Minggu, 19 Februari 2012

Ibn Rusyd


Ibn Rusyd (1126-1198), atau yang lebih terkenal dengan sebutan Ibn Rusyd atau Averroes, adalah filosof Muslim Barat terbesar di abad pertengahan. Dia adalah pendiri pikiran merdeka sehingga memiliki pengaruh yang sangat tinggi di Eropa. Michael Angelo meletakkan patung khayalinya di atas atap gereja Syktien di Vatikan karena ia dipandang sebagai filosof free thinker. Dante dalam Divine Comedia-nya menyebutnya “Sang Komentator” karena dia dianggap sebagai komentator terbesar atas karya-karya Aristoteles.
Nama lengkapnya adalah Abu al Walid Muhammad Ibn Ahmad Ibn Muhammad Ibn Rusyd. Abu al Walid itu adalah nama gelarnya dan nama panggilannya adalah Ibn Rusyd dan dikalangan barat atau Eropa ia lebih dikenal dengan Averroes. Ia lahir pada tahun 520 H atau 1126 M dari keluarga yang terkenal alim dalam ilmu fikih di Spanyol-Islam, Ayahnya bernama Ahmad yang dipanggil Ibn rusyd juga adalah seorang ahli ilmu fiqih dan hukum yang pada saat itu menjabat sebagai Hakim Agung yang dahulunya pernah dijabat oleh kakek dari ibn Rusyd yang bernama Muhammad ibn Ahmad ibn Ahmad in Rusyd yang juga seorang ahli fiqih dan ilmu hukum. Pada waktu itu kakek ibn Rusyd diangkat sebagai imam besar Masjid Jami’ di Cordova dan dikalangan pemerintahan dia diangkat sebagai Hakim Agung. Dari keluarga terhormat inilah Ibn Rusyd diasuh.
Dari kecil Ibn Rusyd telah banyak belajar dari ayahndanya, terutama yang berkenaan dengan ilmu fiqih, Ushul, bahasa arab, kalam, dan sastera (adab) sehingga tidak mengherankan apabila pada usia yang relatif muda ia telah menghafal buku Al Muwattha karangan Imam Maliki, setelah itu ia perdalam lagi ilmu-ilmu itu sampai jenjang perguruan tinggi seperti ilmu kalam ia perdalam lagi di Universitas Cordova, ilmu kedokteran yang diperolehnya dari Abu Ja’far Harun dan Abu Marwan Ibn Jarbun al Balansi, sedangkan ilmu logika, filsafat dan teologi ia perdalam dari Ibn Thufail. Selain itu Ia belajar juga tentang matematika, fisika dan astronomi.
Ibn Rusyd selain sebagai hakim agung di Cordova seperti telah disebutkan diatas, meneruskan jejak ayahnya, ia juga pernah sebagai dokter khalifah di istana al Muwahhidin, Maroko, penasehat politik, dan yang terpenting ia adalah guru besar dan pemimpin perguruan.
Secara resmi, Ibn Rusyd memang diminta oleh Amir Abu Ya‘la Ya’qub Yusuf untuk menulis komentar atas berbagai karya Aristoteles, di mana untuk setiap buku dia membuat tiga kategori komentar: ringkasan (jami’), komentar singkat (talkhis) dan komentar detail (sharh atau tafsir). Yang terakhir disiapkan untuk mahasiswa tingkat tinggi. Akan tetapi, untuk jangka waktu yang sangat lama, di dunia Muslim, Ibn Rusyd tidak dikenal karena komentar-komentarnya terhadap karya-karya Aristoteles, tapi karena Tahafut al-Tahafut-nya yang ditulisnya sebagai bantahan terhadap terhadap buku al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah. Komentar-komentarnya banyak berada di dunia Yahudi dan Kristen sehingga kebanyakan komentar-komentarnya tidak lagi ditemukan dalam bahasa Arab, tapi sudah dalam bentuk terjemahan bahasa Hebrew atau Latin.
Memang Ibn Rusyd merupakang komentator besar karya-karya Aristoteles, namun perhatian intelektualnya yang vital dalam konteks pemikiran filsafat Islam diabaikan, kita telah berbuat tidak adil terhadapnya. Sekalipun bersikap sebaliknya juga sama tidak adilnya. Akan tetapi bagaimanapun juga, untuk memperoleh suatu pemahaman yang benar tentang pemikiran filosofis dan teologis Ibn Rusyd, sumber yang paling penting tentu saja Tahafut al-Tahafut.
Tidak mengherankan jika salah satu karyanya yang sangat terkenal, Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtasid, merupakan karyanya dalam bidang fiqh. Buku ini merupakan suatu studi perbandingan hukum Islam, di mana di dalamnya diuraikan pendapat Ibn Rusyd dengan mengemukakan pendapat-pendapat imam-imam fiqh.
Dia juga sebagai seorang dokter dan astronomer. Tapi, posisi ini kurang terkenal dibanding dengan reputasinya sebagai filosof. Dia dianggap sebagai salah satu dokter terbesar di zamannya. Menurut Sarton dia adalah orang pertama yang menerangkan fungsi retina dan orang pertama yang menjelaskan bahwa serangan cacar pertama akan membuat kekebalan berikutnya pada orang yang bersangkutan.
Agama dan Filsafat: Sebuah Upaya Rekonsiliasi Filosofis
Doktrin utama filsafat Ibn Rusyd yang membuatnya dicap sebagai murtad berkaitan dengan keabadian dunia, sifat pengetahuan Tuhan dan kekekalan jiwa manusia dan kebangkitannya. Membaca sekilas tentang Ibn Rusyd memang bisa memberi kesan bahwa dia murtad dalam hubungannya dengan masalah-masalah tersebut, tapi penelaahan yang serius akan membuat orang sadar bahwa dia sama sekali tidak menolak ajaran Islam. Dia hanya menginterpretasikannya dan menjelaskannya dengan caranya sehingga bisa sesuai dengan filsafat.
Terhadap doktrin keabadian dunia, dia tidak menolak prinsip penciptaan (creation), tapi hanya menawarkan satu penjelasan yang berbeda dari penjelasan para teolog. Ibn Rusyd memang mengakui bahwa dunia itu abadi, tapi pada saat yang sama membuat pembedaan yang sangat penting antara keabadian Tuhan dengan keabadian dunia. Ada dua macam keabadian: keabadian dengan sebab dan keabadian tanpa sebab. Dunia bersifat abadi karena adanya satu agen kreatif yang membuatnya abadi. Sementara, Tuhan abadi tanpa sebab. Lebih dulunya Tuhan atas manusia tidak terkait dengan waktu. Keberadaan Tuhan tidak ada kaitannya dengan waktu karena Dia ada dalam keabadian yang tak bisa dihitung dengan skala waktu. Lebih dulunya Tuhan atas dunia ada dalam keberadaan-Nya sebagai sebab yang darinya muncul semua keabadian.
Bagi Ibn Rusyd, tidak ada creatio ex nihilio, tapi penciptaan adalah proses perubahan dari waktu ke waktu. Menurut pandangan ini, kekuatan kreatif terus-menerus bekerja dalam dunia, menggerakannya dan menjaganya. Adalah mudah untuk menyatukan pandangan ini dengan konsep evolusi.
Penting juga untuk dinyatakan di sini tentang sanggahan al-Ghazali tentang hukum kausalitas. Al-Ghazali tidak menerima hukum kausalitas dengan dua alasan utama. Pertama, hukum kausalitas bertentangan dengan kekuasaan mutlak Tuhan atas dunia. Korelasi yang dinyatakan sebagai hukum sebab-akibat tidak ditopang oleh pengalaman dan logika. Pengalaman indra hanya memberi pengetahuan tentang rentetan kejadian dan tidak ada alasan apapun untuk mengatakan bahwa rangkaian temporal suatu kejadian menunjukkan proses sebab-akibat. Tidak ada sebab-akibat karena semuanya terjadi berdasarkan takdir Tuhan. Kalau tuhan menghendaki, maka runtutan kejadian yang selama ini dianggap sebagai sebab-akibat bisa tidak terjadi, sebagaimana dalam kejadian-kejadian luar biasa, atau yang biasa disebut dengan mukjizat.
Ibn Rusyd menyanggah tuduhan al-Ghazali tersebut dengan menyatakan bahwa tujuan al-Ghazali untuk memutlakkan kekuasaan Tuhan dengan cara menghapus hukum sebab-akibat justru kontraproduktif. Penolakan hukum sebab-akibat akan menghancurkan seluruh basis untuk mengarahkan seluruh proses kejadian di alam kepada tuhan. Al-Ghazali secara tidak sadar telah menghancurkan satu-satunya dasar logis di atas mana kekuasaan Tuhan terhadap alam bersandar.
Penanggalan itu sama-sama membahayakan filsafat, ilmu dan juga teologi. Jika segala sesuatu tejadi secara kebetulan dan tergantung pada keputusan Tuhan yang tidak dapat diduga, maka tidak ada pola rasional yang dapat kita amati dalam ciptaan. Ini juga berarti menghancurkan konsep Tuhan sebagai pencipta alam dan pengatur yang maha bijaksana. Dari sudut ini, maka tidak ada jalan lagi untuk membuktikan eksistensi Tuhan dari sudut pandang keindahan dan keteraturan yang kita saksikan di dunia ini atau untuk menolak argumen kaum materialis yang menunjuk semua kejadian di dunia ini kepada kekuatan-kekuatan kebetulan yang buta. Tesis ini jelas membahayakan, baik bagi filsafat maupun al-Qur’an yang telah menyatakan dengan tegas dunia sebagai sebagai karya Tuhan yang sempurna.
Sementara yang berhubungan dengan pengetahuan Tuhan, Ibn Rusyd tampak mengikuti pandangan para filosof bahwa Tuhan hanya mengetahui keberadaanya sendiri. Bagi filosof, pandangan ini merupakan keniscayaan agar Tuhan tetap terjaga keesaan-Nya karena jika Dia mengetahui keragaman segala sesuatu, Dia berarti juga memiliki keragaman dalam diri-Nya. Jalan pikiran ini akhirnya meletakkan Tuhan untuk semata-mata berada dalam diri-Nya sendiri dan tidak ada yang lain.
Sebagai seorang Aristotelian sejati, Ibn Rusyd mengikuti pandangan “gurunya” tersebut. Arsitoteles berpendapat bahwa sat-satunya obyek yang cocok bagi pengetahuan Tuhan adalah esensi Ilahi sendiri. Pendapat ini dimunculkan karena hasrat untuk menyucikan (tanzih) Tuhan dari sifat cela dan kesemantaraan yang menjadi konsekuensi dari pengetahuan tentang hal-hal yang partikular. Ibn Rusyd mengikuti argumen ini dengan berusaha “menyelamatkan” Tuhan dari sifat ketidaktahuan sebagai yang secara implisit terkandung dalam pandangan Aristoteles tersebut. Ibn Rusyd menyatakan bahwa dalam mengetahui Dirinya sendiri, Tuhan mengetahui segala sesuatu yang ada bedasarkan Wujud itu yang merupakan sebab bagi eksistensi segala sesuatu. Dengan begitu, Wujud Pertama mengetahui segala wujud partikular melalui Dirinya sendiri.
Filsafat Ibn Rusyd memiliki elastisitas yang tinggi. Ia menyatakan bahwa Tuhan dalam mengetahui esensi diri-Nya sendiri mengetahui segala sesuatu yang ada di dunia karena pada akhirnya Dia adalah sumber dan landasan utama dari segala sesuatu. Pengetahuan Tuhan tidak seperti pengetahuan manusia. Jadi, kalau al-Ghazali menyerang para filosof dengan mengatakan bahwa mereka tidak mengakui pengetahuan Tuhan terhadap yang partikuler, bagi Ibn Rusyd, al-Ghazali tidak memahami filsafat karena yang tidak diakui oleh para filosof adalah penyamaan pengetahuan Tuhan dengan manusia.

Pembuktian Kebenaran

Dalam mencari kebenaran, menurut Ibn Rusyd, ada tiga macam cara yang bisa dipakai, yaitu :
1. Metode Retorika (al khatabiyyah)
2. Metode Dialekti (al jadaliyyah)
3. Metode Demonstratif (al burhaniyyah)
Metode retorik dan dialektik diperuntukkan bagi manusia awam, sedangkan metode demonstratif secara spesifik dikonsumsikan bagi kelompok kecil manusia. Dalam konteks syari’ah, metode-metode terbagi kepada empat macam kategori, yaitu :
1. Metode yaqini, yaitu metode yang bersifat umum, sekaligus bersifat khusus. Wujud dari metode ini adalah silogisme yang mencapai tingkat kepastian, sekalipun premis-premis yang dikemukakan bersifat masyhur (benar karena pendapat umum) atau madhmum (benar karena dugaan umum), dalil semacam ini tidak membutuhkan takwil karena jika ditakwilkan jatuhnya akan kafir.
2. Metode yang premis-premisnya sekalipun bersifat masyhur atau madhmum, namun kebenarannya mencapai tingkat pasti. Metode ini konklusinya diambil dari perumpamaan bagi obyek yang menjadi tujuan. Konklusinya membuka pintu untuk ditafsirkan.
3. Metode yang konklusinya berupa obyek yang hendak disimpulkan sedangkan premisnya bersifat masyhur atau madhmum, tanpa terbuka kemungkinan untuk mencapai keyakinan dan konklusi yang dicapai tidak membutuhkan takwil.
4. Metode yang premis-premisnya bersifat masyhur atau madhmum, tanpa membuka kemungkinan untuk mencapai tingkat yaqini dan konklusinya berupa perumpamaan-perumpamaan bagi obyek yang dituju, bagi orang tertentu hal ini harus ditakwilkan tetapi bagi orang awam hal ini harus diterima secara lahiriah.
Namun demikian menurut Ibn Rusyd ke empat kategori ini dapat ditakwilkan oleh orang-orang tertentu saja sedangkan bagi orang awam tidak perlu, mereka hanya perlu memahaminya secara lahiriah saja, dan dengan ditakwilkan tentunya akan lebih memuaskan namun tidak semua orang dapat menerimanya.

Al Ghazali : “Para Filusuf itu Orang Kafir…!!!”

Dalam bukunya Tahafut al Falasifah Al Ghazali mengatakan bahwa para filusuf telah banyak mengungkapkan argumentasi yang bertentangan dengan Al Qur’an sehingga dia menganggap para filusuf telah mengingkari Al Qur’an dan ia mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang kafir.
Adapun hal-hal yang dilanggar oleh para filusuf menurut Al Ghazali ada 20 persoalan yaitu 16 dalam bidang metafisika dan 4 dibidang fisika namun dari 20 hal itu 17 hal digolongkan dalam Ahl al Bida’ dan berkenaan dengan 3 hal lainnya para filusuf dikatakan sebagai orang kafir.
Perincian 20 persoalan diatas adalah sebagai berikut :
1. Alam qadim (tidal bermula)
2. Keabadian (abadiah) alam, masa dan gerak
3. Konsep Tuhan sebagai pencipta alam dan bahwa alam adalah produk ciptaan-Nya; ungkapan ini bersifat metaforis
4. Demonnstrasi/ pembuktian eksistensi Penciptaan alam
5. Argumen rasional bahwa Tuhan itu satu dan tidak mungkin pengandaian dua wajib al wujud
6. Penolakan akan sifat-sifat Tuhan
7. Kemustahilan konsep genus (jins) kepada Tuhan
8. Wujud Tuhan adalah wujud yang sederhana, wujud murni, tanpa kuiditas atau esensi
9. Argumen rasional bahwa Tuhan bukan tubuh (jism)
10. Argumen rasional tentang sebab dan Pencipta alam (hukum alam tak dapat berubah)
11. Pengetahuan Tuhan tentang selain diri-Nya dan Tuhan mengetahui species dan secara universal
12. Pembuktian bahwa Tuhan mengetahui diri-Nya sendiri
13. Tuhan tidak mengetahui perincian segala sesuatu (juziyyat) melainkan secara umum
14. Langit adalah mahluk hidup dan mematuhi Tuhan dengan gerak putarnya
15. Tujuan yang menggerakkan
16. Jiwa-jiwa langit mengetahui partikular-partikular yang bermula
17. Kemustahilan perpisahan dari sebab alami peristiwa-peristiwa
18. Jiwa manusia adalah substansi spiritual yang ada dengan sendirinya, tidak menempati ruang, tidak ter pateri pada tubuh dan bukan tubuh.
19. Jiwa manusia setelah terwujud tidak dapat hancur, dan watak keabadiannya membuatnya mustahil bagi kita membayangkan kehancurannya.
20. Penolakan terhadap kebangkitan Jasmani.
Dari 20 persoalan ini ada 3 hal yang dianggap paling membahayakan “kestabilan” umat yaitu :
1. Alam kekal (qadim) atau abadi dalam arti tidak berawal
2. Tuhan tidak mengetahui perincian atau hal-hal yang partikular
3. Pengingkaran terhadap kebangkitan jasmani

Ibn Rusyd : “Tunggu dulu …!!!”

Adapun bantahan Ibn Rusyd terhadap argumen yang dilontarkan oleh Al Ghazali adalah sebagai berikut :
Tentang Alam yang Qadim
Pendapat para filusuf bahwa alam kekal dalam arti tidak bermula tidak dapat diterima oleh para teolog Islam termasuk Al Ghazali karena mereka percaya bahwa Tuhan adalah pencipta sehingga Ia mengadakan sesuatu dari tiada(creatio ex nihilio). Jika alam tidak bermula maka alam tidak diciptakan sehingga Tuhan bukanlah maha pencipta.
Ibn Rusyd membantah hal ini karena pendapat para filusuf terutama filusuf Islam mengatakan bahwa alam ini diciptakan dari yang ada dahulu, dan yang mungkin terjadi adalah “ada” yang awal berubah menjadi “ada” dalam bentuk lain. Dan Ibn Rusyd mengatakan bahwa creatio ex nihilio itu tidak didukung oleh dasar syari’ah, tak ada ayat yang mengatakan bahwa Tuhan pada mulanya berwujud sendiri dan tidak ada wujud selain dari Tuhan dan kemudian barulah menciptakan alam ini.
Bukti dari Tuhan menciptakan alam ini dari sesatu yang “ada” dapat dibuktikan melalui beberapa ayat diantaranya:
1. Al Qur’an Surat Hud, ayat 7, yang mengatakan secara garis besar bahwa sebelum ada wujud langit dan bumi telah ada wujud lain, yaitu wujud air yang diatasnya terdapat tahta kekuasaan Tuhan, ditegaskan lagi bahwa langit dan bumi diciptakan setelah ada air, tahta dan masa.
2. Al Qur’an surat Fushilat, ayat 11, dikatakan bahwa Tuhan menciptakan bumi dalam 2 masa, menghiasi bumi dengan gunung dan diisi dengan berbagai macam makanan, kemudian Tuhan naik ke langit yang masih merupakan uap, sehingga ditakwilkan langit tercipta dari uap.
3. Al Qur’an Surat Al Anbiya’, ayat 30, dikatakan bahwa bumi dan langit pada mulanya adalah satu unsur yang sama kemudian dipecah menjadi 2 benda yang berlainan.
4. Al Qur’an surat Ibrahim, ayat 47 – 48, disini menunjukkan bahwa alam ini sifatnya kekal yaitu dikatakan bahwa langit dan bumi akan ditukarkan dengan bumi dan langit yang lain, dan sekaligus membuktikan bahwa alam ini terwujud dan perwujudannya melalui proses yang terus menerus.
Untuk menengahi pendapat bahwa alam ini qadim maka Ibnu Rusyd mengatakan bahwa sebenarnya antara filusuf dan ahli syari’ah telah sepakat bahwa ada tiga macam wujud, yang berkaitan dengan hal ini, yaitu :
1. Wujud Baru / karena sebab sesuatu, yaitu dari sesuatu yang lain dan karena sesuatu, yakni zat pembuat dan dari benda, ini adalah benda yang kejadiannya bisa terlihat oleh panca indera, seperti terjadinya air, udara, bumi, hewan, tumbuh-tumbuhan dan sebagainya.
2. Wujud Qadim/ tanpa sebab sesuatu, yaitu wujud yang bukan dari sesuatu, tidak karena sesuatu, dan tidak didahului oleh zaman, wujud ini dapat diketahui dengan bukti-bukti pikiran, seperti Tuhan.
3. Wujud Antara, yaitu wujud yang terletak di antara kedua wujud ini, wujud yang bukan dari sesuatu dan tidak didahului oleh zaman tetapi wujud karena sesuatu, yaitu zat pembuat, dan wujud itu adalah alam keseluruhannya
Dari keterangan diatas maka dapat dilihat bahwa kejadian alam ada kalanya terjadi dengan adanya hubungan sebab akibat, Al Ghazali mengingkari hal ini, sebaliknya Ibn rusyd menyetujui adanya hubungan sebab akibat, hal ini ia ambil dari Aristoteles tentang sebab pokok, yaitu :
1. ‘Illah maddiyah (sebab akibat yang berkaitan dengan benda)
2. ‘Illah Shuwariyyah (Sebab akibat yang berkaitan dengan bentuk/form)
3. ‘Illah fa’ilah (sebab akibat yang berkaitan dengan daya guna)
4. ‘Illah gha’iyyah (sebab akibat yang berkaitan dengan tujuan)

Tentang Pengetahuan Tuhan
Menurut para teolog juga Al Ghazali bahwa setiap maujud diciptakan Tuhan karena kehendak-Nya, jadi seluruhnya itu diketahui oleh Tuhan, sebab yang berkehendak haruslah mengetahui yang dikehendaki-Nya. Jadi Tuhan mengetahui segala sesuatu secara rinci.
Ibn Rusyd membantah, dikatakan bahwa tidak pernah ada filusuf yang mengatakan bahwa Tuhan tidak mengetahui yang rinci, pendapat yang ada adalah bahwa pengetahuan tentang perincian yang terjadi di alam tidak sama dengan pengetahuan manusia tentang perincian itu, karena pengetahuan manusia tentang perincian diperoleh melalui panca indera dan dengan panca indera pulalah pengetahuan manusia tentang sesuatu selalu berubah dan berkembang sesuai dengan penginderaan yang dicernanya. Sedangkan pengetahuan tentang kulliyah diperoleh melalui akal dan sifatnya tidak berhubungan langsung dengan rincian yang materi itu.
Pengetahuan Tuhan, sebaliknya merupakan sebab yang tidak berubah oleh perubahan yang dialami juziyah. Tuhan tidak mengetahui apa-apa yang terjadi dan sesuatu yang telah terjadi. Pengetahuan Tuhan tidak dibatasi oleh waktu yang telah lampau, sekarang dan akan datang. Pengetahuan-Nya bersifat qadim, yaitu semenjak azali Tuhan mengetahui segala hal yang terjadi di alam, betapun kecilnya . Meskipun demikian pengetahuan Tuhan tidaklah bersifat kulliyah atau juziyyah, sebab kedua sifat ini merupakan kategori manusia, bukan merupakan kategori ilahi dan pengetahuna Tuhan tidak dapat diketahui selain oleh Tuhan sendiri.
Tentang Kebangkitan Jasmani
Para filusuf mengatakan bahwa nanti di alam akhirat yang bangkit hanyalah roh saja tidak ada kebangkitan jasmani, dan Al Ghazali membantah hal ini sebab dalam Al Qur’an sendiri dikatakan bahwa manusia akan mengalami berbagai kenikmatan jasmani di dalam surga atau kesengsaraan jasmani di dalam neraka.
Ibn Rusyd mengatakan bahwa para filusuf tidak membantah adanya kebangkitan jasmani, karena hampir semua agama samawi mengakui adanya kebangkitan jasmani, namun dari sesuatu yang telah hancur itu tidak mungkin bisa dibentuk kembali, maka kalau pun ada kebangkitan jasmani tentunya dalam bentuk lain, tidak dalam bentuk manusia sekarang ini.
Di akhirat nanti semua yang terdapat disana tidaklah seperti apa yang kita lihat dan alami di dunia ini, semua tidak pernah terpikirkan oleh manusia, sehingga kehidupan diakhirat nanti tidak akan sama dengan kehidupan di dunia saat ini. Dan alam Akhirat ini hanyalah suatu fase lanjutan dari jalur kehidupan manusia, dan tentunya tidaklah berlebihan apabila nanti dalam kebangkitannya tidak terjadi kebangkitan jasmani atau paling tidak jasmani yang bangkit adalah jasmani dalam bentuk yang berbeda.
Ibn Rusyd juga mengkritik Al Ghazali sebab di salah satu karyanya dikatakan bahwa khusus bagi kaum sufi tidak ada kebangkitan jasmani ereka hanya mengenal kebangkitan rohani saja, disini terlihat adanya ketidak konsistenan Al Ghazali dalam konsep kebangkitan jasmani.

Akhir Cerita

Dari keterangan diatas bahwa dapat diambil intisari tentang bantahan Ibn Rusyd terhadap argumentasi Al Ghazali, yaitu :
1. Alam ini memang Qadim, terbukti dengan ayat-ayat Tuhan yang termaktub dalam Al Qur’an, dan tidak satupun dari ayat tersebut yang mengatakan alam ini diciptakan dari ketiadaan.
2. Pengetahuan Tuhan dan Manusia memang berbeda jadi ketidaktahuan Tuhan yang disangkakan oleh Al Ghazali ternyata ada kesalahan penafsiran tentang pengetahuan Tuhan dan Manusia.
3. Kebangkitan Jasmani memang perlu dikumandangkan terutama bagi orang awam yang tujuannya adalah untuk membangkitkan semangaat mereka beribadah, sedangkan bagi kelompok yang khusus, seperti kaum sufi dan para filusuf, boleh ditakwilkan bahwa nanti tidak ada kebangkitan jasmani yang ada hanya roh.
Prolog
Kehadirannya dalam sejarah intelektualisme Islam signifikan baik bagi usaha mengurai benang kusut pemikiran maupun dalam menghidupkan kembali filsafat yang telah memasuki titik nadir. Hal terpenting dari kiprah Ibnu Rusyd dalam bidang ilmu pengetahuan adalah usahanya untuk menerjemahkan dan melengkapi karya-karya pemikir Yunani, terutama karya Aristoteles dan Plato, yang mempunyai pengaruh selama berabad-abad lamanya. Antara tahun 1169-1195 M.
Ibnu Rusyd banyak menulis komentar dan penjelasan terhadap karangan para filosof yunani khususnya Aristoteles baik dalam komentar singkat (al-jami’), sederhana (talkhis), ataupun komentar luas (tafsir), sehingga Ibnu Rusyd juga populer dengan sebutan ”al-Syarih al-Akbar / the great commentator”.
Analisanya telah mampu menghadirkan secara lengkap pemikiran Aristoteles. Ia pun melengkapi telaahnya dengan menggunakan komentar-komentar klasik dari Themisius, Alexander of Aphiordisius, al Farabi dengan Falasifah-nya, dan komentar Ibnu Sina. Komentarnya terhadap percobaan Aristoteles mengenai ilmu-ilmu alam, memperlihatkan kemampuan luar biasa dalam menghasilkan sebuah observasi.
Filosof muslim cordova ini dianggap sebagai pensyarah pertama yang paling berpengaruh di dataran Eropa. Banyak tokoh Eropa melakukan kajian terhadap karya-karya beliau dalam beberapa bahasa, seperti bahasa latin, dan bahasa Ibrani. Dimana pemikiran dan karya-karya Ibnu Rusyd ini sampai ke dunia Barat melalui Ernest Renan.
Bagaimana Ibnu Rusyd menguraikan lebih lanjut teori rasionalnya, inilah yang akan menjadi pokok masalah dalam tulisan berikut.

A. Logika ( pemikiran Ibnu Rusyd)
Dalam permasalahan logika satuan proposisi terkecil yakni “kata”. Kata menjadi penting karena merupakan unsur dalam membentuk pemikiran. Pada praktiknya kata dapat dilihat berdasarkan beberapa pengertian yakni positif (penegasan adanya sesuatu), negatif (tidak adanya sesuatu), universal (mengikat keseluruhan), partikular (mengikat keseluruhan tapi tak banyak), singular (mengikat sedikit/terbatas), konkret (menunjuk sebuah benda), abstrak (menunjuk sifat, keadaan, kegiatan yang terlepas dari objek tertentu), mutlak (dapat difahami sendiri tanpa hubungan dengan benda lain), relatif (dapat difahami sendiri jika ada hubungan dengan benda lain), bermakna/tak bermakna, dsb.
Logika sebagai teori penyimpulan, berlandaskan pada suatu konsep yang dinyatakan dalam bentuk kata atau istilah, dan dapat diungkapkan dalam bentuk himpunan sehingga setiap konsep mempunyai himpunan, mempunyai keluasan. Dengan dasar himpunan karena semua unsur penalaran dalam logika pembuktiannya menggunakan diagram himpunan, dan ini merupakan pembuktian secara formal jika diungkapkan dengan diagram himpunan sah dan tepat karena sah dan tepat pula penalaran tersebut.
Pengertian ini tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa seseorang dengan sendirinya mampu menalar atau berpikir secara tepat hanya jika ia mempelajari logika. Namun , di lain pihak, harus juga diakui bahwa orang yang telah mempelajari logika (sudah memiliki pengetahuan mengenai metode-metode dan prinsip-prinsip berpikir), mempunyai kemungkinan lebih besar untuk berpikir secara tepat ketimbang orang yang sama sekali tidak pernah berkenalan dengan prinsip-prinsip dasar yang melandasi setiap kegiatan penalaran.
Dengan ini hendak dikatakan bahwa suatu studi yang tepat tentang logika tidak hanya memungkinkan seseorang untuk memperoleh pengetahuan mengenai metode-metode dan prinsip-prinsip berpikir tepat saja, melainkan juga membuat orang yang bersangkutan mampu berpikir sendiri secara tepat dan kemudian mampu untuk membedakan penalaran yang tepat dari penalaran yang tidak tepat.
Ibnu Rusyd berargumentasi bahwa di dalam al-Qur’an terdapat banyak ayat-ayat yang memerintahkan kita untuk menggunakan akal untuk memahami segala yang wujud. Karena akal ini tidak lain daripada proses berfikir yang menggunakan metode logika analogi (qiyas al-‘aqli), maka metode yang terbaik menurut sang poinir rasionalis ini adalah metode demonstrasi (qiyas al-burhani). Sama seperti qiyas dalam ilmu Fiqh (qiyas al-fiqhi), yang digunakan untuk menyimpulkan ketentuan hukum. metode demonstrasi (qiyas al-burhan) digunakan untuk mamahami segala yang wujud (al-maujudat). Dari pemahaman tersebut merupakan asas bagi kesimpulan Ibn Rushd yang menyatakan bahwa para filosof memiliki otoritas untuk menta’wilkan al-Quran.
Berasaskan pada kemampuan akal manusia, Ibnu Rusyd membagi kedalam tiga kelompok: Pertama “kelompok ahli awam”, metode ilmu pngetahuan yang sesuai untuk ahli awam ini adalah khathabi (retoris), dengan begitu al-Quran tidak dapat di ta’wilkan, karena mereka hanya orang-orang yang memahami al-Quran secara tertulis. Kedua, “kelompok pendebat”, untuk para pengguna metode ilmu pengetahuan secara dialetik ini ta’wil juga sulit diterapkan. dan ketiga adalah “kelompok ahli hikmah (ahli fikir)”, merekalah orang-orang yang menggunakan metode burhani (demonstratif), sementara ta’wil secara tertulis dalam bentuk karya, hanya bisa diperuntukkan bagi kaum ahli hikmah ini.
B. Syari’ah dzahir dan batin
Wahyu dibagi kedalam tiga bentuk makna yang terkandung didalamnya yaitu :
• Teks yang maknanya dapat difahami dengan tiga metode yang berbeda (metode retorik, dialektik dan demonstratif)
• Teks yang maknanya hanya dapat diketahui dengan metode demonstrasi. Makna yang terkandung dalam teks ini terdiri dari:
a) makna dzahir, yaitu teks yang mengandung simbol-simbol (amtsal) yang dibuat untuk menerangkan idea-idea yang dimaksud.
b) makna batin, yaitu teks yang mengandungi idea-idea itu sendiri dan hanya dapat difahami oleh yang disebut ahli al-burhan.
• Teks yang bersifat ambiguos antara dzahir dan batin. Klassifikasi teks wahyu ini juga merujuk kepada kemungkinan untuk dapat difahami dengan akal.
Maka itu ia memahami istilah “ta’wil” sebagai penafsiran dan penjelasan ucapan, ia tetap menekankan pada kesesuaiannya dengan makna dzahir dari lafadz ucapan itu. Dalam pandangannya perkataan dzahir yang dapat difahami dari lafadz bermacam-macam bentuknya, ada yang menurut konteksnya dan ada pula yang difahami sesuai dengan ikatan-ikatan yang ada didalamnya.
Untuk itu, Ibnu Rusyd menetapkan tiga syarat, agar ta’wil itu dapat diterima:
1) menjaga agar lafadz itu sesuai dengan makna yang terdapat dalam Bahasa Arab dan maksud al-syari’ serta tidak memahami dengan makna lain.
2) menjaga agar maknanya sesuai dengan yang dimaksudkan oleh pembicara dalam konteks lafaznya.
3) memperhatikan “mustawa al-ma’rifi” (tingkatan nalar dan pengetahuan) kepada siapa “ta’wil” itu dihadapkan.
Oleh itu kita tidak boleh menta’wilkan lafadz-lafadz al-Qur’an dengan sesuka hati tanpa mengkaji maksud yang sesungguhnya sesuai dengan konteks masing-masing lafadz.
C.Penciptaan alam
ayat-ayat Allah terbagi atas dua macam: yaitu ayat-ayat berupa Kitab Suci (qauliyah) dan yang Kedua adalah ayat-ayat berupa alam semesta sebagai ciptaan Allah (kauniyah). Menurut filsuf Muslim Ibn Rusyd, alam semesta justru merupakan ayat-ayat Allah yang pertama. Dikatakan demikian, karena sebelum Allah SWT menurunkan Kitab Taurat, Injil, dan al-Quran, Allah telah menciptakan alam jagat raya ini. Karena alam adalah ayat, maka sebagaimana sepotong firman adalah ayat, maka sejengkal alam juga ayat. Sebagai ayat, alam ini selalu bergerak memenuhi tujuan penciptaan. Karena itu, penelitian terhadap alam diduga kuat dapat mengantar manusia menemukan dan meyakini wujud Allah dan kuasa-Nya.
Sebagian pengkaji filsafat menilai bahwa Ibnu Rusyd memiliki dua pendapat tentang asal-usul alam. Kepada masyarakat awam, Ibnu Rusyd tidak berpendapat tentang Qadimnya alam, hanya sekedar mengemukakan teorinya tentang peciptaan alam, sedangkan dalm beberapa kitabnya untuk kajian filosofis, ia dengan tegas menguraikan argumentasi tentang keqidaman alam.
Walaupun demukian, pada hakikatnya Ibnu Rusyd melakukannya sekedar untuk menjaga keutuhan teorinya pada setiapkarya-karyanya. Yang dimaksud dengan Qadimya alam yaitu qadim hanya dari segi zaman, bukan dalam pengertian tidak memiliki ‘illah atau tidak diciptakan oleh Tuhan, dalam artian ia menolak pendapat bahwa materi adalah ‘illah bagi dirinya sendiri, sehingga tidak ada bedanya dengan dzat Tuhan.
Dalam penciptaan alam, sosok yang banyak dipengaruhi oleh madzhab Aristoteles ini menganut teori “Kausalitas” (hukum sebab akibat), dalam memahami alam harus dengan dalil-dalil tertentu agar dapat sampai pada hakikat dan eksistensi alam.
Para teolog dan Imam Ghazali dalam karya monumentalnya (Tahfut al-Falasifah), menyatakan bahwa alam hadits dan mempercayai bahwa Tuhan adalah pencipta sehingga Ia mengadakan sesuatu dari “tiada” (al-‘adam). Jika alam tidak bermula, maka alam tidak diciptakan sehingga Tuhan bukanlah maha pencipta.
Ibnu Rusyd dan para Filosof Islam mengatakan bahwa alam adalah qodim, namun dengan kata lain diciptakan dari yg ada dahulu, yang mungkin terjadi adalah “ada” (maujud) yang awal kemudian berubah menjadi “ada” (maujud) dalam bentuk lain. Hal ini ia perkuat dengan mengusung dalil dalam al-Quran:
Surat Hud : ayat 7 ; dikatakan secara garis besar, bahwa sebelum ada wujud langit dan bumi telah ada wujud lain, yaitu wujud air, yang diatasnya terdapat tahta kekuasaan Tuhan, ditegaskan lagi bahwa langit dan bumi diciptakan setelah air, tahta, dan masa.
Surat Fushilat : ayat 11 ; dikatakan bahwa Tuhan menciptakan 2 bumi dalam 2 masa menghiasi bumi dengan gunung dan diisi dengan berbagai macam makanan, kemudian Tuhan naik ke langit, yang masih merupakan uap, sehingga dita’wilkan langit tercipta dari uap.
Surat al-Anbiya’ : ayat 30 ; dikatakn bahwa bumi dan langit pada mulanya adalah satu unsur yang sama, kemudian dipecah menjadi dua benda yang berlainan.
Dari keterangan diatas, maka tampak bahwa kejadian alam terjadi dengan adanya “sebab akibat” (hukum kausalitas), namun al-Ghazali mengingkari hal ini.
Untuk menengahi bahwa alam itu qodim, Ibnu Rusyd mengatakan bahwa sebenarnya antara Filosof dan ahli Syari’ah telah sepakat bahwa ada tiga macam “wujud” (yang berkaitan dengan hal ini) :
• Wujud baru (karena sebab sesuatu) Dari sesuatu yang lain, dan kerena sesuatu. Yakni zat pembuat dari benda, ini adalah benda yang kejadiannya bisa terlihat oleh panca indra, seperti terjadinya air, udara, bumi, hewan, tumbuh-tumbuhan, dsb.
Wujud Qodim (tanpa sebab sesuatu) yaitu wujud yang bukan dari sesuatu, tidak karena sesuatu, dan tidak didahului oleh zaman. Wujud ini tidak dapat diketahui dengan bukti-bukti fikiran, seperti “Tuhan”
• Wujud Antara (Wujud diantara kedua wujud ini) wujud yang bukan dari sesuatu, dan tidak didahului oleh zaman, tetapi wujud karena sesuatu (yaitu zat pembuat), wujud itu adalah “alam dan keseluruhan
D. Politik
Membicarakan Ibnu Rusyd sebagai seorang failosuf bukanlah sesuatu yang asing, baik oleh umat Islam atau non Islam terutama di dunia Barat, karena ia terkenal dengan pemikiran filsafatnya, sehingga muncul suatu ungkapan “Aristoteles dikembalikan tanpa basa basi ke Barat yang merupakan dunianya bersama Averroes muridnya yang besar”
Lain halnya membicarakan Ibnu Rusyd sebagai seorang politik tidak sepopuler dia sebagai seorang failosuf. Sejarah tidak bersikap adil terhadap orang besar seperti Ibnu Rusyd mengenai jasanya dibidang politik. Kebesaran di lapangan falsafat dibesar-besarkan di zaman pertengahan, baik hasil karyanya yang mengagungkan, dan kebesarannya di bidang kedokteran, Astronomi dan lapangan ilmu lainnya.
Tetapi di lapangan “politik” tidak pernah disinggung kebesaran Ibnu Rusyd. Bukan tidak ada buku-buku hasil karyanya di dalam politik, bukan tidak pernah dia bekerja dilapangan pemerintahan. Dan tidak kurang pendapat yang dilahirkannya mempunyai nilai yang tinggi. Anehnya sejarah tidak memasukkan Ibnu Rusyd sebagai seorang “politikus” yang ulung, yang sejajar kedudukannya dengan politik Islam lainnya.
Kendatipun demikian, ada beberapa alasan untuk menelusuri pemikiran “politik” Ibnu Rusyd. pertama, pemerintahan Islam di tempat kelahirannya (Andalusia) yang berjalan lebih kurang 8 abad yang mengakui kejayaannya, tidak mungkin kosong sama sekali dari seorang politikus. Kedua, aktivitas Ibnu Rusyd sendiri yang memberi komentar-komentar terhadap buku-buku dari failosuf-failosuf Yunani (Aristoteles dan Plato), tidak masuk akal, sarjana seperti Ibnu Rusyd tidak mempunyai apa-apa dalam Ilmu Politik. Ketiga, Ibnu Rusyd termasuk salah seorang Failosuf muslim thdak mungkin meninggalkan satu bagian dari falsafat yaitu “Ilmu Politik”.
Bukti beliau pernah berpolitik :Ibnu Rusyd menjabat pekerjaan hakim dalam pemerintahan sampai tingkat yang tinggi yaitu sebagai Ketua Mahkamah Agung (Qadhi all Jama’ah), jabatan hakim dipangkunya selama 16 tahun (565 sampai 521H).
Ibnu Rusyd yang dikenal sebagai bapa sekuler di dataran Barat ini membantah terhadap pemerintahan yang diktator pada masanya: sebuah hukum yang dikatakan Ibn Rusyd dengan istilah yang diciptakannya sendiri dengan istilah Wahdaniyyah Al-Tasalluth (kekuasaan yang egois). Sebagaimana telah ia tegaskan bahwa pemimpin yang zalim “alladzi yaqumu bi al-hukmi fi sabili nafsihi, la fi sabil ummah”
Epilog
Filosof muslim penganut madzhab maliki dalam bidang fikih ini telah menorehkan warna filsafat yang lebih spesifik. Beliau sangat menyayangkan terjadinya perpecahan dikalangan kaum Muslimin, menjadi golongan-golongan seperti Mu’tazilah, khawarij, Syi’ah dll. Masing-masing mengaku telah mencapai kebenaran, sedang lainnya sesat. Hal ini tidak lain dikarenakan salah memahami maksud Syari’at.
Dengan pemikiran-pemikirannya dan pendapat-pendapatnya ia tidak bermaksud menimbulkan golongan baru, tetapi ia hendak mengemukakan argumentasi-argumentasi kepercayaan-keprcayaan agama yang tepat diterima oleh setiap orang. Tujuan filosof besar ini tak lain hanya ingin mengharmonikan antara agama dan akal, dan sangat mengajarkan pada kita tuk saling menghargai dan ramah tamah.
Dari perspektif penulis, ada suatu penilaian khusus dengan menempatkan filsafat Ibnu Rusyd secara lebih proporsional. Dalam pandangan ini, Ibnu Rusyd bukan seorang materialis murni, juga bukan seorang idealis religius sejati, namun lebih sesuai sebagai filosof muslim yang berusaha merambah jalan tengah diantara dua belantara pemikiran.
Sejatinya Ibnu Rusyd hanya ingin menghidupkan kembali cahaya filsafat yang pada saat itu selakin meredup, bahkan umat islam sampai sekarangpun masih dapat menikmati panorama filsafat itu, meskipun tidak seindah di barat (ini adalah bukti perjuangannya).
Akhir kalam, apapun pandangan filosofis Ibnu Rusyd sama sekali tidak bermaksud mengatakan bahwa pemikiranya adalah paling benar (karena itu hanya merupakan sebuah ijtihad) Ijtihad seorang manusia bisa saja benar dan bisa saja salah, hakikat kebenaran hanya Allah Swt yang mengetahui dan memilikinya. wallahu a’lam bishawab.
Karya-Karya Monumental Ibnu Rusyd
Buku-buku yang dikarang oleh Ibnu Rusyd banyak sekali dari berbagai disiplin ilmu: Filsafat, Kedokteran, Politik, Fikih, dan masalah-masalah agama. sebagian karya-karyanya banyak yang hilang dan ada juga yang dibakar dikeranakan beberapa sebab diantaranya. Pertama, tulisan-tulisannya yang asli bahasa arab mengandung anti filsafat dan filosof. Kedua, di Timur ilmu dan filsafat mulai dikurbankan demi berkembangnya gerakan-gerakan mistis dan keagamaan, akibat dari pertarungan antara kaum agamawan dan filosof mengakibatkan Ibnu Rusyd mendapatkan celaan dan siksaan serta diusirnya dia dari tanah kelahirannya sampai-sampai beliau dianggap sebagai mulhid. Latar belakang dari pertarungan itu hanya untuk mendapatkan kekuasaan politik.
Makanya para ahli sejarah berbeda pendapat akan jumlah buku-buku hasil karyanya. Namun yang bisa diambil sebagai spirit perumusan dan pengembangan fikih emansipatoris, adalah tiga bukunya Fashl al-Maqâl, al-Kashf `an Manâhij al-Adillah dan Tahâfut al-Tahâfut (ditulis berturut-turut pada tahun 1178, 1179, dan 1180) merupakan karya terpenting. Ketiga buku ini memuat pandangan kontroversial Ibn Rushd yang pernah menggemparkan dunia Eropa pertengahan abad ke-13.
1.Kitâb Fash al-Maqâl fî Mâ Bain al-Syarî`ah wa al-Hikmah min al-Ittishâl (terjemahan dalam bahasa Indonesia terbitan Pustaka Firdaus, Jakarta, dengan judul Kaitan Filsafat dengan Syariat) yang isinya menguraikan adanya keselarasan antara agama dan akal karena keduanya adalah pemberian Tuhan.
2.Al-Kasyf ‘an Manâhij al-Adillah fî `Aqâid al-Millah (Menyingkap pelbagai Matode Argumentasi Ideologi Agama-agama) yang menjelaskan secara terinci masalah-masalah akidah yang dibahas oleh para filsuf dan teolog Islam.
3.Tahâfut al-Tahâfut (Kerancuan dalam Kitab Kerancuan karya al-Ghazâlî) yang kandungan isinya membela kaum filsuf dari tuduhan kafir sebagaimana dilontarkan al-Ghazali dalam bukunya Tahâfut al-Falâsifah (Kerancuan –Filsafat-filsafat– kaum Filosof).
4.Buku lainnya yang juga penting dalam bidang hukum Islam/fiqh, adalah Bidâyah al-Mujtahid (permulaan bagi Mujtahid). Buku ini merupakan suatu studi perbandingan hukum Islam, di mana di dalamnya diuraikan pendapat Ibn Rusyd dengan mengemukakan pendapat-pendapat imam-imam mazhab.
5. Kitab al Kulliyat fi al Thib, telah diterjemahkan dalam bahasa Latin dengan judul Coliget
6. Dhamimah li Masalah al Qadim.
Antara karya besar pernah dihasilkan Ibnu Rusyd ialah ‘Kulliyah fit-Thibb’ yang mengandungi 16 jilid ilmu perubatan secara umum; ‘Mabadil Falsafah’ (Pengantar Ilmu Falsafah); ‘Tafsir Urjuza’ yang membicarakan perubatan dan tauhid. Karya lain, ‘Taslul’ buku mengenai ilmu kalam; ‘Kasyful Adillah’ yang mengungkap persoalan falsafah dan agama; dan ‘Muwafaqatil Hikmah Wal Syari’a’ yang menyentuh persamaan antara falsafah dengan agama. Beliau juga telah menulis sebuah buku mengenai muzik yang diberi judul “De Anima Aristoteles” (Commentary on the Aristotle’s De Animo).
Sebelum meninggal dunia, beliau telah menghasilkan bukunya yang terkenal Al Taysir. Buku itu telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan bahasa Inggeris dengan judul Faclititation of Treatment. Kematiannya merupakan kehilangan yang cukup besar kepada kerajaan dan umat Islam di Sepanyol. Beliau tidak meninggalkan sebarang harta benda melainkan ilmu dan tulisan dalam pelbagai bidang seperti falsafah, perubatan, ilmu kalam, falak, fiqh, muzik, kaji bintang, tatabahasa, dan nahu.Karya tulisan beliau membuktikan penguasaan Ibnu Rusyd dalam berbagai bidang dan cabang ilmu sehingga usaha untuk menterjemahkan tulisannya dilakukan ke dalam bahasa lain. Buku Kulliyah fit-Thibb diterjemahkan kendalam bahasa Latin pada 1255 oleh Bonacosa. Buku itu kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggeris dengan judul General Rules ofnMedicine. Hasil pemikiran yang dimuatkan dalam tulisannya, terutama dalam bidang falsafah, mempengaruhi ahli falsafah Barat.
Kontribusi Rasionalisme Ibn Rusyd dalam Syari’ah
Salah satu pandangan Ibnu Rusyd yang menonjol adalah teorinya tentang harmoni (perpaduan) agama dan filsafat (al-ittishâl baina al-syarî`ah wa al-hikmah). Ibn Rushd memberikan kesimpulan bahwa “filsafat adalah saudara sekandung dan sesusuan agama”. Dengan kata lain, tak ada pertentangan antara wahyu dan akal; filsafat dan agama; para nabi dan Aristoteles, karena mereka semua datang dari asal yang sama. Ini didasarkan pada ayat-ayat al-Qur’an dan karakter filsafat sebagai ilmu yang dapat mengantarkan manusia kepada “pengetahuan yang lebih sempurna” (at-tâmm al-ma`rifah).
Mengenai hal ini dituangkan dalam buku kecilnya yang berjudul Kitâb Fash al-Maqâl fî Mâ Bain al-Syarî’ah wa al-Hikmah min al-Ittishâl (Kaitan filsafat dengan Syariat) ini menjelaskan tentang harmonitas antara `aql (akal/nalar) dengan naql (tranferensi) mengenai metode (manhaj) dan tujuan akhir (ghâyah) (Fasl al-Maqal, 1968: 58).
Menurutnya, belajar filsafat dan berfilsafat itu sendiri tidak dilarang dalam agama Islam, bahkan al-Qur’an sebagai pedoman umat Islam berisi banyak ayat yang menghimbau agar mempelajari filsafat. Untuk menghindari adanya pertentangan antara pendapat akal serta filsafat dan teks al-Qur’an, Ibnu Rusyd menegaskan bahwa teks al-Qur’an itu hendaknya diberi interpretasi sedemikian rupa atau dilakukan takwîl. Takwîl ini lah merupakan salah satu bahasan penting dalam buku kecil ini. Yang satunya lagi mengenai masalah tingkatan manusia dalam menerima pembuktian kebenaran sesuai dengan watak dasar dan kapasitasnya masing-masing).
khususnya mengenai hubungan antara agama dan filsafat, menawarkan satu pandangan baru yang sama sekali orisinil dan rasional. Dalam arti mampu menangkap dimensi rasionalitas baik dalam agama maupun dalam filsafat. Rasionalitas filsafat dibangun atas landasan keteraturan dan keajekan alam ini, dan juga pada landasan prinsip kausalitas. Sementara itu, rasionalitas agama juga dibangun atas dasar maksud dan tujuan yang diberikan sang Pembuat Syari’at, dan yang pada akhirnya bermuara pada upaya membawa manusia kepada nilai-nilai kebajikan atau al-fâdlilah. Menurut Muhammad Abid al-Jâbirî bisa dikatakan kemudian bahwa gagasan “maqâshid al-syâri” dalam disiplin ilmu-ilmu agama sebanding dengan gagasan “hukum-hukum kausalitas di alam ini” (Abid al-Jabiri, 2000: 165-166). Prinsip semacam inilah yang kemudian dirujuk oleh al-Syâthibî dalam rasionalisme agama, dan Ibn Khaldûn dalam rasionalisme sejarah.
Akhir hidupnya ia alami dengan tragis karena ada kepentingan politik dari penguasa, maka Ibn Rusyd diasingkan dan dipenjarakan di suatu tempat yang bernama Lucena dan dengan bantuan para pemuka kota Saville ia dibebaskan namun tidak lama dari itu ia meninggal dunia pada usia 75 tahun yaitu pada hari Kamis, tanggal 9 Shafar 595 H atau 11 Desember 1198 M di kota Marakisy, ibu kota Maroko, wilayah paling barat dari Afrika Utara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar