Kamis, 09 Februari 2012

RABI’AH AL ADAWIYAH

Biografi

Rabi'ah Al Adawiyah memiliki nama asli Rabi'ah Al Adawiyah binti Ismail al Adawiyah al Bashriyah. Ia diberi nama oleh orang tuanya Rabi'ah karena merupakan anak ke empat dari empat bersaudara. Dalam bahasa Arab rabi'ah artinya ke empat. Rabi'ah lahir di kota Basrah tahun 94 H dan meninggal sekitar tahun 185 H serta dimakamkan di tempat itu juga. Rabi'ah tidak memiliki saudara laki-laki. Riwayat menyebutkan, bahwa pernah suatu ketika Ismail (ayah Rabi'ah) berdo'a agar dikarunai seorang anak laki-laki. Hal tersebut dikarenakan keluarga Rabi'ah bukanlah dari keluarga yang kaya raya dan mapan. Ayahnya harus bekerja keras dan membanting tulang sendiri demi menghidupi kelurganya. Saat Rabi'ah dilahirkan, tak seorang pun berada disamping ibunya untuk menolong melahirkan, karena ayahnya tengah berusaha meminta bantuan dari para tetangga. Namun karena saat itu sudah jauh malam, akhirnya tak seorang pun yang terjaga. Malam itu ayahnya hanya ingin meminjam lampu minyak tanah untuk menerangi istrinya yang akan melahirkan. Ismail pulang dengan putus asa dan kembali masuk ke dalam biliknya. Ia kemudian takjub menyaksikan apa yang terjadi di dalam ruangan itu. Seberkas cahaya memancar dari bayi yang baru saja lahir tanpa bantuan seorangpun. Namun, peristiwa itu tak lantas membuat keluarga Ismail berubah, mereka tetap terlilit dalam kemiskinan. Suatu malam, Ismail bermimpi didatangi oleh Rasulullah saw selepas shalat tahajjud . Dalam mimpi itu Rasululah saw memerintahkan untuk menghadap kepada Pemimpin kota Basrah dan menyampaikan bahwa pada Jum'at lalu ia tidak melakukan shalat sunnat seperti biasanya. Sebagai kifarat atas kelalaiannya itu, ia harus membayar satu dinar untuk satu rakaat yang ditinggalkannya. Ismail lalu melaksanakan seperti apa yang diperintahkan oleh Rasulullah saw. dalam mimpinya. Penguasa kota Basrah itu terperanjat. Ia memang biasa melaksanakan shalat sunnat 100 rakaat tiap malamnya, sedangkan pada malam Jum'at ia selalu mengerjakan shalat sunnat 400 rakaat. Akan tetapi pada malam Jum'at silam, ia meninggalkannya sehingga ia harus membayar 400 dinar. Setelah menginjak usia dewasa, Rabi'ah ditinggalkan oleh kedua orangtuanya sehingga ia harus bekerja keras sendiri untuk menghidupi dirinya. Rabi'ah menjadi seorang budak tanpa mengenal istirahat. Ia diperlakukan oleh majikannya tanpa manusiawi. Meskipun demikian, Rabi'ah tetap rajin beribadah kepada Tuhan tanpa mengenal lelah. Suatu malam, Rabi'ah seperti biasa mengerjakan shalat malam. Tampak seberkas cahaya yang bukan dari cahaya lampu muncul dari dalam rumahnya. Majikannya menyaksikan peristiwa aneh tersebut, maka dibebaskanlah Rabi'ah sebagai budak sebab ia merasa ketakutan setelah menyaksikan peristiwa itu. Rabi'ah selama hidupnya adalah seorang wanita suci yang saleha yang menyerahkan seluruh hidup dan urusannya hanya untuk beribadah kepada ALLAH SWT. 

CINTA RABIAH AL-ADAWIYAH

Pada suatu hari seorang lelaki datang kepada Rabiah al-Adawiyah al-Bashriyah dan bertanya, “Saya ini telah banyak melakukan dosa. Maksiat saya bertimbun melebihi gunung-gunung. Andaikata saya bertobat, apakah Allah akan menerima tobat saya?” “Tidak,” jawab Rabiah dengan suara sangar. Pada kali yang lain seorang lelaki datang pula kepadanya. Lelaki itu berkata, “Seandainya tiap butir pasir itu adalah dosa, maka seluas gurunlah tebaran dosa saya.
Maksiat apa saja telah saya lakukan, baik yang kecil maupun yang besar. T etapi sekarang saya sudah menjalani tobat. Apakah Tuhan menerima tobat saya?” “Pasti,” jawab Rabiah dengan tegas. Lalu ia menjelaskan, “Kalau Tuhan tidak berkenan menerima tobat seorang hamba, apakah mungkin hamba itu tergerak menjalani tobat? Untuk berhenti dari dosa, jangan simpan kata “akan atau “andaikata” sebab hal itu akan merusak ketulusan niatmu.”
Memang ucapan sufi perempuan dari kota Bashrah itu seringkali menyakitkan telinga bagi mereka yang tidak memahami jalan pikirannya. Ia bahkan pernah mengatakan, “Apa gunanya meminta ampun kepada Tuhan kalau tidak sungguh-sungguh dan tidak keluar dari hati nurani?” Barangkali lantaran ia telah mengalami kepahitan hidup sejak awal kehadirannya di dunia ini. Sebagai anak keempat. Itu sebabnya ia diberi nama Rabiah. Bayi itu dilahirkan ketika orang tuanya hidup sangat sengsara meskipun waktu itu kota Bashrah bergelimang dengan kekayaan dan kemewahan. Tidak seorang pun yang berada disamping ibunya, apalagi menolongnya, karena ayahnya, Ismail, tengah berusaha meminta bantuan kepada para tetangganya.
Namun, karena saat itu sudah jauh malam, tidak seorang pun dari mereka yang terjaga. Dengan lunglai Ismaill pulang tanpa hasil, padahal ia hanya ingin meminjam lampu atau minyak tanah untuk menerangi istrinya yang akan melahirkan . Dengan perasaan putus asa Ismail masuk ke dalam biliknya. Tiba-tiba matanya terbelak gembira menyaksikan apa yang terjadi di bilik itu.
Seberkas cahaya memancar dari bayi yang baru saja dilahirkan tanpa bantuan siapa-siapa. “Ya Allah,” seru Ismail, “anakku, Rabiah, telah datang membawa sinar yang akan menerangi alam di sekitarnya.” Lalu Ismail menggumam, “Amin.” Tetapi berkas cahaya yang membungkus bayi kecil itu tidak membuat keluarganya terlepas dari belitan kemiskinan. Ismail tetap tidak punya apa-apa Kecuali tiga kerat roti untuk istrinya yang masih lemah itu. Ia lantas bersujud dalam salat tahajud yang panjang, menyerahkan nasib dlrinya dan seluruh keluarganya kepada Yang Menciptakan Kehidupan.
Sekonyong-konyong ia seolah berada dalam lautan mimpi manakala gumpalan cahaya yang lebih benderang muncul di depannya, dan setelah itu Rasul hadir bagaikan masih segar-bugar. Kepada Ismail, Rasulullah bersabda, “Jangan bersedih, orang salih. Anakmu kelak akan dicari syafaatnya oleh orang-orang mulia. Pergilah kamu kepada penguasa kota Bashrah, dan katakan kepadanya bahwa pada malam Jumat yang lalu ia tidak melakukan salat sunnah seperti biasanya. Katakan, sebagai kifarat atas kelalaiannya itu, ia harus membayar satu dinar untuk satu rakaat yang ditinggalkannya.
Ketika Ismail mengerjakan seperti yang diperintahkan Rasulullah dalam mimpinya, Isa Zadan, penguasa kota Bashrah itu, terperanjat. Ia memang biasa mengerjakan salat sunnah 100 rakaat tiap malam, sedangkan saban malam Jumat ia selalu mengerjakan 400 rakaat. Oleh karena itu, kepada Ismall diserahkannya uang sebanyak 400 dinar sesuai dengan jumlah rakaat yang ditinggalkannya pada malam Jumat yang silam. Itulah sebagian dari tanda-tanda karamah Rabiah al-Adawiyah, seorang sufi perempuan dari kota Bashrah, yang di hatinya hanya tersedia cinta kepada Tuhan. Begitu agungnya cinta itu bertaut antara hamba dan penciptanya sampai ia tidak punya waktu untuk membenci atau mencintai, untuk berduka atau bersuka cita selain dengan Allah.
Tiap malam ia bermunajat kepada Tuhan dengan doanya,
“Wahai, Tuhanku. Di langit bintang-gemintang makin redup, berjuta pasang mata telah terlelap, dan raja-raja sudah menutup pintu gerbang istananya. Begitu pula para pecinta telah menyendiri bersama kekasihnya. Tetapi, aku kini bersimpuh di hadapan-Mu, mengharapkan cinta-Mu karena telah kuserahkan cintaku hanya untuk-Mu.”
Fariduddin al-Attar menceritakan dalam kitab Taz-kiratul Auliya bahwa Rabiah pandai sekali meniup seruling. Untuk jangka waktu tertentu ia menopang hidupnya dengan bermain musik. Namun, kemudian ia memanfaatkan kepandaiannya untuk mengiringi para sufi yang sedang berzikir dalam upayanya untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Selain itu ia mengunjungi masjid-masjid, dari pagi sampai larut malam. Namun, lantaran ia merasa dengan cara itu Tuhan tidak makin menghampirinya, maka ditinggalkannya semua itu.
Ia tidak lagi meniup seruling, dan ia tidak lagi mendatangi masjid-masjid. Ia menghabiskan waktu dengan beribadah dan berzikir. Setelah selesai salat isya’, ia terus berdiri mengerjakan salat malam. Pernah ia berkata kepada Tuhan,
“Saksikanlah, seluruh umat manusia sudah tertidur lelap, tetapi Rabiah yang berlumur dosa masih berdiri di hadapan-Mu. Kumohon dengan sangat, tujukanlah pandangan-Mu kepada Rabiah agar ia tetap berada dalam keadaan jaga demi pengabdiannya yang tuntas kepada-Mu.”
Jika fajar telah merekah dan serat-serat cahaya menebari cakrawala, Rabiah pun berdoa dengan khusyuk,
“Ya, illahi. Malam telah berlalu, dan siang menjelang datang. Aduhai, seandainya malam tidak pernah berakhir, alangkah bahagianya hatiku sebab aku dapat selalu bermesra-mesra dengan-Mu. illahi, demi kemuliaan-Mu, walaupun Kau tolak aku mengetuk pintu-Mu, aku akan senantiasa menanti di depan pintu karena cintaku telah terikat dengan-Mu.”
Lantas jika Rabiah membuka jendela kamarnya, dan alam lepas terbentang di depan matanya, ia pun segera berbisik,
“Tuhanku. Ketika kudengar margasatwa berkicau dan burung-burung mengepakkan sayapnya, pada hakikatnya mereka sedang memuji-Mu. Pada waktu kudengar desauan angin dan gemericik air di pegunungan, bahkan manakala guntur menggelegar, semuanya kulihat sedang menjadi saksi atas ke-Esaan-Mu.
Tentang masa depannya ia pemah ditanya oleh Sufiyan at-Thawri: “Apakah engkau akan menikah kelak?” Rabiah mengelak, “Pernikahan merupakan keharusan bagi mereka yang mempunyai pilihan. Padahal aku tidak mempunyai pilihan kecuali mengabdi kepada Allah.” “Bagaimanakah jalannya sampai engkau mencapai martabat itu?” “Karena telah kuberikan seluruh hidupku,” ujar Rabiah. “Mengapa bisa kaulakukan itu, sedangkan kami tidak?” Dengan tulus Rabiah menjawab, “Sebab aku tidak mampu menciptakan keserasian antara perkawinan dan cinta kepada Tuhan.”

Rabi'ah Al-Adawiyah “Aku adalah Milik-NYA”

Ketenaran Rabi'ah Al-Adawiyah sebagai wanita sufi menimbulkan hormat dan sekaligus kekaguman pada semua kalangan. Banyak kalangan ingin menikahinya, tetapi semua ditolaknya. "Aku adalah milik-Nya' jawabnya.
Selama hidupnya Rabi'ah Al-Adawiyah, wanita sufi dari Bashrah, tidak pernah menikah. Ketenarannya sebagai wanita sufi menimbulkan hormat dan sekaligus kekaguman pada semua kalangan. Karena itulah, Gubernur Bashrah kala itu, Muhammad bin Sulaiman Al-Hasyimi berkeinginan untuk menikahinya, tapi ditolak Rabiah. Rabiah mengatakan, “ Seandainya engkau memberikanku seluruh warisan hartamu, tidak mungkin aku memalingkan perhatianku dari Allah kepadamu, hanya sekejap mata sekalipun”
Muhammad bin Sulaiman Al-Hasyimi adalah gubernur yang kaya raya. Dengan kekayaan yang melimpah ruah ini dia meminta tolong kepada para ulama dan umara untuk mencarikan istri yang cocok, yang dapat membuatnya menjaga dengan amanah harta bendanya.
Orang-orang yang dimintai saran itu memberikan saran bahwa istri yang memenuhi syarat itu adalah Rabi'ah Al-Adawiyah. Namun, begitu lamaran itu disampaikan kepada Rabi'ah, ia mengirim surat kepada sang gubernur:
Persis seperti halnya kezuhudan (zuhud) di dunia ini adalah sumber kesenangan dan kenikmatan jasmani, maka begitu pulalah perhatian pada dunia menimbulkan kekhawatiran dan kesedihan. Singkirkanlah kekayaanmu di dunia ini untuk kehidupan akhirat nanti. Bersikaplah amanah kepada dirimu sendiri sekarang ini. Jangan biarkan orang lain mengelola dan membagi-bagikan harta kekayaanmu kelak. Berpuasalah dalam kehidupan. Berbukalah dengan kematian.
Akan halnya diriku, seandainya Allah memberiku sebanyak apa yang engkau berikan, atau bahkan lebih dari itu, aku tidak mungkin memalingkan perhatian ku dari-Nya barang sekejap pun.

Kepada orang lain yang bertanya kepadanya mengapa ia tidak menikah, Rabi'ah berkali-kali menjawab, "Ikatan perkawinan berkenaan hanya dengan wujud. Akan tetapi, adakah wujud dalam diriku? Aku bukanlah milik diriku sendiri. Aku adalah milik-Nya."

Kisah di atas mungkin berkenaan dengan Hasan Al-Bashri, sufi dari Bashrah, dekat Baghdad. Hasan pernah bertanya kepada Rabi'ah ihwal apakah ia ingin bersuami.
Rabi'ah menjawab, "Ikatan perkawinan hanya sebatas pada wujud. Akan tetapi, di sini wujud itu tidak ada. Aku tidak mengetahui diriku sendiri. Melalui Dia-lah aku ada, dan di bawah bayang-bayang kehendak dan kemauan-Nya saja-lah aku mawujud"
"Bagaimana engkau mencapai kedudukan (maqam) ini?" tanya Hasan.
"Dengan melenyapkan segenap pencapaianku dalam diri-Nya."
"Lalu, bagaimana engkau mengetahui-Nya?"
"Engkau mengetahui 'bagaimana',' jawabnya, "sementara aku mengetahui tanpa 'bagaimana'."

Dalam beberapa kisah disebutkan, Hasan Bashri sendiri sangat mencintai Rabi'ah. Namun tidak ada keberanian untuk melamarnya. Dan akhirnya mereka terlibat dalam suatu persahabatan tetapi mesra yang didasarkan karena Allah SWT semata-mata, bukan karena hawa nafsu.
Sebuah anekdot menggambarkan bagaimana status "teman tapi mesra" antara Hasan dan Rabi'ah:
Seminggu sekali, Hasan Al-Bashri mengadakan pertemuan dan ia menyampaikan khutbah. Setiap kali naik mimbar, ia selalu mencari Rabi'ah. Dan jika tidak melihatnya, ia tidak mau berkhutbah.
Orang-orang mengatakan, "Begitu banyak orang penting dan terkemuka berkumpul di sini, ada apa gerangan jika wanita tua berhijab itu tidak datang ke sini?"
Hasan menjawab, "Anggur yang diperuntukkan buat gajah tidak bisa dituangkan ke dalam dada semut."
Setiap kali majelis pertemuan itu semakin hangat dan bersemangat karena mendengar kata-katanya, Hasan Al-Bashri akan berpaling kepada Rabi'ah dan berkata, "Duhai, meskipun tersembunyi di balik hijab, segenap hasrat dan gairah ini timbul hanya dari bara api dalam qalbumu."
Persahabatan mesra kedua sufi itu juga terlihat dalam pengakuan Hasan Al-Bashri berikut, "Kuhabiskan siang dan malam hari bersama Rabi'ah dengan mendiskusikan thariqah dan haqiqah, tetapi aku maupun Rabi'ah tidak pemah merasa bahwa salah seorang di antara kami adalah pria dan yang lainnya wanita. Hanya saja, ketika aku meninggalkannya, kudapati diriku dalam keadaan sangat memerlukan dan miskin, sementara kulihat Rabi'ah benar-benar dalam keadaan ikhlas."

"Aku akan Menikah jika..
Di kala lain, orang-orang juga bertanya kepada Rabi'ah, "Mengapa engkau tidak menikah?"
la menjawab, "Aku khawatir akan tiga hal. Jika kalian sanggup membebaskanku dari kekhawatiranku itu, aku akan menikah.
Pertama, di saat sekarang, akankah keimananku cukup untuk menyelamatkanku? Kedua, akankah buku amalanku diberikan kepadaku di tangan kiriku atau tangan kananku? Ketiga, di saat itu ketika sekelompok orang dipanggii maju di sebelah kiri dan digiring ke neraka, dan sekelompok orang di sebelah kanan dipanggil serta digiring masuk ke surga, dalam kelompok mana aku termasuk?"
Orang-orang itu terbengong, Ten-tang masalah itu, kami tidak tahu."
"Dengan ketakutan seperti ini, apa-kah aku bisa menikah?" kata Rabi'ah.

Sekendi Madu Putih
Tidak hanya seorang gubernur kaya raya yang terpesona dengan Rabi'ah, seorang ulama juga kesengsem dengan akhlaq sufi wanita yang hidupnya penuh amal ibadah itu.
Menurut Abdul Wahid Zayd, Rabi'ah sering kali menghadiri majelis Samit Ajlan. Amalan-amalan ibadahnya yang terkenal menyebabkan Abdul Wahid ingin menikahinya.
"Aku ungkapkan keinginanku kepada Samit Ajlan," tutur Abdul Wahid, "yang mengungkapkan keinginanku kepada Samit Ajlan, yang mengatakan bahwa bahwa ia akan mencoba menyampaikan pinanganku kepada Rabi'ah."
Abdul Wahid meninggalkan Samit dan berusaha menemui Rabi'ah sendiri.
Ketika sudah berhadapan dengan Rabi'ah, justru Abdul Wahid mendapatkan pertanyaan, "Nafsu mana, wahai sang pria, yang engkau lihat dalam diriku yang menyebabkanmu rindu kepada-ku?"
Pertanyaan itu mengejutkan Abdul Wahid, sebab ia yakin bahwa berita pinangannya belum sampai kepada wanita sufi tersebut.
Kemudian Rabi'ah mengangkat wajahnya ke langit dan berdoa, "Ya Allah, kirimkan kepada kami sekendi madu putih untuk jamuan makan kami."
Segera saja sebuah kendi, yang belum pemah disaksikan Abdul Wahid sebelumnya, muncul dari tempat yang tidak diketahui asal-usulnya.
"Wahai Abdul Wahid," serunya, "jika engkau ingin madu yang sama sekali bukan berasal dari lebah mana pun, atau belum pemah dirasakan oleh makhluk mana pun, ulurkan tanganmu dan berbukalah sendiri."
Abdul Wahid sangat ketakutan untuk mengulurkan tangannya, betapapun dia ingin berusaha.
Rabi'ah kemudian meminta dia dan rombongannya meninggalkannya.
Dengan segera Abdul Wahid dan rombongannya pun pergi.

"Pandanglah Sang Pencipta"
Rabi'ah tidak hanya dicintai kaum pria, tetapi juga kaum wanita. Cinta di sini bukan cinta hawa nafsu, tetapi cinta untuk mengabdi dan meneladani sebagaimana yang diamalkannya.
Seorang wanita pernah mengaku kepada Rabi'ah, "Demi Allah, aku mencintaimu."
Rabi'ah menjawab, "Patuhilah dan taatilah Allah, yang demi diri-Nya engkau mencintaiku."
Salah seorang wanita shalihah yang mengabdi dan berkhidmat kepada Rabi'ah adalah Abdah binti Abu Syuwail. Banyak riwayat hidup Rabi'ah, khususnya yang berada di dalam rumah, bersumber dari dirinya.
Ada juga beberapa santri wanita yang berkhidmat kepada Rabi'ah, sebagaimana petikan kisah berikut ini:
Pada suatu hari yang indah di musim semi, Rabi'ah menyendiri di kamar tempat ia berkhalwat, dan tidak bermaksud keluar.
Kemudian, salah seorang santri wanitanya berkata, "Wahai Ibu, keluarlah dan lihatlah karya-karya Sang Pencipta."
"Lebih baik masuklah," jawab Rabi'ah, "dan pandanglah Sang Pencipta itu sendiri.
Merenungkan-Nya membuatku tidak sempat lagi memandang ciptaan-Nya."

Perindu Cinta Allah

Marilah kita teliti ucapan Rabi’ah sewaktu kesunyian di ketenangan malam ketika bermunajat kepada Allah:
“Ya Allah, Ya Tuhanku. Aku berlindung diri kepada Engkau daripada segala yang ada yang boleh mengosongkan diri daripada-Mu, daripada segala pendinding yang boleh mendinding antara aku dengan Engkau!
“Tuhanku! bintang-bintang telah menjelma indah, mata telah tidur nyenyak, semua pemilik telah menutup pintunya dan inilah dudukku di hadapan-Mu.
“Tuhanku! Tiada kudengar suara binatang yang mengaum, tiada desiran pohon yang bergeser, tiada desiran air yang mengalir, tiada siulan burung yang menyanyi, tiada nikmatnya teduhan yang melindungi, tiada tiupan angin yang nyaman, tiada dentuman guruh yang menakutkan melainkan aku dapati semua itu menjadi bukti keEsaan-Mu dan menunjukkan tiada sesuatu yang menyamai-Mu.
“Sekalian manusia telah tidur dan semua orang telah lalai dengan asyik maksyuknya. Yang tinggal hanya Rabi’ah yang banyak kesalahan di hadapan-Mu. Maka moga-moga Engkau berikan suatu pandangan kepadanya yang akan menahannya daripada tidur supaya dia dapat berkhidmat kepada-Mu.”
“Tuhanku! Engkau akan mendekatkan orang yang dekat di dalam kesunyian kepada keagungan-Mu. Semua ikan di laut bertasbih di dalam lautan yang mendalam dan kerana kebesaran kesucian-Mu, ombak di laut bertepukan. Engkaulah Tuhan yang sujud kepada-Nya malam yang gelap, siang yang terang, falak yang bulat, bulan yang menerangi, bintang yang berkerdipan dan setiap sesuatu di sisi-Mu dengan takdir sebab Engkaulah Tuhan Yang Maha Tinggi lagi Maha Perkasa.”
Setiap malam begitulah keadaan Rabi’ah. Apabila fajar menyinsing, Rabi’ah terus juga bermunajat dengan ungkapan seperti:
“Wahai Tuhanku! Malam yang akan pergi dan siang pula akan mengganti. Wahai malangnya diri! Apakah Engkau akan menerima malamku ini supaya aku berasa bahagia ataupun Engkau akan menolaknya maka aku diberikan takziah? Demi kemuliaan-Mu, jadikanlah caraku ini kekal selama Engkau menghidupkan aku dan bantulah aku di atasnya. Demi kemuliaan-Mu, jika Engkau menghalauku daripada pintu-Mu itu, nescaya aku akan tetap tidak bergerak juga dari situ disebabkan hatiku sangat cinta kepada-Mu.”
Selama 30 tahun dia terus-menerus mengulangi kata-kata ini dalam sembahyangnya:
“Ya Tuhanku! Tenggelamkanlah aku di dalam kecintaan-Mu supaya tiada suatupun yang dapat memalingkan aku daripada-Mu.”
Antara syairnya yang masyhur berbunyi:
“Kekasihku tiada menyamai kekasih lain biar bagaimanapun, Tiada selain Dia di dalam hatiku mempunyai tempat manapun, Kekasihku ghaib daripada penglihatanku dan peribadiku sekalipun, Akan tetapi Dia tidak pernah ghaib di dalam hatiku walau sedetik pun.”
“Wahai Tuhanku! Apakah Engkau akan membakar dengan api hati yang mencintai-Mu dan lisan yang menyebut-Mu dan hamba yang takut kepada-Mu?”




Puisi-puisi Sufi atau Syair-syair Cinta Rabi’ah al-Adawiyah dari buku Mahabbah Cinta Rabi’ah al-Adawiyah
Ya Allah apapun yang akan Engkau karuniakan padaku di dunia ini berikanlah pada musuh-musuh-Mu. Dan apapun yang akan Engkau karuniakan padaku di akhirat nanti berikanlah kepada sahabat-sahabat-Mu. Karena Engkau sendiri cukuplah bagiku.

Syair-syair cinta Rabi'ah al-Adawiyah adalah tonggak agung perkembangan sufisme; menandai era baru tradisi spiritual Islam; memp
...more
I
Alangkah sedihnya perasaan dimabuk cinta
Hatinya menggelepar menahan dahaga rindu
Cinta digenggam walau apapun terjadi
Tatkala terputus, ia sambung seperti mula
Lika-liku cinta, terkadang bertemu surga
Menikmati pertemuan indah dan abadi
Tapi tak jarang bertemu neraka
Dalam pertarungan yang tiada berpantai
II
Aku mencintai-Mu dengan dua cinta
Cinta karena diriku dan cinta karena diri-Mu
Cinta karena diriku, adalah keadaan senantiasa mengingat-Mu
Cinta karena diri-Mu, adalah keadaan-Mu mengungkapkan tabir
Hingga Engkau ku lihat
Baik untuk ini maupun untuk itu
Pujian bukanlah bagiku
Bagi-Mu pujian untuk semua itu
III
Tuhanku, tenggelamkan aku dalam cinta-Mu
Hingga tak ada satupun yang mengganguku dalam jumpa-Mu
Tuhanku, bintang gemintang berkelip-kelip
Manusia terlena dalam buai tidur lelap
Pintu pintu istana pun telah rapat
Tuhanku, demikian malam pun berlalau
Dan inilah siang datang menjelang
Aku menjadi resah gelisah
Apakah persembahan malamku, Engkau terima
Hingga aku berhak mereguk bahagia
Ataukah itu Kau tolak, hingga aku dihimpit duka,
Demi kemahakuasaan-Mu
Inilah yang akan selalu ku lakukan
Selama Kau beri aku kehidupan
Demi kemanusian-Mu,
Andai Kau usir aku dari pintu-Mu
Aku tak akan pergi berlalu
Karena cintaku pada-Mu sepenuh kalbu
IV
Ya Allah, apa pun yang akan Engkau
Karuniakan kepadaku di dunia ini,
Berikanlah kepada musuh-musuh-Mu
Dan apa pun yang akan Engkau
Karuniakan kepadaku di akhirat nanti,
Berikanlah kepada sahabat-sahabat-Mu
Karena Engkau sendiri, cukuplah bagiku
V
Aku mengabdi kepada Tuhan
bukan karena takut neraka
Bukan pula karena mengharap masuk surga
Tetapi aku mengabdi,
Karena cintaku pada-Nya
Ya Allah, jika aku menyembah-Mu
karena takut neraka, bakarlah aku di dalamnya
Dan jika aku menyembah-Mu
karena mengharap surga, campakkanlah aku darinya
Tetapi, jika aku menyembah-Mu demi Engkau semata,
Janganlah Engkau enggan memperlihatkan keindahan wajah-Mu
yang abadi padaku
VI
Alangkah buruknya,
Orang yang menyembah Allah
Lantaran mengharap surga
Dan ingin diselamatkan dari api neraka
Seandainya surga dan neraka tak ada
Apakah engkau tidak akan menyembah-Nya?
Aku menyembah Allah
Lantaran mengharap ridha-Nya
Nikmat dan anugerah yang diberikan-Nya
Sudah cukup menggerakkan hatiku
Untuk menyembah-Mu
VII
Sulit menjelaskan apa hakikat cinta
Ia kerinduan dari gambaran perasaan
Hanya orang
yang merasakan dan mengetahui
Bagaimana mungkin
Engkau dapat menggambarkan
Sesuatu yang engkau sendiri bagai hilang
dari hadapan-Nya, walau ujudmu
Masih ada karena hatimu gembira yang
Membuat lidahmu kelu
VIII
Andai cintaku
Di sisimu sesuai dengan apa
Yang kulihat dalam mimpi
Berarti umurku telah terlewati
Tanpa sedikit pun memberi makna
IX
Tuhan, semua yang aku dengar
di alam raya ini, dari ciptaan-Mu
Kicauan burung, desiran dedaunan
Gemericik air pancuran
Senandung burung tekukur
Sepoian angin, gelegar guruh
Dan kilat yang berkejaran
Kini
Aku pahami sebagai pertanda
Atas keagungan-Mu
Sebagai saksi abadi, atas keesaan-Mu
dan
Sebagai kabar berita bagi manusia
Bahwa tak satu pun ada
Yang menandingi dan menyekutui-Mu
X
Bekalku memang masih sedikit
Sedang aku belum melihat tujuanku
Apakah aku meratapi nasibku
Karena bekalku yang masih kurang
Atau karena jauh di jalan yang ‘kan kutempuh
Apakah Engkau akan membakarku
O, tujuan hidupku
Di mana lagi tumpuan harapanku pada-Mu
Kepada siapa lagi aku mengadu?
XI
Ya Allah
Semua jerih payahku
Dan semua hasratku di antara segala
kesenangan-kesenangan
Di dunia ini, adalah untuk mengingat Engkau
Dan di akhirat nanti, di antara segala kesenangan
Adalah untuk berjumpa dengan-Mu
Begitu halnya dengan diriku
Seperti yang telah Kau katakan
Kini, perbuatlah seperti yang Engkau kehendaki
XII
Ya Tuhan, lenganku telah patah
Aku merasa penderitaan yang hebat atas segala
yang telah menimpaku
Aku akan menghadapi segala penderitaan itu dengan sabar
Namun aku masih bertanya-tanya
Dan mencari-cari jawabannya
Apakah Engkau ridha akan aku
Ya, Ya Allah
O Tuhan, inilah yang selalu mengganggu langit pikiranku
XIII
Ya Allah
Aku berlindung pada Engkau
Dari hal-hal yang memalingkan aku dari Engkau
Dan dari setiap hambatan
Yang akan menghalangi Engkau
Dari aku
XIV
Ya Illahi Rabbi
Malam telah berlalu
Dan siang datang menghampiri
Oh andaikan malam selalu datang
Tentu aku akan bahagia
Demi keagungan-Mu
Walau Kau tolak aku mengetuk pintu-Mu
Aku akan tetap menanti di depannya
Karena hatiku telah terpaut pada-Mu
XV
Tuhanku
Tenggelamkan diriku ke dalam lautan
Keikhlasan mencintai-Mu
Hingga tak ada sesuatu yang menyibukkanku
Selain berdzikir kepada-Mu

1 komentar: