Ibn Rusyd (1126-1198), atau yang lebih
terkenal dengan sebutan Ibn Rusyd atau Averroes, adalah filosof Muslim Barat
terbesar di abad pertengahan. Dia adalah pendiri pikiran merdeka sehingga
memiliki pengaruh yang sangat tinggi di Eropa. Michael Angelo meletakkan patung
khayalinya di atas atap gereja Syktien di Vatikan karena ia dipandang sebagai
filosof free thinker. Dante dalam Divine Comedia-nya
menyebutnya “Sang Komentator” karena dia dianggap sebagai komentator terbesar
atas karya-karya Aristoteles.
Nama
lengkapnya adalah Abu al Walid Muhammad Ibn Ahmad Ibn Muhammad Ibn Rusyd. Abu
al Walid itu adalah nama gelarnya dan nama panggilannya adalah Ibn Rusyd dan
dikalangan barat atau Eropa ia lebih dikenal dengan Averroes. Ia lahir pada
tahun 520 H atau 1126 M dari keluarga yang terkenal alim dalam ilmu fikih di
Spanyol-Islam, Ayahnya bernama Ahmad yang dipanggil Ibn rusyd juga adalah
seorang ahli ilmu fiqih dan hukum yang pada saat itu menjabat sebagai Hakim
Agung yang dahulunya pernah dijabat oleh kakek dari ibn Rusyd yang bernama
Muhammad ibn Ahmad ibn Ahmad in Rusyd yang juga seorang ahli fiqih dan ilmu
hukum. Pada waktu itu kakek ibn Rusyd diangkat sebagai imam besar Masjid Jami’
di Cordova dan dikalangan pemerintahan dia diangkat sebagai Hakim Agung. Dari keluarga
terhormat inilah Ibn Rusyd diasuh.
Dari
kecil Ibn Rusyd telah banyak belajar dari ayahndanya, terutama yang berkenaan
dengan ilmu fiqih, Ushul, bahasa arab, kalam, dan sastera (adab) sehingga tidak
mengherankan apabila pada usia yang relatif muda ia telah menghafal buku Al
Muwattha karangan Imam Maliki, setelah itu ia perdalam lagi ilmu-ilmu itu
sampai jenjang perguruan tinggi seperti ilmu kalam ia perdalam lagi di
Universitas Cordova, ilmu kedokteran yang diperolehnya dari Abu Ja’far Harun
dan Abu Marwan Ibn Jarbun al Balansi, sedangkan ilmu logika, filsafat dan
teologi ia perdalam dari Ibn Thufail. Selain itu Ia belajar juga tentang matematika, fisika dan astronomi.
Ibn Rusyd selain sebagai hakim agung di Cordova
seperti telah disebutkan diatas, meneruskan jejak ayahnya, ia juga pernah
sebagai dokter khalifah di istana al Muwahhidin, Maroko, penasehat politik, dan
yang terpenting ia adalah guru besar dan pemimpin perguruan.
Secara resmi, Ibn
Rusyd memang diminta oleh Amir Abu Ya‘la Ya’qub Yusuf untuk menulis komentar
atas berbagai karya Aristoteles, di mana untuk setiap buku dia membuat tiga
kategori komentar: ringkasan (jami’), komentar singkat (talkhis)
dan komentar detail (sharh atau tafsir). Yang terakhir
disiapkan untuk mahasiswa tingkat tinggi. Akan tetapi, untuk jangka waktu yang sangat lama, di dunia Muslim, Ibn
Rusyd tidak dikenal karena komentar-komentarnya terhadap karya-karya
Aristoteles, tapi karena Tahafut al-Tahafut-nya yang ditulisnya
sebagai bantahan terhadap terhadap buku al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah.
Komentar-komentarnya banyak berada di dunia Yahudi dan Kristen sehingga
kebanyakan komentar-komentarnya tidak lagi ditemukan dalam bahasa Arab, tapi
sudah dalam bentuk terjemahan bahasa Hebrew atau Latin.
Memang Ibn Rusyd
merupakang komentator besar karya-karya Aristoteles, namun perhatian
intelektualnya yang vital dalam konteks pemikiran filsafat Islam diabaikan,
kita telah berbuat tidak adil terhadapnya. Sekalipun bersikap sebaliknya juga
sama tidak adilnya. Akan tetapi bagaimanapun juga, untuk memperoleh suatu
pemahaman yang benar tentang pemikiran filosofis dan teologis Ibn Rusyd, sumber
yang paling penting tentu saja Tahafut al-Tahafut.
Tidak mengherankan
jika salah satu karyanya yang sangat terkenal, Bidayat al-Mujtahid wa
Nihayat al-Muqtasid, merupakan karyanya dalam bidang fiqh. Buku ini
merupakan suatu studi perbandingan hukum Islam, di mana di dalamnya diuraikan
pendapat Ibn Rusyd dengan mengemukakan pendapat-pendapat imam-imam fiqh.
Dia juga sebagai
seorang dokter dan astronomer. Tapi, posisi ini kurang terkenal dibanding
dengan reputasinya sebagai filosof. Dia dianggap sebagai salah satu dokter
terbesar di zamannya. Menurut Sarton dia adalah orang pertama yang menerangkan fungsi retina dan orang pertama
yang menjelaskan bahwa serangan cacar pertama akan membuat kekebalan berikutnya
pada orang yang bersangkutan.
Agama dan
Filsafat: Sebuah Upaya Rekonsiliasi Filosofis
Doktrin utama
filsafat Ibn Rusyd yang membuatnya dicap sebagai murtad berkaitan dengan keabadian
dunia, sifat pengetahuan Tuhan dan kekekalan jiwa manusia dan kebangkitannya. Membaca sekilas tentang Ibn Rusyd memang bisa memberi kesan bahwa dia
murtad dalam hubungannya dengan masalah-masalah tersebut, tapi penelaahan yang
serius akan membuat orang sadar bahwa dia sama sekali tidak menolak ajaran
Islam. Dia hanya menginterpretasikannya dan menjelaskannya dengan caranya
sehingga bisa sesuai dengan filsafat.
Terhadap doktrin
keabadian dunia, dia tidak menolak prinsip penciptaan (creation), tapi
hanya menawarkan satu penjelasan yang berbeda dari penjelasan para teolog. Ibn
Rusyd memang mengakui bahwa dunia itu abadi, tapi pada saat yang sama membuat
pembedaan yang sangat penting antara keabadian Tuhan dengan keabadian dunia.
Ada dua macam keabadian: keabadian dengan sebab dan keabadian tanpa sebab.
Dunia bersifat abadi karena adanya satu agen kreatif yang membuatnya abadi.
Sementara, Tuhan abadi tanpa sebab. Lebih dulunya Tuhan atas manusia tidak
terkait dengan waktu. Keberadaan Tuhan tidak ada kaitannya dengan waktu karena
Dia ada dalam keabadian yang tak bisa dihitung dengan skala waktu. Lebih
dulunya Tuhan atas dunia ada dalam keberadaan-Nya sebagai sebab yang darinya
muncul semua keabadian.
Bagi Ibn Rusyd,
tidak ada creatio ex nihilio, tapi penciptaan adalah proses perubahan
dari waktu ke waktu. Menurut pandangan ini, kekuatan kreatif terus-menerus
bekerja dalam dunia, menggerakannya dan menjaganya. Adalah mudah untuk
menyatukan pandangan ini dengan konsep evolusi.
Penting juga untuk
dinyatakan di sini tentang sanggahan al-Ghazali tentang hukum kausalitas.
Al-Ghazali tidak menerima hukum kausalitas dengan dua alasan utama. Pertama, hukum kausalitas bertentangan dengan kekuasaan
mutlak Tuhan atas dunia. Korelasi yang dinyatakan sebagai hukum sebab-akibat
tidak ditopang oleh pengalaman dan logika. Pengalaman indra hanya memberi
pengetahuan tentang rentetan kejadian dan tidak ada alasan apapun untuk
mengatakan bahwa rangkaian temporal suatu kejadian menunjukkan proses
sebab-akibat. Tidak ada sebab-akibat karena semuanya
terjadi berdasarkan takdir Tuhan. Kalau tuhan menghendaki, maka runtutan
kejadian yang selama ini dianggap sebagai sebab-akibat bisa tidak terjadi,
sebagaimana dalam kejadian-kejadian luar biasa, atau yang biasa disebut dengan
mukjizat.
Ibn Rusyd
menyanggah tuduhan al-Ghazali tersebut dengan menyatakan bahwa tujuan
al-Ghazali untuk memutlakkan kekuasaan Tuhan dengan cara menghapus hukum
sebab-akibat justru kontraproduktif. Penolakan hukum sebab-akibat akan
menghancurkan seluruh basis untuk mengarahkan seluruh proses kejadian di alam
kepada tuhan. Al-Ghazali secara tidak sadar telah menghancurkan satu-satunya
dasar logis di atas mana kekuasaan Tuhan terhadap alam bersandar.
Penanggalan itu
sama-sama membahayakan filsafat, ilmu dan juga teologi. Jika segala sesuatu
tejadi secara kebetulan dan tergantung pada keputusan Tuhan yang tidak dapat diduga,
maka tidak ada pola rasional yang dapat kita amati dalam ciptaan. Ini juga
berarti menghancurkan konsep Tuhan sebagai pencipta alam dan pengatur yang maha
bijaksana. Dari sudut ini, maka tidak ada jalan lagi untuk membuktikan
eksistensi Tuhan dari sudut pandang keindahan dan keteraturan yang kita
saksikan di dunia ini atau untuk menolak argumen kaum materialis yang menunjuk
semua kejadian di dunia ini kepada kekuatan-kekuatan kebetulan yang buta. Tesis
ini jelas membahayakan, baik bagi filsafat maupun al-Qur’an yang telah
menyatakan dengan tegas dunia sebagai sebagai karya Tuhan yang sempurna.
Sementara yang
berhubungan dengan pengetahuan Tuhan, Ibn Rusyd tampak mengikuti pandangan para
filosof bahwa Tuhan hanya mengetahui keberadaanya sendiri. Bagi filosof,
pandangan ini merupakan keniscayaan agar Tuhan tetap terjaga keesaan-Nya karena
jika Dia mengetahui keragaman segala sesuatu, Dia berarti juga memiliki
keragaman dalam diri-Nya. Jalan pikiran ini akhirnya meletakkan Tuhan untuk
semata-mata berada dalam diri-Nya sendiri dan tidak ada yang lain.
Sebagai seorang
Aristotelian sejati, Ibn Rusyd mengikuti pandangan “gurunya” tersebut.
Arsitoteles berpendapat bahwa sat-satunya obyek yang cocok bagi pengetahuan
Tuhan adalah esensi Ilahi sendiri. Pendapat ini dimunculkan karena hasrat untuk
menyucikan (tanzih) Tuhan dari sifat cela dan kesemantaraan yang
menjadi konsekuensi dari pengetahuan tentang hal-hal yang partikular. Ibn Rusyd
mengikuti argumen ini dengan berusaha “menyelamatkan” Tuhan dari sifat
ketidaktahuan sebagai yang secara implisit terkandung dalam pandangan
Aristoteles tersebut. Ibn Rusyd menyatakan bahwa dalam mengetahui Dirinya
sendiri, Tuhan mengetahui segala sesuatu yang ada bedasarkan Wujud itu yang
merupakan sebab bagi eksistensi segala sesuatu. Dengan begitu, Wujud Pertama
mengetahui segala wujud partikular melalui Dirinya sendiri.
Filsafat Ibn Rusyd
memiliki elastisitas yang tinggi. Ia menyatakan bahwa Tuhan dalam mengetahui
esensi diri-Nya sendiri mengetahui segala sesuatu yang ada di dunia karena pada
akhirnya Dia adalah sumber dan landasan utama dari segala sesuatu. Pengetahuan
Tuhan tidak seperti pengetahuan manusia. Jadi, kalau al-Ghazali menyerang para
filosof dengan mengatakan bahwa mereka tidak mengakui pengetahuan Tuhan
terhadap yang partikuler, bagi Ibn Rusyd, al-Ghazali tidak memahami filsafat
karena yang tidak diakui oleh para filosof adalah penyamaan pengetahuan Tuhan
dengan manusia.
Pembuktian
Kebenaran
1. Metode Retorika (al khatabiyyah)
2. Metode Dialekti (al jadaliyyah)
3. Metode Demonstratif (al burhaniyyah)
Metode retorik dan dialektik diperuntukkan bagi
manusia awam, sedangkan metode demonstratif secara spesifik dikonsumsikan bagi
kelompok kecil manusia. Dalam
konteks syari’ah, metode-metode terbagi kepada empat macam kategori, yaitu :
1. Metode yaqini, yaitu metode yang
bersifat umum, sekaligus bersifat khusus. Wujud dari metode ini adalah
silogisme yang mencapai tingkat kepastian, sekalipun premis-premis yang
dikemukakan bersifat masyhur (benar karena pendapat umum) atau madhmum
(benar karena dugaan umum), dalil semacam ini tidak membutuhkan takwil karena
jika ditakwilkan jatuhnya akan kafir.
2. Metode yang premis-premisnya sekalipun bersifat
masyhur atau madhmum, namun kebenarannya mencapai tingkat
pasti. Metode ini konklusinya diambil dari perumpamaan bagi obyek yang menjadi
tujuan. Konklusinya membuka pintu untuk ditafsirkan.
3. Metode yang konklusinya berupa obyek yang
hendak disimpulkan sedangkan premisnya bersifat masyhur atau madhmum,
tanpa terbuka kemungkinan untuk mencapai keyakinan dan konklusi yang dicapai
tidak membutuhkan takwil.
4. Metode yang premis-premisnya bersifat masyhur
atau madhmum, tanpa membuka kemungkinan untuk mencapai tingkat yaqini
dan konklusinya berupa perumpamaan-perumpamaan bagi obyek yang dituju, bagi
orang tertentu hal ini harus ditakwilkan tetapi bagi orang awam hal ini harus
diterima secara lahiriah.
Namun demikian menurut Ibn Rusyd ke empat kategori
ini dapat ditakwilkan oleh orang-orang tertentu saja sedangkan bagi orang awam
tidak perlu, mereka hanya perlu memahaminya secara lahiriah saja, dan dengan
ditakwilkan tentunya akan lebih memuaskan namun tidak semua orang dapat
menerimanya.
Al Ghazali : “Para Filusuf itu Orang Kafir…!!!”
Dalam bukunya Tahafut al Falasifah Al
Ghazali mengatakan bahwa para filusuf telah banyak mengungkapkan argumentasi
yang bertentangan dengan Al Qur’an sehingga dia menganggap para filusuf telah mengingkari
Al Qur’an dan ia mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang kafir.
Adapun hal-hal yang dilanggar oleh para filusuf
menurut Al Ghazali ada 20 persoalan yaitu 16 dalam bidang metafisika dan 4
dibidang fisika namun dari 20 hal itu 17 hal digolongkan dalam Ahl al Bida’
dan berkenaan dengan 3 hal lainnya para filusuf dikatakan sebagai orang kafir.
1. Alam qadim (tidal bermula)
2. Keabadian (abadiah) alam, masa dan
gerak
3. Konsep Tuhan sebagai pencipta alam dan bahwa
alam adalah produk ciptaan-Nya; ungkapan ini bersifat metaforis
4. Demonnstrasi/ pembuktian eksistensi Penciptaan
alam
5. Argumen rasional bahwa Tuhan itu satu dan tidak
mungkin pengandaian dua wajib al wujud
6. Penolakan akan sifat-sifat Tuhan
7. Kemustahilan konsep genus (jins)
kepada Tuhan
8. Wujud Tuhan adalah wujud yang sederhana, wujud
murni, tanpa kuiditas atau esensi
9. Argumen rasional bahwa Tuhan bukan tubuh (jism)
10. Argumen rasional tentang sebab dan Pencipta
alam (hukum alam tak dapat berubah)
11. Pengetahuan Tuhan tentang selain diri-Nya dan
Tuhan mengetahui species dan secara universal
12. Pembuktian bahwa Tuhan mengetahui diri-Nya
sendiri
13. Tuhan tidak mengetahui perincian segala
sesuatu (juziyyat) melainkan secara umum
14. Langit adalah mahluk hidup dan mematuhi Tuhan
dengan gerak putarnya
15. Tujuan yang menggerakkan
16. Jiwa-jiwa langit mengetahui
partikular-partikular yang bermula
17. Kemustahilan perpisahan dari sebab alami
peristiwa-peristiwa
18. Jiwa manusia adalah substansi spiritual yang
ada dengan sendirinya, tidak menempati ruang, tidak ter pateri pada tubuh dan
bukan tubuh.
19. Jiwa manusia setelah terwujud tidak dapat
hancur, dan watak keabadiannya membuatnya mustahil bagi kita membayangkan
kehancurannya.
20. Penolakan terhadap kebangkitan Jasmani.
1. Alam kekal (qadim) atau abadi dalam arti tidak
berawal
2. Tuhan tidak mengetahui perincian atau hal-hal
yang partikular
3. Pengingkaran terhadap kebangkitan jasmani
Ibn Rusyd : “Tunggu dulu …!!!”
Adapun bantahan Ibn Rusyd terhadap argumen yang
dilontarkan oleh Al Ghazali adalah sebagai berikut :
Tentang Alam yang Qadim
Pendapat para filusuf bahwa alam kekal dalam arti
tidak bermula tidak dapat diterima oleh para teolog Islam termasuk Al Ghazali
karena mereka percaya bahwa Tuhan adalah pencipta sehingga Ia mengadakan
sesuatu dari tiada(creatio ex nihilio). Jika alam tidak bermula maka
alam tidak diciptakan sehingga Tuhan bukanlah maha pencipta.
Ibn Rusyd membantah hal ini karena pendapat para
filusuf terutama filusuf Islam mengatakan bahwa alam ini diciptakan dari yang
ada dahulu, dan yang mungkin terjadi adalah “ada” yang awal berubah menjadi
“ada” dalam bentuk lain. Dan Ibn Rusyd mengatakan bahwa creatio ex nihilio
itu tidak didukung oleh dasar syari’ah, tak ada ayat yang mengatakan bahwa
Tuhan pada mulanya berwujud sendiri dan tidak ada wujud selain dari Tuhan dan
kemudian barulah menciptakan alam ini.
Bukti dari Tuhan menciptakan alam ini dari sesatu
yang “ada” dapat dibuktikan melalui beberapa ayat diantaranya:
1. Al Qur’an Surat Hud, ayat 7, yang mengatakan
secara garis besar bahwa sebelum ada wujud langit dan bumi telah ada wujud
lain, yaitu wujud air yang diatasnya terdapat tahta kekuasaan Tuhan, ditegaskan
lagi bahwa langit dan bumi diciptakan setelah ada air, tahta dan masa.
2. Al Qur’an surat Fushilat, ayat 11, dikatakan
bahwa Tuhan menciptakan bumi dalam 2 masa, menghiasi bumi dengan gunung dan
diisi dengan berbagai macam makanan, kemudian Tuhan naik ke langit yang masih
merupakan uap, sehingga ditakwilkan langit tercipta dari uap.
3. Al Qur’an Surat Al Anbiya’, ayat 30, dikatakan
bahwa bumi dan langit pada mulanya adalah satu unsur yang sama kemudian dipecah
menjadi 2 benda yang berlainan.
4. Al Qur’an surat Ibrahim, ayat 47 – 48, disini
menunjukkan bahwa alam ini sifatnya kekal yaitu dikatakan bahwa langit dan bumi
akan ditukarkan dengan bumi dan langit yang lain, dan sekaligus membuktikan
bahwa alam ini terwujud dan perwujudannya melalui proses yang terus menerus.
Untuk menengahi pendapat bahwa alam ini qadim maka
Ibnu Rusyd mengatakan bahwa sebenarnya antara filusuf dan ahli syari’ah telah
sepakat bahwa ada tiga macam wujud, yang berkaitan dengan hal ini, yaitu :
1. Wujud Baru / karena sebab sesuatu, yaitu dari
sesuatu yang lain dan karena sesuatu, yakni zat pembuat dan dari benda, ini
adalah benda yang kejadiannya bisa terlihat oleh panca indera, seperti
terjadinya air, udara, bumi, hewan, tumbuh-tumbuhan dan sebagainya.
2. Wujud Qadim/ tanpa sebab sesuatu, yaitu wujud
yang bukan dari sesuatu, tidak karena sesuatu, dan tidak didahului oleh zaman,
wujud ini dapat diketahui dengan bukti-bukti pikiran, seperti Tuhan.
3. Wujud Antara, yaitu wujud yang terletak di
antara kedua wujud ini, wujud yang bukan dari sesuatu dan tidak didahului oleh
zaman tetapi wujud karena sesuatu, yaitu zat pembuat, dan wujud itu adalah alam
keseluruhannya
Dari keterangan diatas maka dapat dilihat bahwa kejadian alam ada kalanya
terjadi dengan adanya hubungan sebab akibat, Al Ghazali mengingkari hal ini,
sebaliknya Ibn rusyd menyetujui adanya hubungan sebab akibat, hal ini ia ambil
dari Aristoteles tentang sebab pokok, yaitu :
1. ‘Illah maddiyah (sebab akibat yang
berkaitan dengan benda)
2. ‘Illah Shuwariyyah (Sebab akibat yang
berkaitan dengan bentuk/form)
3. ‘Illah fa’ilah (sebab akibat yang
berkaitan dengan daya guna)
4. ‘Illah gha’iyyah (sebab akibat yang
berkaitan dengan tujuan)
Tentang Pengetahuan
Tuhan
Menurut para teolog juga Al Ghazali bahwa setiap
maujud diciptakan Tuhan karena kehendak-Nya, jadi seluruhnya itu diketahui oleh
Tuhan, sebab yang berkehendak haruslah mengetahui yang dikehendaki-Nya. Jadi
Tuhan mengetahui segala sesuatu secara rinci.
Ibn Rusyd membantah, dikatakan bahwa tidak pernah
ada filusuf yang mengatakan bahwa Tuhan tidak mengetahui yang rinci, pendapat
yang ada adalah bahwa pengetahuan tentang perincian yang terjadi di alam tidak
sama dengan pengetahuan manusia tentang perincian itu, karena pengetahuan
manusia tentang perincian diperoleh melalui panca indera dan dengan panca
indera pulalah pengetahuan manusia tentang sesuatu selalu berubah dan
berkembang sesuai dengan penginderaan yang dicernanya. Sedangkan pengetahuan
tentang kulliyah diperoleh melalui akal dan sifatnya tidak berhubungan
langsung dengan rincian yang materi itu.
Pengetahuan Tuhan, sebaliknya merupakan sebab yang
tidak berubah oleh perubahan yang dialami juziyah. Tuhan tidak mengetahui
apa-apa yang terjadi dan sesuatu yang telah terjadi. Pengetahuan Tuhan tidak
dibatasi oleh waktu yang telah lampau, sekarang dan akan datang.
Pengetahuan-Nya bersifat qadim, yaitu semenjak azali Tuhan mengetahui segala
hal yang terjadi di alam, betapun kecilnya . Meskipun demikian pengetahuan
Tuhan tidaklah bersifat kulliyah atau juziyyah, sebab kedua
sifat ini merupakan kategori manusia, bukan merupakan kategori ilahi dan
pengetahuna Tuhan tidak dapat diketahui selain oleh Tuhan sendiri.
Tentang Kebangkitan
Jasmani
Para filusuf mengatakan bahwa nanti di alam
akhirat yang bangkit hanyalah roh saja tidak ada kebangkitan jasmani, dan Al
Ghazali membantah hal ini sebab dalam Al Qur’an sendiri dikatakan bahwa manusia
akan mengalami berbagai kenikmatan jasmani di dalam surga atau kesengsaraan
jasmani di dalam neraka.
Ibn Rusyd mengatakan bahwa para filusuf tidak
membantah adanya kebangkitan jasmani, karena hampir semua agama samawi mengakui
adanya kebangkitan jasmani, namun dari sesuatu yang telah hancur itu tidak
mungkin bisa dibentuk kembali, maka kalau pun ada kebangkitan jasmani tentunya
dalam bentuk lain, tidak dalam bentuk manusia sekarang ini.
Di akhirat nanti semua yang terdapat disana
tidaklah seperti apa yang kita lihat dan alami di dunia ini, semua tidak pernah
terpikirkan oleh manusia, sehingga kehidupan diakhirat nanti tidak akan sama
dengan kehidupan di dunia saat ini. Dan alam Akhirat ini hanyalah suatu fase
lanjutan dari jalur kehidupan manusia, dan tentunya tidaklah berlebihan apabila
nanti dalam kebangkitannya tidak terjadi kebangkitan jasmani atau paling tidak
jasmani yang bangkit adalah jasmani dalam bentuk yang berbeda.
Ibn Rusyd juga mengkritik Al Ghazali sebab di
salah satu karyanya dikatakan bahwa khusus bagi kaum sufi tidak ada kebangkitan
jasmani ereka hanya mengenal kebangkitan rohani saja, disini terlihat adanya
ketidak konsistenan Al Ghazali dalam konsep kebangkitan jasmani.
Akhir Cerita
Dari keterangan diatas bahwa dapat diambil
intisari tentang bantahan Ibn Rusyd terhadap argumentasi Al Ghazali, yaitu :
1. Alam ini memang Qadim, terbukti dengan
ayat-ayat Tuhan yang termaktub dalam Al Qur’an, dan tidak satupun dari ayat
tersebut yang mengatakan alam ini diciptakan dari ketiadaan.
2. Pengetahuan Tuhan dan Manusia memang berbeda
jadi ketidaktahuan Tuhan yang disangkakan oleh Al Ghazali ternyata ada
kesalahan penafsiran tentang pengetahuan Tuhan dan Manusia.
3. Kebangkitan Jasmani memang perlu dikumandangkan
terutama bagi orang awam yang tujuannya adalah untuk membangkitkan semangaat
mereka beribadah, sedangkan bagi kelompok yang khusus, seperti kaum sufi dan
para filusuf, boleh ditakwilkan bahwa nanti tidak ada kebangkitan jasmani yang
ada hanya roh.
Prolog
Kehadirannya dalam sejarah intelektualisme Islam
signifikan baik bagi usaha mengurai benang kusut pemikiran maupun dalam
menghidupkan kembali filsafat yang telah memasuki titik nadir. Hal terpenting
dari kiprah Ibnu Rusyd dalam bidang ilmu pengetahuan adalah usahanya untuk
menerjemahkan dan melengkapi karya-karya pemikir Yunani, terutama karya
Aristoteles dan Plato, yang mempunyai pengaruh selama berabad-abad lamanya.
Antara tahun 1169-1195 M.
Ibnu Rusyd banyak menulis komentar dan penjelasan
terhadap karangan para filosof yunani khususnya Aristoteles baik dalam komentar
singkat (al-jami’), sederhana (talkhis), ataupun komentar luas (tafsir),
sehingga Ibnu Rusyd juga populer dengan sebutan ”al-Syarih al-Akbar / the great
commentator”.
Analisanya telah mampu menghadirkan secara lengkap
pemikiran Aristoteles. Ia pun melengkapi telaahnya dengan menggunakan
komentar-komentar klasik dari Themisius, Alexander of Aphiordisius, al Farabi
dengan Falasifah-nya, dan komentar Ibnu Sina. Komentarnya terhadap percobaan
Aristoteles mengenai ilmu-ilmu alam, memperlihatkan kemampuan luar biasa dalam
menghasilkan sebuah observasi.
Filosof muslim cordova ini dianggap sebagai
pensyarah pertama yang paling berpengaruh di dataran Eropa. Banyak tokoh Eropa
melakukan kajian terhadap karya-karya beliau dalam beberapa bahasa, seperti
bahasa latin, dan bahasa Ibrani. Dimana pemikiran dan karya-karya Ibnu Rusyd
ini sampai ke dunia Barat melalui Ernest Renan.
Bagaimana Ibnu
Rusyd menguraikan lebih lanjut teori rasionalnya, inilah yang akan menjadi
pokok masalah dalam tulisan berikut.
A. Logika
( pemikiran Ibnu Rusyd)
Dalam permasalahan logika satuan proposisi terkecil yakni “kata”. Kata menjadi penting karena merupakan unsur dalam membentuk pemikiran. Pada praktiknya kata dapat dilihat berdasarkan beberapa pengertian yakni positif (penegasan adanya sesuatu), negatif (tidak adanya sesuatu), universal (mengikat keseluruhan), partikular (mengikat keseluruhan tapi tak banyak), singular (mengikat sedikit/terbatas), konkret (menunjuk sebuah benda), abstrak (menunjuk sifat, keadaan, kegiatan yang terlepas dari objek tertentu), mutlak (dapat difahami sendiri tanpa hubungan dengan benda lain), relatif (dapat difahami sendiri jika ada hubungan dengan benda lain), bermakna/tak bermakna, dsb.
Dalam permasalahan logika satuan proposisi terkecil yakni “kata”. Kata menjadi penting karena merupakan unsur dalam membentuk pemikiran. Pada praktiknya kata dapat dilihat berdasarkan beberapa pengertian yakni positif (penegasan adanya sesuatu), negatif (tidak adanya sesuatu), universal (mengikat keseluruhan), partikular (mengikat keseluruhan tapi tak banyak), singular (mengikat sedikit/terbatas), konkret (menunjuk sebuah benda), abstrak (menunjuk sifat, keadaan, kegiatan yang terlepas dari objek tertentu), mutlak (dapat difahami sendiri tanpa hubungan dengan benda lain), relatif (dapat difahami sendiri jika ada hubungan dengan benda lain), bermakna/tak bermakna, dsb.
Logika sebagai
teori penyimpulan, berlandaskan pada suatu konsep yang dinyatakan dalam bentuk
kata atau istilah, dan dapat diungkapkan dalam bentuk himpunan sehingga setiap
konsep mempunyai himpunan, mempunyai keluasan. Dengan dasar himpunan karena
semua unsur penalaran dalam logika pembuktiannya menggunakan diagram himpunan,
dan ini merupakan pembuktian secara formal jika diungkapkan dengan diagram
himpunan sah dan tepat karena sah dan tepat pula penalaran tersebut.
Pengertian ini
tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa seseorang dengan sendirinya mampu
menalar atau berpikir secara tepat hanya jika ia mempelajari logika. Namun , di
lain pihak, harus juga diakui bahwa orang yang telah mempelajari logika (sudah
memiliki pengetahuan mengenai metode-metode dan prinsip-prinsip berpikir),
mempunyai kemungkinan lebih besar untuk berpikir secara tepat ketimbang orang
yang sama sekali tidak pernah berkenalan dengan prinsip-prinsip dasar yang
melandasi setiap kegiatan penalaran.
Dengan ini hendak
dikatakan bahwa suatu studi yang tepat tentang logika tidak hanya memungkinkan
seseorang untuk memperoleh pengetahuan mengenai metode-metode dan prinsip-prinsip
berpikir tepat saja, melainkan juga membuat orang yang bersangkutan mampu
berpikir sendiri secara tepat dan kemudian mampu untuk membedakan penalaran
yang tepat dari penalaran yang tidak tepat.
Ibnu Rusyd
berargumentasi bahwa di dalam al-Qur’an terdapat banyak ayat-ayat yang
memerintahkan kita untuk menggunakan akal untuk memahami segala yang wujud.
Karena akal ini tidak lain daripada proses berfikir yang menggunakan metode
logika analogi (qiyas al-‘aqli), maka metode yang terbaik menurut sang poinir
rasionalis ini adalah metode demonstrasi (qiyas al-burhani). Sama seperti qiyas
dalam ilmu Fiqh (qiyas al-fiqhi), yang digunakan untuk menyimpulkan ketentuan
hukum. metode demonstrasi (qiyas al-burhan) digunakan untuk mamahami segala
yang wujud (al-maujudat). Dari pemahaman tersebut merupakan asas bagi
kesimpulan Ibn Rushd yang menyatakan bahwa para filosof memiliki otoritas untuk
menta’wilkan al-Quran.
Berasaskan pada
kemampuan akal manusia, Ibnu Rusyd membagi kedalam tiga kelompok: Pertama “kelompok
ahli awam”, metode ilmu pngetahuan yang sesuai untuk ahli awam ini adalah
khathabi (retoris), dengan begitu al-Quran tidak dapat di ta’wilkan, karena
mereka hanya orang-orang yang memahami al-Quran secara tertulis. Kedua,
“kelompok pendebat”, untuk para pengguna metode ilmu pengetahuan secara
dialetik ini ta’wil juga sulit diterapkan. dan ketiga adalah “kelompok ahli
hikmah (ahli fikir)”, merekalah orang-orang yang menggunakan metode burhani
(demonstratif), sementara ta’wil secara tertulis dalam bentuk karya, hanya bisa
diperuntukkan bagi kaum ahli hikmah ini.
B.
Syari’ah dzahir dan batin
Wahyu dibagi
kedalam tiga bentuk makna yang terkandung didalamnya yaitu :
• Teks yang maknanya dapat difahami dengan tiga
metode yang berbeda (metode retorik, dialektik dan demonstratif)
• Teks yang maknanya hanya dapat diketahui dengan
metode demonstrasi. Makna yang terkandung dalam teks ini terdiri dari:
a) makna dzahir, yaitu teks yang mengandung simbol-simbol (amtsal) yang dibuat untuk menerangkan idea-idea yang dimaksud.
b) makna batin, yaitu teks yang mengandungi idea-idea itu sendiri dan hanya dapat difahami oleh yang disebut ahli al-burhan.
a) makna dzahir, yaitu teks yang mengandung simbol-simbol (amtsal) yang dibuat untuk menerangkan idea-idea yang dimaksud.
b) makna batin, yaitu teks yang mengandungi idea-idea itu sendiri dan hanya dapat difahami oleh yang disebut ahli al-burhan.
• Teks yang bersifat ambiguos antara dzahir dan
batin. Klassifikasi teks wahyu ini juga merujuk kepada kemungkinan untuk dapat
difahami dengan akal.
Maka itu ia memahami istilah “ta’wil” sebagai
penafsiran dan penjelasan ucapan, ia tetap menekankan pada kesesuaiannya dengan
makna dzahir dari lafadz ucapan itu. Dalam pandangannya perkataan dzahir yang
dapat difahami dari lafadz bermacam-macam bentuknya, ada yang menurut
konteksnya dan ada pula yang difahami sesuai dengan ikatan-ikatan yang ada
didalamnya.
Untuk itu, Ibnu Rusyd menetapkan tiga syarat, agar
ta’wil itu dapat diterima:
1) menjaga agar lafadz itu sesuai dengan makna yang
terdapat dalam Bahasa Arab dan maksud al-syari’ serta tidak memahami dengan
makna lain.
2) menjaga agar maknanya sesuai dengan yang dimaksudkan oleh pembicara dalam konteks lafaznya.
3) memperhatikan “mustawa al-ma’rifi” (tingkatan nalar dan pengetahuan) kepada siapa “ta’wil” itu dihadapkan.
2) menjaga agar maknanya sesuai dengan yang dimaksudkan oleh pembicara dalam konteks lafaznya.
3) memperhatikan “mustawa al-ma’rifi” (tingkatan nalar dan pengetahuan) kepada siapa “ta’wil” itu dihadapkan.
Oleh itu kita tidak boleh menta’wilkan
lafadz-lafadz al-Qur’an dengan sesuka hati tanpa mengkaji maksud yang
sesungguhnya sesuai dengan konteks masing-masing lafadz.
C.Penciptaan alam
ayat-ayat Allah terbagi atas dua macam: yaitu
ayat-ayat berupa Kitab Suci (qauliyah) dan yang Kedua adalah ayat-ayat berupa
alam semesta sebagai ciptaan Allah (kauniyah). Menurut filsuf Muslim Ibn Rusyd,
alam semesta justru merupakan ayat-ayat Allah yang pertama. Dikatakan demikian,
karena sebelum Allah SWT menurunkan Kitab Taurat, Injil, dan al-Quran, Allah
telah menciptakan alam jagat raya ini. Karena alam adalah ayat, maka
sebagaimana sepotong firman adalah ayat, maka sejengkal alam juga ayat. Sebagai
ayat, alam ini selalu bergerak memenuhi tujuan penciptaan. Karena itu,
penelitian terhadap alam diduga kuat dapat mengantar manusia menemukan dan
meyakini wujud Allah dan kuasa-Nya.
Sebagian pengkaji filsafat menilai bahwa Ibnu
Rusyd memiliki dua pendapat tentang asal-usul alam. Kepada masyarakat awam,
Ibnu Rusyd tidak berpendapat tentang Qadimnya alam, hanya sekedar mengemukakan
teorinya tentang peciptaan alam, sedangkan dalm beberapa kitabnya untuk kajian
filosofis, ia dengan tegas menguraikan argumentasi tentang keqidaman alam.
Walaupun demukian, pada hakikatnya Ibnu Rusyd
melakukannya sekedar untuk menjaga keutuhan teorinya pada setiapkarya-karyanya.
Yang dimaksud dengan Qadimya alam yaitu qadim hanya dari segi zaman, bukan
dalam pengertian tidak memiliki ‘illah atau tidak diciptakan oleh Tuhan, dalam
artian ia menolak pendapat bahwa materi adalah ‘illah bagi dirinya sendiri,
sehingga tidak ada bedanya dengan dzat Tuhan.
Dalam penciptaan alam, sosok yang banyak
dipengaruhi oleh madzhab Aristoteles ini menganut teori “Kausalitas” (hukum sebab
akibat), dalam memahami alam harus dengan dalil-dalil tertentu agar dapat
sampai pada hakikat dan eksistensi alam.
Para teolog dan Imam Ghazali dalam karya
monumentalnya (Tahfut al-Falasifah), menyatakan bahwa alam hadits dan
mempercayai bahwa Tuhan adalah pencipta sehingga Ia mengadakan sesuatu dari
“tiada” (al-‘adam). Jika alam tidak bermula, maka alam tidak diciptakan
sehingga Tuhan bukanlah maha pencipta.
Ibnu Rusyd dan para Filosof Islam mengatakan bahwa
alam adalah qodim, namun dengan kata lain diciptakan dari yg ada dahulu, yang
mungkin terjadi adalah “ada” (maujud) yang awal kemudian berubah menjadi “ada”
(maujud) dalam bentuk lain. Hal ini ia perkuat dengan mengusung dalil dalam
al-Quran:
Surat Hud : ayat 7 ; dikatakan secara garis besar, bahwa
sebelum ada wujud langit dan bumi telah ada wujud lain, yaitu wujud air, yang
diatasnya terdapat tahta kekuasaan Tuhan, ditegaskan lagi bahwa langit dan bumi
diciptakan setelah air, tahta, dan masa.
Surat Fushilat : ayat 11 ; dikatakan bahwa Tuhan menciptakan 2 bumi
dalam 2 masa menghiasi bumi dengan gunung dan diisi dengan berbagai macam
makanan, kemudian Tuhan naik ke langit, yang masih merupakan uap, sehingga
dita’wilkan langit tercipta dari uap.
Surat al-Anbiya’ : ayat 30 ; dikatakn bahwa bumi dan langit pada
mulanya adalah satu unsur yang sama, kemudian dipecah menjadi dua benda yang
berlainan.
Dari keterangan diatas, maka tampak bahwa kejadian
alam terjadi dengan adanya “sebab akibat” (hukum kausalitas), namun al-Ghazali
mengingkari hal ini.
Untuk menengahi bahwa alam itu qodim, Ibnu Rusyd
mengatakan bahwa sebenarnya antara Filosof dan ahli Syari’ah telah sepakat
bahwa ada tiga macam “wujud” (yang berkaitan dengan hal ini) :
• Wujud baru (karena sebab sesuatu)
Dari sesuatu yang lain, dan kerena sesuatu. Yakni zat pembuat dari benda, ini
adalah benda yang kejadiannya bisa terlihat oleh panca indra, seperti
terjadinya air, udara, bumi, hewan, tumbuh-tumbuhan, dsb.
• Wujud Qodim (tanpa sebab sesuatu)
yaitu wujud yang bukan dari sesuatu, tidak karena sesuatu, dan tidak didahului
oleh zaman. Wujud ini tidak dapat diketahui dengan bukti-bukti fikiran, seperti
“Tuhan”
• Wujud Antara (Wujud diantara kedua
wujud ini) wujud yang bukan dari sesuatu, dan tidak didahului oleh
zaman, tetapi wujud karena sesuatu (yaitu zat pembuat), wujud itu adalah “alam
dan keseluruhan
D. Politik
Membicarakan Ibnu Rusyd sebagai seorang failosuf
bukanlah sesuatu yang asing, baik oleh umat Islam atau non Islam terutama di
dunia Barat, karena ia terkenal dengan pemikiran filsafatnya, sehingga muncul
suatu ungkapan “Aristoteles dikembalikan tanpa basa basi ke Barat yang
merupakan dunianya bersama Averroes muridnya yang besar”
Lain halnya membicarakan Ibnu Rusyd sebagai
seorang politik tidak sepopuler dia sebagai seorang failosuf. Sejarah tidak
bersikap adil terhadap orang besar seperti Ibnu Rusyd mengenai jasanya dibidang
politik. Kebesaran di lapangan falsafat dibesar-besarkan di zaman pertengahan,
baik hasil karyanya yang mengagungkan, dan kebesarannya di bidang kedokteran,
Astronomi dan lapangan ilmu lainnya.
Tetapi di lapangan “politik” tidak pernah
disinggung kebesaran Ibnu Rusyd. Bukan tidak ada buku-buku hasil karyanya di
dalam politik, bukan tidak pernah dia bekerja dilapangan pemerintahan. Dan
tidak kurang pendapat yang dilahirkannya mempunyai nilai yang tinggi. Anehnya
sejarah tidak memasukkan Ibnu Rusyd sebagai seorang “politikus” yang ulung,
yang sejajar kedudukannya dengan politik Islam lainnya.
Kendatipun demikian, ada beberapa alasan untuk
menelusuri pemikiran “politik” Ibnu Rusyd. pertama, pemerintahan Islam di
tempat kelahirannya (Andalusia) yang berjalan lebih kurang 8 abad yang mengakui
kejayaannya, tidak mungkin kosong sama sekali dari seorang politikus. Kedua,
aktivitas Ibnu Rusyd sendiri yang memberi komentar-komentar terhadap buku-buku
dari failosuf-failosuf Yunani (Aristoteles dan Plato), tidak masuk akal,
sarjana seperti Ibnu Rusyd tidak mempunyai apa-apa dalam Ilmu Politik. Ketiga,
Ibnu Rusyd termasuk salah seorang Failosuf muslim thdak mungkin meninggalkan
satu bagian dari falsafat yaitu “Ilmu Politik”.
Bukti beliau pernah berpolitik :Ibnu Rusyd
menjabat pekerjaan hakim dalam pemerintahan sampai tingkat yang tinggi yaitu
sebagai Ketua Mahkamah Agung (Qadhi all Jama’ah), jabatan hakim dipangkunya
selama 16 tahun (565 sampai 521H).
Ibnu Rusyd yang dikenal sebagai bapa sekuler di
dataran Barat ini membantah terhadap pemerintahan yang diktator pada masanya:
sebuah hukum yang dikatakan Ibn Rusyd dengan istilah yang diciptakannya sendiri
dengan istilah Wahdaniyyah Al-Tasalluth (kekuasaan yang egois). Sebagaimana
telah ia tegaskan bahwa pemimpin yang zalim “alladzi yaqumu bi al-hukmi fi
sabili nafsihi, la fi sabil ummah”
Epilog
Filosof muslim penganut madzhab maliki dalam
bidang fikih ini telah menorehkan warna filsafat yang lebih spesifik. Beliau
sangat menyayangkan terjadinya perpecahan dikalangan kaum Muslimin, menjadi
golongan-golongan seperti Mu’tazilah, khawarij, Syi’ah dll. Masing-masing
mengaku telah mencapai kebenaran, sedang lainnya sesat. Hal ini tidak lain
dikarenakan salah memahami maksud Syari’at.
Dengan pemikiran-pemikirannya dan
pendapat-pendapatnya ia tidak bermaksud menimbulkan golongan baru, tetapi ia
hendak mengemukakan argumentasi-argumentasi kepercayaan-keprcayaan agama yang
tepat diterima oleh setiap orang. Tujuan filosof besar ini tak lain hanya ingin
mengharmonikan antara agama dan akal, dan sangat mengajarkan pada kita tuk
saling menghargai dan ramah tamah.
Dari perspektif penulis, ada suatu penilaian
khusus dengan menempatkan filsafat Ibnu Rusyd secara lebih proporsional. Dalam
pandangan ini, Ibnu Rusyd bukan seorang materialis murni, juga bukan seorang
idealis religius sejati, namun lebih sesuai sebagai filosof muslim yang
berusaha merambah jalan tengah diantara dua belantara pemikiran.
Sejatinya Ibnu Rusyd hanya ingin menghidupkan
kembali cahaya filsafat yang pada saat itu selakin meredup, bahkan umat islam
sampai sekarangpun masih dapat menikmati panorama filsafat itu, meskipun tidak
seindah di barat (ini adalah bukti perjuangannya).
Akhir kalam, apapun pandangan filosofis Ibnu Rusyd
sama sekali tidak bermaksud mengatakan bahwa pemikiranya adalah paling benar
(karena itu hanya merupakan sebuah ijtihad) Ijtihad seorang manusia bisa saja
benar dan bisa saja salah, hakikat kebenaran hanya Allah Swt yang mengetahui
dan memilikinya. wallahu a’lam bishawab.
Karya-Karya Monumental Ibnu Rusyd
Buku-buku yang dikarang oleh Ibnu Rusyd
banyak sekali dari berbagai disiplin ilmu: Filsafat, Kedokteran, Politik,
Fikih, dan masalah-masalah agama. sebagian karya-karyanya banyak yang hilang
dan ada juga yang dibakar dikeranakan beberapa sebab diantaranya. Pertama,
tulisan-tulisannya yang asli bahasa arab mengandung anti filsafat dan filosof.
Kedua, di Timur ilmu dan filsafat mulai dikurbankan demi berkembangnya
gerakan-gerakan mistis dan keagamaan, akibat dari pertarungan antara kaum
agamawan dan filosof mengakibatkan Ibnu Rusyd mendapatkan celaan dan siksaan
serta diusirnya dia dari tanah kelahirannya sampai-sampai beliau dianggap
sebagai mulhid. Latar belakang dari pertarungan itu hanya untuk mendapatkan
kekuasaan politik.
Makanya para ahli sejarah berbeda pendapat
akan jumlah buku-buku hasil karyanya. Namun yang bisa diambil sebagai spirit
perumusan dan pengembangan fikih emansipatoris, adalah tiga bukunya Fashl
al-Maqâl, al-Kashf `an Manâhij al-Adillah dan Tahâfut al-Tahâfut (ditulis
berturut-turut pada tahun 1178, 1179, dan 1180) merupakan karya terpenting.
Ketiga buku ini memuat pandangan kontroversial Ibn Rushd yang pernah
menggemparkan dunia Eropa pertengahan abad ke-13.
1.Kitâb Fash al-Maqâl fî Mâ Bain
al-Syarî`ah wa al-Hikmah min al-Ittishâl (terjemahan dalam bahasa Indonesia
terbitan Pustaka Firdaus, Jakarta, dengan judul Kaitan Filsafat dengan Syariat)
yang isinya menguraikan adanya keselarasan antara agama dan akal karena
keduanya adalah pemberian Tuhan.
2.Al-Kasyf ‘an Manâhij al-Adillah fî
`Aqâid al-Millah (Menyingkap pelbagai Matode Argumentasi Ideologi Agama-agama)
yang menjelaskan secara terinci masalah-masalah akidah yang dibahas oleh para
filsuf dan teolog Islam.
3.Tahâfut al-Tahâfut (Kerancuan dalam
Kitab Kerancuan karya al-Ghazâlî) yang kandungan isinya membela kaum filsuf
dari tuduhan kafir sebagaimana dilontarkan al-Ghazali dalam bukunya Tahâfut
al-Falâsifah (Kerancuan –Filsafat-filsafat– kaum Filosof).
4.Buku lainnya yang juga penting dalam
bidang hukum Islam/fiqh, adalah Bidâyah al-Mujtahid (permulaan bagi Mujtahid).
Buku ini merupakan suatu studi perbandingan hukum
Islam, di mana di dalamnya diuraikan pendapat Ibn Rusyd dengan mengemukakan
pendapat-pendapat imam-imam mazhab.
5. Kitab al Kulliyat fi al Thib, telah
diterjemahkan dalam bahasa Latin dengan judul Coliget
6. Dhamimah li
Masalah al Qadim.
Antara karya besar pernah dihasilkan Ibnu
Rusyd ialah ‘Kulliyah fit-Thibb’ yang mengandungi 16 jilid
ilmu perubatan secara umum; ‘Mabadil Falsafah’ (Pengantar Ilmu Falsafah);
‘Tafsir Urjuza’ yang membicarakan perubatan dan tauhid. Karya lain, ‘Taslul’ buku mengenai ilmu kalam;
‘Kasyful Adillah’ yang mengungkap persoalan falsafah dan agama; dan
‘Muwafaqatil Hikmah Wal Syari’a’ yang menyentuh persamaan antara falsafah
dengan agama. Beliau juga telah menulis sebuah buku mengenai muzik yang diberi
judul “De Anima Aristoteles” (Commentary on the Aristotle’s De Animo).
Sebelum meninggal dunia, beliau telah
menghasilkan bukunya yang terkenal Al Taysir. Buku itu telah diterjemahkan ke
dalam bahasa Latin dan bahasa Inggeris dengan judul Faclititation of Treatment.
Kematiannya merupakan kehilangan yang cukup besar kepada kerajaan dan umat
Islam di Sepanyol. Beliau tidak meninggalkan sebarang harta benda melainkan
ilmu dan tulisan dalam pelbagai bidang seperti falsafah, perubatan, ilmu kalam,
falak, fiqh, muzik, kaji bintang, tatabahasa, dan nahu.Karya tulisan beliau
membuktikan penguasaan Ibnu Rusyd dalam berbagai bidang dan cabang ilmu
sehingga usaha untuk menterjemahkan tulisannya dilakukan ke dalam bahasa lain.
Buku Kulliyah fit-Thibb diterjemahkan kendalam bahasa Latin pada 1255 oleh
Bonacosa. Buku itu kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggeris dengan judul
General Rules ofnMedicine. Hasil pemikiran yang dimuatkan dalam tulisannya,
terutama dalam bidang falsafah, mempengaruhi ahli falsafah Barat.
Kontribusi Rasionalisme Ibn Rusyd dalam
Syari’ah
Salah satu pandangan Ibnu Rusyd yang
menonjol adalah teorinya tentang harmoni (perpaduan) agama dan filsafat
(al-ittishâl baina al-syarî`ah wa al-hikmah). Ibn Rushd memberikan kesimpulan
bahwa “filsafat adalah saudara sekandung dan sesusuan agama”. Dengan kata lain,
tak ada pertentangan antara wahyu dan akal; filsafat dan agama; para nabi dan
Aristoteles, karena mereka semua datang dari asal yang sama. Ini didasarkan
pada ayat-ayat al-Qur’an dan karakter filsafat sebagai ilmu yang dapat
mengantarkan manusia kepada “pengetahuan yang lebih sempurna” (at-tâmm
al-ma`rifah).
Mengenai hal ini dituangkan dalam buku
kecilnya yang berjudul Kitâb Fash al-Maqâl fî Mâ Bain al-Syarî’ah wa al-Hikmah
min al-Ittishâl (Kaitan filsafat dengan Syariat) ini menjelaskan tentang
harmonitas antara `aql (akal/nalar) dengan naql (tranferensi) mengenai metode
(manhaj) dan tujuan akhir (ghâyah) (Fasl al-Maqal, 1968: 58).
Menurutnya, belajar filsafat dan
berfilsafat itu sendiri tidak dilarang dalam agama Islam, bahkan al-Qur’an
sebagai pedoman umat Islam berisi banyak ayat yang menghimbau agar mempelajari
filsafat. Untuk menghindari adanya pertentangan antara pendapat akal serta
filsafat dan teks al-Qur’an, Ibnu Rusyd menegaskan bahwa teks al-Qur’an itu
hendaknya diberi interpretasi sedemikian rupa atau dilakukan takwîl. Takwîl ini
lah merupakan salah satu bahasan penting dalam buku kecil ini. Yang satunya
lagi mengenai masalah tingkatan manusia dalam menerima pembuktian kebenaran
sesuai dengan watak dasar dan kapasitasnya masing-masing).
khususnya mengenai hubungan antara agama
dan filsafat, menawarkan satu pandangan baru yang sama sekali orisinil dan
rasional. Dalam arti mampu menangkap dimensi rasionalitas baik dalam agama
maupun dalam filsafat. Rasionalitas filsafat dibangun atas landasan keteraturan
dan keajekan alam ini, dan juga pada landasan prinsip kausalitas. Sementara
itu, rasionalitas agama juga dibangun atas dasar maksud dan tujuan yang
diberikan sang Pembuat Syari’at, dan yang pada akhirnya bermuara pada upaya
membawa manusia kepada nilai-nilai kebajikan atau al-fâdlilah. Menurut Muhammad
Abid al-Jâbirî bisa dikatakan kemudian bahwa gagasan “maqâshid al-syâri” dalam
disiplin ilmu-ilmu agama sebanding dengan gagasan “hukum-hukum kausalitas di
alam ini” (Abid al-Jabiri, 2000: 165-166). Prinsip semacam inilah yang kemudian
dirujuk oleh al-Syâthibî dalam rasionalisme agama, dan Ibn Khaldûn dalam
rasionalisme sejarah.
Akhir hidupnya ia alami dengan tragis karena ada
kepentingan politik dari penguasa, maka Ibn Rusyd diasingkan dan dipenjarakan
di suatu tempat yang bernama Lucena dan dengan bantuan para pemuka kota Saville
ia dibebaskan namun tidak lama dari itu ia meninggal dunia pada usia 75 tahun
yaitu pada hari Kamis, tanggal 9 Shafar 595 H atau 11 Desember 1198 M di kota
Marakisy, ibu kota Maroko, wilayah paling barat dari Afrika Utara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar