Rabu, 20 November 2013

Detik-detik Kewafatan Rasulullah SAW

Ketika merasakan ajal baginda semakin hampir, Rasulullah SAW memanggil para sahabat berkumpul di kediaman isteri tercinta, sayyidina Aisyah RA. Baginda memandang para sahabat dengan tatapan mata yang sendu.

Sambil menangis baginda bersabda, "Marhaban bikum, semoga Allah SWT melimpahkan rahmatNya kepada kamu. Aku berwasiat kepada kamu, bertaqwalah kepada Allah SWT. Telah dekat perpisahan dan telah hampir waktu pulang kepada Allah SWT. Hendaklah Ali memandikanku, Fadlal bin Abbas dan Usamah bin Zaid menuangkan air. Kafanilah aku dengan kainku jika kamu menghendakinya atau kain putih buatan Yaman. Jika kamu selesai memandikanku, letakkan jenazahku di tempat tidur di rumahku ini, diatas pinggir lubang kuburku. Kemudian bawahlah aku keluar sesaat. Maka yang pertama kali bersholawat kepadaku adalah Allah Azza Wa Jalla, lalu Jibril, Mikail, israfil, Izrail bersama pasukannya, kemudian segenap malaikat. Sesudah itu barulah kamu masuk rombongan demi rombongan, dan sholatkanlah aku."

Mendengar wasiat Rasulullah SWT, para sahabat menangis dan menjerit... "Ya Rasulullah, Tuan adalah rasul kami, penghimpun dan pembina kekuatan kami, serta penguasa segala urusan kami. Jika Tuan pergi, kepada siapakah kami kembali?"

Rasulullah SWT bersabda, “Aku tinggalkan kamu di jalan yang terang. Aku tinggalkan untuk kamu dua juru nasihat yang berbicara dan yang diam. Penasihat yang berbicara ialah Al-Quran, penasihat diam ialah maut. Jika kamu menghadapi persoalan yang musykil, kembalilah kepada Al-Quran dan sunnah; dan jika hati kamu kusut, tuntunlah dengan mengambil iktibar tentang peristiwa maut.”

Ketika itu akhir bulan Safar, Rasullullah SWT jatuh sakit dan semakin lama semakin lemah. Sehingga suatu saat, ketika para sahabat berkumpul di rumah Sayyidina Aisyah RA untuk menjaga baginda secara bergilir-gilir, baginda bangun dari pembaringan dan memakai ikat kepala, menandakan sakitnya masih parah.

Didepan para sahabat, beliau bersabda, “Wahai para sahabatku….. Sungguh, demi Allah, saat ini telah kulihat Telaga Haudh di hadapanku. Demi Allah, aku tidak takut syirik akan menimpa kamu setelah aku wafat. Tetapi yang kutakutkan, kamu saling berebut dunia, saling  merebutkan kekayaan. Itu yang aku takutkan.” Haudh adalah salah satu telaga di syurga.

Dari hari ke hari, kesehatan baginda semakin berkurang dan para sahabat mulai cemas. Pada suatu shubuh, sahabat Bilal mengumandangkan azan di Masjid Nabawi tetapi setelah beberapa lama baginda belum juga hadir ke masjid. Lalu Bilal ke rumah baginda dan mengucapkan salam didepan pintu rumah baginda.
"Assalamua alaika, ya Rasulullah."

Baginda tidak menjawab tetapi Sayyidina Fatimah RA keluar sambil menjawab salam, "Alaikassalam... Kalau ada perlu lain kali aja. Rasulullah sedang demam."

Mendengar ucapan itu, tetapi Bilal tidak faham lalu kembali ke masjid dan menunggu kedatangan Rasullullah SWT sehingga langit sebelah timur mulai menguning. Karena waktu subuh hampir habis. Bilal kembali ke rumah Rasulullah SWT.

“Assalamu’alaika, ya Rasulullah…. para makmum sudah menunggu dan langit sudah pula menguning,” katanya.
Saat itu, Nabi tersadar. Lalu baginda membalas salam Bilal, lantas bersabda, “Ya Bilal, aku tahu fajar telah mulai tiba. Beri tahu Abu Bakar supaya menjadi imam sholat Shubuh. Aku sedang sakit, tidak mampu bangun.”
Mendengar jawapan itu Bilal menangis. Dengan langkah terburu-buru tetapi lunglai,dia bergegas kembali ke masjid. Disampaikannya pesan Rasulullah SAW kepada Abu Bakar. Begitu melihat mihrab kosong, Abu Bakar menangis. Di mihrab itulah Rasulullah SAW selalu memimpin solat, mengumandangkan ayat-ayat Al-Quran dengan suara yang nyaring dan fasih. Pribadinya agung, parasnya berwibawa. Kini mihrab itu kosong. Abu Bakar menangis juga seluruh sahabat, sehingga suasana shubuh itu menjadi murung.
Sampai siang, para sahabat berkumpul di masjid menanti berita dari kediaman Rasulullah SAW. Ternyata, Rasululah SAW minta dipapah untuk menuju masjid. Dengan langkah perlahan-lahan, Nabi keluar rumah dipapah kedua sahabat itu.
Tiba di masjid, Nabi sholat sunnah dua rakaat lalu menuju mimbar. Kakinya terasa berat ketika mendaki tangga. Tubuhnya tampak lemah, tangannya bergetar. Tak lama kemudian beliau menyampaikan khutbah singkat, namun isinya meresap dan menggetarkan hati. Para sahabat bercucuran air mata…..
“Wahai kaum muslimin, kita hidup di bawah kekuasaan Allah dan kasih sayang-Nya. Maka bertaqwalah kepada-Nya dan taatilah perintah-perintah-Nya”. Dalam riwayat lain, Rasulullah SAW berwasiat, “Wahai segenap umat manusia, api neraka sudah dinyalakan, fitnah-fitnah telah datang seperti datangnya malam yang gelap. Demi Allah, kamu tidak akan berpegang kepadaku dengan suatu apa pun. Sesungguhnya aku tidak pernah menghalalkan sesuatu melainkan apa yang dihalalkan oleh Al-Quran, dan tidak pula mengharamkan sesuatu melainkan apa yang diharamkan oleh Al-Quran”.
Abu Bakar tersedu sedan sementara Umar bin Khattab menahan nafas dan tangis hingga dadanya naik turun. Sedangkan Utsman bin Affan menghela nafas panjang, dan Ali bin Abi Thalib menundukkan kepala dalam-dalam. Dalam hati semua sahabat berkata, “Rasulullah akan meninggalkan kita.”
Lelaki agung itu hampir selesai menunaikan tugasnya. Tanda-tanda itu semakin nyata, sehingga dengan tangkas Ali dan Fadhal segera tampil membantu Rasulullah turun dari mimbar. Sangat perlahan karena lemah.
Segera setelah itu baginda dipapah untuk kembali pulang ke rumah kediaman. Sejak itu baginda tidak mampu lagi bangkit dari tempat tidur. Keadaan baginda semakin lemah, sampai-sampai kain pengikat baginda pun terasa panas. Panas yang sangat tinggi menyebabkan  baginda sering tak sadarkan diri.
Melihat keadaan ayahandanya, Sayyidah Fatimah RA terus menangis, “Ya Allah, alangkah berat penderitaan ayahku. Alangkah beratnya, ya Allah….”
Mendengar tangis puteri kesayangannya itu, Rasulullah SAW sempat bersabda, “Bersabarlah anakku sayang. Tidak ada lagi penderitaan ayahmu sesudah hari ini…” Nabi SAW berusaha menghibur puterinya agar tidak bersedih hati. Namun sabda baginda itu juga merupakan pertanda bahwa tinggal pada hari itu baginda merasakan penderitaan. Dan setelah itu, meninggalkan keluarga dan segenap kaum muslimin.
Tepat pada waktu dhuha, datanglah Malaikat Izrail yang diutus oleh Allah Taala untuk menjemput Rasulullah SAW. Perintah Allah Taala kepada Izrail, “Masuklah kalau diizinkan olehnya. Kalau tidak, kembalilah engkau kemari. Berangkatlah dan muncullah di hadapannya dalam wujud seorang lelaki yang sopan dan rapi." Maka muncullah Malaikat Izrail sebagai seorang lelaki berpakaian putih-putih dengan aroma yang harum mewangi.
“Assalamualaikum, wahai penghuni rumah kenabian….”
“Wa’alaikumussalam. Maaf Rasulullah sedang payah. Datanglah lain kali,” jawab Sayyidah Fatimah RA.
“Assalamu'alaika, ya Rasulullah. Salam sejahtera untukmu selamanya. Bolehkah saya masuk?” ujar Izrail lagi.
Mendengar salam khusus itu, Nabi membuka mata lalu bertanya kepada Fatimah, “Anakku, ada tamu ya? Siapa yang berada di pintu, hai Fatimah?”
“Seorang lelaki yang bersih sopan, rapi, dan wangi. Ia memanggil-manggil ayah dan minta izin untuk masuk. Saya ucapkan, Ayah sedang sakit. Saya minta dia untuk kembali lain kali.”
Tiba-tiba Nabi SAW memandangi puteri tercintanya itu dengan tatapan yang menembus jauh, dengan cahaya pekat yang mengabut.
Sayyidah Fatimah RA menggigil karena hatinya tergetar
“Izinkan tamu itu masuk, Fatimah. Tahukah engkau siapa dia, anakku?” sabda Rasulullah SAW.
“Tidak”
“Dialah penjemput kenikmatan, pemutus nahsu syahwat, dan pemisah pertemuan. Dia adalah malakul maut.”
Sayyidah Fatimah RA terkejut, “Ayahanda, jadi mulai hari ini aku tidak akan lagi mendengar suaramu dan memandang wajah jernihmu?” Sayyidah Fatimah menangis.
"Jangan bersedih dan menangis, jantung hatiku. Engkau adalah keluargaku yang mula-mula akan bersamaku di hari kiamat,” sabda Rasul SAW
Mendengar itu, barulah Sayyidah Fatimah RA lega.
“Engkau datang untuk berziarah atau untuk mencabut nyawaku?” Tanya Nabi.
“Aku datang untuk berziarah, juga menjemput Tuan jika Tuan mengizinkan. Tetapi kalau tidak aku akan kembali.”
“Engkau datang sendirian? Dimana engkau tinggalkan Jibril?” Tanya Nabi sambil tersenyum.
“Aku tinggalkan dia di langit kedua bersama para malaikat lainnya.”
“Panggil dia.”
Jibril tergagap. Maka Malaikat JIbril pun turun ke bumi, menuju rumah kediaman Rasul, lalu duduk disebelah kepala Rasulullah SAW.
Beberapa saat Nabi memandangi Jibril, lalu dengan sayu baginda bersabda, “Jibril, mengapa melambat-lambatkan? Tidakkah engkau tahu saat yang dijanjikan itu hampir tiba?
“Beri tahu aku bagaimana hakku di hadapan Allah nanti.” sabda Nabi lagi.
“Pintu-pintu langit telah terbuka, para malaikat berbaris berlapis-lapis menunggu kehadiran ruh Tuan, seluruh gerbang syurga terbuka sebagai persemayaman Tuan.”
Namun wajah Nabi tetap suram dan gelisah. Lalu sabdanya lagi, “Jibril, bukan berita itu yang kuinginkan. Beritahu aku, bagaimana umatku besok di hari kiamat.”
Maka dengan tenang Jibril menjawab, “Ya Rasulullah, Allah Taala berfirman, "Aku haramkan syurga dimasuki oleh para nabi sampai engkau Muhammad, masuk terlebih dahulu. Dan aku haramkan umat para nabi masuk ke dalamnya sampai umatmu, Muhammad, masuk terlebih dahulu.”
Mendengar jawapan itu, barulah wajah Nabi berseri-seri. “Alhamdulillah. Kalau begitu hatiku tenang, wahai Jibril.” Baginda merasa tenteram, karena kaum muslimin mendapat hak dan tempat istimewa di hadapan Allah SWT. Bibir baginda yang sudah pucat itu menyunggingkan senyum. Senyum istimewa itu juga baginda tujukan kepada Malaikat Izrail ketika baginda mempersilakan sang Pencabut Nyawa itu melaksanakan tugasnya.
Pada waktu yang sama suasana gundah gulana. Angin kota Madinah yang meniupkan hawa dingin tapi kering tambah dalam menusuk tulang. Sejengkal demi sejengkal matahari pun semakin meninggi ketika Malaikat Izrail merancang untuk mencabut nyawa Rasulullah SAW.
Penderitaan Nabi SAW semakin hebat ketika nyawa baginda, yang dicabut oleh Izrail dengan sangat perlahan dan lembut, sampai di pusat. Dahi dan sekujur wajah baginda terpercik peluh. Urat-urat di wajah beliau tegang dari setiap saat. Sambil menggigit bibir, Nabi SAW berpaling ke arah malaikat Jibril. Mata Rasulullah SAW basah, cahayanya pun semakin meredup. “Ya Jibril, betapa sakitnya! Oh, alangkah dahsyatnya derita sakaratul maut ini.”
Sayyidah Fatimah RA memejamkan mata, sementara Ali bin Abi Thalib, yang berada disamping Rasulullah SAW, menundukkan kepala, sedangkan Malaikat Jibril memalingkan muka. “Ya Jibril, mengapa engkau berpaling? Apakah engkau benci melihat wajahku?” tanya Rasulullah SAW. “Sama sekali tidak, ya Rasulullah. Siapakah yang sanggup menyaksikan Kekasih Allah dalam kedaaan seperti ini? Siapakah yang sampai hati melihat Tuan kesakitan?” jawab Jibril tersekat-sekat.
Rasa sakit itu sampai memuncak, dalam keadaan sakit tidak tertahankan itu baginda berdoa, “Ya Allah, alangkah sakitnya! Ya Allah, timpakanlah sakitnya maut ini hanya kepadaku, jangan kepada umatku.”
Mendengar sabda Rasulullah SAW itu, Jibril tersentak. Betapa agung pribadi Rasulullah SAW. Dalam detik-detik paling genting dan menyiksakan, bukan kepentingan diri sendiri yang dimohonkan, melainkan kepentingan umatnya. Andai baginda memohon agar rasa sakit itu dicabut, pasti Allah SWT mengabulkannya. Namun baginda lebih memilih kesakitan agar derita itu tidak menimpa umatnya.
Ketika Jibril menyadari keadaan di sekelilingnya, Izrail sudah dengan sangat santun menarik nyawa Nabi SAW sampai di dada. Maka nafas baginda pun mulai sesak. Rasa sakit semakin hebat. Ketika itulah, lelaki agung itu menoleh ke arah sahabat-sahabatnya, lalu bersabda dengan suara lirih dan pandangan sayu, “Ushikum bisholati wa ma malakat aimanakum (Aku wasiatkan kepada kamu untuk mendirikan sholat, dan aku wasiatkan kepada kamu orang-orang yang menjadi tanggungan kamu).”
Sejenak kemudian, keadaan Rasulullah SAW bertambah genting. Para sahabat saling berpelukan lantaran tidak kuat menahan pilu. Dan ketika itulah tubuh Nabi SAW mulai dingin. Hampir seluruh bagian tubuh baginda tidak bergerak-gerak lagi. Mata baginda berkaca-kaca dan menatap lurus ke langit-langit hanya sedikit terbuka.
Menjelang akhir hayat baginda, Ali bin Abi Thalib melihat Nabi SAW dua kali menggerak-gerakkan bibir beliau yang sudah membiru. Maka Ali pun cepat-cepat mendekatkan telinganya ke bibir Nabi. Dia mendengar Nabi SAW memanggil-manggil, “Ummati, ummati…. (Umatku, umatku…).” Dengan memanggil-manggil umatnya inilah, Rasul Akhir Zaman itu wafat di pangkuan isteri tercinta, Sayyidah Aisyah RA, pada hari Senin, 12 Rabi’ul Awwal 11 Hijrah, bertepatan dengan tarikh 3 Juni 632 Masehi, dalam usia 63 tahun.
Maka meledaklah tangis para sahabat. Sang kekasih Allah telah wafat, membawa cinta yang agung, cinta kepada umat, hingga akhir hayat. Bahkan dibawanya sampai Padang Mahsyar. Ketika nyawa sudah sampai penghujung. Pemimpin Besar dan Pencipta Peradaban itu bukan mengkhawatirkan keluarganya, melainkan memprihatinkan umatnya. “Ummati, ummati….”
Sesaat sebelum wafat, sebagaimana tercatat dalam Shahih Bukhari, Rasulullah SAW masih sempat berwasiat dan menghibur umatnya. Beliau bersabda, “Wahai umatku, kamu akan melihat hari yang tidak kamu sukai, yaitu perpecahan dan fitnah dari berbagai musibah yang akan datang. Akan tetapi hendaklah kamu bersabar sampai berjumpa denganku di Telaga Haudh kelak…”
Dalam Sahih Bukhari dikisahkan, begitu mendengar Rasulullah SAW wafat, Abu Bakar As-Siddiq berlari menuju rumah kediaman Sayyidah Aisyah RA. Namun jasad Nabi SAW telah membujur kaku. Ketika menyingkap kain yang menutup tubuh Nabi SAW, ia menangis sambil memeluk wajah Sang Rasul. Saat memandikan jenazah Rasulullah, Ali bin Abi Thalib berkata, “Wahai Rasulullah, ketika hidup, Tuan semerbak mewangi. Ketika wafat pun, tubuh Tuan tetap wangi.”
Ya… Rasulullah SAW, dan syariatnya, tetap akan selalu semerbak mewangi sampai hari kiamat.

2 komentar: