Timur, sebuah kota yang banyak melahirkan tokoh-tokoh ulama,
cendekiawan dan penyair besar Islam. Ia tumbuh di tengah-tengah keluarga sufi,
ayahnya tergolong seorang ahli zuhud, sangat keras menentang hawa nafsu dan
materialisme, menyandarkan kehidupannya kepada Tuhan yang masing-masing
membentuk ideologi kehidupan dan tingkah psikologis sehari-harinya. Kelak dari
keluarga inilah lahir filsuf besar, dan imam para sufi agung yang belum
tertandingi dalam dunia Islam.
Ibunya adalah Nurul
Anshariyah. Sungguh ibunda agung ini, menyusui putranya dengan air susu taqwa,
menyuapinya dengan suapan mahabbah, mendidikknya lahir dan batin, hingga
mencapai karakter dimana jiwa ibunda telah berpisah dari kemanusiaan menuju
karakter uluhiyah. Suatu ketika, sufi besar Fathimah dari Kordoba berkata
kepadanya, "Wahai Nurul Anshariyah, anakmu ini, adalah "ayahmu",
didiklah dengan baik dan jangan kau batasi." Ibunda Ibnu 'Araby tidak terkejut dengan kata-kata itu,
dan ia terima dengan penerimaan yang baik.
Di Seville (spanyol) ia mempelajari Al-Qur’an, hadis
serta fiqih pada sejumlah murid seorang fiqih Andalusia terkenal, yakni Ibn
Hazm Al-Zhahiri. Ia berasal dari suku al-Taiy, satu rumpun Arab al-hatimi yang
pada umumnya terdiri dari keluarga-keluarga saleh. Orang tuanya sendiri adalah
seorang sufi yang punya kebiasaan berkelana.Pada usia delapan tahun, Ibnu arabi
sudah merantau ke Lissabon untuk belajar agama dari seorang ulama, Syekh abu
Bakar Khalaf. Selesai belajar Ulumul Quran dan hukum Islam, ia pindah lagi ke Seville yang pada masa
itu merupakan pusat pertemuan para sufi di Spanyol. Ia menetap di sana selama 30 tahun
untuk memperluas pengetahuan dbidang hukum Islam dan Ilmu Kalam serta mulai
belajar tasawuf. Dari Sevilla ia sering berkunjung ke Cordoba
dengan tujuan utama untuk menimba ilmu dari Ibnu Russyd, kunjungan ini biasanya
ia lanjutkan ke wilayah Tunisia
dan Maroko.
Ibnu
'Araby belajar al-Qur'an dengan qira'at sab'ah dari beberapa guru seperti: Abu
Bakr bin Muhammad bin Khalaf al-Lakhmy; Abul Qasim asy-Syarrath dan dari Ahmad
bin Abi Hamzah. Sementara untuk mendalami bidang fiqh dan hadist ia menekuni
fiqh mazhab Ibnu Hazm adz-Dzahiry dan mazhab Imam Malik, pada beberapa guru
seperti Ali bin Muhamamd ibnul Haq al-Isybili, Ibnu Zarqun al-Anshary dan Abdul
Mun'im al-Khazrajy.
Dalam majelis-majelis lainnya, ia tak pernah ketinggalan menekuni suatu kitab kecuali membaca keseluruhan. "Aku mempelajari kitab-kitab antara lain, al-Imta' wal-Mu'anasah karya Abu Hayyan at-Tauhidy, kitab Al-Mujalasah karya Dinawari, kitab Bahjatul Asrar, karya Imam Ibnu Jahadhah, kitab Al-Mubtada' karya Ishaq bin Bisyr, kitab Dalailun Nubuwwah, karya Ibnu Nu'aim, kitab As-Sirah karya Ibnu Hisyam, kitab Shafwatus Shafwah karya Ibnul Jauzy, Musnad asy-Syihab karya Ibnu Salamah al-Qadha'y, Al-Musnad karya al-Azraqy, Al-Musnad, karya Ibnu Hanbal, As-Sunan, karya Sijistany, Shahih Muslim, al-Bukhari, dan At-Tirmidzy..."
Dalam majelis-majelis lainnya, ia tak pernah ketinggalan menekuni suatu kitab kecuali membaca keseluruhan. "Aku mempelajari kitab-kitab antara lain, al-Imta' wal-Mu'anasah karya Abu Hayyan at-Tauhidy, kitab Al-Mujalasah karya Dinawari, kitab Bahjatul Asrar, karya Imam Ibnu Jahadhah, kitab Al-Mubtada' karya Ishaq bin Bisyr, kitab Dalailun Nubuwwah, karya Ibnu Nu'aim, kitab As-Sirah karya Ibnu Hisyam, kitab Shafwatus Shafwah karya Ibnul Jauzy, Musnad asy-Syihab karya Ibnu Salamah al-Qadha'y, Al-Musnad karya al-Azraqy, Al-Musnad, karya Ibnu Hanbal, As-Sunan, karya Sijistany, Shahih Muslim, al-Bukhari, dan At-Tirmidzy..."
Toh dari
sekian Imam dan kitab itu, Ibnu 'Araby tidak bertaklid sama sekali pada mereka.
Ia termasuk tokoh yang (karena kapasitas ijtihadnya) menolak taklid. Bahkan ia
membangun metodologi yang orisinal dalam menafsirkan al-Qur'an dan Sunnah yang
berbeda dengan metode yang ditempuh para pendahulunya. Hampir seluruh
penafsirannya diwarnai dengan penafsiran teosofik yang sangat cemerlang.
"Kami menempuh metode pemahaman kalimat-kalimat yang ada itu. Dimana hati
kami kosong dari kontemplasi pemikiran, dan kami bermajelis dengan Allah di
atas hamparan adab, muraqabah, hudhur dan bersedia diri untuk menerima apa yang
datang pada kami dari-Nya, sehingga Al-Haqq benar-benar melimpahkan ajaran bagi
kami untuk membuka tirai dan hakikat.... dan semoga Allah memberikan
pengetahuan kepada kalian semua..." Demikian kata Ibnu 'Araby.
Ketika berusia 30 tahun, ia mulai
berkelana ke
berbagai kawasan Andalusia dan kawasan Islam bagian barat. Diantara deretan
guru-gurunya adalah
· Abu Madyan Al-Ghauts Al-talimsari
· Yasymin Musyaniyah ( seorang wali dari kalangan wanita )
Keduanya banyak mempengaruhi ajaran-ajaran Ibn Arabi, dikabarkan juga ia pernah berjumpa dengan Ibn Rusyd, filosof muslim dan tabib Istana dinasti Barbar dari Alomohad di Kordoba.
· Abu Madyan Al-Ghauts Al-talimsari
· Yasymin Musyaniyah ( seorang wali dari kalangan wanita )
Keduanya banyak mempengaruhi ajaran-ajaran Ibn Arabi, dikabarkan juga ia pernah berjumpa dengan Ibn Rusyd, filosof muslim dan tabib Istana dinasti Barbar dari Alomohad di Kordoba.
Pada tahun 1201 M/598 H Ibnu Arabi meninggalkan Spanyol
karena situasi politik pada masa itu tidak menguntungkan baginya serta tasawuf
yang dianutnya tidak disukai di kawasan itu. Barangkali dengan
tujuan utama untuk ibadah haji, ia berangkat menuju kawasan timur. Mesir adalah negeri pertama
yang ia singgahi untuk beberapa lama, tetapi ternyata di daerah itu aliran
tasawufnya tidak diterima masyarakat. Oleh karena itu ia melanjutkan
pengembaraanya melalui Jerussalem dan menetap di Mekah untuk beberapa lama.
Di kawasan Saudi ternyata ia diterima penguasa dan masyarakat dengan baik. Akan tetapi ia tidak menetap dikota
suci itu, karena ternyata pengembaraan itu berakhir di Damaskus sebagai tempat
menetapnya sampai ia meninggal tahun 1240 M/638 H dan dimakamkan di kaki gunung
Qosiyun. Ia mempunyai dua orang putera yang seorang terkenal sebagai penyair
sufi, namanya Sa’duddin dan yang satu lagi Imaduddin, keduanya dimakamkan
berdekatan dengan Ibnu Arabi
THARIQAT KEPADA ALLAH SWT
Pada akhirnya, Ibnu 'Araby menempuh jalan halaqah sufi dari beberapa Syeikhnya. Sebagaimana diakuinya dalam kitabnya yang paling monumental Al-Futuhatul Makkiyah, ia mendalami dunia sufi dari beberapa syeikh yang memiliki disiplin spiritual yang beragam. Ibnu 'Araby pergi dari satu tempat ke tempat lainnya, meninggalkan keinginan duniawi dan kenikmatannya. Ia menemui para tokoh yang benar-benar jujur menepati janji Allah, yang tidak dialpakan oleh bisnis dan jual beli, hingga lalai dzikir kepada Allah. Ibnu 'Arabi berdzikir dan menghayati seluruh wirid mereka, hingga ruhnya menyangga ke atas derajat iluminasi dan emanasi yang kemudian melahirkan imajinasi yang dahsyat dalam dirinya, terurai dalam ratusan karyanya.
Usia 20 tahun, usia remaja penuh gejolak. Tapi Ibnu 'Araby telah matang dalam kepribadian intelektual dan moralnya. Usia inilah Ibnu 'Araby telah menjadi sufi. Ia berkata:
"Thariqat sufi ini dibangun di atas empat cabang: Bawa'its (instrumen yang membangkitkan jiwa spiritual); Dawa'i (pilar pendorong ruhani jiwa); Akhlaq dan Hakikat-hakikat. Sedangkan pendorong itu ada tiga hak: hak Allah, adalah hak untuk disembah oleh hamba-Nya dan tidak dimusyriki sedikitpun. Hak hamba terhadap sesamanya, yakni hak untuk mencegah derita terhadap sesama, dan menciptakan kebajikan pada mereka. Dan (terakhir) hak hamba terhadap diri sendiri, yaitu menempuh jalan (thariqat) yang didalamnya kebahagiaan dan keselamatannya."
Pada hak Allah (pertama) bisa dilacak secara sempurna pada seluruh karya Ibnu 'Araby. Dimana tauhid dijadikan sebagai konsumsi, iman sebagai cahaya hati, Al-Qur'an sebagai akhlaknya. Kemudian naik ke tahap, dimana tak ada lagi selain al-Haqq (Allah swt.) Karakter Ibnu 'Araby senantiasa naik dan naik ke wilayah yang luhur, rahasianya senantiasa bertambah rindu, dan hatinya jernih semata hanya bagi Al-Haqq, rahasia batinnya bermukim menyertai-Nya tak ada yang lain yang menyibukkan dirinya kecuali Tuhannya.
Ibnu 'Araby menggunakan kendaraan mahabbah, bermazhab ma'rifah, dan berwushul tauhid. Ubudiyah dan iman satu-satunya hanyalah kepada Allah Yang Esa dan Maha Kuasa, Yang Suci dari pertemanan dan peranakan. Raja tanpa tanding, Pencipta dan Pengatur, Maujud dengan Dzat-Nya tanpa butuh pada pewujud-Nya. Bahkan seluruh yang wujud membutuhkan-Nya. Seluruh alam semesta wujud karena Wujud-Nya, dan hanyalah Dia yang berhak disifati sebagai Wujud. Yaitu Wujud Mutlak dengan sendiri-Nya tanpa batas. Dia bukan inti atom, bukan jasad, bukan arah dan suci dari dimensi, arah dan wilayah. Namun bisa dilihat oleh hati dan mata hati.
Sementara hak sesama makhluk, ia mengambil jalan taubat dan mujahadah jiwa, serta lari kepada-Nya. Ia gelisah manakala terjadi lowong atas tindakan kebajikan yang diberikan Allah, sebagai jalan mahabbah dan mencari ridha-Nya. Hak ini bersumber pada ungkapan ruhani dimana semesta alam yang ada di hadapannya merupakan penampilan al-Haqq. Seluruh semesta ini bertasbih pada Sang Khaliq, dan menyaksikan kebesaran-Nya, dan semuanya merupakan limpahan dari organisasi Ilahi.
Sementara hak terhadap diri sendiri adalah menempuh kewajiban agar sampai pada tingkah laku ruhani dengan cara berakhlak yang dilandaskan pada sifat-sifat al-Haqq, dan upaya penyucian dalam taman Dzat-Nya.
Semua ini tidak bisa ditempuh kecuali melalui bimbingan dan pendidikan dari para Syeikh yang kamil, dimana mereka mampu membukakan pintu-pintu cakrawala pencerahan yang luhur dalam perjalanan ruhaninya.
Ajaran Tasawufnya
Ajaran sentral Ibn Arabi adalah tentang wahdat Al-wujud (kesatuan wujud). Meskipun demikian, istilah wahdat Al-wujud yang dipakai untuk menyebut ajaran sentralnya itu, tidaklah berasal dari dia, tetapi berasal dari Ibnu Taimiyah, tokoh yang paling keras dalam mengecam dan mengkritik ajaran sentral tersebut. Setidaknya ibnu Taimiyah yang telah berjasa dalam mempopulerkan Wahdat Al-wujud ke tengah masyarakat Islam. Meskipun semua orang sepakat menggunakan istilah Wahdat Al-wujud untuk menyebut ajaran sentral Ibn ‘Arabi, mereka berbeda pendapat dalam memformulasikan pengertian wahdat Al-wujud
Menurut Ibnu Taimiyah, wahdat Al-wujud adalah penyamaan Tuhan dengan alam. Menurutnya orang yang berfaham ini mengatakan bahwa wujud itu sesungguhnya hanya satu dan wajib Al-wujud yang dimiliki oleh khaliq adalah juga adalah mumkin Al-wujud yang dimiliki oleh makhluk. Selain itu orang-orang yang mempunyai faham ini juga mengatakan bahwa wujud alam sama dengan wujud Tuhan,tidak ada kelainan dan tidak ada perbedaan.
Paham ini merupakan perluasan dari paham hulul nya Husen Ibnu Mansur al-Hallaj. karena nasut yang ada dalam hulul diubah oleh Ibn ‘Arabi menjadi khalq (makhluk) dan lahut menjadi haq (tuhan). Khalq dan haq adalah dua aspek bagi sesuatu. Aspek yang sebelah luar disebut khalq dan aspek sebelah dalam disbut haq. Menurut paham ini tiap-tiap yang ada mempunyai dua aspek. Aspek luar merupakan ,ard dan khalq yang mempunyai sifat kemakhlukan, dan aspek dalam merupakan jauhar dan haq yang mempunyai sifat ketuhanan. Dengan kata lain dalam tiap-tiap yang berwujud itu terdapat sifat ketuhanan atau haq dan sifat kemakhlukan atau khalq.
Menurut Ibn ‘Arabi, wujud semua yang ada ini hanyalah satu dan pada hakikatnya wujud makhluk adalah wujud khalik pula. Tidak ada perbedaan antara keduanya (khalik dan makhluk) dari segi hakikat. Adapun kalau ada yang mengira adanya perbedaan wujud khalik dan makhluk, hal itu dilihat dari sudut pandang panca indra lahir dan akal yang terbatas kemampuannya dalam menangkap hakikat apa yang ada pada dzat-Nya dari kesatuan dzatiyah, yang segala sesuatu berhimpun pada-Nya. Hal ini tersimpul dalam ucapan Ibn Arabi berikut ini :
“Mahasuci Tuhan yang telah menjadikan segala sesuatu dan Dia sendiri adalah hakikat segala sesuatu”.
Menurut Ibn Arabi, wujud alam pada hakikatnya adalah wujud Allah, dan Allah adalah hakikat alam. Tidak ada perbedaan antara wujud yang qadim yang disebut khalik dengan wujud yang baru yang disebut makhluk. Tidak ada perbedaan antara ‘abid (menyembah) dengan ma’bud (yang disembah). Antara yang menyembah dan yang disembah adalah satu. Perbedaan itu hanyalah pada bentuk dan ragam dari hakikat yang satu.
Kalau antara khaliq dan makhluk bersatu dalam wujudnya,mengapa terlihat dua ? menurut Ibn Arabi, manusia tidak memandangnya dari sisi yang satu, tetapi memandang keduanya bahwa keduanya adalah khalik dari sisi yang satu dan makhluk dari sisi yang lain. Jika mereka memandang keduanya dari sisi yang satu,atau keduanya adalah dua sisi untuk hakikat yang satu, mereka pasti mengetahui hakikat keduanya, yakni dzatnya satu yang tidak terbilang dan berpisah.
Sehubungan dengan hal ini, Ibn Arabi pun menyatakan dalam syairnya sebagai berikut :
“Pada satu sisi, Al-Haq adalah makhluk, maka pikirlah.
Pada sisi lain, Dia bukanlah makhluk, maka renungkanlah.
Siapa saja yang menangkap apa yang aku katakan, penglihatannya tidak pernah kabur.
Tidak ada yang dapat menangkapnya, kecuali orang yang memiliki penglihatan.
Satukan dan pisahkan(bedakan), sebab ‘ain (hakikat) itu sesungguhnya hanya satu
Hakikat itu adalah yang banyak, yang tidak kekal (tetap) dan yang tidak pula buyar”
Dari keterangan di atas terkesan bahwa wujud Tuhan adalah juga wujud alam dan wujud alam yang dalam istilah barat disebut panteisme, atau yang didefinisikan Henry C. Theissen berikut ini :
“Panteisme adalah teori yang menyatakan bahwa segala sesuatu yang terbatas adalah aspek modifikasi atau bagian dari satu wujud yang kekal dan ada dengan sendirinya. Ia memandang Tuhan sebagi satu dengan natural (alam). Tuhan adalah semuanya, semuanya adalah Tuhan. Ia muncul dalm berbagai bentuk masa kini yang diantaranya mempunyai pula unsur-unsur atestik, polteistik, dan teistik.
Apabila dilihat dari segi adanya kesamaan antara wujud Tuhan dan wujud alam serta antara wujud Tuhan bersatu dengan wujud alam, kemudian membandingkan dengan pengertian panteisme di atas, pemahaman Ibnu Taimiyah tentang wahdat Al-wujud ada benarnya. Meskipun demikian perlu diingat pula bahwa wujud yang disebut oleh Ibn Arabi maksudnya adalah wjud yang mutlak, yaitu wujud Tuhan. Satu-satunya wujud menurut Ibn Arabi adalah wujud Tuhan, tidak ada wujud selain wujud-Nya.
Selanjutnya Ibn Arabi menjelaskan hubungan antara Tuhan dengan alam, menurutnya , alam ini adalah bayangan Tuhan atau bayangan wujud yang hakiki. Alam tidak mempunyai wujud sebenarnya. Oleh karena itu, alam merupakan tempat tajali dan mazhar (penampakan ) Tuhan.
Ketika Allah menciptakan alam ini, Ia juga memberikan sifat-sifat ketuhanan pada segala sesuatu. Alam ini seperti cermin yang buram dan seperti badan yang tidak bernyawa. Allah menciptakan manusia untuk memperjelas cermin itu. Dengan kata lain, alam ini merupakan mazhar (penampakan) dari asma dan sifat Allah yang terus menerus. Tanpa alam, sifat dan asma-Nya itu kehilangan maknanya dan senantiasa dalam bentuk zat yang tinggal dalam ke-mujarrad-an (kesendirian)-Nya yang mutlak yang tidak dikenal oleh siapapun.
Dalam Fushush Al-Hikam, Ibn Arabi menjelaskan hal tersebut dengan ungkapan syairnya :
“Wajah itu sebenarnya hanya satu, tetapi jika anda perbanyak cermin, ia pun menjadi banyak”
Untuk memperkuat pendiriannya, Ibn Arabi merujuk sebuah hadits Qudsi yang artinya:
“Aku pada mulanya adalah perbendaharaan yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal, maka kuciptakan makhluk lalu dengan itulah mereka mengenal Aku”
Selanjutnya Ibn Arabi dalam sya’irnya menjelaskan tentang tanzih dan tasybih pada Tuhan :
“Jika engkau berkata tanzih, engkau mengikat-Nya. Jika engkau hanya berkata dengan Tasybih, engkau membatasi-Nya.”
Jika engkau berkata dengan kedua-duanya, engkau adalah benar dan engkau adalah imam dan tuan dalam berbagai pengetahuan.
Siapa saja yang berkata dengan dualistis Tuhan dan alam adalah musyrik, dan sipa saja yang berkata dengan pemisahan Tuhan dari alam, adalah muwahhid. Karena itu, berhati-hatilah terhadap tasybih jika engkau mengakui dualistis, dan berhati-hatilah engkau terhadap tanzih jika engkau mengakui monoistis.
Ibn ‘Arabi kemudian menjelaskan bahwa firman Allah,
Mengandung pengertian, Tanzihkanlah Dia, sedangkan firman-Nya,
Mengandung pengertian, Tasybihkanlah Dia. Dengan demikian, firman Allah,
Mengandung pengertian, “Tasybihkanlah Dia dan jadilah dualistis, dan tanzihkanlah Dia dan jadilah monoistis”
Dari konsep wahdat Al-wujud Ibn Arabi ini, muncul dua konsep yang sekaligus merupakan lanjutan atau cabang dari konsep dari wahdat al-wujud tersebut, yaitu konsep Al-hakikat Al-muhammadiyah dan konsep wahdat Al-adyan (kesamaan agama).
Menurut Ibn Arabi Tuhan adalah pencipta alam semesta. Adapun proses penciptaannya adalah sebagai berikut :
1. Tajalli Dzat Tuhan dalam bentuk a’yan tsabitah.
2. Tanazul Dzat Tuhan dari alam ma’ani ke alam ta’ayyunat (relitas-realitas rohaniyah), yaitu alam arwah yang mujarrad.
3. Tanazul kepada realitas-realitas nafsiyah,yaitu alam nafsiyah berfikir.
4. Tanazul Tuhan dalam bentuk ide materi yang bukan materi, yaitu alam mitsal (ide) atau khayal.
5. Alam materi, yaitu alam indrawi
Ibn Arabi juga menjelaskan bahwa terjadinya alam ini tidak dapat dipisahkan dari ajaran Hakikat Muhammadiyah atau Nur muhammad. Menurutnya, tahapan-tahapan kejadian proses kejadian alam dan hubungannya dengan kedua ajaran itu dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Wujud Tuhan sebagai wujud mutlak, yaitu Dzat yang mandiri dan tidak berhajat pada apapun.
2. Wujud hakikat Muhammadiyah sebagai emanasi (pelimpahan) pertama dari wujud Tuhan kemudian muncullah segala yang wujud dengan proses tahapan-tahapannya sebagaimana dikemukakan di atas.
Karenanya, Ibn Arabi menolak ajaran yang mengatakan bahwa alam semesta ini diciptakan dari tiada (cretio ex nihilio). Ia mengatakan bahwa Nur Muhammad itu qadim, dan merupakan sumber emanasi dengan berbagai kesempurnaan ilmiyah dan amaliyah yang terealisasikan pada diri para nabi semenjak Adam sampai Muhammad dan terealisasikan dari Muhammad pada diri para pengikutnya, kalangan para wali, dan insan kamil (manusia sempurna). Ibn Arabi kadang-kadang menyebut hakikat Muhammadiyah tersebut dengan Quthb dan kadang –kadang pula dengan ruh Al-khatam.
Di kawasan Saudi ternyata ia diterima penguasa dan masyarakat dengan baik. Akan tetapi ia tidak menetap di
THARIQAT KEPADA ALLAH SWT
Pada akhirnya, Ibnu 'Araby menempuh jalan halaqah sufi dari beberapa Syeikhnya. Sebagaimana diakuinya dalam kitabnya yang paling monumental Al-Futuhatul Makkiyah, ia mendalami dunia sufi dari beberapa syeikh yang memiliki disiplin spiritual yang beragam. Ibnu 'Araby pergi dari satu tempat ke tempat lainnya, meninggalkan keinginan duniawi dan kenikmatannya. Ia menemui para tokoh yang benar-benar jujur menepati janji Allah, yang tidak dialpakan oleh bisnis dan jual beli, hingga lalai dzikir kepada Allah. Ibnu 'Arabi berdzikir dan menghayati seluruh wirid mereka, hingga ruhnya menyangga ke atas derajat iluminasi dan emanasi yang kemudian melahirkan imajinasi yang dahsyat dalam dirinya, terurai dalam ratusan karyanya.
Usia 20 tahun, usia remaja penuh gejolak. Tapi Ibnu 'Araby telah matang dalam kepribadian intelektual dan moralnya. Usia inilah Ibnu 'Araby telah menjadi sufi. Ia berkata:
"Thariqat sufi ini dibangun di atas empat cabang: Bawa'its (instrumen yang membangkitkan jiwa spiritual); Dawa'i (pilar pendorong ruhani jiwa); Akhlaq dan Hakikat-hakikat. Sedangkan pendorong itu ada tiga hak: hak Allah, adalah hak untuk disembah oleh hamba-Nya dan tidak dimusyriki sedikitpun. Hak hamba terhadap sesamanya, yakni hak untuk mencegah derita terhadap sesama, dan menciptakan kebajikan pada mereka. Dan (terakhir) hak hamba terhadap diri sendiri, yaitu menempuh jalan (thariqat) yang didalamnya kebahagiaan dan keselamatannya."
Pada hak Allah (pertama) bisa dilacak secara sempurna pada seluruh karya Ibnu 'Araby. Dimana tauhid dijadikan sebagai konsumsi, iman sebagai cahaya hati, Al-Qur'an sebagai akhlaknya. Kemudian naik ke tahap, dimana tak ada lagi selain al-Haqq (Allah swt.) Karakter Ibnu 'Araby senantiasa naik dan naik ke wilayah yang luhur, rahasianya senantiasa bertambah rindu, dan hatinya jernih semata hanya bagi Al-Haqq, rahasia batinnya bermukim menyertai-Nya tak ada yang lain yang menyibukkan dirinya kecuali Tuhannya.
Ibnu 'Araby menggunakan kendaraan mahabbah, bermazhab ma'rifah, dan berwushul tauhid. Ubudiyah dan iman satu-satunya hanyalah kepada Allah Yang Esa dan Maha Kuasa, Yang Suci dari pertemanan dan peranakan. Raja tanpa tanding, Pencipta dan Pengatur, Maujud dengan Dzat-Nya tanpa butuh pada pewujud-Nya. Bahkan seluruh yang wujud membutuhkan-Nya. Seluruh alam semesta wujud karena Wujud-Nya, dan hanyalah Dia yang berhak disifati sebagai Wujud. Yaitu Wujud Mutlak dengan sendiri-Nya tanpa batas. Dia bukan inti atom, bukan jasad, bukan arah dan suci dari dimensi, arah dan wilayah. Namun bisa dilihat oleh hati dan mata hati.
Sementara hak sesama makhluk, ia mengambil jalan taubat dan mujahadah jiwa, serta lari kepada-Nya. Ia gelisah manakala terjadi lowong atas tindakan kebajikan yang diberikan Allah, sebagai jalan mahabbah dan mencari ridha-Nya. Hak ini bersumber pada ungkapan ruhani dimana semesta alam yang ada di hadapannya merupakan penampilan al-Haqq. Seluruh semesta ini bertasbih pada Sang Khaliq, dan menyaksikan kebesaran-Nya, dan semuanya merupakan limpahan dari organisasi Ilahi.
Sementara hak terhadap diri sendiri adalah menempuh kewajiban agar sampai pada tingkah laku ruhani dengan cara berakhlak yang dilandaskan pada sifat-sifat al-Haqq, dan upaya penyucian dalam taman Dzat-Nya.
Semua ini tidak bisa ditempuh kecuali melalui bimbingan dan pendidikan dari para Syeikh yang kamil, dimana mereka mampu membukakan pintu-pintu cakrawala pencerahan yang luhur dalam perjalanan ruhaninya.
Ajaran Tasawufnya
Ajaran sentral Ibn Arabi adalah tentang wahdat Al-wujud (kesatuan wujud). Meskipun demikian, istilah wahdat Al-wujud yang dipakai untuk menyebut ajaran sentralnya itu, tidaklah berasal dari dia, tetapi berasal dari Ibnu Taimiyah, tokoh yang paling keras dalam mengecam dan mengkritik ajaran sentral tersebut. Setidaknya ibnu Taimiyah yang telah berjasa dalam mempopulerkan Wahdat Al-wujud ke tengah masyarakat Islam. Meskipun semua orang sepakat menggunakan istilah Wahdat Al-wujud untuk menyebut ajaran sentral Ibn ‘Arabi, mereka berbeda pendapat dalam memformulasikan pengertian wahdat Al-wujud
Menurut Ibnu Taimiyah, wahdat Al-wujud adalah penyamaan Tuhan dengan alam. Menurutnya orang yang berfaham ini mengatakan bahwa wujud itu sesungguhnya hanya satu dan wajib Al-wujud yang dimiliki oleh khaliq adalah juga adalah mumkin Al-wujud yang dimiliki oleh makhluk. Selain itu orang-orang yang mempunyai faham ini juga mengatakan bahwa wujud alam sama dengan wujud Tuhan,tidak ada kelainan dan tidak ada perbedaan.
Paham ini merupakan perluasan dari paham hulul nya Husen Ibnu Mansur al-Hallaj. karena nasut yang ada dalam hulul diubah oleh Ibn ‘Arabi menjadi khalq (makhluk) dan lahut menjadi haq (tuhan). Khalq dan haq adalah dua aspek bagi sesuatu. Aspek yang sebelah luar disebut khalq dan aspek sebelah dalam disbut haq. Menurut paham ini tiap-tiap yang ada mempunyai dua aspek. Aspek luar merupakan ,ard dan khalq yang mempunyai sifat kemakhlukan, dan aspek dalam merupakan jauhar dan haq yang mempunyai sifat ketuhanan. Dengan kata lain dalam tiap-tiap yang berwujud itu terdapat sifat ketuhanan atau haq dan sifat kemakhlukan atau khalq.
Menurut Ibn ‘Arabi, wujud semua yang ada ini hanyalah satu dan pada hakikatnya wujud makhluk adalah wujud khalik pula. Tidak ada perbedaan antara keduanya (khalik dan makhluk) dari segi hakikat. Adapun kalau ada yang mengira adanya perbedaan wujud khalik dan makhluk, hal itu dilihat dari sudut pandang panca indra lahir dan akal yang terbatas kemampuannya dalam menangkap hakikat apa yang ada pada dzat-Nya dari kesatuan dzatiyah, yang segala sesuatu berhimpun pada-Nya. Hal ini tersimpul dalam ucapan Ibn Arabi berikut ini :
“Mahasuci Tuhan yang telah menjadikan segala sesuatu dan Dia sendiri adalah hakikat segala sesuatu”.
Menurut Ibn Arabi, wujud alam pada hakikatnya adalah wujud Allah, dan Allah adalah hakikat alam. Tidak ada perbedaan antara wujud yang qadim yang disebut khalik dengan wujud yang baru yang disebut makhluk. Tidak ada perbedaan antara ‘abid (menyembah) dengan ma’bud (yang disembah). Antara yang menyembah dan yang disembah adalah satu. Perbedaan itu hanyalah pada bentuk dan ragam dari hakikat yang satu.
Kalau antara khaliq dan makhluk bersatu dalam wujudnya,mengapa terlihat dua ? menurut Ibn Arabi, manusia tidak memandangnya dari sisi yang satu, tetapi memandang keduanya bahwa keduanya adalah khalik dari sisi yang satu dan makhluk dari sisi yang lain. Jika mereka memandang keduanya dari sisi yang satu,atau keduanya adalah dua sisi untuk hakikat yang satu, mereka pasti mengetahui hakikat keduanya, yakni dzatnya satu yang tidak terbilang dan berpisah.
Sehubungan dengan hal ini, Ibn Arabi pun menyatakan dalam syairnya sebagai berikut :
“Pada satu sisi, Al-Haq adalah makhluk, maka pikirlah.
Pada sisi lain, Dia bukanlah makhluk, maka renungkanlah.
Siapa saja yang menangkap apa yang aku katakan, penglihatannya tidak pernah kabur.
Tidak ada yang dapat menangkapnya, kecuali orang yang memiliki penglihatan.
Satukan dan pisahkan(bedakan), sebab ‘ain (hakikat) itu sesungguhnya hanya satu
Hakikat itu adalah yang banyak, yang tidak kekal (tetap) dan yang tidak pula buyar”
Dari keterangan di atas terkesan bahwa wujud Tuhan adalah juga wujud alam dan wujud alam yang dalam istilah barat disebut panteisme, atau yang didefinisikan Henry C. Theissen berikut ini :
“Panteisme adalah teori yang menyatakan bahwa segala sesuatu yang terbatas adalah aspek modifikasi atau bagian dari satu wujud yang kekal dan ada dengan sendirinya. Ia memandang Tuhan sebagi satu dengan natural (alam). Tuhan adalah semuanya, semuanya adalah Tuhan. Ia muncul dalm berbagai bentuk masa kini yang diantaranya mempunyai pula unsur-unsur atestik, polteistik, dan teistik.
Apabila dilihat dari segi adanya kesamaan antara wujud Tuhan dan wujud alam serta antara wujud Tuhan bersatu dengan wujud alam, kemudian membandingkan dengan pengertian panteisme di atas, pemahaman Ibnu Taimiyah tentang wahdat Al-wujud ada benarnya. Meskipun demikian perlu diingat pula bahwa wujud yang disebut oleh Ibn Arabi maksudnya adalah wjud yang mutlak, yaitu wujud Tuhan. Satu-satunya wujud menurut Ibn Arabi adalah wujud Tuhan, tidak ada wujud selain wujud-Nya.
Selanjutnya Ibn Arabi menjelaskan hubungan antara Tuhan dengan alam, menurutnya , alam ini adalah bayangan Tuhan atau bayangan wujud yang hakiki. Alam tidak mempunyai wujud sebenarnya. Oleh karena itu, alam merupakan tempat tajali dan mazhar (penampakan ) Tuhan.
Ketika Allah menciptakan alam ini, Ia juga memberikan sifat-sifat ketuhanan pada segala sesuatu. Alam ini seperti cermin yang buram dan seperti badan yang tidak bernyawa. Allah menciptakan manusia untuk memperjelas cermin itu. Dengan kata lain, alam ini merupakan mazhar (penampakan) dari asma dan sifat Allah yang terus menerus. Tanpa alam, sifat dan asma-Nya itu kehilangan maknanya dan senantiasa dalam bentuk zat yang tinggal dalam ke-mujarrad-an (kesendirian)-Nya yang mutlak yang tidak dikenal oleh siapapun.
Dalam Fushush Al-Hikam, Ibn Arabi menjelaskan hal tersebut dengan ungkapan syairnya :
“Wajah itu sebenarnya hanya satu, tetapi jika anda perbanyak cermin, ia pun menjadi banyak”
Untuk memperkuat pendiriannya, Ibn Arabi merujuk sebuah hadits Qudsi yang artinya:
“Aku pada mulanya adalah perbendaharaan yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal, maka kuciptakan makhluk lalu dengan itulah mereka mengenal Aku”
Selanjutnya Ibn Arabi dalam sya’irnya menjelaskan tentang tanzih dan tasybih pada Tuhan :
“Jika engkau berkata tanzih, engkau mengikat-Nya. Jika engkau hanya berkata dengan Tasybih, engkau membatasi-Nya.”
Jika engkau berkata dengan kedua-duanya, engkau adalah benar dan engkau adalah imam dan tuan dalam berbagai pengetahuan.
Siapa saja yang berkata dengan dualistis Tuhan dan alam adalah musyrik, dan sipa saja yang berkata dengan pemisahan Tuhan dari alam, adalah muwahhid. Karena itu, berhati-hatilah terhadap tasybih jika engkau mengakui dualistis, dan berhati-hatilah engkau terhadap tanzih jika engkau mengakui monoistis.
Ibn ‘Arabi kemudian menjelaskan bahwa firman Allah,
Mengandung pengertian, Tanzihkanlah Dia, sedangkan firman-Nya,
Mengandung pengertian, Tasybihkanlah Dia. Dengan demikian, firman Allah,
Mengandung pengertian, “Tasybihkanlah Dia dan jadilah dualistis, dan tanzihkanlah Dia dan jadilah monoistis”
Dari konsep wahdat Al-wujud Ibn Arabi ini, muncul dua konsep yang sekaligus merupakan lanjutan atau cabang dari konsep dari wahdat al-wujud tersebut, yaitu konsep Al-hakikat Al-muhammadiyah dan konsep wahdat Al-adyan (kesamaan agama).
Menurut Ibn Arabi Tuhan adalah pencipta alam semesta. Adapun proses penciptaannya adalah sebagai berikut :
1. Tajalli Dzat Tuhan dalam bentuk a’yan tsabitah.
2. Tanazul Dzat Tuhan dari alam ma’ani ke alam ta’ayyunat (relitas-realitas rohaniyah), yaitu alam arwah yang mujarrad.
3. Tanazul kepada realitas-realitas nafsiyah,yaitu alam nafsiyah berfikir.
4. Tanazul Tuhan dalam bentuk ide materi yang bukan materi, yaitu alam mitsal (ide) atau khayal.
5. Alam materi, yaitu alam indrawi
Ibn Arabi juga menjelaskan bahwa terjadinya alam ini tidak dapat dipisahkan dari ajaran Hakikat Muhammadiyah atau Nur muhammad. Menurutnya, tahapan-tahapan kejadian proses kejadian alam dan hubungannya dengan kedua ajaran itu dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Wujud Tuhan sebagai wujud mutlak, yaitu Dzat yang mandiri dan tidak berhajat pada apapun.
2. Wujud hakikat Muhammadiyah sebagai emanasi (pelimpahan) pertama dari wujud Tuhan kemudian muncullah segala yang wujud dengan proses tahapan-tahapannya sebagaimana dikemukakan di atas.
Karenanya, Ibn Arabi menolak ajaran yang mengatakan bahwa alam semesta ini diciptakan dari tiada (cretio ex nihilio). Ia mengatakan bahwa Nur Muhammad itu qadim, dan merupakan sumber emanasi dengan berbagai kesempurnaan ilmiyah dan amaliyah yang terealisasikan pada diri para nabi semenjak Adam sampai Muhammad dan terealisasikan dari Muhammad pada diri para pengikutnya, kalangan para wali, dan insan kamil (manusia sempurna). Ibn Arabi kadang-kadang menyebut hakikat Muhammadiyah tersebut dengan Quthb dan kadang –kadang pula dengan ruh Al-khatam.
Konsep Insan Kamil Ibn Arabi dalam Tasawuf Nusantara
"Secara umum, tasawuf tidak bisa lepas dari tokoh
yang bernama Ibn Arabi. Karena beliaulah tokoh yang berpengaruh di dalam dunia
tasawuf. Bahkan Muthahari dalam bukunya “Insan Kamil” menyebut Muhyiddin Arabi
al Andalusi Tha’i sebagai bapak sufisme."
Berbicara tasawuf
tidak akan lengkap tanpa menyebut tokoh yang sangat kesohor satu ini, yaitu Ibn
Arabi. Bak ungkapan “ada gula, ada semut”, setiap pembicaraan tentang tasawuf /
’irfan atau mistik atau apapun kata yang berpadangan dengannya dimanapun
dan kapanpun kayaknya kurang greget dan bak sayur tanpa garam kalau tidak
menyebut nama Ibn Arabi. Bukan tanpa alasan kami membincang beliau karena tema
tulisan ini adalah pembahasan tentang konsep insan kamil yang rasanya kurang
pas kalau tidak menyebut nama Ibn Arabi yang memang adalah penggagas utama
konsep ini.
Makalah ini tidak
sedang memaksakan diri untuk bagaimana caranya memasukkan nama Ibn Arabi di
dalamnya namun kami sekadar ingin membuktikan betapa pandangan tentang insan
kamil yang identik dengan Ibn Arabi sedikit-banyak memengaruhi perjalanan
tasawuf di nusantara. Ajaran insan kamil Ibn al-‘Arabî diulas dan diperkenalkan oleh sejumlah ulama
sufi seperti Hamzah Fansûri, Syams al-Dîn al-Sumatrânî, dan yang lainnya.
"Insan
Kamil'' makna harfiahnya (tekstual) adalah manusia sempurna. ''Insan'' berasal
dari bahasa Arab yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan manusia.
''Insan'' berbeda maknanya dengan ''basyar'' yang juga diterjemahkan
dengan manusia. ''Insan'' berarti manusia dalam pengertian manusia yang
memiliki dimensi rohani, sementara basyar mengarah kepada manusia dalam
pengertian jasad (biologis). Dengan demikian ''insan kamil'' adalah manusia
yang sempurna dalam pengertian rohani.
Ketika
Ibn Arabi membahas manusia, beliau biasanya mengarahkan pembahasannya pada
manusia sempurna, bukan manusia biasa yang umumnya dikenal dengan pelupa dan
bodoh. Hakikat manusia sempurna yang dimaksudkan adalah arketipe abadi dan kekal
dari seluruh manusia sempurna secara individual.
Muhyiddin Ibn
Arabi menggunakan istilah manusia sempurna (insan kamil) dari sisi pandangan
khusus tasawuf. Beliau mengambil pandangan al Hallaj lalu mengubahnya secara
mendasar dan cakupannya pun dikembangkan secara jauh lebih luas.
Ibn Arabi
dualisme aspek “lahut” dan “nasut” ditampilkannya dalam satu hakikat, bukan
memiliki zat atau esensi tersendiri, lalu lahut dan nasut bukan hanya terdapat
pada manusia, bahkan secara potensial ia mewujud pada setiap perkara yang lain,
bahkan di otak pun terdapat peran keduanya, sehingga pada segala sesuatu dapat
dikenali nasut sebagai manifestasi eksternal dan lahut sebagai manifestasi
internal/batin. Namun Allah SWT yang memanifestasi (tajalli) pada segala sesuatu
secara nyata, Dia mengejawantah secara sempurna pada sosok insan kamil dimana
para nabi dan para wali merupakan contoh kongkrit yang paling menonjol darinya.
Pandangan ini
merupakan tema asli dua kitab utama beliau, Fushus al Hikam dan at Tadbirat al
Ilahiyyah, dan banyak bagian-bagian penting dari kitab tersebut yang kemudian
ditelaah dan dikajinya kembali dalam kitab Futuhat al Makkiyah dan pelbagai
karya beliau lainnya. Kitab Fushus al Hikam yang kemudian begitu tenar di
kalangan umat Islam menjadi gita sufistik yang sangat disambut oleh para ulama
kenamaan. Dalam beberapa abad yang lalu, lebih dari seratus sepuluh syarah
dalam bahasa Persia, Turki, dan Arab ditulis untuk buku ini dan pandangan/teori
insan kamil dipaparkan sebagai salah satu diskursus klasik mistik teoritis (`irfan
nazhari).
Fushus al Hikam
mempunyai dua puluh tujuh fash (segmen) dan masing-masing fash dinamai
dengan nama-nama para nabi dimana mereka merupakan manifestasi insan kamil di
zamannya dan salah satu dari pengejawantahan Muhammadiyah (Nur Muhammad) dan
manifesati yang komprehensif dan holistik dari insan kamil adalah Nabi Muhammad
saw.
Ibn Arabi
memandang bahwa insan kamil adalah wakil yang benar/sah di muka bumi dan muallimul
mulk (pengajar alam gaib) di langit. Dalam perspektif beliau, insan kamil
adalah potret yang paling sempurna yang diciptakan oleh Allah dan derajatnya
lebih baik dari batasan mungkin dan lebih tinggi dari maqam ciptaan (makhluk).
Karena kedudukannya, pancaran rahmat dan bantuan al Haq (Allah SWT)—yang merupakan
penyebab kelestarian alam—sampai kepada alam.
Insan kamil
adalah ciptaan yang azali dan abadi dan kalimat penentu dan komprehensi. Dengan
perantara manusia seutuhnya, rahasia-rahasia Ilahi dan makrifat-makrifat hakiki
mewujud dan hubungan yang pertama dan yang terakhir tersambung serta tingkatan
alam batin dan alam lahir menyempurna. Insan kamil adalah wadah seluruh peran
dan duplikat asma-asma Ilahi dan hakikat-hakikat kekinian. Insan kamil
merupakan rahmat terbesar al Haqq bagi makhluk. Insan kamil adalah ruh alam dan
alam adalah jasadnya. Sebagaimana ruh mengatur dan menguasai badan melalui
kekuatan-kekuatan spiritual dan fisik, insan kamil juga—melalui asma-asma Ilahi
dimana Allah mengajarkan pelbagai rahasianya kepadanya—mengintervensi alam dan
sebagaimana ruh menjadi penyebab kehidupan badan, dan ketika ruh
meninggalkan/mengabaikan badan maka badan akan menderita dan tidak akan
menyempurna maka insan kamil pun menjadi faktor kehidupan alam dan ketika ia
meninggalkan alam ini, maka alam akan rusak dan kehilangan makna. Dan insan
kamil adalah manifestasi pertama dari makhluk yang Zat Ahadiyah memantulkan
cahaya-Nya kepadanya.
Jadi, karena
hubungan yang organik antara manusia dan kosmos, Ibn Arabi menyebut manusia
sempurna dengan “Pilar Kosmos”. Tanpa mereka, kosmos akan runtuh dan mati,
inilah juga yang terjadi pada hari akhir ketika manusia sempurna yang terakhir
terpisah dari dunia. Secara kosmologis dapat dikatakan, bahwa kerusakan dan
kehancuran alam dan lingkungan sosial di era modern adalah salah satu tanda
berkurangnya jumlah manusia sempurna di muka bumi ini.
Hakikat
Muhammadiyah, bukan kepribadian Rasulullah saw, tetapi suatu wujud metafisik
yang sepadan dengan akal pertama (‘aql awwwal) dimana hal ini terdapat pada
seluruh insan kamil dan setiap insan kamil percaya terhadap hakikat inh.
Hakikat ini dari sisi hubungan dengan manusia merupakan potret sempurna dari
manusia dan bila dilihat dari aspek pertalian dengan ilmu-ilmu batin merupakan
sumber berbagai ilmu pengetahuan.
Kajian tentang wilayah
yang dipaparkan terkait dengan insan kamil dalam pandangan Ibn Arabi tidak
hanya khusus berlaku untuk pria. Ibn Arabi dalam kitabnya “Aqluhu al Mustaufiz”
setelah menjelaskan bahwa barometer khilafah (maqam sebagai
khalifatullah) adalah kemanusiaan manusia dan potret ketuhanannya, beliau
menegaskan bahwa kedudukan sebagai pengganti/wakil Ilahi tidak hanya
dikhususkan bagi kaum Adam, namun kaum hawa pun mampu meraih maqam ini.
Sebab, jenis
kelamin pria dan wanita itu merupakan ciri khas atau karakter kemanusiaan,
bukan hakikat dan esensinya. Bahkan Nabi saw sendiri bersaksi bahwa kaum hawa
pun mampu mencapai maqam khilafah ini dalam sabdanya:
کمل من الـرجال
کثیـرون و کملت مـن النساء مریـم بنت عمـران
Banyak laki-laki
yang sempurna dan yang sempurna dari kaum hawa adalah Maryam Binti ‘Imran
Insan Kamil dalam Pandangan Muthahari
Berbeda dengan
Ibn Arabi yang mengulas konsep insan kamil dalam bingkai tasawuf, Murtadha
Muthahari mengkaji insan kamil dalam bukunya “Perfect Man” dari sudut pandangan
Alquran. Namun sebagaimana Ibn Arabi, Muthahari melihat insan kamil sebagai
manusia yang menangkap dan mengembangkan asma Allah secara proporsional.
Muthahari
mengkitik tasawuf negatif yang hanya memperhatikan satu aspek dan nilai saja.
Beliau mengkritik tajam kaum sufi yang mengabaikan peran akal dalam mendekati
dan memahami agama serta perannya dalam perjalanan spiritual. Bagi Muthahari,
pengembaraan dan pencerahan spiritual harus memakai kendaraan akal supaya
sukses.
Perlu
digarisbawahi di sini bahwa Muthahari tidak menyerang ajaran tasawuf secara
keseluruhan, namun sikap ifrath (ekstremitas) dan tafrith
(kelonggaran) yang menjadi sasaran kritikannya. Sebab bagi beliau, insan kamil
adalah sosok manusia yang bukan hanya superior di satu bidang dan nilai namun
inferior di bagian yang lain. Insan kamil adalah sosok manusia yang mampu
merekat dan merajut berbagai nilai dan prestasi secara seimbang. Insan kamil
tidak bisa diwakili oleh sosok petapa yang perutnya kempes, badannya lesu,
mukanya pucat pasi, matanya merah karena kurang tidur, namun kepekaan sosialnya
hilang. Manusia seperti ini adalah abid yang individualis.
Insan kamil tidak
juga diwakili oleh orang yang keberaniannya luar biasa bak macam kumbang yang
selalu siap menerkam mangsanya. Manusia seperti ini mengganggu kenyamanan dan
keamanan orang lain. Insan kamil bukan juga pada diri filosof yang
mengkultuskan akal namun aspek rohaninya kering kerontang. Ia lebih banyak
mendiskusikan agama dan menghafal istilah-istilah filosofis ketimbang
mengamalkannya. Dan insan kamil tidak bisa diklaim oleh pemabuk cinta yang
kemana-mana mensenandungkan nyacian cinta dan mabuk dalam buaian arak cinta. Ia
hanya mendekati Tuhan-Nya dengan syair-syair cinta dan nada-nada mahabbah,
namun ia mengebiri akal. Sebab, baginya akal adalah “tirai” yang menutup jalan
manusia menuju al Mahbub.
Jadi, insan kamil
adalah sosok manusia yang berhasil memadukan nilai-nilai luhur dan bajik secara
proporsional. Ia abid, sekaligus `arif (pesalik jalan spiritual
dengan makrifat), sekaligus `akil (pengguna akal) dan asyiq
(pecinta). Dan akhirnya ia sejatinya adalah manifestasi ‘abdul haqiqi
(hamba sejati) Wajibul Wujud.
Apanya yang
sempurna?
Saat menjelaskan
bentuk kesempurnaan manusia, Muthahari menyitir ayat Alquran yang berbunyi:
“Sesungguhnya
Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami
hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia
mendengar dan melihat. Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus;
ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir.” (QS. Al Insan: 2-3)
Lalu beliau
mengemukakan: “Ini berarti, manusia telah dianugerahi banyak kemampuan dan
dibiarkan bebas untuk membuktikan apakah ia patut memperoleh pahala atau
hukuman atas perbuatannya. Makhluk lain tak mendapatkan semua itu. Manusia
harus memilih jalannya sendiri, dan ia mendapatkan kesempurnaan melalui
pengendalian dan penyeimbangan diri dan dengan mengerahkan semua kemampuannya.
Ini serupa dengan kesempurnaan fisik. Perhatikanlah seorang bocah yang tumbuh.
Bila seluruh organ dan anggota badannya sehat dan berkembang secara harmonis,
maka secara fisik ia sempurna. Tetapi bila ia tumbuh seperti kartun yang sebagian
organ dan anggota badannya berkembang berlebihan sedang yang lain sama sekali
tidak tumbuh atau hanya tumbuh sedikit, ia tak akan mencapai kesempurnaan
fisik. Jadi, perkembangan yang harmonis dan menyeluruh dapat menghasilkan
kesempurnaan. Imam Ali adalah manusia sempurna karena semua nilai manusiawi
tumbuh secara maksimum dan harmonis dalam dirinya(2).”
Jejak Teori Insan Kamil Ibn Arabi di Nusantara
Secara umum
tasawuf tidak bisa lepas dari tokoh yang bernama Ibn Arabi. Karena beliaulah
tokoh yang berpengaruh di dalam dunia tasawuf. Bahkan Muthahari dalam bukunya
“Insan Kamil” tidak canggung-canggung menyebut Muhyiddin Arabi al Andalusi
Tha’i sebagai sufi kawakan dan sekaligus bapak sufisme, tak terkecuali ketika
kita berbicara tasawuf di nusantara rasanya aroma Ibn Arabi tercium
dimana-mana. Hal ini tidak mengherankan karena sebagaimana pengakuan Prof.
Abdul Hadi WM., sejak abad ke-17 karya-karya penting sufi terkemuka menyebar di
pusat-pusat studi keagamaan tanah air, seperti pesantren dan sudah akrab di
kalangan para ulama, khususnya yang konsen tehadap kajian tasawuf dan tarekat:
Dalam hal ini Prof. Abdul Hadi WM. menulis:
Pada awal abad
ke-17 M dengan pindahnya pusat kekuasaan Jawa ke pedalaman, kegiatan penulisan
suluk berkembang pula di pedalaman, terutama di pesantren dan pusat-pusat
kekuasaan. Di istana-istana raja Jawa, kegiatan penulisan sastra suluk
mula-mula digalakkan oleh Panembahan Seda Krapyak pada permulaan abad ke-17 M.
Perkembangan sastra suluk semakin pesat pada masa pemerintahan Panembahan
Senapati di Mataram. Pada masa ini sejumlah besar suluk-suluk pesisir disalin
dan disadur kembali ke dalam bahasa Jawa Baru. Di antaranya Suluk Wujil karya
Sunan Bonang, dan Suluk Malang Sumirang karya Sunan Panggung
(Poerbatjaraka 1938). Pada masa ini juga karya Jalaluddin Rumi yang masyhur Diwan-i
Shamsi Tabriz disadur ke dalam bahasa Jawa di bawah judul Suluk Syamsi
Tabriz. Sementara karya-karya Imam al-Ghazali, Abdul Karim al-Jili (al-Insan
al-Kamil), Ibn `Arabi, dan karya sufi Arab dan Persia lain mulai dipelajari
secara meluas di berbagai pesantren.
Salah satu tokoh
sufi kenamaan tanah air yang pemikiran tasawufnya sedikit banyak dipengaruhi
oleh pandangan-pandangan sufistik Ibn Arabi adalah Hamzah Fansuri. Berikut ini
kami akan mengulang sedikit bagaimana pandangan insan kamil Ibn Arabi
memengaruhi pemikiran tasawuf Hamzah Fansuri.
Hamzah Fansuri dan Pandangan Insan Kamil Ibn Arabi
Tasawuf Hamzah
Fansuri banyak dipengaruhi oleh pandangan Ibn Arabi. Berkaitan dengan hal ini
Prof. Dr. Abdul Hadi WM. menulis:
Mula-mula Hamzah
Fansuri mempelajari tasawuf setelah menjadi anggota tarekat Qadiriyah yang
didirikan oleh Syekh Abdul Qadir Jilani dan dalam tarekat ini pula dia dibai’at.
Setelah mengembara ke berbagai pusat Islam seperti Baghdad, Mekkah, Madinah dan
Yerusalem, dia kembali ke tanah airnya serta mengembangkan ajaran tasawuf
sendiri. Ajaran tasawuf yang dikembangkannya banyak dipengaruhi pemikiran
wujudiyah Ibn `Arabi, Sadrudin al-Qunawi dan Fakhrudin `Iraqi. Sedangkan
karangan-karangan sastranya banyak dipengaruhi Fariduddin al-Aththar,
Jalaluddin al-Rumi dan Abdur Rahman al-Jami.
Sehubungan dengan
pandangan Hamzah Fansuri terkait dengan kemuliaan manusia dan insan kamil, Dr.
Abdul Hadi WM. menulis:
Dalam pandangan
Hamzah Fansuri, kemulian manusia terletak pada kesempurnaannya dalam
berhubungan dengan Allah. Manusia yang paling sempurna adalah mereka yang mampu
memanifestasikan keseluruhan sifat Tuhan dalam diriya.
Dalam Burung
Pingai Hamzah menyatakan:
Mazhar Allah akan
rupanya
Asma Allah akan
namanya
Malaikat akan
tentaranya
‘Akulah wasil’
akan katanya
Sayapnya bernama
furqan
Tubuhnya bersurat
Qur’an
Kakinya Hannan
dan Mannan
Daim bertengger
di tangan Rahman
Ruh Allah akan
nyawanya
Sirr Allah akan
angganya
Nur Allah Akan
matanya
Nur Muhammad daim
sertanya
Syair di atas
menggambarkan posisi manusia yang telah menyatu dengan Tuhan. Ia menggambarkan
bagaimana keseluruhan dirinya diliputi oleh asma’ dan sifat Tuhan. Tidak ada
sisi dalam dirinya yang tidak diliputi Tuhan. Bagaikan Tuhan ia dikawal
malaikat-Nya dan berdiri di atas kakinya yang juga merupakan malaikat-Nya
(Hannan dan Mannan). Dalam tataran inilah manusia menjadi sempurna.
Anda perhatikan
bagaimana Hamzah Fansuri menggambarkan sosok insan kamil secara apik dan elegan
dan bagaimana ia menggunakan istilah manusia sempurna atau insan kamil dalam
beberapa penjelasannya. Ini membuktikan bahwa beliau bukan hanya terpengaruh
oleh pandangan insan kamil Ibn Arabi tapi sebenarnya juga berusaha
mengembangkannya dengan bahasa yang lebih mudah dan popular sehingga dapat
dipahami dan kemudian diamalkan oleh para muridnya dan umat Islam di Indonesia
yang peduli terhadap kajian tasawuf.
Cinta Ilahi,
Akhir perjalanan Pesalik
Hamzah Fansuri
lebih jauh memotret insan kamil secara lebih tajam ketika beliau menjelaskan
konsep mahabbah (cinta). Baginya cinta hakiki akan terbangun antara ‘asyiq
dan ma`syuq ketika tidak ada lagi noda cinta dunia. Selama masih ada
kepentingan materi, maka cinta hakiki dan abadi tidak akan pernah terwujud.
Maka pesalik harus berusaha sekuat tenaga untuk bagaimana caranya menghilangkan
noktah-noktah hitam dan merah akibat cinta. Sebagaimana disabdakan oleh wujud
insan kamil terbesar, yaitu Rasulullah saw bahwa: “Cinta dunia adalah pangkal
segala kesalahan (dosa).” Dalam kaitan ini, Dr. Abdul Hadi WM. menulis:
Cinta adalah
hakikat Tuhan yang Wujud dalam alam. Ia menampakkan dirinya berupa surah dalam
diri manusia. Setiap manusia yang menempah jalan menuju Tuhan mesti
membersihkan diri dari sifat keduniawian. Sifat ketuhanan akan masuk dalam diri
yang telah bebas dari sifat keduniawiannya. Seseorang yang telah mampu
menampakkan sifat-sifat ketuhanan dalam dirinya ia adalah insan kamil.
Dan yang menarik,
ketika Hamzah Fansuri menyebutkan cinta Ilahi sebagai terminal akhir
pesalik/abid. Ya, Allah SWT memanisfestasi melalui asma-asma-Nya yang paling
indah dan terbaik, supaya dengan nama-nama tersebut para pesalik mampu
mengenal-Nya dengan baik dan menjalankan aktifitas ibadah dengan kesadaran
tauhid tertinggi; tauhid yang mengantarkan insan pada hakikat ibadah, yaitu
penyembahan yang semata karena cinta dan kerinduan kepada-Nya dan tenggelam
dalam asma-Nya; hingga tiada lagi abid; tiada lagi ibadah, yang ada hanya
Ma’bud (Sang Kekasih Absolut); yang ada hanya nyayian dan lagu cinta.
Dalam hal ini,
Hamzah Fansuri mengatakan, “Akhir dari perjalan seorang salik adalah
mendapatkan cinta Ilahi yang akan menjadikannya sebagai insan kamil.”
Penggapaian ini berwujud pada kesadaran kesatuan pandang antara diri dan Tuhan,
seperti terungkap dalam sya’irnya:
Ma’bud itulah
yang bernama haqiq
Sekalian alam di
dalamnya ghariq
Olehnya itu
sekalian fariq
Pada kunhi-nya
tiada beroleh thariq
Konsep Insan Kamil dalam Tasawuf Syamsudin Pasai
Tokoh sufi
kesohor lainnya di tanah air yang juga terpengaruh oleh pandangan insan kamil
Ibn Arabi adalah Syamsudin Pasai.
Dalam kitabnya Mir`at
al-Muhaqqiqin Syamsudin Pasai menerangkan bahwa rupa batin manusia
merupakan salinan dari wajah Tuhan. Tetapi hanya manusia yang telah mencapai
martabat insan kamil dapat kembali mencapai tipe ideal asalnya yang rupa
batinnya mengandung gambaran sifat ketuhanan. Uraiannya mengenai wahdat
al-wujud (kesatuan transenden wujud) dapat dilihat dalam bab ketiga bukunya
ini, yaitu fasal yang membicarakan nisbah (kaitan) perbuatan atau fi`il
dan sifat, serta nisbah dzat dan wujud. Perbuatan kita sebenarnya, jika
ditilik secara mendalam, digerakkan Tuhan, tetapi mengikuti keinginan dan gerak
hati kita sendiri. Kata Syamsudin, “ “Dalil (nya ialah) firman Tuhan yang
berarti: Allah Ta`ala menjadikan kamu dan perbuatan kamu”. Mengutip pernyataan
Ibn `Arabi, dia mengatakan, bahwa barang siapa memandang perbuatan makhluq
tiada berasal dari diri makhluq itu sendiri, maka ia benar.
Seperti Ibn
`Arabi, bagi Syamsudin Pasai sempurnanya makrifat seseorang terletak pada
penguasaan tujuh pengetahuan;
1. Pengetahuan
tentang nama-nama-Nya;
2. Pengetahuan
tentang tajalli Ilahi;
3. Pengetahuan
taklif Tuhan terhadap hamba-Nya;
4. Pengetahuan
tentang kesempurnaan dan kekurangan wujud alam semesta;
5. Pengetahuan
mengenai alam akhirat;
6. Pengetahuan
tentang hakikat diri;
7. Pengetahuan
mengenai sebab-sebab dari penyakit batin dan obatnya (Ibid).
Syamsudin Pasai
juga menulis beberapa syair. Satu bait dari syairnya yang indah ialah yang ini:
Heninglah laut
semata-mata
Hapuslah sekalian
rupa yang nyata
Pendeklah sini
sekalian kata
Isyarat pun habis
dari cita
(Braginsky 2002)
Coba
Anda garis bawahi pernyataan beliau: “Rupa batin manusia merupakan salinan dari
wajah Tuhan. Tetapi hanya manusia yang telah mencapai martabat insan kamil
dapat kembali mencapai tipe ideal asalnya yang rupa batinnya mengandung
gambaran sifat ketuhanan.” Betapa indahnya beliau menggambarkan potret batin insan
kamil yang jiwanya dipenuhi dengan pantulan dan cahaya asma Allah. Ketika
beliau mengatakan bahwa batin manusia merupakan salinan dan duplikat dari wajah
Allah, maka di sini menunjukkan bahwa insan kamil memiliki kekuatan ilahiah.
Dalam sebuah hadis qudsi yang terkenal dikatakan:
Wahai hamba-Ku,
taatlah kepada-Ku, hingga aku menjadikanmu seperti-Ku. Maka, sebagaimana Aku
yang memiliki kemampuan “kun fayakun” maka engkau pun dapat mengatakan kepada
sesuatu “kun fayakun”.
Kemampuan
mendemontrasikan “kun fayakun” ketika seseorang berhasil menjadi salinan Allah
di muka bumi. Namun menjadi salinan wajah Allah bukan perkara mudah. Kedudukan
ini tidak diberi cuma-cuma, Syamsudin Pasai membatasi tipe manusia yang paling
ideal ini hanya bagi mereka yang memang bersedia melalui jenjang-jenjang
spiritual yang mengantarkannya kepada posisi terhormat sebagai insan kamil.
Dengan kata lain, idealitas manusia bukan diukur dari sebanyak mana harta yang
dikumpulkannya; secantik apa istri yang dinikahinya; sebesar dan seluas apa
tahta yang didudukinya namun semua itu hanya fatamorgana yang tak berguna
ketika ia belum mencicipi rasanya menjadi insan kamil. Insan kamil adalah
martabat kemanusiaan yang paling tinggi dan paling mulia.
Insan Kamil dalam Tasawuf Nuruddin al-Raniri
Tokoh sufi lainnya di tanah air yang juga terpengaruh
oleh pandangan insan kamil Ibn Arabi adalah Nuruddin al-Raniri.
Ulama dan
sastrawan besar Aceh yang tidak kalah masyhur dari Hamzah Fansuri dan Syamsudin
Pasai ialah Nuruddin al-Raniri. Nama lengkap berikut gelar yang diberikan
kepadanya ialah al-`Alim Allama al-Mursyid ila al-Tariq al-Salama Maulana
al-Syeikh Nuruddin Muhammad ibn `Ali Hasan ji bin Muhammad Hamid al-Qurayshi
al-Raniri. Ulama keturunan India Arab ini lahir di Ranir, Gujarat, pada tahun 1568
(Windstedt 1968:145; Ahmad Daudy 1983:49) dan sangat mencintai dunia Melayu.
Pada masa hidupnya Gujarat merupakan pelabuhan dagang yang ramai dikunjungi
kapal-kapal dagang Arab, Persia, Mesir, Turki dan Nusantara. Di sini bahasa
Melayu dipelajari oleh para pedagang dan pendakwah yang akan berkunjung ke
Nusantara. Nuruddin tertarik mempelajari bahasa ini sejak usianya masih muda
dan berhasrat tinggal di negeri Melayu mengikuti jejak pamannya yang pernah
berdakwah di Aceh pada abad ke-16 M.
Pada tahun 1582,
setelah agak lama belajar di Tarim, Arab, dia menunaikan ibadah haji di Mekkah
(Ibid). Pertemuannya dengan banyak orang Melayu selama di Mekkah dan
Gujarat memperkuat hasratnya untuk menetap di negeri Melayu. Apalagi setelah
mendengar kabar perkembangan paham wujudiya di Aceh yang dipandang oleh
ahli-ahli tasawuf India ketika telah banyak menyimpang. Terutama pada zaman
pemerintahan Sultan Iskandar Muda, ketika pengaruh Hamzah Fansuri dan Syamsudin
Pasai semakin kuat. Dia sendiri adalah pengikut Ibn `Arabi, tetapi dalam
menafsirkan ajaran wujudiya dia bertolak dari ketentuan syariat dan fiqih
sedemikian ketatnya.
Pada masa itulah
dia pergi ke Pahang, tinggal lama di situ dan memperdalam penguasaannya
terhadap bahasa dan kesusastraan Melayu sehingga akhirnya mampu menulis kitab
dan karangan sastra dalam bahasa ini. Ketika Sultan Iskandar Muda wafat pada
tahun 1636 M, segera dia pergi ke Aceh dan diterima sebagai ulama istana oleh
sultan yang baru Iskandar Tsani (1637-1641). Di sini dia angkat sebagai mufti
atau qadi agung. Sejak itulah karirnya sebagai penulis sastra kitab dan
ketatanegaraan mencapai puncaknya (Ibid). Selain menguasai berbabagai
cabang ilmu agama dan kesusastraan, Syekh Nuruddin juga menguasai ilmu mantiq
(logika) dan balaghah (retorika), dan ilmu pengetahuan lain seperti
sejarah, ilmu ketabiban dan sebagainya.
Pengakuan Dr.
Abdul Hadi WM. bahwa “Nuruddin al-Raniri adalah pengikut Ibn `Arabi, meskipun
dalam menafsirkan ajaran Wahdatul Wujud dia bertolak dari ketentuan syariat dan
fiqih sedemikian ketatnya” menandakan bahwa beliau tentu seyogianya akrab
dengan pembahasan-pembahasan utama yang disampaikan oleh Ibn Arabi, terutama
pembahasan terkenal beliau tentang teori insan kamil.
Dalam bukunya
“Bustan al-Salatin’, bab pertama, beliau membahas “Nur Muhammad”. Tentu saja
pembahasan ini sangat kental beraroma sufistik dan berhubungan dengan konsep
penciptaan Adam (insan kamil) yang menjadi guru para malaikat.
Di samping itu,
dalam kajian sastra sufistik, sosok insan kamil tentu dijelaskan secara puitis
dalam bait-bait syair dan sastra. Banyak sekali karya satra, utamanya dalam
bahasa Arab yang memuji Nabi Muhammad saw sedemikian tingginya; melebihi
sekat-sekat manusia biasa. Tentu saja segala pujian yang ditujukan kepada Nabi
Muhammad itu terasa pas dan tidak perlu dianggap pengkultusan dan hiperbolis
bila dilihat dari sudut posisi beliau sebagai insan kamil.
Berkaitan dengan
bagaimana maraknya syair pujian dalam sastra Melayu, Dr. Abdul Hadi WM.
menulis:
Syair Pujian
Kepada Nabi Muhamad Saw Walaupun tema tentang Nur Muhammad dan pujian kepada
beliau terdapat dalam syair-syair makrifat, terdapat syair pujian khusus kepada
beliau. Dalam kesusastraan Arab disebut al-mada`ih al-nabawiyah dan di
Persia disebut na`tiya, dari perkataan na`at yang berarti pujian.
Syair jenis ini dalam kesusastraan Melayu terutama diilhami oleh Qasida
al-Burdah, Syaraf al-Anam dan Qasida al-Barzanji. Di
antaranya ialah Syair Rampai Maulid, Syair Maulid Jawi, Nazam Dua Puluh Lima
Rasul, yang didahului dengan puji-pujian kepada nabi-nabi sebelum Nabi
Muhammad Saw Dimasukkan ke dalam kategori karya bercorak tasawuf, karena
penulisnya biasa adalah sufi atau guru tariqat, dan dalam ungkapan-ungkapannya
terdapat simbol-simbol yang berlaku dalam sastra sufi. Misalnya perumpamaan terhadap
Nabi Muhammad Saw sebagai matahari yang menerangi dunia, bulan purnama, kekasih
Tuhan, teladan bagi sekalian ahli makrifat, dan lain sebagainya.
Tema tentang Nur
Muhammad saw hampir merata disebutkan dalam buku-buku Maulid (kelahiran)
beliau. Dan tema ini sangat cocok bila dikaji dari sudut pandangan insan kamil.
Bahwa karena Nur Muhammad-lah alam dan seisinya ini diciptakan.
Hasil karya Ibn Arabi
Ibnu Arabi adalah penulis yang produktif, yang menurut
Browne ada 500 judul karya tulis dan 90 judul diantaranya asli tulisan
tangannya tersimpan di Perpustakaan Negara Mesir. Tetapi menurut Sya’roni, Ibnu
Arabi menulis buku sekitar 400 judul buku saja termasuk Fusus dan Futuhat.
Produktifitasnya dalam menulis terutama ia bermukim di Mekkah dan Damaskus atau
sekitar 20 tahun terakhir masa hidupnya.
Adapun hasil karya Ibn Arabi antara lain:
· Masyahid Al-Asrar
· Mathali’ Al-Anwar Al-Ilahiyah
· Hilyat Al-Abdal
· Kimiya Al-Sa’adat
· Muhadharat Al-Abrar
· Kitab Al-akhlaq
· Majmu’Al-rasa’il Al-Ilahiyah
· Mawaqi’Al-Nujum
· Al-Ma’rifah Al-Ilahiyah
· Al-Isra’Ila Maqam Al-Atsna.
Selain kitab-kitab tersebut ada karya beliau yang monumental yaitu, Al futuhat Al-Makiyyah yang ditulis pada tahun 1201 M, ketika ia sedang menunaikan ibadah haji dan Tarjuman Al-Asuywaq yang ditulisnya untuk mengenang kecantikan, ketakwaan dan kepintaran seorang gadis cantik dari keluarga seorang sufi dari Persia.
Adapun hasil karya Ibn Arabi antara lain:
· Masyahid Al-Asrar
· Mathali’ Al-Anwar Al-Ilahiyah
· Hilyat Al-Abdal
· Kimiya Al-Sa’adat
· Muhadharat Al-Abrar
· Kitab Al-akhlaq
· Majmu’Al-rasa’il Al-Ilahiyah
· Mawaqi’Al-Nujum
· Al-Ma’rifah Al-Ilahiyah
· Al-Isra’Ila Maqam Al-Atsna.
Selain kitab-kitab tersebut ada karya beliau yang monumental yaitu, Al futuhat Al-Makiyyah yang ditulis pada tahun 1201 M, ketika ia sedang menunaikan ibadah haji dan Tarjuman Al-Asuywaq yang ditulisnya untuk mengenang kecantikan, ketakwaan dan kepintaran seorang gadis cantik dari keluarga seorang sufi dari Persia.
KONTROVERSI
SEPUTAR KARYA-KARYANYA
Pandangan-pandangan filsafat tasawuf Ibnu 'Araby dinilai
oleh beberapa pihak, teruatama kaum fuqaha' dan ahli hadist sangat
kontroversial. Sebab, teorinya tentang Wahdatul Wujud dianggap condong pada
pantheisme. Hal ini disebabkan seluruh karya-karya Ibnu 'Araby, meggunakan
bahasa simbolik, sehingga kalangan awam dan kaum tekstualis sangat kebingungan.
Bahkan tidak sedikit yang mengganggap murtad dan kufur
pada Ibnu 'Araby. Tak kurang, misalnya Syeikhul Islam Ibnu Taymiyah, dan
pengikutnya. Tetapi pada akhirnya, Ibnu Taimiyah menerima pandangan Ibnu 'Araby
setelah bertemu dengan Taqyuddin Ibnu Athaillah as-Sakandari asy-Syadzily di
sebuah masjid di Kairo, yang menjelaskan makna-makna metafora Ibnu 'Araby.
"Kalau begitu yang sesat itu adalah pandangan pengikut Ibnu 'Araby yang
tidak memahami makna sebenarnya," kata Ibnu Taimiyah.
Kesimpulan
1. Ibn Arabi
adalah berasal dari suku al-Taiy, satu rumpun Arab Al-Haitami yang pada umumnya
terdiri dari keluarga-keluarga saleh.Dia memiliki nama lengkap muhammad bin
‘Ali bin Ahmad bin ‘Abdullah at-Tha’i Al-Haitami. Lahir di Murcia,
andalusia tenggara Spanyol tahun 510 H.
2. Ibn Arabi adalah penulis yang produktif, yang menurut Browne ada 500 judul karya tulis. Diantara hasil karya yang sangat monumental adalah Al-Futuhat Al-Makiyyah dan Tarjuman Al-Asywaq
3. Ajaran Tasawufnya adalah tentang Wahdat Al-wujud , menurutnya semua yang ada ini adalah satu dan pada hakikatnya wujud makhluk adalah wujud khalik pula.
4. Dalam hubungannya antara Tuhan dengan Alam, dia menjelaskan bahwa alam ini adalah bayangan Tuhan atau bayangan wujud yang hakiki. Alam tidak mempunyai wujud sebenarnya.
5. Ibn Arabi juga menjelaskan bahwa terjadinya alam ini tidak dapat dilepaskan dari ajaran Hakikat Muhammadiyah atau Nur Muhammad.
6. Ibn Arabi adalah maestro tasawuf dalam dunia Islam yang berjasa besar
dalam perkembangan dan pengukuhan ilmu tasawuf. Sehingga secara langsung atau
tidak banyak tokoh sufi dunia yang terpangaruh dan berhutang kepadanya. Tak
terkecuali tokoh-tokoh tasawuf di nusantara yang sedikit-banyak terpangaruh
oleh pandangan-pandangan Ibn Arabi. Salah satu pandangan sufistik Ibn Arabi
yang mewabah di kalangan sufi tanah air adalah teori ''insan kamil''. Para sufi
beken, seperti Hamzah Fansuri, Syamsudin Pasai dan Nuruddin al-Raniri sudah
akrab dengan konsep insan kamil dan bahkan masing-masing mereka dengan caranya
masing-masing berusaha menyebarkan dan mengembangkannya. Ibn Arabi menilai
bahwa Insan kamil adalah ciptaan yang azali dan abadi dan kalimat penentu dan
komprehensi. Dengan perantaranya, rahasia-rahasia Ilahi dan makrifat-makrifat
hakiki mewujud. Insan kamil adalah wadah seluruh peran dan duplikat asma-asma
Ilahi dan merupakan rahmat terbesar al Haqq bagi makhluk. Berbeda dengan Ibn
Arabi yang membahas teori insan kamil dalam bingkai tasawuf, Murtadha Muthahari
menguraikan konsep insan kamil dari sudut pandang Alquran. Sebagaimana Ibn
Arabi, Muthahari melihat insan kamil sebagai manusia yang menangkap dan
mengembangkan asma Allah secara proporsional. Sedangkan menurut Hamzah Fansuri,
manusia yang paling sempurna adalah mereka yang mampu memanifestasikan
keseluruhan sifat Tuhan dalam diriya. Adapun Syamsudin Pasai berpendapat bahwa
rupa batin manusia merupakan salinan dari wajah Tuhan. Tetapi hanya manusia
yang telah mencapai martabat insan kamil dapat kembali mencapai tipe ideal
asalnya yang rupa batinnya mengandung gambaran sifat ketuhanan. Dan akhirnya,
pembahasan tentang “Nur Muhammad” yang dilakukan Nuruddin al-Raniri dan juga
terdapat dalam sastra Melayu menandakan betapa kuatnya pengaruh pandangan kamil
Ibn Arabi dalam literatur dan khazanah tasawuf nusantara.2. Ibn Arabi adalah penulis yang produktif, yang menurut Browne ada 500 judul karya tulis. Diantara hasil karya yang sangat monumental adalah Al-Futuhat Al-Makiyyah dan Tarjuman Al-Asywaq
3. Ajaran Tasawufnya adalah tentang Wahdat Al-wujud , menurutnya semua yang ada ini adalah satu dan pada hakikatnya wujud makhluk adalah wujud khalik pula.
4. Dalam hubungannya antara Tuhan dengan Alam, dia menjelaskan bahwa alam ini adalah bayangan Tuhan atau bayangan wujud yang hakiki. Alam tidak mempunyai wujud sebenarnya.
5. Ibn Arabi juga menjelaskan bahwa terjadinya alam ini tidak dapat dilepaskan dari ajaran Hakikat Muhammadiyah atau Nur Muhammad.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar