Ketika merasakan ajal baginda
semakin hampir, Rasulullah SAW memanggil para sahabat berkumpul di kediaman
isteri tercinta, sayyidina Aisyah RA. Baginda memandang para sahabat dengan
tatapan mata yang sendu.
Sambil menangis baginda bersabda, "Marhaban bikum, semoga Allah SWT
melimpahkan rahmatNya kepada kamu. Aku berwasiat kepada kamu, bertaqwalah
kepada Allah SWT. Telah dekat perpisahan dan telah hampir waktu pulang kepada
Allah SWT. Hendaklah Ali memandikanku, Fadlal bin Abbas dan Usamah bin Zaid
menuangkan air. Kafanilah aku dengan kainku jika kamu menghendakinya atau kain
putih buatan Yaman. Jika kamu selesai memandikanku, letakkan jenazahku di
tempat tidur di rumahku ini, diatas pinggir lubang kuburku. Kemudian bawahlah
aku keluar sesaat. Maka yang pertama kali bersholawat kepadaku adalah Allah Azza
Wa Jalla, lalu Jibril, Mikail, israfil, Izrail bersama pasukannya, kemudian
segenap malaikat. Sesudah itu barulah kamu masuk rombongan demi rombongan, dan sholatkanlah aku."
Mendengar wasiat Rasulullah
SWT, para sahabat menangis dan menjerit... "Ya Rasulullah, Tuan adalah rasul kami, penghimpun dan pembina
kekuatan kami, serta penguasa segala urusan kami. Jika Tuan pergi, kepada
siapakah kami kembali?"
Rasulullah SWT bersabda, “Aku tinggalkan kamu di
jalan yang terang. Aku tinggalkan untuk kamu dua juru nasihat yang berbicara
dan yang diam. Penasihat yang berbicara ialah Al-Quran, penasihat diam ialah
maut. Jika kamu menghadapi persoalan yang musykil, kembalilah kepada Al-Quran
dan sunnah; dan jika hati kamu kusut, tuntunlah dengan mengambil iktibar tentang peristiwa maut.”
Ketika
itu akhir bulan Safar, Rasullullah SWT jatuh sakit dan semakin lama semakin lemah. Sehingga suatu saat, ketika para sahabat berkumpul di rumah Sayyidina
Aisyah RA untuk menjaga baginda secara bergilir-gilir, baginda bangun dari
pembaringan dan memakai ikat kepala, menandakan sakitnya masih parah.
Didepan para
sahabat, beliau bersabda, “Wahai para
sahabatku….. Sungguh, demi Allah, saat ini telah kulihat Telaga Haudh di
hadapanku. Demi Allah, aku tidak takut syirik akan menimpa kamu setelah aku
wafat. Tetapi yang kutakutkan, kamu saling berebut dunia, saling
merebutkan kekayaan. Itu yang aku takutkan.” Haudh adalah salah
satu telaga di syurga.
Dari hari ke hari,
kesehatan baginda semakin berkurang dan para sahabat mulai cemas. Pada suatu shubuh, sahabat Bilal mengumandangkan azan di Masjid Nabawi tetapi setelah
beberapa lama baginda belum juga hadir ke masjid. Lalu Bilal ke rumah baginda
dan mengucapkan salam didepan pintu rumah baginda.
"Assalamua alaika, ya Rasulullah."
Baginda tidak
menjawab tetapi Sayyidina Fatimah RA keluar sambil menjawab salam, "Alaikassalam... Kalau ada perlu lain
kali aja. Rasulullah sedang demam."
Mendengar ucapan
itu, tetapi Bilal tidak faham lalu kembali ke masjid dan menunggu kedatangan
Rasullullah SWT sehingga langit sebelah timur mulai menguning. Karena
waktu subuh hampir habis. Bilal kembali ke rumah Rasulullah SWT.
“Assalamu’alaika, ya Rasulullah…. para
makmum sudah menunggu dan langit sudah pula menguning,” katanya.
Saat itu, Nabi tersadar. Lalu baginda
membalas salam Bilal, lantas bersabda, “Ya
Bilal, aku tahu fajar telah mulai tiba. Beri tahu Abu Bakar supaya menjadi imam sholat Shubuh. Aku sedang sakit, tidak mampu bangun.”
Mendengar jawapan itu Bilal menangis. Dengan langkah
terburu-buru tetapi lunglai,dia bergegas kembali ke masjid. Disampaikannya
pesan Rasulullah SAW kepada Abu Bakar. Begitu melihat mihrab kosong, Abu Bakar
menangis. Di mihrab itulah Rasulullah SAW selalu memimpin solat,
mengumandangkan ayat-ayat Al-Quran dengan suara yang nyaring dan fasih.
Pribadinya agung, parasnya berwibawa. Kini mihrab itu kosong. Abu Bakar
menangis juga seluruh sahabat, sehingga suasana shubuh itu menjadi murung.
Sampai siang, para sahabat berkumpul di masjid menanti berita
dari kediaman Rasulullah SAW. Ternyata, Rasululah SAW minta dipapah untuk
menuju masjid. Dengan langkah perlahan-lahan, Nabi keluar rumah dipapah kedua
sahabat itu.
Tiba di masjid, Nabi sholat sunnah dua rakaat lalu menuju
mimbar. Kakinya terasa berat ketika mendaki tangga. Tubuhnya tampak lemah,
tangannya bergetar. Tak lama kemudian beliau menyampaikan khutbah singkat,
namun isinya meresap dan menggetarkan hati. Para sahabat bercucuran air mata…..
“Wahai kaum muslimin, kita hidup di
bawah kekuasaan Allah dan kasih sayang-Nya. Maka bertaqwalah kepada-Nya dan
taatilah perintah-perintah-Nya”.
Dalam riwayat lain, Rasulullah SAW berwasiat, “Wahai segenap umat manusia, api neraka sudah dinyalakan, fitnah-fitnah
telah datang seperti datangnya malam yang gelap. Demi Allah, kamu tidak akan
berpegang kepadaku dengan suatu apa pun. Sesungguhnya aku tidak pernah
menghalalkan sesuatu melainkan apa yang dihalalkan oleh Al-Quran, dan tidak
pula mengharamkan sesuatu melainkan apa yang diharamkan oleh Al-Quran”.
Abu Bakar tersedu sedan sementara Umar bin Khattab menahan nafas
dan tangis hingga dadanya naik turun. Sedangkan Utsman bin Affan menghela nafas
panjang, dan Ali bin Abi Thalib menundukkan kepala dalam-dalam. Dalam hati
semua sahabat berkata, “Rasulullah akan
meninggalkan kita.”
Lelaki agung itu hampir selesai menunaikan tugasnya. Tanda-tanda
itu semakin nyata, sehingga dengan tangkas Ali dan Fadhal segera tampil
membantu Rasulullah turun dari mimbar. Sangat perlahan karena lemah.
Segera setelah itu baginda dipapah untuk kembali pulang ke rumah
kediaman. Sejak itu baginda tidak mampu lagi bangkit dari tempat tidur. Keadaan
baginda semakin lemah, sampai-sampai kain pengikat baginda pun terasa panas.
Panas yang sangat tinggi menyebabkan baginda sering tak sadarkan diri.
Melihat keadaan ayahandanya, Sayyidah Fatimah RA terus menangis,
“Ya Allah, alangkah berat penderitaan
ayahku. Alangkah beratnya, ya Allah….”
Mendengar tangis puteri kesayangannya itu, Rasulullah SAW sempat
bersabda, “Bersabarlah anakku sayang.
Tidak ada lagi penderitaan ayahmu sesudah hari ini…” Nabi SAW berusaha
menghibur puterinya agar tidak bersedih hati. Namun sabda baginda itu juga
merupakan pertanda bahwa tinggal pada hari itu baginda merasakan penderitaan.
Dan setelah itu, meninggalkan keluarga dan segenap kaum muslimin.
Tepat pada waktu dhuha, datanglah Malaikat Izrail yang diutus
oleh Allah Taala untuk menjemput Rasulullah SAW. Perintah Allah Taala kepada
Izrail, “Masuklah kalau diizinkan
olehnya. Kalau tidak, kembalilah engkau kemari. Berangkatlah dan muncullah di
hadapannya dalam wujud seorang lelaki yang sopan dan rapi." Maka
muncullah Malaikat Izrail sebagai seorang lelaki berpakaian putih-putih dengan
aroma yang harum mewangi.
“Assalamualaikum, wahai penghuni rumah
kenabian….”
“Wa’alaikumussalam. Maaf Rasulullah
sedang payah. Datanglah lain kali,” jawab Sayyidah Fatimah RA.
“Assalamu'alaika, ya Rasulullah. Salam
sejahtera untukmu selamanya. Bolehkah saya masuk?” ujar Izrail lagi.
Mendengar salam khusus itu, Nabi membuka mata lalu
bertanya kepada Fatimah, “Anakku, ada
tamu ya? Siapa yang berada di pintu, hai Fatimah?”
“Seorang lelaki yang bersih sopan,
rapi, dan wangi. Ia memanggil-manggil ayah dan minta izin untuk masuk. Saya
ucapkan, Ayah sedang sakit. Saya minta dia untuk kembali lain kali.”
Tiba-tiba Nabi SAW memandangi puteri tercintanya itu dengan
tatapan yang menembus jauh, dengan cahaya pekat yang mengabut.
Sayyidah Fatimah RA menggigil karena hatinya tergetar
“Izinkan tamu itu masuk, Fatimah.
Tahukah engkau siapa dia, anakku?” sabda Rasulullah SAW.
“Tidak”
“Dialah penjemput kenikmatan, pemutus
nahsu syahwat, dan pemisah pertemuan. Dia adalah malakul maut.”
Sayyidah Fatimah RA terkejut, “Ayahanda, jadi mulai hari ini aku tidak akan lagi mendengar suaramu dan
memandang wajah jernihmu?” Sayyidah Fatimah menangis.
"Jangan bersedih dan menangis,
jantung hatiku. Engkau adalah keluargaku yang mula-mula akan bersamaku di hari
kiamat,” sabda Rasul SAW
Mendengar itu, barulah Sayyidah Fatimah RA lega.
“Engkau datang untuk berziarah atau
untuk mencabut nyawaku?” Tanya Nabi.
“Aku datang untuk berziarah, juga
menjemput Tuan jika Tuan mengizinkan. Tetapi kalau tidak aku akan kembali.”
“Engkau datang sendirian? Dimana
engkau tinggalkan Jibril?”
Tanya Nabi sambil tersenyum.
“Aku tinggalkan dia di langit kedua
bersama para malaikat lainnya.”
“Panggil dia.”
Jibril tergagap. Maka Malaikat JIbril pun turun ke bumi, menuju
rumah kediaman Rasul, lalu duduk disebelah kepala Rasulullah SAW.
Beberapa saat Nabi memandangi Jibril, lalu dengan sayu baginda
bersabda, “Jibril, mengapa melambat-lambatkan?
Tidakkah engkau tahu saat yang dijanjikan itu hampir tiba?”
“Beri tahu aku bagaimana hakku di
hadapan Allah nanti.” sabda Nabi lagi.
“Pintu-pintu langit telah terbuka,
para malaikat berbaris berlapis-lapis menunggu kehadiran ruh Tuan, seluruh
gerbang syurga terbuka sebagai persemayaman Tuan.”
Namun wajah Nabi tetap suram dan gelisah. Lalu sabdanya lagi, “Jibril, bukan berita itu yang kuinginkan.
Beritahu aku, bagaimana umatku besok di hari kiamat.”
Maka dengan tenang Jibril menjawab, “Ya Rasulullah, Allah Taala berfirman, "Aku haramkan syurga dimasuki
oleh para nabi sampai engkau Muhammad, masuk terlebih dahulu. Dan aku haramkan
umat para nabi masuk ke dalamnya sampai umatmu, Muhammad, masuk terlebih
dahulu.”
Mendengar jawapan itu, barulah wajah Nabi berseri-seri. “Alhamdulillah. Kalau begitu hatiku tenang,
wahai Jibril.” Baginda merasa tenteram, karena kaum muslimin mendapat
hak dan tempat istimewa di hadapan Allah SWT. Bibir baginda yang sudah pucat
itu menyunggingkan senyum. Senyum istimewa itu juga baginda tujukan kepada
Malaikat Izrail ketika baginda mempersilakan sang Pencabut Nyawa itu
melaksanakan tugasnya.
Pada waktu yang sama suasana gundah gulana. Angin kota Madinah
yang meniupkan hawa dingin tapi kering tambah dalam menusuk tulang. Sejengkal
demi sejengkal matahari pun semakin meninggi ketika Malaikat Izrail merancang
untuk mencabut nyawa Rasulullah SAW.
Penderitaan Nabi SAW semakin hebat ketika nyawa baginda, yang
dicabut oleh Izrail dengan sangat perlahan dan lembut, sampai di pusat. Dahi
dan sekujur wajah baginda terpercik peluh. Urat-urat di wajah beliau tegang
dari setiap saat. Sambil menggigit bibir, Nabi SAW berpaling ke arah malaikat
Jibril. Mata Rasulullah SAW basah, cahayanya pun semakin meredup. “Ya Jibril, betapa sakitnya! Oh, alangkah
dahsyatnya derita sakaratul maut ini.”
Sayyidah Fatimah RA memejamkan mata, sementara Ali bin Abi
Thalib, yang berada disamping Rasulullah SAW, menundukkan kepala, sedangkan
Malaikat Jibril memalingkan muka. “Ya
Jibril, mengapa engkau berpaling? Apakah engkau benci melihat wajahku?”
tanya Rasulullah SAW. “Sama sekali
tidak, ya Rasulullah. Siapakah yang sanggup menyaksikan Kekasih Allah dalam
kedaaan seperti ini? Siapakah yang sampai hati melihat Tuan kesakitan?”
jawab Jibril tersekat-sekat.
Rasa sakit itu sampai memuncak, dalam keadaan sakit tidak
tertahankan itu baginda berdoa, “Ya
Allah, alangkah sakitnya! Ya Allah, timpakanlah sakitnya maut ini hanya
kepadaku, jangan kepada umatku.”
Mendengar sabda Rasulullah SAW itu, Jibril tersentak. Betapa
agung pribadi Rasulullah SAW. Dalam detik-detik paling genting dan
menyiksakan, bukan kepentingan diri sendiri yang dimohonkan, melainkan
kepentingan umatnya. Andai baginda memohon agar rasa sakit itu dicabut, pasti
Allah SWT mengabulkannya. Namun baginda lebih memilih kesakitan agar derita itu
tidak menimpa umatnya.
Ketika Jibril menyadari keadaan di sekelilingnya, Izrail sudah
dengan sangat santun menarik nyawa Nabi SAW sampai di dada. Maka nafas baginda
pun mulai sesak. Rasa sakit semakin hebat. Ketika itulah, lelaki agung itu
menoleh ke arah sahabat-sahabatnya, lalu bersabda dengan suara lirih dan
pandangan sayu, “Ushikum
bisholati wa ma malakat aimanakum (Aku wasiatkan kepada kamu untuk
mendirikan sholat, dan aku wasiatkan kepada kamu orang-orang yang menjadi
tanggungan kamu).”
Sejenak kemudian, keadaan Rasulullah SAW bertambah genting. Para
sahabat saling berpelukan lantaran tidak kuat menahan pilu. Dan ketika itulah
tubuh Nabi SAW mulai dingin. Hampir seluruh bagian tubuh baginda tidak
bergerak-gerak lagi. Mata baginda berkaca-kaca dan menatap lurus ke
langit-langit hanya sedikit terbuka.
Menjelang akhir hayat baginda, Ali bin Abi Thalib melihat Nabi
SAW dua kali menggerak-gerakkan bibir beliau yang sudah membiru. Maka Ali pun
cepat-cepat mendekatkan telinganya ke bibir Nabi. Dia mendengar Nabi SAW
memanggil-manggil, “Ummati, ummati….
(Umatku, umatku…).” Dengan memanggil-manggil umatnya inilah, Rasul Akhir
Zaman itu wafat di pangkuan isteri tercinta, Sayyidah Aisyah RA, pada hari Senin, 12 Rabi’ul Awwal 11 Hijrah, bertepatan dengan tarikh 3 Juni 632 Masehi,
dalam usia 63 tahun.
Maka meledaklah tangis para sahabat. Sang kekasih Allah telah
wafat, membawa cinta yang agung, cinta kepada umat, hingga akhir hayat. Bahkan
dibawanya sampai Padang Mahsyar. Ketika nyawa sudah sampai penghujung. Pemimpin
Besar dan Pencipta Peradaban itu bukan mengkhawatirkan keluarganya, melainkan
memprihatinkan umatnya. “Ummati,
ummati….”
Sesaat sebelum wafat, sebagaimana tercatat dalam Shahih Bukhari,
Rasulullah SAW masih sempat berwasiat dan menghibur umatnya. Beliau bersabda, “Wahai umatku, kamu
akan melihat hari yang tidak kamu sukai, yaitu perpecahan dan fitnah dari
berbagai musibah yang akan datang. Akan tetapi hendaklah kamu bersabar sampai
berjumpa denganku di Telaga Haudh kelak…”
Dalam Sahih Bukhari dikisahkan, begitu mendengar Rasulullah SAW
wafat, Abu Bakar As-Siddiq berlari menuju rumah kediaman Sayyidah Aisyah RA.
Namun jasad Nabi SAW telah membujur kaku. Ketika menyingkap kain yang menutup
tubuh Nabi SAW, ia menangis sambil memeluk wajah Sang Rasul. Saat memandikan
jenazah Rasulullah, Ali bin Abi Thalib berkata, “Wahai Rasulullah, ketika hidup, Tuan semerbak mewangi. Ketika wafat pun,
tubuh Tuan tetap wangi.”
Ya… Rasulullah SAW, dan syariatnya, tetap akan selalu semerbak
mewangi sampai hari kiamat.
sangat mengharukan,izin share..
BalasHapusMasya Allah...
BalasHapusAllahumma sholli ala Sayyidina Muhammad...