Al-Hallaj di lahirkan di kota Thur yang
bercorak Arab di kawasan Baidhah, Iran tenggara, pada 866M. Berbeda
dengan keyakinan umum, ia bukan orang Arab, melainkan keturunan Persia .
Kakeknya adalah seorang penganut Zoroaster dan ayahnya memeluk islam. Ketika
al-Hallaj masih kanak-kanak, ayahnya seorang penggaru kapas (penggaru adalah
seorang yang bekerja menyisir dan memisahkan kapas dari bijinya). Bepergian
bolak-balik antara Baidhah, Wasith, sebuah kota dekat Ahwaz dan Tustar. Dipandang sebagai
pusat tekstil pada masa itu, kota-kota ini terletak di tapal batas bagian barat
Iran, dekat dengan
pusat-pusat penting seperti Bagdad, Bashrah, dan Kufah. Pada masa itu, orang-orang Arab menguasai kawasan ini,
dan kepindahan keluarganya berarti mencabut, sampai batas tertentu, akar budaya
al-Hallaj.
Di usia sangat muda, ia mulai mempelajari
tata bahasa Arab, membaca Al-Qur'an dan tafsir serta teologi. Ketika berusia 16 tahun ia merampungkan studinya, tapi merasakan
kebutuhan untuk menginternalisasikan apa yang telah dipelajarinya. Seorang
pamannya bercerita kepadanya tentang Sahl at-Tustari,
seorang sufi berani dan independen yang menurut hemat pamannya, menyebarkan ruh
hakiki Islam. Sahl adalah seorang sufi yang mempunyai kedudukan spiritual
tinggi dan terkenal karena tafsir Al-Qur'annya. Ia mengamalkan secara ketat
tradisi Nabi dan praktik-praktik kezuhudan keras semisal puasa dan salat sunnat sekitar empat ratus rakaat sehari. Al-Hallaj pindah ke Tustar untuk berkhidmat
dan mengabdi kepada sufi ini.
Dua tahun kemudian, al-Hallaj tiba-tiba
meninggalkan Sahl dan pindah ke Bashrah. Di Bashrah
ia berjumpa dengan Amr al-Makki yang secara formal mentahbiskannya dalam tasawuf. Amr adalah
murid Junaid, seorang sufi paling berpengaruh saat
itu. Al-Hallaj bergaul dengn
Amr selama delapan belas bulan. Akhirnya ia meninggalkan Amr juga.
Pada tahun 892M, Al-Hallaj memutuskan untuk
menunaikan ibadah haji ke Mekah. Kaum Muslimin diwajibkan menunaikan ibadah ini sekurang-kurangnya sekali
selama hidup (bagi mereka yang mampu). Namun ibadah haji yang dilakukan
al-Hallaj tidaklah biasa, melainkan berlangsung selama setahun penuh, dan
setiap hari dihabiskannya dengan puasa dari siang hingga malam hari. Tujuan
al-Hallaj melakukan praktik kezuhudan keras seperti ini adalah menyucikan
hatinya menundukkannya kepada Kehendak Ilahi sedemikian rupa agar dirinya
benar-benar sepenuhnya diliputi oleh Allah. Ia pulang dari menunaikan ibadah
haji dengan membawa pikiran-pikiran baru tentang berbagai topik seperti
inspirasi Ilahi, dan ia membahas pikiran-pikiran ini dengan para sufi lainnya. Diantaranya
adalah Amr al-Makki dan juga Junaid.
Menjadi Guru
Usai
membahas pemikhrannya dengan sufi-sufi lain, banyak reaksi baik positif maupun
negatif yang diterima oleh Al-Hajjaj yang kemudian memberinya keputusan untuk
kembali ke Bashrah. Ketika al-Hallaj kembali ke Bashrah, ia memulai mengajar,
memberi kuliah, dan menarik sejumlah besar murid. Namun pikiran-pikirannya
bertentangan dengan ayah mertuanya. Walhasil, hubungan merekapun memburuk, dan
ayah mertuanya sama sekali tidak mau mengakuinya. Ia pun kembali ke Tustar,
bersama dengan istri dan adik iparnya, yang masih setia kepadanya. Di Tustar ia
terus mengajar dan meraih keberhasilan gemilang. Akan tetapi, Amr al-Makki yang
tidak bisa melupakan konflik mereka, mengirimkan surat kepada orang-orang
terkemuka di Ahwaz dengan menuduh dan menjelek-jelekkan nama al-Hallaj,
situasinya makin memburuk sehingga al-Hallaj memutuskan untuk menjauhkan diri
dan tidak lagi bergaul dengan kaum sufi. Sebaliknya ia malah terjun dalam
kancah hingar-bingar dan hiruk-pikuk duniawi.
Al-Hallaj meninggalkan jubah sufi selama
beberapa tahun, tapi tetap terus mencari Tuhan. Pada 899M ia berangkat
mengadakan pengembaraan apostolik pertamanya ke batasan timur laut negeri
itu, kemudian menuju selatan, dan akhirnya kembali lagi ke Ahwaz pada 902M. Dalam perjalanannya, ia berjumpa dengan
guru-guru spiritual dari berbagai macam tradisi di antaranya,
Zoroastrianisme dan Manicheanisme. Ia juga mengenal dan akrab dengan berbagai terminologi yang mereka
gunakan, yang kemudian digunakannya dalam karya-karyanya belakangan. Ketika ia
tiba kembali di Tustar, ia mulai lagi mengajar dan memberikan kuliah. Ia
berceramah tentang berbagai rahasia alam semesta dan tentang apa yang terbersit
dalam hati jamaahnya. Akibatnya ia dijuluki Hallaj al-Asrar (kata Asrar bisa bermakna rahasia atau kalbu. Jadi
al-Hallaj adalah sang penggaru segenap rahasia atau Kalbu, karena Hallaj
berarti seorang penggaru) ia menarik sejumlah besar pengikut, namun
kata-katanya yang tidak lazim didengar itu membuat sejumlah ulama tertentu
takut, dan ia pun dituduh sebagai dukun.
Setahun kemudian, ia menunaikan ibadah
haji kedua. Kali ini ia menunaikan ibadah haji sebagai seorang guru disertai empat
ratus pengikutnya. Sesudah melakukan perjalanan ini, ia memutuskan meninggalkan
Tustar untuk selamanya dan bermukim di Baghdad, tempat tinggal sejumlah sufi
terkenal, ia bersahabat dengan dua diantaranya mereka, Nuri dan Syibli.
Pada 906M ia memutuskan untuk mengemban
tugas mengislamkan orang-orang Turki dan
orang-orang kafir. Ia berlayar menuju India selatan, pergi keperbatasan utara wilayah Islam,
dan kemudian kembali ke Bagdad. Perjalanan ini berlangsung selama enam tahun
dan semakin membuatnya terkenal di setiap tempat yang dikunjunginya. Jumlah
pengikutnya makin bertambah.
Akulah Kebenaran!' dan hari-hari terakhir
Tahun 913M adalah titik balik bagi karya
spiritualnya. Pada 912M ia pergi menunaikan ibadah haji untuk ketiga kalinya
dan terakhir kali, yang berlangsung selama dua tahun, dan berakhir dengan
diraihnya kesadaran tentang Kebenaran.
Di akhir 913M inilah ia merasa bahwa hijab-hijab ilusi
telah terangkat dan tersingkap, yang menyebabkan dirinya bertatap muka dengan
sang Kebenaran (Al-Haqq). Di saat inilah ia mengucapkan, "Akulah Kebenaran" (Ana Al-Haqq) dalam keadaan ekstase.
Perjumpaan ini membangkitkan dalam dirinya keinginan dan hasrat untuk
menyaksikan cinta Allah pada menusia dengan menjadi "hewan kurban". Ia rela dihukum bukan hanya demi dosa-dosa yang
dilakukan setiap muslim, melainkan juga demi dosa-dosa segenap manusia.
Di jalan-jalan kota Baghdad, dipasar, dan
di masjid-masjid, seruan aneh pun terdengar: "Wahai kaum muslimin, bantulah aku! Selamatkan aku dari Allah!
Wahai manusia, Allah telah menghalalkanmu untuk menumpahkan darahku, bunuhlah
aku, kalian semua bakal memperoleh pahala, dan aku akan datang dengan suka
rela. Aku ingin si terkutuk ini (menunjuk pada dirinya sendiri)
dibunuh." Kemudian
al-Hallaj berpaling pada Allah seraya berseru, "Ampunilah mereka, tapi hukumlah aku atas dosa-dosa mereka."
Tetapi kata-kata ini justru mengilhami
orang-orang untuk menuntut adanya perbaikan dalam kehidupan dan masyarakat
mereka. Lingkungan sosial dan politik waktu itu
menimbulkan banyak ketidakpuasan di kalangan masyarakat. Orang banyak menuntut
agar khalifah menegakkan kewajiban yang diembannya. Sementara itu, yang lain menuntut
adanya pembaruan dan perubahan dalam masyarakat sendiri.
Tak pelak lagi al-Hallaj pun punya banyak sahabat dan musuh
di dalam maupun di luar istana khalifah. Para
pemimpin oposisi,
yang kebanyakan adalah murid al-Hallaj, memandangnya sebagai Imam Mahdi
atau juru selamat. Para pendukungnya di
kalangan pemerintahan melindunginya sedemikian rupa sehingga ia bisa membantu
mengadakan pembaruan sosial.
Pada
akhirnya keberpihakan al-Hallaj berikut pandangan-pandangannya tentang agama, menyebabkan dirinya
berada dalam posisi berseberangan dengan kelas penguasa. Pada 918M, ia diawasi, dan pada 923M ia ditangkap.
Al-Hallaj dipenjara selama hampir sembilan
tahun. Selama itu ia terjebak dalam baku sengketa antara segenap sahabat dan
musuhnya. Serangkaian pemberontakan dan kudeta pun meletus di Baghdad. Ia dan
sahabat-sahabatnya disalahkan dan dituduh sebagai penghasut. Berbagai peristiwa ini menimbulkan
pergulatan kekuasaan yang keras di kalangan istana khalifah. Akhirnya wazir
khalifah, musuh bebuyutan al-Hallaj berada di atas angin, sebagai unjuk
kekuasaan atas musuh-musuhnya ia menjatuhkan hukuman mati atas al-Hallaj dan memerintahkan agar ia dieksekusi.
Akhirnya al-Hallaj disiksa di hadapan
orang banyak dan dihukum di atas tiang gantungan dengan kaki dan tangannya terpotong. Kepalanya dipenggal sehari kemudian
dan sang wazir sendiri hadir dalam peristiwa itu. Sesudah kepalanya terpenggal,
tubuhnya disiram minyak dan dibakar. Debunya kemudian dibawa ke menara di tepi sungai Tigris dan diterpa angin serta hanyut di sungai itu.
Inilah sedikit pernyataan-Pernyataan
Al-Hallaj :
Allah
menghijab mereka dengan Nama, lantas mereka pun menjadi hidup. Seandainya Dia
menampakkan Ilmu Qudrat pada mereka, mereka akan hangus. Seandainya hijab
hakikat itu disingkapkan niscaya mereka mati semua.
Tuhanku,
Engkau tahu kelemahanku jauh dari rasa bersyukur kepadaMu, karena itu bersyukurlah
pada DiriMu bukan dariku, karena itulah sesungguhnya Syukur, bukan yang lain.
Siapa
yang mengandalkan amalnya ia akan tertutupi dari yang menerima amal. Siapa yang
mengandalkan Allah yang menerima amal, maka ia akan tertutupi dari amal.
Asma-asma
Allah Ta’ala dari segi pemahaman adalah Nama ansich, tapi dari segi kebenaran
adalah hakikat.
Bisikan
Allah adalah bisikan yang sama sekali tidak mengandung kontra.
Suatu
ketika Al-Hallaj ditanya tentang al-Murid, “Ia adalah orang yang dilemparkan
menuju kepada Allah, dan tidak akan berhenti naik sampai ketika ia sampai.”
Sama
sekali tidak diperbolehkan orang yang mengenal Allah Yang Maha Tunggal atau
mengingat Yang Maha Tunggal, lalu ia mengatakan, “Aku mengenal Al-Ahad” padahal
ia masih melihat individu-individu lainnya.
Siapa
yang dimabukkan oleh cahaya-cahaya Tauhid, ia akan tertutupi dari
ungkapan-ungkapan Tajrid (menyendiri bersama Allah). Bahkan, siapa yang
dimabukkan oleh cahaya-cayaha Tajrid, ia akan bicara dengan hakikat Tauhid,
karena kemabukan itulah yang bicara dengan segala hal yang tersembunyi.
Siapa
yang menempuh kebenaran dengan cahaya Iman, maka ia seperti pencari matahari
dengan cahaya bintang gemintang.
Ketika
Allah mewujudkan jasad tanpa sebab, demikian pula Allah mewujudkan sifat jasad
itu tanpa sebab, sebagaimana hamba tidak memiliki asal usul pekerjaannya, maka
hamba itu pun tidak memiliki pekerjaannya.
Sesungguhnya
Allah Ta’ala, Maha Pemberi Berkah dan Maha Luhur, serta Maha Terpuji adalah
Dzat Yang Esa, Berdiri dengan DiriNya Sendiri, Sendiri dari yang lain dengan
Sifat QidamNya, tersendiri dari yang lainNya dengan KetuhananNya, tidak
dicampuri oleh apa pun dan tidak didampingi apa pun, tidak diliputi tempat,
tidak pula di temukan waktu, tidak mampu difikirkan dan tidak bisa tercetus
dalam imajinasi, tidak pula bisa dilihat pandangan.
Akulah
Al-Haq, dan Al-Haq (Allah) Benar, Mengenakan DzatNya, di sana tak ada lagi
perbedaan.
Ketika
ditanya tentang Tauhid, ia menjawab, “Memisahkan yang baru dengan Yang Maha
Dahulu, lalu berpaling dari yang baru dan menghadap kepada Yang Maha Dahulu,
dan itulah hamparan Tauhid.
Para teolog khususnya Ibnu Taymiyah tentu
mengkafirkan Al-Hallaj, dan termasuk juga mengkafirkan Ibnu Araby, dengan
tuduhan keduanya adalah penganut Wahdatul Wujud atau pantheisme.
Padahal dalam seluruh pandangan Al-Hallaj
tak satu pun kata atau kalimat yang menggunakan Wahdatul Wujud (kesatuan wujud
antara hamba dengan Khaliq). Wahdatul Wujud atau yang disebut pantheisme
hanyalah penafsiran keliru secara filosufis atas wacana-wacana Al-Hallaj.
Bahkan yang lebih benar adalah Wahdatusy Syuhud (Kesatuan Penyaksian). Sebab
yang manunggal itu adalah penyaksiannya, bukan DzatNya dengan dzat makhluk. Para
pengkritik yang kontra Al-Hallaj, menurut Kiai Abdul Ghafur, Sufi kontemporer
dewasa ini, melihat hakikat hanya dari luar saja. Sedangkan Al-Hallaj
melihatnya dari dalam.
Sebagaimana Al-Ghazali melihat sebuah
bangunan dari dalam dan dari luar, lalu menjelaskan isi dan bentuk bangunan itu
kepada publik, sementara Ibnu Rusydi melihat bangunan hanya bentuk luarnya
saja, dan menjelaskannya kepada publik pula. Tentu jauh berbeda kesimpulan
Al-Ghazali dan Ibnu Rusydi.
Setidak-tidaknya ada tiga kelompok besar
dari kalangan Ulama, baik fuqaha’ maupun Sufi terhadap pandangan-pandangan
Al-Hallaj ini. Mereka ada yang langsung kontra dan mengkafirkan; ada pula yang
secara moderat tidak berkomentar; dan ada yang langsung menerima dan
mendukungnya. Menurut penelitian Dr. Abdul Qadir Mahmud, dalam bukunya
Al-Falsafatush Shufiyah fil Islam, mengatakan:
Mereka yang mengkafirkannya, antara lain
adalah para Fuqaha’ formalis, dan kalangan mazhab Dzahiriyah, seperti Ibnu
dawud dan Ibnu Hazm. Sedangkan dari kalangan Syi’ah Imamiyah antara lain Ibnu
Babaweih al-Qummy, ath-Thusy dan al-Hilly. Dari kalangan mazhab Maliki antara
lain Ath-Tharthusy, Iyyadh, Ibnu Khaldun. Dari kalangan mazhab Hanbaly antara
lain Inu Taymiyah. Dan kalangan Syafi’iyah antara lain Al-Juwainy dan
ad-Dzahaby.
Sementara itu dari kalangan Mutakallimin
yang mengkafirkan: Al-Jubba’i dan al-Qazwiny (Mu’tazilah); Nashiruddin
ath-Thusy dan pengikutnya (Imamiyah); Al-Baqillany (Asy’ariyah); Ibnu Kamal dan
al-Qaaly (Maturidiyah). Dari kalangan Sufi antara lain, Amr al-Makky dan
kalangan Salaf, diantaranya juga para Sufi mutakhir, selain Ahmad ar-Rifai’y
dan Abdul Karim al-Jily, keduanya tidak berkomentar.
Mereka yang mendukung pandangan Al-Hallaj,
dari kalangan Fuqaha’ antara lain: At-Tusytary dan Al-Amily (Imamiyah);
Ad-Dilnajawy (Malikiyah); Ibnu Maqil dan an-Nabulisy (Hambaliyah),; Al-Maqdisy,
Al-Yafi’y, Asy-Sya’rany dan Al-Bahtimy (Syafi’iyah). Dari kalangan
Mutakallimin, Ibnu Khafif, Al-Ghazaly dan Ar-Razy (kalangan Asy’ary) serta
kalangan Mutakallim Salaf.
Dari kalangan Filsuf pendukungnya adalah
Ibnu Thufail. Sedangkan dari kalangan Sufi antara lain asSuhrawardy al-Maqtul,
Ibnu Atha’ as-Sulamy dan Al-Kalabadzy. Kelompok yang tidak berkomentar, dari
kalangan Fuqaha’ antara lain: Ibnu Bahlul (Hambaliyah), Ibnu Suraij, Ibnu Hajar
dan As-Suyuthy (Syafi’iyah). Dari kalangan Sufi antara lain, Al-Hushry,
Al-Hujwiry, Abu Sa’id al-Harawy, Al-Jilany, Al-Baqly, Al-Aththar, Ibnu Araby,
Jalaluddin ar-Rumy, Ahmad Ar-Rifa’y, dan Al-Jiily.
Kontroversi Al-Hallaj, sebenarnya terletak
dari sejumlah ungkapan-ungkapannya yang sangat rahasia dan dalam, yang tidak
bisa ditangkap secara substansial oleh mereka, khususnya para Fuqaha’ (ahli
syariat). Sehingga Al-Hallaj dituduh anti syari’at, lalu ia harus disalib.
Padahal tujuan utama Al-Hallaj adalah bicara soal hakikat kehambaan dan
Ketuhanan secara lebih transparan.
Tudingan bahwa Al-Hallaj penganut Wahdatul
Wujud semata juga karena tidak memahami wahana puncak-puncak ruhani Al-Hallaj
sebagaimana dialami oleh para Sufi. Banyak sekali wacana Tasawuf yang mirip
dengan Al-Hallaj. Dan Al-Hallaj tidak pernah mengaku bahwa dirinya adalah Allah
sebagaimana pengakuan Fir’aun dirinya adalah Tuhan. Dalam sejumlah wacananya,
Al-Hallaj senantiasa menyatakan dirinya adalah seorang hamba yang hina dan
fakir. Apa yang ditampakkan oleh Al-Hallaj adalah situasi dimana wahana
ruhaninya menjadi dominan, sehingga kesadarannya hilang, sebagaimana mereka
yang sedang jatuh cinta di puncaknya, atau mereka yang sedang terkejut dalam
waktu yang lama.
Toh Al-Hallaj tetap berpijak pada
pandangan Al-Fana’, Fana’ul Fana’ dan al-Baqa’, sebagaimana dalam wacana-wacana
Sufi lainnya. Al-Hallaj juga tidak pernah mengajak ummat untuk melakukan
tindakan Hulul. Sebab apa yang dikatakan semuanya merupakan Penyaksian kepada
Allah atau sebagai etiuk murni dari seorang Sufi yang sangat dalam.
Sejarawan Al-Baghdady mengisahkan tragedi
kematian dan peradilannya: “Ketika mereka hendak membunuh Al-Husain bin Mansur
Al-Hallaj, para Fuqaha’ dan Ulama dihadirkan, sementara Al-Hallaj diseret di
hadapan Sultan. Para dewan kepolisian juga dihadirkan di sisi barat, tepatnya
di hari Selasa, bulan Dzul Qa’dah Minggu kedua, TAHUN 309. Ia dicambuk sekitar
seribu kali cambukan, lalu kedua kakinya dipotong, menyusul kedua tangannya,
lalu lehernya ditebas. Lalu tubuhnya dibakar dengan api.
Kepalanya yang dipenggal itu diangkat,
ditunjukkan kepada publik dalam kerangkeng besi, sementara kedua tangan dan
kakinya diletakkan di sisi kepalanya. Ketika Al-Hallaj mendekati saat-saat
penyaliban, ia membisikkan kata-kata, “Wahai yang menolong kefanaan
padaku…tolonglah diriku dalam kefanaan….Tuhanku, Engkau mengasihi orang yang
menyakitiMu, maka bagaimana engkau tidak mengasihi orang yang lara dalam
DiriMu…Cukuplah yang satu menunggalkan yang satu bagiNya….”. Lalu ia
membaca sebuah ayat, “
Sebelum
meninggal dengan hukuman tragis itu, Al-Hallaj mengalami hidup dari satu
tahanan ke tahanan lainnya, akibat iri dan kedengkian para Fuqaha’ dan para
Ulama yang merasa tersaingi oleh pengaruh Al-Hallaj yang mulai meluas. Bisa
jadi penguasa sangat terpengaruh pula oleh bahaya massa Al-Hallaj. Kalau toh Al-Hallaj harus
dihukum mati dengan disalib, sebagaimana pernah ia ramalkan sendiri, adalah
karena ia harus menghadapi ketidakberdayaan kekuasaan. Tetapi sekali lagi,
Al-Hallaj adalah penganut amaliyah Syariat yang sangat patuh, yang digambarkan,
sebagai sosok yang hafidz Al-Qur’an, tekun sholat sepanjang malam, puasa
sepanjang siang, dan melakukan ibadah haji berulang kali. Hukuman mati baginya,
sama sekali tidak ada kaitannya dengan legitimasi bahwa dirinya salah dan
benar.
Rasanya
Tragedi Al-Hallaj menjadi hikmah yang luar biasa dalam perkembangan Tasawuf.
Mereka akan mehamami substansi Al-Hallaj, manakala mereka juga menjalankan dan
merasakan apa yang dialami oleh Al-Hallaj. Sekedar menvonis Al-Hallaj begini
dan begitu, tanpa pernah menghayati substansi terdalam dalam praktek Sufistik,
siapa pun akan selalu gagal memahaminya.
Ada ungkapan Sufi yang sangat arif bisa
jadi renungan kita bersama untuk sekadar merasakan sedikit dari rasa Al-Hallaj.
“Orang yang sedang tenggelam di lautan, tidak akan pernah bisa bicara,
bercerita, berkata-kata, tentang tenggelam itu sendiri. Ketika ia sudah mentas
dari tenggelam, dan sadar, baru ia bicara tentang kisah rahasia tenggelam tadi.
Ketika ia bicara tentang tenggelam itu, posisinya bukan lagi sebagai amaliyah
tenggelam, tetapi sekadar ilmu tentang tenggelam. Bedakan antara amal dan ilmu.
Sebab banyak kesalah pahaman orang yang menghayati tenggelam, tidak dari
amalnya, tetapi dari ilmunya. Maka muncullah kesalahpahaman dalam memahami
tenggelam itu sendiri.”
Dalam dunia sufi, Al-Hallaj mempunyai
kisah tersendiri. Pemikirannya
tentang Wahdatul
Wujud, yaitu paham yang meyakini bahwa seseorang mampu meleburkan
diri ke dalam Dzat Allah, meninggalkan banyak kontroversi. Bahkan sampai
sekarangpun perdebatan tentang hal itu belum juga reda. Selain itu Al-Hallaj
juga sangat piawai dalam mengemukakan pengalaman spritualnya. Ia bahkan
cenderung ekstrim. Jargonnya yang terkenal; Ana al-Haq (aku adalah Tuhan), masih
terus menjadi bahan perbincangan yang tiada habis sampai sekarang.
Meski bagi banyak orang dianggap nyeleneh,
Al-Hallaj juga berdakwah. Bahkan
ia tidak tanggung-tanggung dalam berdakwah. Misalnya berdakwah sambil
mengembara, dari Ahwaz, Khurasan, Turkistan, keluar dari Irak, sampai ke India.
Hebatnya dimanapun ia berada selalu elu-elukan karena ilmu agamanya yang
tinggi. Kepiawaiannya inilah yang menjadikannya mempunyai banyak pengikut yang
balakangan disebut kelompok al-Hallajiyah. Mereka memandang Al-Hallaj sebagai
waliyullah yang memiliki kekeramatan.
Dalam beberapa catatan sejarah disebutkan,
Al-Hallaj adalah seorang sufi yang sangat tekun beribadah. Dalam ibadahnya yang
khusyu’ ia sering mengungkapkan rasa Syathahat, yaitu
ungkapan-ungkapan yang kedengarannya ganjil. Hal itu terjadi ketika ia
tenggelam dalam Fana,
suatu tingkatan kerohanian ketika kesadaran tentang segala sesuatu sirna
kecuali hanya kesadaran tentang Allah SWT.
Dari sinilah muncul ungkapan An al-Haq – yang oleh Al-Hallaj ditafsirkan
bahwa “Aku
berada di dalam Dzat Allah.” Bayak ahli tasawuf menafsirkan,
ungkapan itu sebenarnya tidak dimaksudkan bahwa dirinya adalah Tuhan. Hal itu
tampak dalam sebuah pernyataan, “Aku adalah rahasia Yang Maha Benar, bukanlah Yang Maha Benar
Itu Aku. Aku hanyalah satu dari yang
benar. Maka bedakanlah antara aku dan Dia.”
Ia menulis sejumlah kitab dan bait-bait
puisi. Dalam legenda Muslim, ia adalah prototipe pencinta yang mabuk kepayang
kepada Allah.
Pada suatu kesempatan, Ibnu
Atha’ mengirimkan pesan kepada Al-Hallaj. “Wahai Syekh, mintalah maaf atas
segala ucapanmu agar engkau bisa bebas.”
Al-Hallaj menjawab, “Suruh ia
yang mengatakan hal ini untuk meminta maaf.”
Ibnu Atha’ menangis saat
mendengar jawaban ini. “Kita bahkan tidak memiliki secuil pun derajat dibanding
dengan Al-Hallaj.” Katanya.
Diriwayatkan, pada malam pertama ia
dipenjara, para sipir datang ke selnya, namun tidak menemukannya di sana.
Mereka mencarinya ke seluruh sudut sel, namun ia tetap tidak ditemukan.
Pada malam kedua, mereka juga tidak
menemukan baik Al-Hallaj maupun selnya.
Pada malam ketiga, mereka menemukannya
berada di dalam selnya.
Para sipir itu bertanya, “Dimana engkau
pada malam pertama, dan dimana engkau bersama sel ini di malam kedua? Kini
engkau di sel ini kembali, tanda-tanda apa ini?”
Ia menjawab, “Di malam pertama, aku berada
di dalam-Nya, karena itulah aku tidak berada di sini. Pada malam kedua, Dia
berada di sini, maka aku dan sel ini pun tiada. Di malam ketiga, aku dikirim
kembali, agar hukum dapat ditegakkan, ayo lakukan tugas kalian!”
Saat Al-Hallaj masuk penjara itu, ada tiga
ratus orang tahanan lain di sana. Malam itu ia menyapa mereka, “Wahai para
tahanan, maukah kalian aku bebaskan?”
“Mengapa tidak engkau bebaskan saja dirimu
sendiri?” Tanya mereka.
“Aku adalah tahanan Allah, aku adalah
pengawal keselamatan,” jawabnya. “Jika engkau mau, aku dapat melepaskan semua
belenggu dengan satu isyarat.”
Al-Hallaj membuat satu isyarat dengan jari
telunjuknya, dan semua belenggu mereka pun terbuka, hancur lebur.
“Sekarang bagaimana kita bisa pergi? Tanya
para tahanan itu. “Karena pintu sel terkunci.”
Al-Hallaj membuat satu isyarat lagi, dan
tembok penjara pun jebol.
“Sekarang pergilah kalian,” pekiknya.
“Engkau tidak ikut?” Tanya mereka.
“Tidak,” jawabnya. “Aku punya sebuah
rahasia dengan-Nya yang hanya bisa diungkapkan di tiang gantungan.”
“Keesokan harinya para sipir bertanya
padanya, “Kemana perginya para tahanan lainnya?”
“Aku telah membebaskan mereka,” jawab
Al-Hallaj dengan santainya.
“Mengapa engkau tidak ikut pergi?” tanya
mereka.
“Allah punya alasan untuk mencemoohku,
maka aku tidak pergi,” jawabnya.
Kejadian di penjara ini dilaporkan kepada
Khalifah. “Akan ada
kerusuhan,” pekik Khalifah. “Bunuh dia, atau cambuk dia dengan tongkat sampai
dia menarik kembali ucapannya.”
Mereka mencambuknya dengan tongkat
sebanyak tiga ratus kali. Setiap kali cambuk mendera tubuhnya, sebuah suara
ghaib berkata, “Jangan takut, wahai Ibnu Manshur!”
Kemudian mereka membawanya keluar untuk
disalib. Dengan tiga belas belenggu yang berat di tubuhnya, Al-Hallaj melangkah
dengan tegap sepanjang jalan, sambil melambaikan tangannya seperti seorang
pengembara.
“Mengapa engkau berjalan dengan begitu
pongah?” Mereka bertanya.
“Karena aku tengah berjalan menuju
pejagalan,” jawabnya. sambil melantunkan bait-bait syair:
kekasihku tak bersalah
diberi-Nya aku anggur
terbaik seperti Dia
laksana
tuan rumah yang ramah,
melayani
tamunya.
Dan
kala perjamuan telah berakhir,
Dia
menghunus pedang dan kafan pun di gelar-Nya,
Itulah
takdir,
Bagi
ia yang meneguk anggur lama,
Di
musim panas bersama singat tua.
Menurut Al-Hallaj, Allah SWT menciptakan
menusia menurut bentuk-Nya, dalam pengertian bahwa, kendati manusia adalah makhluk
dan bukan Tuhan, manusia mempunyai tabiat kemanusiaan yang menyerupai
tabiat ketuhanan Allah SWT. Dengan kata lain, tabiat kemanusiaan adalah
tabiat ke-Tuhan-an yang tidak sempurna, sedangkan tabiat ketuhanan Allah SWT
Maha Sempurna, suci dari kekurangan. Banyak sufi sezamannya yang berbicara
seperti itu, misalnya Syekh As-Syibli, yang
bahkan dianggap gila. Lain halnya dengan Al-Hallaj, ia tidak dianggap gila,
tapi orang waras yang bijak.
Banyak
kisah menarik di sekitar Al-Hallaj, terutama pergaulannya dengan Junaid
Al-Bagdadi. Pada suatu hari Syekh Junaid berkata, “Hai, Mansur (Al-Hallaj)
tak lama lagi suatu titik dari sebilah papan akan diwarnai oleh darahmu!” maka
sahut Al-Hallaj, “Benar, tapi engkau juga akan melemparkan pakaian kesufianmu
dan mengenakan pakaian Maulwi Ana Al-Haq.” Dan ternyata dua ramalan itu
menjadi kenyataan. Pada suatu hari Al-Hallaj benar-benar dirangsang oleh “Api
cinta Ilahiyah” dan kembali meneriakkan “Ana al-Haq” tanpa henti.
Para guru dan teman-temannya seperti Syekh
Junaid dan As-Syibli, menasihati dia agar menahan diri. Namun ia tidak mempan
oleh teguran itu. Al-Hallaj terus saja mengulang seruannya, “Ana Al-Haq,”
setiap saat. Gara-gara itulah, kaum ulama syariat bangkit melawan Al-Hallaj,
didukung oleh Hamid bin Abbas, Perdana Menteri Irak. Dan akhirnya keluarlah “Fatwa Kufur”,
yang menyatakan bahwa Al-Hallaj melanggar ketentuan agama dan dapat dihukum
mati.
Tapi ketika hukuman itu disampaikan untuk
mendapat persetujuan Khalifah Muqtadir Billah menolaknya, kecuali fatwa
tersebut di tanda tangani oleh Syekh Junaid Al-Bagdadi, maka Khalifah Muqtadir
pun mengirimkan fatwa itu kepada Syekh Junaid – sampai enam kali. Pada kiriman
yang ke tujuh, Syekh Junaid membuang pakaian kesufiannya lalu memakai pakaian
keulamaan. Setelah itu ia menulis pada surat jawaban: menurut hukum syariat,
Al-Hallaj dapat di jatuhi hukuman mati, tapi menurut ajaran rahasia kebenaran,
Allah Maha Tahu!.
Saat mereka membawa Al-Hallaj ke tiang
gantungan di Bab al-Taq, ia mencium kayunya dan menaiki tangganya sendiri.
“Bagaimana perasaanmu?” Tanya mereka.
“Mi’rajnya seorang ksatria adalah di tiang
gantungan,” jawabnya.
Ia mengenakan celana sebatas pinggang dan
mantel di bahunya. Sambil menghadap ke arah kiblat, ia menengadahkan kedua
tangannya dan mulai bercengkrama dengan Allah.
“Apa yang diketahui-Nya, tak seorang pun
mengetahuinya,” katanya. Lalu ia pun naik ke tiang gantungan.
Sekelompok orang pengikutnya bertanya,
“Bagaimana menurutmu, mengenai kami yang merupakan para pengikutmu, dan
mengenai mereka, yang hendak merajammu?”
“Mereka mendapat dua pahala, sedangkan
kalian satu,” jawabnya. Kalian hanya berprasangka baik padaku, sedangkan mereka
digerakkan oleh kekuatan keimanan terhadap Allah untuk menjaga kelurusan
hukum-Nya.”
Kemudian As-Syibli mendekat dan berdiri di
hadapannya sambil berkata, “Bukankah kami telah melarangmu dari (melindungi)
manusia?” pekiknya. Lalu ia bertanya, “Wahai Al-Hallaj, apa itu sufisme?”
Al-Hallaj menjawab, “Yang engkau lihat ini
adalah derajat terendahnya.”
“Lalu apa yang lebih tinggi daripada ini?”
tanya As-Syibli.
“Yang tak dapat engkau capai,” jawab
Al-Hallaj.
Orang-orang mulai melempari Al-Hallaj
dengan batu. Sedangkan As-Syibli, demi menyesuaikan diri, melempar segumpal
tanah. Al-Hallaj merintih.
Mereka bertanya, “Engkau tidak merintih
saat dilempar dengan batu-batu itu. Tapi mengapa engkau merintih sewaktu
terkena lemparan segumpal tanah?”
“Karena mereka yang melemparku dengan batu
tidak mengetahui apa yang mereka lakukan. Mereka punya alasan. Sedangkan ia
yang melempar gumpalan tanah itu, ia mengetahui bahwasanya tidak seharusnya ia
melakukan itu kepadaku. Itulah yang menyakitkanku.”
Kemudian mereka memenggal kedua tangannya,
Al-Hallaj pun tertawa.
“Mengapa engkau tertawa?” pekik mereka.
“Sungguh mudah memenggal kedua tangan
orang seseorang yang terbelenggu,” jawabnya. “Namun dibutuhkan seorang ksatria
untuk memenggal tangan-tangan segenap sifat yang melepaskan mahkota cita-cita
dari dahi-Nya.”
Mereka memotong kedua kakinya. Ia pun
tersenyum.
“Dengan kedua kaki ini, aku melakukan
perjalanan duniawi,” katanya. “Dengan dua kaki lainnya yang kupunya, aku bahkan
bisa berjalan di dua alam (dunia dan akhirat). Jika kalian mampu, potonglah
kedua kaki itu!”
Lalu ia mengusapkan kedua tangannya yang
bunting ke wajahnya, sehingga lengan dan wajahnya berlumuran darah.
Mereka bertanya, “Mengapa engkau melakukan
itu?”
“Aku telah kehilangan banyak darah,”
jawabnya. “Aku sadar bahwa wajahku telah memucat. Kalian menyangka bahwa
pucatnya wajahku disebabkan oleh ketakutanku. Maka kuusapkan darah ke wajahku
agar pipiku tampak semerah mawar di mata kalian. Riasan para ksatria adalah
darah mereka.”
“Lalu mengapa engkau juga melumuri
lenganmu dengan darah?”
“Aku tengah berwudlu.”
“Wudlu untuk apa?”
“Saat seseorang hendak mendirikan shalat
dua rakaat dalam cinta,” jawab Al-Hallaj. “Wudlunya belum sempurna bila tidak
dilakukan dengan darah.”
Kemudian mereka mencungkil kedua bola
matanya. Raungan terdengar di antara kerumunan orang. Sebagian menangis,
sebagian melempar batu. Lalu mereka hendak memotong lidahnya.
“Sabarlah sedikit, beri aku waktu untuk
mengutarakan sepatah-dua patah kata,” ujarnya. “Ya Allah, pekiknya sambil
menengadahkan wajahnya ke langit. “Janganlah engkau usir mereka dari
haribaan-Mu lantaran apa yang mereka lakukan padaku karena Engkau. Jangan pula
Engkau cabut kebahagiaan ini dari mereka. Segala puji bagi Allah, karena mereka
memotong kedua kakiku saat aku tengah meniti jalan-Mu. Dan jika mereka
memenggal kepalaku, sungguh mereka telah mengangkatku ke tiang gantungan,
merenungkan keagungan-Mu.”
Sebelum dihukum mati, ia shalat dan
berdoa, “Ya Allah, mereka adalah hamba yang berhimpun untuk membunuhku, karena
fanatik kepada agama-Mu dan hendak mendekatkan diri kepada-Mu. Maka ampunilah
dan berilah rahmat kepada mereka. Karena jika engkau membuka hati mereka,
seperti engkau membuka hatiku, mereka tidak akan melakukan seperti yang sedang
mereka lakukan terhadapku. Dan jika engkau tutup hatiku seperti engkau menutup
hati mereka, niscaya aku tidak akan diperlakukan seperti ini.”
Kemudian mereka memotong daun telinga dan
hidungnya. Seorang yang membawa kendi kebetulan hadir di sana. Melihat
Al-Hallaj, ia memekik, “Penggal, penggal dengan keras dan benar! Apa urusannya
ia bicara tentang Tuhan?”
Kata-kata terakhir yang diucapkan
Al-Hallaj adalah “Cinta-Nya adalah pengasingan-Nya.”
Kemudian ia membaca sebuah ayat: “Orang-orang yang tidak beriman kepada hari kiamat meminta supaya hari
itu segera didatangkan, dan orang-orang yang beriman merasa takut padanya dan
mereka yakin bahwa kiamat itu adalah benar (akan terjadi).”
Itulah kata-kata terakhirnya.
Kemudian mereka memotong lidahnya. Baru
ketika shalat maghrib tiba mereka memenggal kepalanya. Bahkan saat mereka
memenggal kepalanya, Al-Hallaj
tersenyum, lalu setelah itu ia meninggal dunia.
Tangisan membahana dari kerumunan orang. Al-Hallaj telah membawa bola takdir ke
batas medan tawakal. Tiap potongan tubuhnya menyerukan, “Akulah Kebenaran.”
Keesokan harinya mereka mengatakan,
“masalah ini akan bertambah buruk ketimbang saat ia hidup.”
Maka mereka pun membakar jasadnya. Dari
abunya pun terdengar seruan, “Akulah Kebenaran.” Bahkan pada saat
pembantaiannya, tiap tetes darahnya membentuk nama Allah”.
Mereka tercengang melihat semua itu, lalu
mereka membuang abunya ke Sungai Tigris. Abunya mengambang di permukaan sungai
Tigris dan terus menyerukan, “Akulah kebenaran.”
Sebelum dieksekusi Al-Hallaj telah
berpesan kepada pembantunya, “Saat mereka membuang abu jasadku ke Sungai
Tigris, Baghdad akan terancam tenggelam. Hamparkanlah jubahku di sungai, kalau
tidak, Baghdad akan hancur.”
Pembantunya, saat melihat apa yang
terjadi, membawa jubah Al-Hallaj dan menghamparkannya di tepi Sungai Tigris.
Air pun surut dan abu Hallaj pun diam. Kemudian mereka mengumpulkan abunya dan
menguburkannya.
Kematian Al-Hallaj merupakan kehilangan besar sekaligus noda
hitam dalam dunia tasawuf. Namun pemikirannya tetap hidup terus, tak lekang
oleh ruang dan waktu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar