Saat umat Islam masih
berjumlah sekian orang serta kekejaman yang diterima kaum Muslim,
seorang budak berkulit kelam bertekad bulat dan mengikrarkan diri
beriman kepada Allah SWT.
Nama lengkapnya Bilal bin Rabah Al-Habasyi. Ia berasal dari negeri
Habasyah, sekarang Ethiopia. Ia biasa dipanggil Abu Abdillah dan
digelari Muadzdzin Ar-Rasul. Bilal lahir di daerah as-Sarah sekitar 43
tahun sebelum hijrah. Ia berpostur tinggi, kurus, warna kulitnya
cokelat, pelipisnya tipis, dan rambutnya lebat.
Ibunya adalah hamba sahaya (budak) milik Umayyah bin Khalaf dari Bani
Jumuh. Bilal menjadi budak mereka hingga akhirnya ia mendengar tentang
Islam. Lalu, ia menemui Rasulullah SAW dan mengikrarkan diri masuk
Islam. Ia merupakan kalangan sahabat Rasulullah yang berasal dari non-Arab.
Dalam Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah karya Syekh Muhammad Sa’id
Mursi, dipaparkan bahwa Umayyah bin Khalaf pernah menyiksa dan
membiarkannya di jemur di tengah gurun pasir selama beberapa hari. Di
perutnya, diikat sebuah batu besar dan lehernya diikat dengan tali.
Lalu, orang-orang kafir menyuruh anak-anak mereka untuk menyeretnya di
antara perbukitan Makkah.
Saat berada dalam siksaan itu, tiada yang diminta Bilal kepada para
penyiksanya, kecuali hanya memohon kepada Allah. Berkali-kali Umayyah
bin Khalaf menyiksa dan memintanya agar meninggalkan agama yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Namun, Bilal tetap teguh pendirian.
Ia selalu mengucapkan, “Ahad-Ahad.” Ia menolak mengucapkan kata kufur
(mengingkari Allah). Abu Bakar as-Sidiq lalu memerdekakannya. Umar bin
Khattab berujar, “Abu Bakar adalah seorang pemimpin (sayyid) kami dan
dia telah memerdekakan seorang pemimpin (sayyid) kami.”
Setelah merdeka, Bilal mengabdikan diri untuk Allah dan Rasul-Nya. Ke
mana pun Rasul SAW pergi, Bilal senantiasa berada di samping
Rasulullah. Karena itu pula, para sahabat Nabi SAW sangat menghormati dan memuliakan Bilal, sebagaimana mereka memuliakan dan menghormati Rasulullah SAW.
Azan pertama
Saat Rasulullah SAW berhijrah ke Madinah, Bilal pun turut serta bersama kaum Muslim
lainnya. Ketika Masjid Nabawi selesai dibangun, Rasulullah SAW
mensyariatkan azan. Rasulullah SAW kemudian menunjuk Bilal untuk
mengumandangkan azan karena ia memiliki suara yang merdu. Lalu, Bilal
mengumandangkan azan sebagai pertanda dilaksanakannya shalat lima waktu.
Sejak saat itu, Bilal mendapat julukan sebagai Muadzdzin ar-Rasul dan
ia menjadi muazin pertama dalam sejarah Islam.
Setelah sekian lama
tinggal di Madinah, Bilal senantiasa menjadi pengumandang azan.
Biasanya, setelah mengumandangkan azan, Bilal berdiri di depan pintu
rumah Rasulullah SAW seraya berseru, “Hayya ‘alashshalaati hayya
‘alashshalaati (Mari melaksanakan shalat, mari meraih keuntungan).”
Lalu, ketika Rasulullah SAW keluar dari rumah dan Bilal melihatnya, ia
segera melantunkan iqamat sebagai tanda shalat berjamaah akan segera
dimulai.
Ketika menaklukkan Kota Makkah (Fathu Makkah), Rasulullah SAW
berjalan di depan pasukan Muslim bersama Bilal. Saat masuk Ka’bah,
beliau hanya ditemani oleh tiga orang sahabat, yaitu Utsman bin Thalhah,
Usamah bin Zaid, dan Bilal bin Rabah.
Tak lama kemudian, waktu shalat Zuhur pun tiba. Ribuan orang
berkumpul di sekitar Rasulullah SAW, termasuk orang-orang kafir Quraisy
yang baru masuk Islam saat itu. Pada saat-saat yang sangat bersejarah
itu, Rasulullah SAW memanggil Bilal agar naik ke atap Ka’bah untuk
mengumandangkan azan.
Tanpa menunggu perintah kedua, Bilal segera beranjak dan melaksanakan
perintah tersebut dengan senang hati. Ia pun mengumandangkan azan
dengan suaranya yang bersih dan jelas. Orang-orang semakin banyak
berkumpul. Azan yang dikumandangkan Bilal itu merupakan azan pertama di
Makkah.
Ribuan pasang mata memandang Bilal dan ribuan lidah mengikuti kalimat
azan yang dikumandangkannya.
Sejak saat itu, Bilal pun terkenal sebagai muazin Rasul. Bahkan, ia
menjadi muazin tetap saat Rasul masih hidup. Tidak ada orang lain yang
menggantikan Bilal. Yang lain pun tak keberatan Bilal melakukannya.
Namun, saat Rasul SAW wafat dan ketika shalat akan dikumandangkan,
Bilal pun segera berdiri untuk melaksanakan kewajibannya. Saat itu,
jasad Rasulullah SAW masih terbungkus kain kafan dan belum dikebumikan.
Maka, ketika Bilal sampai pada kalimat, “Asyhadu anna Muhammadar
Rasuulullaahi (Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah),”
tiba-tiba suaranya terhenti. Bilal menangis. Ia tidak sanggup mengangkat
suaranya lagi. Bilal merasakan betapa sedihnya ditinggalkan oleh
manusia yang paling dicintainya. Tak hanya kaum Muslim, Allah pun
mencintai Rasulullah SAW. Seperti dikomando, tangisan Bilal itu diiringi
oleh kaum Muslim yang hadir. Mereka semua menangis karena ditinggal
pergi sang kekasih.
Dalam Shuwar min Hayaatis Shahabah karya Dr Abdurrahman Ra’fat Basya,
dipaparkan bahwa sejak kepergian Rasulullah SAW, Bilal hanya sanggup
mengumandangkan azan selama tiga hari. Setiap sampai kepada kalimat,
“Asyhadu anna muhammadan rasuulullaahi,” ia langsung menangis
tersedu-sedu. Begitu pula kaum Muslim yang mendengarnya, larut dalam
tangisan pilu.
Kemudian, Bilal mendatangi Abu Bakar as-Sidiq, yang menggantikan
posisi Rasulullah SAW sebagai pemimpin umat Islam, agar dia
diperkenankan untuk tidak mengumandangkan azan lagi. Ia seakan tidak
sanggup melakukannya. Permohonan itu pun dikabulkan Abu Bakar. Sejak
saat itu, Bilal tak pernah lagi menjadi muazin bagi seseorang.
Pernah Bilal melakukannya ketika Khalifah Umar mengunjunginya di
Damaskus. Namun, itu pun hanya sampai kalimat, “Asyhadu anna Muhammadar
Rasuluullaahi.” Ia lagi-lagi menangis mengingat Rasulullah SAW. Bahkan,
Umar pun turut menangis. Azan yang dikumandangkan Bilal mengingatkan
Umar ketika bersama-sama dengan Rasulullah SAW, orang yang paling
dicintainya.
Tak Pernah Meninggalkan Wudhu
Nama Bilal memang kerap dikaitkan dengan azan. Sebab, dia
adalah orang pertama yang menjadi muazin pada zaman Rasul SAW. Namun,
kemuliaan Bilal tak hanya karena azannya, jejak langkah Bilal pernah
didengar Rasulullah SAW di dalam surga. Sebuah penghargaan yang sangat
tinggi bagi setiap orang yang beriman.
Suatu hari, pada waktu Subuh, Rasulullah SAW berbincang-bincang
dengan Bilal bin Rabah. Rasul berkata, “Wahai, Bilal, ceritakanlah
kepadaku mengenai amalan yang menurutmu paling besar pahalanya, yang
pernah kamu kerjakan dalam Islam. Sesungguhnya, aku pernah mendengar
suara telapak langkah (jalan)-mu di hadapanku di surga.”
Bilal menjawab, “Wahai, Rasulullah, sesungguhnya aku tidak pernah
mengerjakan amalan yang menurutku besar pahalanya, tapi aku tidak wudhu
pada waktu malam dan siang, melainkan aku akan menunaikan shalat yang
diwajibkan bagiku untuk mengerjakannya.”
Jadi, setiap selesai melaksanakan wudhu, Bilal senantiasa melakukan
shalat dua rakaat, yakni shalat sunat wudhu. Perbuatan itu senantiasa
dilakukannya dalam setiap kesempatan. Selain itu, ia juga termasuk orang
yang senantiasa memelihara (dawam) wudhu, yakni setiap batal, dia akan
langsung berwudhu.
Semasa hidupnya, Bilal telah meriwayatkan 44 hadis dari Nabi SAW. Di
antaranya, Rasulullah bersabda, “Hendaklah kalian menunaikan shalat
malam (tahajud) karena shalat malam adalah tradisi (kebiasaan)
orang-orang saleh sebelum kalian. Sesungguhnya, shalat malam adalah
amalan yang dapat mendekatkan diri kepada Allah, dapat mencegah dari
perbuatan dosa, mengampuni dosa-dosa kecil, dan menghilangkan penyakit
dari badan.” (HR Tirmidzi).
Selain sebagai muazin, Bilal juga pernah menjabat sebagai bendahara
Rasulullah di baitul mal. Ia tidak pernah absen mengikuti semua
peperangan bersama Rasulullah. Tentang Bilal, Rasulullah SAW mengatakan,
“Bilal adalah seorang penunggang kuda yang hebat dari kalangan
Habasyah.” (HR Ibnu Abi Syaibah dan Ibn Asakir).
Bilal meninggal dunia di Damaskus pada 20 H. Jasadnya dimakamkan di
sana. Namun, ada riwayat yang menyebutkan bahwa jasad Bilal dimakamkan
di wilayah Halb.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar